
Sebelum acara diskusi dimulai empat orang intel mendatangi tempat kegiatan dan mengajukan sejumlah pertanyaan terkait acara diskusi dan peluncuran novel. Gadis Arivia, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan menjelaskan dengan sangat tenang kepada keempat lelaki tersebut bahwa kegiatan yang akan diselenggarakan pada siang hari itu merupakan acara kumpul dan makan bersama yang sangat dimungkinkan terjadi diskusi dan pembicaraan dan tidak terkait dengan sesi acara dalam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang sebelumnya dilarang. Lalu Nursyahbani Katjasungkana, koordinator International People Tribunal (IPT) 1965 memberikan kartu nama dan nomor teleponnya. Para intel tersebut kemudian mengatakan bahwa mereka perlu mengklarifikasi kegiatan peluncuran buku tersebut lalu mereka pun meminta maaf karena telah mengganggu dan kemudian meninggalkan tempat kegiatan.

Sekitar 15 menit setelah acara dimulai, polisi kembali mendatangi tempat kegiatan, kali ini dalam jumlah yang lebih banyak. Negosiasi pun kembali terjadi antara Gadis Arivia, Nursyahbani Katjasungkana dan Todung Mulya Lubis—pengacara senior sekaligus aktivis yang datang ke diskusi buku dan mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut—dengan aparat polisi. Mereka bertiga berkukuh bahwa polisi tidak mempunyai hak dan dasar hukum untuk membubarkan kegiatan tersebut. Maka sepanjang acara polisi berada di lokasi dan terus mengawasi serta masuk ke dalam ruangan. Tak hanya itu, polisi juga melakukan intimidasi dengan menanyakan izin usaha Warung Nuri, yang dikenal dengan nama Nuri Nacho’s Mama tersebut, kepada pemiliknya.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Nursyahbani Katjasungkana yang membahas tentang Pengadilan Rakyat Internasional (International People Tribunal) tentang peristiwa 1965. Nur menjelaskan tentang latar belakang dan pentingnya penyelenggaraan IPT 1965. Sejumlah pertanyaan juga dilontarkan peserta. Usai tanya jawab, acara dilanjutkan dengan penandatanganan novel oleh Saskia dan bincang-bincang. Para peserta baik dari Indonesia maupun luar negeri tak ingin kehilangan momen dengan meminta Saskia membubuhkan tanda tangannya dan berfoto bersama.
Acara siang itu juga diikuti dengan pameran foto para perempuan penyintas 1965 oleh AJAR (Asia Justice and Rights) yang juga batal tampil dalam ajang UWRF. Sejumlah aktivis perempuan juga tampak hadir dalam acara tersebut. Bahkan ada yang khusus datang untuk mengikuti peluncuran dan diskusi buku ini sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap pelarangan yang dilakukan polisi, seperti misalnya Sita Aripurnami dan Edriana Noerdin dari Women Research Institute (WRI). Tak ketinggalan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dari Bali dan kota lain juga ikut bergabung termasuk juga sejumlah figur publik. Seperti diketahui, sedianya peluncuran dan diskusi The Crocodile Hole menjadi salah satu sesi dalam ajang Ubud Writers and Readers Festival, namun kemudian dibatalkan karena panitia dilarang menampilkan sesi acara yang berkaitan dengan peristiwa 1965 oleh polisi. (Anita Dhewy)