Setelah menggelar peluncuran dan diskusi novel The Crocodile Hole di Jakarta pada Selasa (27/10), Jurnal Perempuan kembali menggelar diskusi dan launching novel karya Saskia Wieringa tersebut pada Kamis (29/7) di Ubud, Bali. Acara yang berlangsung di Warung Nuri di kawasan Ubud tersebut diawali dengan penyerahan novel The Crocodile Hole versi bahasa Indonesia dari Saskia kepada ibu-ibu penyintas yang pernah ditahan di kamp Plantungan. Saskia menyebut pemberian novel tersebut sebagai “kado untuk ibu”—yang juga merupakan judul sebuah dokumenter pendek tentang tahanan politik di kamp Plantungan—dan merupakan versi novel yang diterbitkan pada tahun 2003 yang mana ketika itu tidak ada pelarangan atas novel tersebut, namun ketika novel yang sama diterbitkan kembali pada tahun 2015 dalam versi bahasa Inggris, peluncurannya di Bali justru dilarang. Sebelum acara diskusi dimulai empat orang intel mendatangi tempat kegiatan dan mengajukan sejumlah pertanyaan terkait acara diskusi dan peluncuran novel. Gadis Arivia, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan menjelaskan dengan sangat tenang kepada keempat lelaki tersebut bahwa kegiatan yang akan diselenggarakan pada siang hari itu merupakan acara kumpul dan makan bersama yang sangat dimungkinkan terjadi diskusi dan pembicaraan dan tidak terkait dengan sesi acara dalam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang sebelumnya dilarang. Lalu Nursyahbani Katjasungkana, koordinator International People Tribunal (IPT) 1965 memberikan kartu nama dan nomor teleponnya. Para intel tersebut kemudian mengatakan bahwa mereka perlu mengklarifikasi kegiatan peluncuran buku tersebut lalu mereka pun meminta maaf karena telah mengganggu dan kemudian meninggalkan tempat kegiatan. Sejumlah peserta sudah datang ke acara bahkan satu jam sebelum dimulai. Gadis Arivia yang bertindak sebagai moderator membuka acara dan mempersilakan Saskia untuk memaparkan novelnya termasuk kaitan antara fakta dan fiksi dalam novel tersebut. Saskia mengatakan bahwa peluncuran novelnya siang itu merupakan momen bersejarah mengingat sebagai orang asing dia bisa meluncurkan novelnya di sini dan para peserta dapat mengambil foto para intel yang mendatangi dan memotret kegiatan peluncuran bukunya, yang nantinya foto tersebut dapat dikirim ke Pengadilan Rakyat Internasional untuk peristiwa 1965 sekaligus memperlihatkan bahwa ancaman masih terus berlangsung dari tahun 1965 hingga hari ini. Saskia kemudian menjelaskan cerita dalam novelnya secara singkat, yakni kisah Tommy, seorang jurnalis muda dari Belanda yang bertemu dengan para perempuan penyintas dari anggota organisasi perempuan yang dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan para jenderal dengan melakukan tarian dan kastrasi. Sebuah fitnah seksual yang kemudian mengakibatkan pembantaian terhadap anggota Gerwani dan PKI dan yang dianggap PKI. Saskia juga memaparkan aspek fakta dan fiksi yang terdapat dalam novelnya yang didasari oleh penelitian ilmiah yang dilakukannya ketika menyusun disertasi. Usai paparan tersebut, Saskia kemudian membacakan nukilan novelnya. Sekitar 15 menit setelah acara dimulai, polisi kembali mendatangi tempat kegiatan, kali ini dalam jumlah yang lebih banyak. Negosiasi pun kembali terjadi antara Gadis Arivia, Nursyahbani Katjasungkana dan Todung Mulya Lubis—pengacara senior sekaligus aktivis yang datang ke diskusi buku dan mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut—dengan aparat polisi. Mereka bertiga berkukuh bahwa polisi tidak mempunyai hak dan dasar hukum untuk membubarkan kegiatan tersebut. Maka sepanjang acara polisi berada di lokasi dan terus mengawasi serta masuk ke dalam ruangan. Tak hanya itu, polisi juga melakukan intimidasi dengan menanyakan izin usaha Warung Nuri, yang dikenal dengan nama Nuri Nacho’s Mama tersebut, kepada pemiliknya. Namun keberadaan polisi selama acara berlangsung sama sekali tidak menyurutkan antusiasme peserta untuk mengikuti diskusi. Usai paparan dari Saskia, sejumlah peserta mengajukan pertanyaan. Salah satunya seorang cucu korban tragedi 65, Dini Rachmawati, yang membagikan cerita tentang pengalaman keluarganya menanggung diskriminasi, stigma dan tekanan, mulai dari kakeknya yang ditangkap paksa, orang tuanya yang juga merasakan kehidupan dan penghidupannya dirampas, bahkan dirinya pun sempat harus menjalani pemulihan akibat tekanan psikologis yang dialami. Gadis mengungkapkan bahwa berbagi cerita dan pengalaman juga merupakan salah satu upaya healing. Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Nursyahbani Katjasungkana yang membahas tentang Pengadilan Rakyat Internasional (International People Tribunal) tentang peristiwa 1965. Nur menjelaskan tentang latar belakang dan pentingnya penyelenggaraan IPT 1965. Sejumlah pertanyaan juga dilontarkan peserta. Usai tanya jawab, acara dilanjutkan dengan penandatanganan novel oleh Saskia dan bincang-bincang. Para peserta baik dari Indonesia maupun luar negeri tak ingin kehilangan momen dengan meminta Saskia membubuhkan tanda tangannya dan berfoto bersama. Acara siang itu juga diikuti dengan pameran foto para perempuan penyintas 1965 oleh AJAR (Asia Justice and Rights) yang juga batal tampil dalam ajang UWRF. Sejumlah aktivis perempuan juga tampak hadir dalam acara tersebut. Bahkan ada yang khusus datang untuk mengikuti peluncuran dan diskusi buku ini sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap pelarangan yang dilakukan polisi, seperti misalnya Sita Aripurnami dan Edriana Noerdin dari Women Research Institute (WRI). Tak ketinggalan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dari Bali dan kota lain juga ikut bergabung termasuk juga sejumlah figur publik. Seperti diketahui, sedianya peluncuran dan diskusi The Crocodile Hole menjadi salah satu sesi dalam ajang Ubud Writers and Readers Festival, namun kemudian dibatalkan karena panitia dilarang menampilkan sesi acara yang berkaitan dengan peristiwa 1965 oleh polisi. (Anita Dhewy) Pada acara peluncuran novel The Crocodile Hole dan Indonesia Feminist Journal di Chasakhasa, Kemang (27/10/2015), Nursyahbani Katjasungkana, koordinator International People’s Tribunal 1965 angkat bicara mengenai kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965. “Tragedi 1965 adalah pelanggaran atas kemanusiaan”, ujar Nursyahbani. Menurut paparan Nursyahbani, Kejaksaan Agung menolak laporan dari Komnas HAM mengenai insiden pelanggaran HAM tahun 1965 sebanyak tiga kali pada tahun 2012. Akibatnya laporan tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut ke tingkat DPR untuk menetapkan peristiwa tersebut sebagai kasus pelanggaran HAM dan apakah harus ada pembentukan sebuah pengadilan HAM. Komnas HAM kemudian melaporkan penolakan Kejaksaan Agung tersebut pada Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia pada tahun 2013, dan akhirnya Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia di Jenewa memberikan rekomendasi untuk dibentuknya joined team investigation agar tidak ada lagi alasan dari Kejaksaan Agung untuk menolak dengan berbagai alasan teknis. Sayangnya saran tersebut belum terlaksana sampai sekarang. Hal lainnya yang dipaparkan oleh Nursyahbani adalah mengenai film Joshua Oppenheimer, “The Act of Killing” atau “Jagal” yang memuat pengakuan dari para pelaku pembunuhan telah membuka mata dunia tentang peristiwa 1965. Kemudian pada tahun 2014 Joshua Oppenheimer, sang sutradara “The Act of Killing”, kembali meluncurkan film “The Look of Silence” atau “Senyap” yang juga memperlihatkan pada dunia dan masyarakat Indonesia mengenai kekejaman peristiwa pembantaian yang memakan korban hingga jutaan orang tersebut. Nursyahbani juga menerangkan bahwa proses pembuatan sinema tersebut memakan waktu 12 tahun dan menghasilkan lebih dari 1000 jam, berdasarkan pemaparan Joshua pada sebuah diskusi. “Joshua mengatakan bahwa ia sudah melakukan apa yang ia bisa sebagai seorang peneliti dan seorang pembuat film, kemudian mengenai apakah orang-orang Indonesia akan membela harga diri mereka itu kembali pada keputusan mereka”, Nursyahbani menceritakan. Nursyahbani juga menceritakan bahwa pengalamannya ketika turut berpartisipasi dalam International People’s Tribunal Tokyo terkait masalah jugun ianfu, ia pernah bertemu dengan para exiled yang berharap agar ia bersedia mengadvokasi permasalahan 1965 dalam forum internasional. Agenda ini juga merupakan momentum yang tepat karena keterbukaan informasi mengenai peristiwa 1965 semakin luas dan juga didukung oleh lahirnya narasi visualnya dalam bentuk film “The Act of Killing”. Akhirnya Nursyahbani menyanggupi untuk mengambil mandat tersebut dan penelitian serta upaya advokasi pun dimulai setelahnya. Dalam perjalanannya, Nursyahbani menyadari bahwa hingga sekarang diskusi atau acara yang berkaitan dengan tragedi 1965 seringkali dipersulit atau tidak diizinkan karena isu ini masih dipandang seakan-akan hanya merupakan isu ideologi semata bukan dipandang sebagai isu kemanusiaan. Dilatarbelakangi hal ini, Nursyahbani bersama para aktivis dan orang-orang yang peduli dari berbagai kalangan dan profesi memutuskan untuk membentuk International People’s Tribunal untuk peristiwa 1965. “Konsep People’s Tribunal sendiri sebenarnya sudah dipraktikkan sekitar tahun 1966 ketika Bertrand Russell dan Sartre menyelenggarakan People’s Tribunal untuk kasus perang Vietnam”, Nursyahbani menerangkan. International People’s Tribunal untuk kasus 1965 akan diadakan pada tanggal 10 hingga 13 November mendatang di Den Haag dan diharapkan agar rekomendasi yang disusun oleh Hakim bagi Indonesia pada akhirnya dapat mendorong negara untuk memberikan pertanggungjawaban bagi para korban atas tragedi tahun 1965. (Johanna Poerba) Dalam acara Peluncuran novel The Crocodile Hole dan Indonesian Feminist Journal pada Selasa (27/10/2015) di Casakhasa Garden Bistro, Kemang, Jakarta, Saskia Wieringa, profesor dari Universitas Amsterdam, memaparkan mengenai apa yang melatarbelakangi penulisan The Crocodile Hole dan seperti apa perjalanannya kala melakukan riset dan penelitian mengenai Gerwani dan mitos-mitos 1965 yang melingkupinya. Menurut Saskia, ketika ia berada di Indonesia pada akhir tahun 70-an, tidak ada lagi kelompok perempuan yang dengan tegas dan berani memperjuangkan hak-hak perempuan. Beberapa organisasi perempuan yang ada, seperti Dharma Wanita atau Bhayangkari yang beranggotakan istri-istri polisi, lebih menaruh perhaatian pada kegiatan yang sifatnya domestik seperti memasak dan mendampingi suami mereka di kala menyambut tamu dan sebagainya. Aktivitas-aktivitas semacam ini dipandang kosong maknanya oleh Saskia. Ia menceritakan bahwa ia merasa marah dan terkejut akan hilangnya gerakan perempuan yang kuat seperti Gerwani. Menyadari bahwa masa-masa Orde Baru sarat akan propaganda yang pada akhirnya mengamputasi PKI dan Gerwani (PKI dituduh ateis, anti Pancasila, sementara anggota Gerwani dituduh sebagai perempuan yang menjual tubuh), Saskia tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana propaganda dan perubahan mental yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dapat menekan gerakan perempuan. Dalam proses penelitiannya, Saskia bertemu dengan beberapa perempuan pemimpin dan anggota Gerwani yang dulu dipenjarakan atas tuduhan terlibat dalam insiden pembunuhan Lubang Buaya. Salah satunya menceritakan tentang seorang gadis berumur 13 tahun yang dituduh menari telanjang sembari menggoda para jenderal, kemungkinan berumur sekitar 40-50 tahun, lalu memutilasi mereka. Sebuah cerita yang tentunya terdengar ganjil. Gadis Arivia, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, yang bertindak sebagai moderator dalam diskusi novel ini menambahkan bahwa poin lain yang menarik dari novel The Crocodile Hole adalah diangkatnya tema seksualitas di dalamnya. Tema ini dimunculkan melalui tokoh utama dalam novel yang bernama Tommy, seorang jurnalis perempuan yang menjalin hubungan dengan sesama perempuan. Sehingga ketika kita membaca novel ini kita juga akan mendapat pengetahuan tentang seksualitas. The Crocodile Hole sesungguhnya mengungkapkan genosida mengerikan yang dilakukan oleh pemerintah namun berusaha untuk dikubur dalam-dalam oleh pemerintah maupun masyarakat. Novel ini juga sekaligus menjadi sebuah “obat” bagi para perempuan anggota Gerwani yang mencari pembelaan dan permintaan maaf dari negara. Pada akhirnya mengutip sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Saskia yang juga menjadi sebuah pengingat bagi Indonesia: “Bagaimana sebuah negara dapat membangun perdamaian di atas begitu banyak kebohongan?” (Johanna Poerba) Selasa (27/10/2015) Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) ke-12 sekaligus peluncuran serta diskusi novel The Crocodile Hole dan Indonesian Feminist Journal (IFJ) terbitan YJP Press di Casakhasa Garden Bistro, Kemang, Jakarta Selatan. Acara gathering SJP merupakan acara silaturahmi 3 bulanan sekaligus yang dilaksanakan guna sharing pendapat dan menambah pengetahuan tentang masalah perempuan di Indonesia melalui diskusi. Diskusi gathering SJP ke-12 ini menghadirkan Prof. Saskia Wieringa (Penulis novel The Crocodile Hole), Nursyahbani Katjasungkana (Koordinator International People’s Tribunal (IPT) 1965), dan Lea Simek (Executive Editor IFJ) sebagai pembicara dengan host Gadis Arivia (Pendiri dan Acting Direktur Yayasan Jurnal Perempuan). Gadis Arivia sebagai host mengucapkan terima kasih kepada Sahabat Jurnal Perempuan (SJP), teman-teman aktivis dan akademisi yang telah hadir dalam acara gathering ini. Gadis juga mengumumkan bahwa novel The Crocodile Hole yang gagal launching pada acara "Ubud Writers and Readers Festival 2015" akan tetap didiskusikan pada tanggal yang sama, 29 Oktober 2015, pukul 13.00 hingga 16.00 wib di Nuri's Nacho Mama, jalan raya Campuhan, Ubud, bersama dengan Sahabat Jurnal Perempuan Bali dan aktivis HAM lainnya. Gathering SJP ke-12 ini juga sangat menarik karena Jurnal Perempuan mengundang penyair perempuan dari Aceh, Zubaidah Djohar untuk membacakan puisi-puisinya. Zubaidah membawakan 4 puisi yang berjudul “Inikah Damai Mu, Tuan?”, “Karena Engkau Perempuan”, “Ajari Saya Untuk Melupakan” dan “Luka Rahim”. Puisi-puisi tersebut dibawakan dengan khidmat oleh Zubaidah sehingga peserta gathering ikut hanyut dalam kesedihan makna-makna syair tersebut. Dalam acara gathering SJP ke-12 yang dihadiri oleh 80 peserta ini, Prof. Saskia Wieringa menjelaskan tentang novel The Crocodile Hole yang didasarkan oleh tesisnya, yaitu penelitian terhadap gerakan perempuan di Indonesia, khususnya fitnah yang ditujukan pada Gerwani sebagai organisasi perempuan paling progresif pada waktu itu. Kemudian diskusi disambung oleh paparan dari Nursyahbani Katjasungkana selaku Koordinator IPT 1965 mengenai pengadilan rakyat internasional atas tragedi tahun 1965 yang menurutnya adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan dan akan diselenggarkan pada 10 November mendatang di Den Haag. Di sesi akhir Lea Simek, Executive Editor IFJ, menjelaskan tentang Indonesian Feminist Journal Vol.3 yang berjudul “The Remaking of Tradition: Sex, Lies & Politics”. Lea memaparkan bahwa didalam Indonesian Feminist Journal Vol.3 ada beragam tulisan dari para feminis lintas negara tentang praktik-praktik budaya, tradisi dan politik di Indonesia yang masih meninggalkan jejak ketidakadilan seperti kawin paksa, tes keperawanan, mutilasi alat kelamin perempuan atau sunat, dll. Lea juga mengungkapkan bahwa IFJ nantinya diharapkan dapat merambah pembaca internasional sebagai rujukan tentang kajian gender. Diskusi ini disambut baik oleh para peserta dan banyak dari mereka yang melontarkan pertanyaan atas isu-isu yang dibahas. Di penghujung acara, peserta gathering menunjukkan kebahagiaan mereka atas lahirnya Indonesian Feminist Journal Vol.3 dan novel The Crocodile Hole terbitan YJP Press dengan saling bercengkerama dan berfoto bersama. (Andi Misbahul Pratiwi) Kekerasan seksual bukan pelanggaran asusila melainkan kejahatan seksual. Pernyataan ini diungkapkan Mariana Amiruddin, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan dan Komisioner Komnas Perempuan, pada acara workshop “Pencegahan Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus” yang diselenggarakan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Universitas Indonesia pada Jumat (16/10/2015) di Auditorium Juwono Sudarsono, kampus UI Depok. Mariana memaparkan mengenai perkosaan dan bagaimana kaitannya dengan kekuasaan. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa perkosaan terjadi seiiring dengan kejahatan lain, misalnya pencurian, pembunuhan dan sebagainya. Sehingga perkosaan bukan hanya soal seks tapi kekuasaan. Di hadapan 25 peserta workshop ini, Mariana menjelaskan bahwa anggapan-anggapan yang selama ini diyakini oleh masyarakat adalah sebuah kebohongan, melalui tulisannya ia membongkar mitos-mitos perkosaan tersebut. “Penyebab perkosaan bukan pada pakaian perempuan”, Mariana menegaskan. Berdasarkan data Komnas Perempuan 90% perkosaan terjadi di dalam rumah dan jika pun terjadi di ruang publik pasti diiringi dengan tindak kriminal lainnya. Mariana menganalisa bahwa perkosaan yang terjadi ruang publik itu jelas sudah direncanakan, karena pertimbangan pemerkosa terhadap korban adalah bukan pada pakaiannya melainkan pada kondisi fisik dan psikis korban. Apakah korban sedang dalam kondisi lemah, tidak bisa melawan, sendirian dan tidak mungkin untuk melarikan diri, itulah beberapa faktor yang menjadi pertimbangan. Perkosaan adalah relasi kuasa antara pemerkosa dan korban, sehingga pengetahuan akan tubuh dan keberanian untuk bersuara menjadi sangat penting dalam kasus perkosaan. Mariana memberikan contoh, di lingkungan kampus sering terjadi pelecehan seksual oleh dosen (yang memiliki kuasa) pada mahasiswa (tidak memiliki kuasa), kemudian perkosaan yang dilakukan oleh relasi saudara di dalam rumah, keduanya akan akan melahirkan trauma yang mendalam bagi korban. Akhirnya korban hanya bisa bungkam dan kengerian tersebut secara psikologis harus segera dipulihkan. Kemudian tahun 1998 perkosaan yang terjadi pada perempuan etnis Cina secara masif, menurut Mariana itu merupakan simbol penaklukan dan penghinaan yang mendalam terhadap etnis Cina, lagi-lagi bukan soal seks. Hal lain yang diungkapkan Mariana adalah mengenai fantasi seksual yang menurutnya tidak pernah ada. “Perkosaan adalah keji, perkosaan adalah kengerian, tidak ada fantasi seksual disana”, ungkap Mariana menutup materinya. (Andi Misbahul Pratiwi) “Selama ini hanya dilakukan pendekatan pada aspek keamanan moral atas konflik dan permasalahan di Papua,” demikian pendapat Sejarawan Institut Sosial Sejarah Indonesia, Hilmar Farid ketika berbicara tentang topik “Perang yang Terlupakan: HIV/AIDS di Papua” dalam acara Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015 pada Kamis, 15 Oktober 2015 di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia. Hilmar membagikan data bahwa jumlah penduduk di Papua hanya 1,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia namun Papua memiliki tingkat penyebaran HIV/AIDS dan angka kematian karena HIV/AIDS tertinggi. Setiap 25 menit, satu orang terpapar HIV di Indonesia dan seperlimanya adalah anak-anak muda. Menurut Hilmar, selama ini upaya untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS masih hanya berupa penyadaran dari perspektif moral yang seringnya dilandasi oleh asumsi. Contohnya, seringkali kultur di Papua dipandang lebih promiscuous, mereka dipandang seringkali berganti-ganti pasangan. Maka sering pula tindakan preventif yang diterapkan adalah berupa nasihat-nasihat untuk menjauhi hubungan seksual. Hilmar menceritakan mengenai salah satu penelitian koleganya yang membahas mengenai perbandingan penyebaran HIV di Papua dengan penyebaran HIV di Jakarta. Penyebaran HIV di Papua, sekitar 98,7 persennya disebabkan oleh hubungan seksual bukan karena transfusi darah dan jarum suntik seperti yang terjadi di Jakarta. Di Jakarta, tingkat penggunaan kondom rendah dan ini menunjukkan bahwa tingkat negosiasi perempuan rendah serta menjadi contoh nyata dari adanya ketimpangan kekuasaan. Hubungan seksual yang tidak aman seperti yang terjadi di Papua sesungguhnya bukan berpangkal pada moral melainkan pada power atau kekuasaan. UNICEF pernah mengadakan kampanye HIV/AIDS di Papua. UNICEF membuat riset mengenai seberapa jauh kampanye ini masuk ke masyarakat. Hasilnya cukup menakjubkan, hampir semua orang tahu mengenai adanya kampanye HIV/AIDS dan sebagian besar dari mereka memahami penyebab serta dampak dari HIV/AIDS. Menurut Hilmar, jelas persoalannya bukan karena kurangnya penyebaran informasi tetapi justru karena adanya ketimpangan power atau kekuasaan. Hilmar memberikan tiga solusi dasar untuk masalah HIV/AIDS di Papua. Pertama dan yang paling utama adalah HIV/AIDS harus dipandang sebagai masalah kesehatan seperti halnya penyakit pada umumnya (meskipun obat bagi HIV/AIDS belum ditemukan). Flu adalah penyakit mematikan pada tahun 1918 ketika orang-orang belum menemukan solusi bagi epidemik tersebut. Kedua, kita harus menyadari pentingnya bukti dan pengetahuan. Ketika masalah sudah jelas, baru dapat dipikirkan apa solusinya. Seperti yang telah ditekankan berulang kali oleh Hilmar, paradigma moral jelas tidak dan gagal menyelesaikan masalah HIV/AIDS di Papua. Terakhir adalah apa yang disebut dengan kategori care. Care dalam bahasa Indonesia sering diasosiasikan dengan perhatian, kasih sayang, dan sebagainya. Di masa seperti ini ketika manusia mudah gelisah dan takut akan banyak hal, kategori care adalah kategori yang penting namun justru sering diabaikan. Jika kategori ini menjadi dasar manusia untuk memahami masalah politik ekonomi maka kiranya manusia akan mendapatkan bayangan tentang masalah yang dihadapi dengan lebih jelas dan dapat menemukan solusi yang konkret, demikian menurut Hilmar. (Johanna Poerba) Dalam acara Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015 yang diadakan di Auditorium Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia (15/10/2015), Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan memaparkan materi berjudul “Negara, Seksualitas dan Pembajakan Narasi Ibu”. Adapun tema besar yang diangkat dalam seminar yang diadakan oleh Forum Kajian Antropologi Indonesia ini adalah “Narkoba, Seksualitas dan Politik”. Dewi menyoroti keterkaitan antara teori Michel Foucault mengenai biopower, biopolitics dengan konsep Narasi Agung Ibu. Michel Foucault, Bapak teori kritis, tidak membahas secara mendalam mengenai biopolitik. Hal itu dibahas dengan lebih mendalam oleh Jean Francois Bayart. Namun yang perlu diperhatikan dari penjelasan Foucault mengenai biopolitik adalah bagaimana biopolitik kemudian menggunakan tubuh sebagai instrumen kekuasaan. Tubuh di sini dilihat sebagai instrumen kekuasaan dan bahkan sebagai sebuah mekanisme disiplin dari suatu negara. Contoh nyata dalam praktik biopolitik adalah bagaimana Presiden Rusia, Vladimir Putin merayu perempuan-perempuan Rusia untuk memiliki lebih banyak anak. Lebih lanjut Dewi mengungkapkan Jean Francois Bayart mengembangkan teori Foucault dan mengeluarkan teori tentang politik perut. Ia menyatakan bahwa kunci dari bagaimana mengontrol sebuah negara adalah dengan mengontrol perempuan atau lebih tepatnya: rahim perempuan yang dipandang sebagai metafora perut. Apa yang terjadi di Rusia, terjadi pula di Indonesia. Rahim perempuan difitnah demi kepentingan dan kebijakan negara. Gerwani, sebagai contoh, lewat fitnah seksual disingkirkan oleh negara karena sifat organisasinya yang politis dan karenanya tidak sesuai dengan konsep perempuan pada masa Orde Baru (pendamping dan asisten bagi laki-laki, pengurus rumah tangga atau urusan domestik, dan sebagainya). Dewi menjelaskan bahwa konsep perempuan pada masa Orde Baru merupakan contoh dari bagaimana negara mengkonstruksikan apa yang disebut dengan narasi agung tentang ibu. Hampir setiap negara memiliki narasi agung ibu masing-masing dan sesungguhnya konsep-konsep ini berbahaya. Freud, contohnya, merumuskan definisi Ibu yang menurutnya istilah ibu hanya diperuntukkan bagi perempuan yang memiliki rahim, memiliki tugas prokreasi dan memiliki fungsi pengasuhan. Dalam konsep Ibu yang dirumuskan Freud ini, Ibu mengalami kastrasi berkali-kali. Nama, ego dan seksualitas perempuan disunat oleh konsep-konsep narasi agung ibu semacam ini. Pada masa ini, narasi agung ibu tidak lagi dianggap layak oleh negara-negara maju karena tidak sesuai dengan fakta sosial. Pada faktanya konsep pengibuan semakin beragam dengan adanya peran single mother, single father, ataupun teman-teman LGBT dengan konsep pengibuan tersendiri. Ketika seorang perempuan memasuki usia lanjut pun, peran ibu yang tadinya ia jalankan dapat diambil alih oleh anak ataupun orang-orang di sekelilingnya. Bahkan dalam prosesnya, konsep ibu tidak lagi terbatas dalam hubungan personal (individu dengan individu) tetapi juga dalam hubungan yang lebih luas yaitu negara dengan warga negaranya. Dewi menutup paparannya dengan penyataan bahwa kenyataan sosial ini menunjukkan bahwa narasi agung ibu yang kaku dan mendiskreditkan tubuh serta peran perempuan sudah tidak sesuai lagi dan tidak layak untuk terus dipaksakan oleh negara. (Johanna Poerba) Manneke Budiman, Ph.D., Dewan Redaksi Jurnal Perempuan dalam acara diskusi “Citra Dharma Wanita dalam Konstruksi Sosial” di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Selasa (06/10/2015), memaparkan materi mengenai Dharma Wanita dan warisannya dalam seni pasca Orba. Sebelum memulai materinya Manneke menyampaikan bahwa kosep wani ditata telah mengalami rezimentasi secara masif, negara telah mengintervensi perempuan mulai dari perihal moral hingga sosial. Ia ingin meluruskan bahwa wani ditata bukanlah karena ketiadaan pilihan namun merupakan simbol keberanian karena mereka mampu masuk dalam situasi sangat keras dengan segala bentuk keharusaan dan ketaatan yang mereka jalankan. Pengalaman subjektif orang-orang tersebut tentunya tidak didapatkan oleh mereka yang di luar, yaitu laki-laki. Setelah menginterpretasi ulang makna wani ditata, Manneke Budiman mulai menjelaskan Dharma Wanita dalam pendekatan struktural, subjektif, historis. Dalam pendekatan struktural Manneke membedah penelitian Julia Suryakusuma bahwa perempuan sebagai istri di rumah adalah sebuah bentuk pengendalian negara atas warganya. Hal tersebut adalah sebuah bentuk objektifikasi perempuan, penghilangan subjek seseorang. Kemudian objek tersebut diberikan label yang ambigu yaitu perempuan sebagai penyangga negara. Struktur Dharma Wanita sendiri sama atau duplikasi dari struktur negara, bahkan seperti struktur komando militer dimana hanya ada kepatuhan di dalamnya. Kemudian selanjutnya Manneke melakukan analisa pendekatan subjektif dengan membedah penelitian yang telah dilakukan oleh Buchori & Soenarto. Dalam pendekatan subjektif bisa ditemukan bahwa kontrol negara pada perempuan untuk dijadikan alat tidak akan bisa berhasil 100 persen karena masih ada dimensi subjektif. Dimensi subjektif yang dimaksud ialah tersedianya ruang bagi anggota Dharma Wanita untuk belajar berorganisasi, menambah keterampilan dan pengetahuan mengelola koperasi dan memberantas buta huruf. Terakhir adalah pendekatan historis yang membedah penelitian Suryochondro (2000) dan Rusiyati (1990). Manneke mengatakan bahwa pada tahun 1928 dimana kongres perempuan pertama diselenggarakan, perempuan memiliki misi tidak hanya emansipasi namun juga membebaskan semua dari jeratan kolonialisme. Hal ini menurut Manneke bentuk peran ganda perempuan, karena pada saat yang sama perempuan harus memperjuangkan dirinya dan negaranya. “Bagian mana yang harus didahulukan? ketika membebaskan kaumnya mereka dianggap egois dan tidak nasionalis. Ketika memperjuangkan negara ternyata negara tidak berpihak pada perempuan”, papar Manneke. Setelah menganalisis Dharma Wanita dalam tiga pendekatan di atas, Manneke menjelaskan bagaimana warisan seni dan sastra yang ditinggalkan Orba. “Seni dan sastra perempuan zaman Orba didominasi oleh romantika dan domestisitas” Manneke menjelaskan. Manneke menerangkan bahwa pasca Orba eksplorasi atas tubuh dan seksualitas dalam seni rupa, visual, dan sastra secara ambivalen berbenturan dengan dosa dan norma. Meskipun ekspresi tersebut mulai banyak muncul, namun perempuan masih dihantui oleh dogma dosa dan stigma moral baik-buruk. (Andi Misbahul Pratiwi) Julia Suryakusuma, seorang aktivis perempuan dan penulis buku Sex, Power, Nations yang menjadi bacaan wajib bagi peminat studi gender di Asia Tenggara, berbicara mengenai konstruksi sosial perempuan pada acara diskusi “Citra Dharma Wanita dalam Konstruksi Sosial” di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Selasa (06/10/2015). Diskusi ini merupakan rangkaian acara Wani Ditata Project , proyek seni perupa perempuan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dengan kurator Angga Wijaya. Julia Suryakusuma membuka pembicaraannya dengan mengungkapkan bahwa Ibuisme negara adalah perkawinan antara feodalisme dan kapitalisme. Julia melanjutkan dengan mangatakan bahwa Ibuisme negara terjadi karena negara mengkonstruksikan perempuan sebagai pelaku pekerjaan domestik sehingga perempuan pada saat itu menjadi angkatan kerja kapitalisme yang tidak dibayar. Lebih lanjut, Julia memaparkan bahwa perempuan yang merupakan separuh dari warga negara juga tidak dimasukkan dalam analisis politik sehingga negara bisa mengontrol masyarakat melalui kontrolnya terhadap perempuan. Gerwani misalnya dikonstruksikan sebagai perempuan jalang yang menyilet-nyilet kemaluan para jenderal. Kemudian Dharma Wanita organisasi perempuan yang menurut Julia adalah replika negara, karena hierarkinya mengikuti struktur negara. Istri menteri akan menjadi ketua Dharma Wanita dalam level menteri, begitu seterusnya hingga level desa. Ini menunjukkan bahwa posisi perempuan bukan karena prestasinya tapi karena posisi penting suaminya dalam ranah politik. Hal lain yang menurut Julia sangat menekan perempuan adalah Panca Dharma Wanita pada zaman Orba yang berisi butir-butir pokok untuk menjadi perempuan ideal. Lebih jauh lagi Julia mengungkapkan bahwa pada zaman Orba karier suami ditentukan oleh sejauh mana istrinya aktif dan turut serta dalam Dharma Wanita, sehingga efek samping yang muncul adalah suami akan memaksa istri untuk berkiprah di organisasi tersebut, pada titik inilah perempuan memiliki peran ganda tanpa kontribusi laki-laki di ranah domestik. Meskipun Orde Baru sudah berakhir namun menurut Julia konstruksi sosial terhadap perempuan masih tetap terjadi, hal ini disebabkan karena ideologi dan kultur tersebut masih tertanam di dalam alam bawah sadar kita. Ia mengilustrasikan bahwa perbedaan yang mendasar dari perubahan zaman Orde Baru ke zaman Reformasi adalah seperti sebuah segitiga, jika pada zaman Orba segitiga tersebut berbentuk hierarki dan kita tahu bahwa perempuan berada pada tingakatan paling bawah, namun sekarang segitiga tersebut menjadi bentuk segitiga sama sisi. Segitiga sama sisi yang dimaksud Julia adalah kalangan prodemokrasi, anti demokrasi, dan kekuatan pasar ada di ketiga sudut tersebut, kemudian di tengahnya adalah negara. Ilustrasi ini menandakan bahwa negara sedang ditarik oleh ketiga sisi tersebut. Marginalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi karena sistem desentralisasi yang pada akhirnya mengukuhkan devolusi kekuatan politik yang tersebar. “Dahulu rajanya hanya satu, sekarang setiap daerah punya rajanya masing-masing” papar Julia. Kontrol terhadap perempuan semakin beragam bentuk dan melahirkan Perda-Perda diskriminatif yang kontradiktif dengan UU dan Konstitusi. “Konstruksi sosial masih sangat signifikan”, ungkap Julia Suryakusuma sebagai penutup materinya. (Andi Misbahul Pratiwi) Wani Ditata Project menampilkan berbagai medium karya seni, seperti, video, foto, objek temuan, dan instalasi yang merupakan proyek seni perupa perempuan Dewan Kesenian Jakarta. Wani Ditata Project melibatkan 8 orang perempuan seniman dan berlangsung dari 4 Oktober hingga 19 Oktober 2015 di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mengutip dari pengantar yang ditulis Kurator pameran ini, Angga Wijaya, bahwa Wani Ditata Project merupakan upaya pembacaan ulang sejarah dalam birokrasi politik yang dibuat oleh negara dalam perspektif kebudayaan tentang bagaimana konstruksi wanita dalam kepentingan politik. Praktik kerja proyek seni ini melalui dua jenis penelitian, yakni melalui arsip-arsip tentang Dharma Wanita di masa Orba dan observasi langsung terhadap organisasi Dharma Wanita Persatuan saat ini. Proyek seni ini menampilkan delapan karya perupa perempuan yang sangat beragam. Aprilia Apsari menggambarkan betapa sulitnya membuat sanggul yang merupakan ciri identik Dharma Wanita dan disajikan dalam sebuah video dengan judul “Diumbul No”. Julia Sarisetiati menyuguhkan video yang berjudul “Wanita Berkepribadian Unggul”. Kemudian Keke Tumbuan menampilkan video instalasi “Poco-Poco dan Bernyanyi Bersama Selain Menyenangkan Juga Bisa Mencegah Alzheimer”. Marisha Soekarna menampilkan karya yang berjudul “Perempuan yang Harus”, karya tersebut menggambarkan beban yang harus dipikul perempuan semenjak kakinya kecil hingga besar, semenjak usia anak hingga beranak, dari super daughter, super women, super wife, super social, super mom sampai pada akhirnya menjadi super tired. Otty Widasari menampilkan lukisan akrilik di atas kertas dan video arsip yang ia beri judul “Wanita dalam Pembangunan”. Kemudian Tita Salina mempersembahkan hasil temuannya dalam pameran ini, yaitu minyak wangi dengan 5 jenis aroma. Tita memberikan judul temuannya “Smells Like Tien’s Spirit”. Yaya Sung menampilkan karyanya melalui medium fotografi yang ia beri judul “Seratan Cerita”, salah satu karyanya ialah foto kain bedong, kain yang digunakan untuk membalut bayi. Kemudian karya menarik lainnya datang dari Kartika Jahja yang berjudul “Titik Titik Titiek”. Kartika mengambil konsep ruang tidur dimana ada banyak bantal bertuliskan nama perempuan yang seiring berjalannya waktu nama perempuan di bantal tersebut luntur, terganti dan semakin hilang. Perubahan nama tersebut ditunjukkan secara jelas oleh Kartika, mulai dari Nn. Titiek Soenardi, Ny. Titiek Bachtiar hingga menjadi Ny. Agoes Bachtiar. Menjadi sebuah ironi karena identitas asal perempuan luntur setelah menikah sedangkan di sisi lain nama suami tidak berubah dan relatif tetap. Selain acara pameran seni, Wani Ditata Project juga menggelar diskusi publik pada Selasa (06/10/2015) dengan tema “Citra Dharma Wanita dalam Konstruksi Sosial” di lokasi yang sama. Diskusi ini merupakan rangkaian acara Wani Ditata Project , proyek seni perupa perempuan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dengan kurator Angga Wijaya. Acara diskusi ini menghadirkan Julia Suryakusuma dan Manneke Budiman, Ph.D., sebagai pembicara dengan moderator Maulida Raviola dan dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai kalangan, seniman, akademisi, LSM, hingga media. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |