Guna mengisi kekosongan narasi perempuan dalam diskursus sejarah seni rupa Indonesia, Cemara 6 Galeri-Museum bersama SEA Junction menyelenggarakan Pameran Tunggal Seruni Bodjawati dan Peluncuran Buku Esthi Susanti Hudiono yang bertempat di Cemara 6 Galeri-Museum. Pembukaan acara yang dilaksanakan pada 21 Agustus 2019, dimulai dengan sambutan dari Inda C. Noerhadi (Direktur Cemara 6 Galeri-Museum), Dr. Rosalia Sciortino (Pendiri dan Direktur SEA Junction), dan Kamala Chandrakirana (aktivis hak asasi perempuan). Setelah itu acara dilanjutkan dengan pembubuhan tanda tangan di poster acara sebagai bentuk peresmian pameran secara simbolis. Dialog intens antara Esthi Susanti Hudiono (penulis dan aktivis intelektual) dengan Seruni Bodjawati (pelukis) melahirkan kolaborasi yang apik, LITERASI RUPA. “Buku Esthi yang menitikberatkan pada kemerdekaan-aktualisasi diri sebagai perempuan untuk menjadi diri yang seutuhnya telah menginspirasi Seruni untuk memvisualisasikan para perempuan pemimpin dalam wujud lukisan yang identik dengan guratan, garis, serta atribut-atribut simbolis,” ujar Inda. “Ide Ibu Esthi mengenai pameran tentang tokoh-tokoh perempuan Indonesia langsung saya sambut dengan semangat,” ungkap Seruni. Karya lukisan Seruni yang dipamerkan terdiri dari 29 tokoh sejarah perempuan lintas zaman, yang hidup pada tahun 833 sampai 2019, yang dikategorikan dalam 9 zaman (Prakolonial, VOC, Hindia Belanda, Jepang, Masa Perang Kemerdekaan, Liberal, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan Reformasi). Kesemua tokoh ini dilukis Seruni Bodjawati dalam semangat Menghidupkan yang Terlupakan. Beberapa tokoh yang dilukisnya antara lain Martha Christina Tiahahu (remaja putri yang bersama ayahnya memilih perang melawan kolonial) dan Marsinah (perempuan buruh pabrik yang berjuang memperbaiki nasib buruh perempuan, yang juga menjadi simbol perjuangan buruh perempuan di Indonesia). Buku Perempuan-Perempuan Menggugat, Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonesia, Esthi menulisnya melalui studi literatur dan dialog dengan mereka yang paham tentang tokoh perempuan Indonesia sejak Oktober 2017 lalu. Buku ini mengangkat semangat perjuangan perempuan-perempuan lintas zaman dalam melawan penindasan dan ketidakadilan yang ada di keluarga, masyarakat, dan negara. Melalui studinya tersebut, Esthi pun menemukan banyak hal-hal reflektif, salah satunya adalah bahwa feminisme justru ada di tatanan lama Nusantara. Lia menambahkan, “Ada risiko perempuan ‘dihilangkan’ dari peradaban sosial, dan oleh karenanya lebih penting lagi mempresentasikan para tokoh perempuan dan kiprahnya di ruang publik (di samping ruang domestik) dengan media visual”. Menurutnya, “Perempuan-Perempuan Menggugat” adalah legitimasi dan proklamasi untuk para tokoh perempuan masa lalu. Lebih dari itu, adalah penuntutan masa depan yang adil dan setara. Melalui LITERASI RUPA, semangat feminisme diharapkan masih terus bergulir. Seiring perkembangan dan kemajuan zaman, perempuan Indonesia semakin disebut namanya dan menunjukkan daya cipta kreativitasnya serta mendapat ruang yang patut diperhitungkan. Diharapkan pula acara ini menjadi pengenalan diri sebagai bangsa (khususnya kepada generasi muda) agar bisa membangun diri dan masa depan. Selama masa pameran (21–31 Agustus 2019) ini ada lima kegiatan yang akan berlangsung, yang terdiri dari tiga diskusi interaktif, bedah buku, serta pemutaran film dan diskusi tokoh yang difilmkan. (Shera Ferrawati) Sebagai bentuk dukungan untuk pembahasan lebih lanjut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Panja dan Pemerintah, Jaringan Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) pada Rabu (07/08) mengadakan acara bertema “Fakta Kekerasan Seksual adalah Urgensi Disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” di Gedung LBH Indonesia. Acara ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Umi Lasminah (Warta Feminis), Dewi Astuti (Rumah Faye), Oki Wiratama (LBH Jakarta), dan perwakilan dari LBH APIK. Sesuai dengan temanya, acara ini membahas urgensi disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didukung fakta-fakta lapangan dan kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan, khususnya lansia. Seperti yang diungkap Umi Lasminah, pihaknya menerima banyak laporan kasus kekerasan seksual yang dialami lansia. “Juli kemarin, di Aceh ada seorang nenek berumur 74 tahun yang diperkosa,” ungkapnya. Ia menambahkan, “Parahnya, si pelaku menyatakan akan bertanggung jawab bila korban hamil”. Ia menilai hal ini tentu suatu penghinaan yang luar biasa pada perempuan lansia, karena mereka yang telah menopause tentu sedikit kemungkinan akan hamil. Kasus kekerasan seksual yang dialami lansia seperti ini jelas menjadi fakta yang harus menjadi pertimbang serius. Kasus ini juga mematahkan stigma yang melekat selama ini bahwa korban kekerasan seksual hanyalah mereka yang masih muda dan kekerasan seksual terjadi diakibatkan perilaku atau pakaian seseorang. Dewi Astuti kemudian menambahkan fakta lainnya. “Dari kasus-kasus yang dilaporkan dan diterima oleh Rumah Faye, 80% adalah kasus kekerasan seksual,” ujarnya. Ia menggarisbawahi bahwa perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual karena perempuan dianggap lemah, terlebih mereka yang lansia. Hal ini juga tentu berkaitan dengan relasi kuasa. Contoh lain yang ia paparkan adalah relasi antara orangtua (ayah) dan anak. Rumah Faye pernah menangani kasus anak perempuan berumur 12 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual oleh sang ayah kandung dan ayah angkat. Dengan adanya relasi kuasa ini, mereka merasa memiliki hak dan kuasa lebih untuk melakukan kekerasan seksual kepada sang anak, sebaliknya sang anak tak kuasa melawan relasi kuasa tersebut. Di lain sisi, Oki Wiratama menjelaskan kasus yang pernah ditanganinya, yaitu kasus lansia yang diperkosa bahkan hingga meninggal. Kilas balik ke belakang berdasarkan kasus-kasus yang ditanganinya itu, ia menekankan bahwa sudah saatnya kita harus menghilangkan stigma kepada korban, berhenti melakukan viktimisasi kepada korban. “Hilangkan stereotipe ‘Oh, dianya saja kali yang centil’, ‘Pakai baju seksi sih’, ‘Kayaknya dia yang kegatelan’, dan lainnya”. Hal ini membuat beban yang ditanggung korban semakin berat, dan karena sudah terbukti pula kasus kekerasan seksual tidak hanya dialami para perempuan muda, melainkan juga menimpa mereka yang lansia. Dengan adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, diharapkan pula akan mengatur beban pembuktian yang tidak lagi diberatkan kepada korban. Oki Wiratama menuturkan, “Kalau di dalam KUHAP, minimal dibutuhkan dua alat bukti yang sah. Ini sudah pasti memberatkan. Lain halnya dengan di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengatur cukup satu saja alat bukti yang sah”. Kemudian, ia menyayangkan belum ada secara menyeluruhnya struktur Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di setiap Polsek. Hal ini tentu akan menyulitkan dan meribetkan korban karena harus melapor ke Polda. Selain itu, hal lain yang meresahkan adalah masih banyaknya penyidik yang tidak berperspektif pada korban, mereka justru sering kali menyudutkan korban. Perwakilan dari LBH APIK pun sependapat dengan paparan Oki bahwa perspektif penegak hukum harus lebih mengarah pada korban. Ia menambahkan, “Terkadang laporan mengenai kekerasan seksual yang dialami lansia ini tidak percaya, mereka memandangnya sebelah mata”. Sulitnya pembuktian secara non-fisik pun menjadi hambatan tersendiri bagi korban. Padahal, kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik. Dengan terus meningkatnya kasus kekerasan seksual ini, bahkan menimpa pada lansia, tentu mengindikasikan keurgensian disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar tidak muncul perempuan korban lainnya. Tapi, perlu diperhatikan pula dan dikaji secara komprehensif setiap pasal-pasalnya agar tidak menjadi pasal karet, bahkan sampai merugikan korban. Supaya dengan begitu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu mengakomodasi kebutuhan para korban. (Shera Ferrawati)
Jumat (01/08), MAMPU mengadakan diskusi berjudul âThe Individual Deprivation Measureâ atau IDM. Diskusi yang menghadirkan Prof. Sharon Bessell (Ketua Tim IDM) dan Dr. Angie Bexley dari Crawford School of Public Policy, Australian National University sebagai narasumber ini bisa dibilang merupakan kegiatan pemaparan hasil penelitian dari Tim IDM mengenai pengukuran kemiskinan suatu negara. Sebanyak 2.883 responden dari enam negara (salah satunya Indonesia) menjadi objek kajian dalam penelitian ini.
Prof. Sharon Bessell memulai paparannya dengan menyampaikan aspek kebaruan dari penelitian ini. Menurutnya, ukuran utama tingkat kemiskinan yang dipakai oleh suatu negara sekarang ini tidak lengkap dan tidak mengenal gender. Padahal, penting untuk mengkaji bagaimana kemiskinan itu membentuk, membatasi, dan seringkali menghancurkan kehidupan bukan hanya laki-laki, melainkan juga perempuan secara berbeda. Lebih jauh, aspek terkait dimensi gender, usia, disabilitas, dan suku memengaruhi kemiskinan secara individu. IDM menawarkan alternatif guna memperkaya pengukuran tingkat kemiskinan yang dipakai suatu negara. Sharon Bessell menekankan bahwa IDM bersifat individual, sensitif gender, multidimensi, interseksional, dan skalarâberbeda dengan pengukuran kemiskinan yang sudah ada sebelumnya. Kemudian, Angie Bexley menambahkan, âIDM melihat lebih detail dari berbagai kelompok yang tertinggal dalam pembangunanâ. Maka dari itu, unit analisis IDM adalah individu, bukan rumah tangga. IDM juga mempertimbangkan 15 dimensi kehidupan masing-masing individu yang saling berhubungan sebagai alat ukur. Kelima belas dimensi tersebut adalah makanan, air, tempat bernaung, kesehatan, pendidikan, energi atau bahan bakar, sanitasi, relasi sosial, pakaian, kekerasan, keluarga berencana, lingkungan, suara atau pendapat, penggunaan waktu, dan pekerjaan. Menurutnya, kelima belas dimensi tersebut mampu mengukur perbedaan pengalaman kemiskinan untuk laki-laki dan perempuan. â IDM tidak hanya mengukur permukaan, tetapi juga mengukur secara mendalam. Seperti yang diungkapkan Prof. Sharon Bessell, âDalam aspek pekerjaan, kami tidak hanya mengukur status pekerjaannya, melainkan juga mengukur lama waktu dan kondisi kerja, serta perlakuan yang diterima ketika sedang bekerja. Dalam aspek kesehatan, tidak hanya mengukur akses ke layanan kesehatan, kami juga mengukur kualitas dan perlakuan yang diterima ketika proses pelayanan kesehatan tersebutâ. Sebagai alat ukur kemiskinan dengan perspektif dan pandangan yang baru, IDM diharapkan mampu mengatasi kemiskinan dengan lebih efektif, dan mampu melihat faktor mana yang menyebabkan seseorang miskin dan sejauh mana kemiskinannya. Bahkan, perbedaan antara perempuan dan laki-laki pada setiap aspek kehidupan bisa digunakan untuk menghasilkan alat ukur persamaan gender yang baru dan relevan untuk masyarakat miskin. (Shera Ferrawati)
Dalam rangka Hari Keadilan Internasional, pada Kamis (25/07) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil menyelenggarakan diskusi publik bertema âPerempuan dan Akses Keadilanâ di Sari Pasific Jakarta. Pada awal diskusi, Azriana Manalu selaku moderator menyampaikan bahwa akses keadilan perempuan terhadap hukum masih belum maksimal. Hal ini dilihat karena hingga kini (setelah 21 tahun Reformasi), salah satu hambatan utama yang dihadapi perempuan adalah supremasi hukum pada keadilan dan perlindungan hak perempuan. Komnas Perempuan mencatat masih banyak persoalan-persoalan penting yang menjadi hambatan bagi perempuan dalam mendapatkan keadilan, seperti impunitas, tidak dijalankannya putusan pengadilan, dan kriminalisasi undang-undang yang diskriminatif dan multitafsir.
â Diskusi dimulai dengan penyampaian testimoni oleh kaum ibu dari Gereja HKBP Filadelfia Bekasi. âSudah sejak 19 tahun lalu kami beribadah secara berpindah-pindah,â ungkap Erry Sinaga. Meskipun semua berkas dan persyaratan secara hukum pendirian rumah ibadah telah dilengkapi dan telah pula diperoleh izin secara legal, penolakan justru tetap datang dari oknum-oknum setempat dimana gereja akan didirikan. Ketika akan beribadah di tempat tersebut, para jemaat mendapatkan perlakuan yang tidak patut, antara lain dilempari telur busuk dan air kencing. Namun, dengan lantang Erry Sinaga menuturkan bahwa hal ini tidak menyurutkan semangat mereka yang sebagian besarnya perempuan dalam memperjuangkan hak mendirikan rumah ibadah. Setiap dua minggu sekali mereka beribadah di depan Istana Merdeka, Jakarta, sebagai bentuk protes dari tidak dijalankannya putusan pengadilan oleh negara yang berdampak pada pelanggaran hak kebebasan beragama. Hingga kini, belum ada kejelasan respons dari negara. âBesar harapan kami untuk negara bisa membuka segel Gereja HKBP Filadelfia, supaya kami bisa beribadah dengan damai dan aman,â tutur Erry Sinaga, seorang jemaat Gereja HKBP Filadelfia. Paparan selanjutnya dikemukakan Nani Nurani, sang survivor 65. Ia adalah seorang penyanyi istana yang dituduh simpatisan PKI. Ia menceritakan bahwa pada 1968 (ketika usianya masih 27 tahun), ia dimasukkan ke penjara Bukit Duri tanpa adanya proses hukum terlebih dulu, dan baru dikeluarkan pada 1975 dengan alasan keadaan kesehatan. Pada saat keluar dari penjara bukan berarti bebas lepas begitu saja dari bayang-bayang PKI, karena ia masih harus wajib lapor setiap bulan ke Kelurahan Rawa Badak Utara dan setiap 3 bulan sekali ke Kecamatan Koja, dan puncaknya ia tidak mendapatkan KTP seumur hidup. Kemudian pada 2003, ia berupaya âmelawanâ dengan mengajukan kasus ini ke PTUN Jakarta. âPutusannya, saya bukan anggota organisasi terlarang, tidak terlibat G30S, dan tidak pernah dinyatakan bersalah karena tidak pernah diadili,â, tuturnya. Kemudian, pada 2011 Nani mengajukan rehabilitasi nama dan ganti rugi. Namun, hingga kini belum ada kejelasan status dan perkembangan kasusnya. âJangan sampai kasus ini (Peristiwa 1965) ditutup nantinya karena kami (para korban) telah meninggal,â ujar Nani Nurani. Kemudian, diskusi dilanjutkan dengan mendengarkan pendapat dari para narasumber, yaitu Nirwana (Anggota Pokja Perempuan dan Anak, Mahkamah Agung), AKBP Ayi Supardan, Sri Bhayangkari (Penyidik Unit PPA Bareskrim POLRI), Latifah Setyawati (Asisten Hakim Agung pada Kamar Perdata Agama, Mahkamah Agung), dan Sri Nurherawati (Komisioner Komnas Perempuan). Mereka sepakat bahwa langkah peradilan dalam meningkatkan akar keadilan terhadap perempuan perlu ditingkatkan. Perlu ada sinergi antara Mahkamah Agung, POLRI, lembaga lainnya, dan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut. Pada bagian kesimpulan dan penutup, Azriana Manalu mengemukakan bahwa kasus-kasus tersebut menjadi potret masih adanya pengabaian pengalaman dan suara perempuan ketika berhadapan dengan hukum, yang terjadi dari hulu hingga hilir. Mulai dari pra adjudikasi (pemeriksaan laporan kasus sebelum persidangan), adjudikasi (persidangan), hingga pos adjudikasi (putusan). Komnas Perempuan seringkali mendapatkan laporan dan pengaduan mengenai pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan hakim, jaksa, atau penasehat hukum terkadang menyudutkan perempuan, bahkan tak jarang perempuan korban justru berujung menjadi terpidana. Karena itu, Komnas Perempuan menilai penting untuk melakukan pendampingan kepada perempuan yang menghadapi proses hukum, dan mensosialisasikan tahapan-tahapan yang bisa ditempuh perempuan dalam memperoleh keadilan hukum. Selain itu, undang-undang yang sudah ada pun perlu dikaji kembali supaya mengarah pada menjawab kebutuhan korban. Dan hal ini tentunya membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak dan organisasi masyarakat sipil. (Shera Ferrawati) Empat perupa menggelar pameran bertajuk Kintsugi di Galeri Tugu Kunstkring Paleis, Menteng, Jakarta. Pameran dibuka pada Rabu (17/7) dan akan berlangsung hingga 15 Agustus mendatang. Pameran ini merupakan eksplorasi teknis dan estetis dari keempat perupa dengan menggali pengalaman personal mereka hingga memunculkan potensi-potensi yang mereka miliki. Keempat ilustrator tersebut adalah Elle Dhita, Dinan Hadyan, Jessie Tjoe, dan Sol Cai. Mereka berempat dipertemukan lewat program inkubasi ilustrasi Mixed Feelings 04 yang diselenggarakan oleh Atreyu Moniaga Project, sebuah kolektif seniman yang mengelola dan mendidik seniman muda sejak tahun 2013. Kintsugi merupakan proses menyatukan kembali keramik-keramik yang pecah dengan menggunakan pernis emas sehingga meski bekas retakannya tetap terlihat namun memberi kesan keindahan. Filosofi ini yang mendasari proses kreatif keempat perupa. Keterlibatan mereka dalam program Mixed Feelings 04 menjadi sebuah proses pembaruan, bahwa mereka telah melalui sejumlah proses yang tidak mengenakkan sebagai seorang ilustrator tetapi hal tersebut justru membuat mereka menjadi lebih baik. Karya-karya yang dipamerkan Dinan Hadyan, Sol Cai, Jessie Tjoe dan Elle Dhita terasa sangat personal. Karya-karya mereka bicara tentang kekhawatiran, ketakutan, juga kegelisahan yang mengungkap pergulatan dan pengalaman hidup yang mereka jalani. Karya-karya tersebut merupakan hasil refleksi sekaligus menyuarakan perasaan dan pikiran mereka. Dinan Hadyan yang sebelumnya berkecimpung di dunia fandom k-pop menampilkan karya dengan menggunakan material yang cukup beragam, mulai dari cat air, tinta, kertas kalkir, selotip atau pita perekat transparan dan kertas. Karya-karya yang ia tampilkan merupakan hasil eksplorasi sekaligus respons atas karya-karya yang ia buat sebelumnya. Dinan terbiasa dan terkondisikan menghasilkan karya yang rapi dan tanpa noda. Kali ini dia mempertanyakan dan mendobrak batasan-batasan dalam berkarya dan menghasilkan sepuluh karya yang menampilkan sosok-sosok dengan wajah, tubuh dan bentuk yang tak selalu “mulus”. Meski demikian ciri khas karyanya yang rapi dan halus tetap tampak. Dinan juga melakukan eksplorasi lewat materi yang digunakan. Ia biasa menggunakan cat air untuk pewarnaan dan senang dengan teknik layering (lapisan). Dalam proyek ini Dinan mengawinkan cat air dengan kertas kalkir dan selotip, dua material yang memiliki sifat yang serupa dengan cat air, transparan dan berlapis. Di sini Dinan berupaya untuk menunjukkan keseimbangan teknis dalam karyanya, ada eksplorasi yang dilakukan dengan penggunaan material baru namun tanpa meninggalkan ciri khas yang telah melekat pada karyanya. Yang menarik aspek keseimbangan ini juga muncul pada tokoh dalam lukisannya yang menunjukkan karakter androgini. Sol Cai, seorang ilustrator komersial yang bekerja untuk berbagai proyek game menampilkan karya yang menggambarkan pergulatannya dengan bipolar. Sol Cai biasa bekerja secara digital, namun kali ini dia menggunakan medium tradisional yakni cat air, akrilik, dan cat minyak. Hal ini kemudian membuatnya lebih menyukai medium tradisional. Penggunaan kanvas besar sebagai medium karyanya pada pameran ini menurut Sol Cai membuatnya menemukan kebebasan. Lewat sosok perempuan berambut putih, Sol Cai menggambarkan relasinya dengan bipolar. Karyanya menjadi media untuk berkomunikasi kepada publik tentang bipolar berdasarkan pengalamannya. Sepuluh karya yang ditampilkan dalam pameran ini bertutur mulai dari proses sebelum, saat dan sesudah diagnosis bipolar. Dengan latar lukisan berwarna biru tua, Sol Cai mendeskripsikan suasana kesedihan yang ia rasakan. Gangguan bipolar tipe dua membuatnya menjadi depresif, situasi kelam ini ia munculkan lewat pilihan warna latar lukisan. Selain itu ada pertimbangan estetis juga bahwa biru tua tidak membuat warna lain menjadi mati. Ia sekaligus sebagai penghormatan terhadap orang dengan gangguan bipolar yang kondisinya lebih buruk. Pada lukisan berjudul Obsession, Sol Cai membicarakan obsesinya pada obat. Gangguan bipolar membuatnya harus mengonsumsi obat secara rutin. Dalam lukisan tersebut si tokoh mendekap bunga-bunga opium berwarna merah muda. Warnanya yang lembut mengesankan sesuatu yang tak berbahaya, meski sebenarnya ia bisa membuat ketagihan. Sementara dalam Backbone, tokoh perempuan digambarkan dengan punggung terburai hingga tulang punggungnya yang terbuat dari besi tampak. Namun sebagian serpihan tubuhnya telah menyatu kembali dengan direkatkan oleh tinta emas dan bunga-bunga yang menjadi mahkota di kepalanya tampak bermekaran. Lukisan ini merupakan lukisan kesepuluh yang bertutur tentang kekhawatiran dan ketaknyamanan, namun sang perempuan merasa ia dapat mengatasinya karena memiliki tulang punggung dari besi. Jessie Tjoe yang sebelumnya merupakan seorang desainer grafis biasa membuat karya-karya yang indah dipandang mata. Pada pameran ini ia menampilkan subjek-subjek yang lebih “gelap” atau ganjil. Jessie menggali sisi-sisi rentan dalam dirinya, ketakutan-ketakutan yang selama ini dipendam ia keluarkan lewat sosok-sosok semacam monster dalam karya-karyanya. Lukisannya menjadi semacam potret diri, visualisasi atas emosinya. Pada lukisan berjudul Pampeliska misalnya, Jessie menggambarkan tokohnya seorang perempuan yang membawa beban emosi dalam hidupnya berupa rasa bersalah yang menghantui dalam wujud pertanyaan-pertanyaan seperti apakah dirinya sudah melukai seseorang, menyinggung perasaan seseorang, apakah dirinya sudah berbakti, dan seterusnya. Ia menggambarkannya dengan simbol kepala-kepala yang menggayuti tubuh si perempuan sementara kedua tangannya memegang sebilah pedang. Dalam Isabelle, Jessie menggambarkan sisi diri yang merasa tidak nyaman dan puas dengan bentuk tubuh dan penampilan fisiknya yang disimbolkan dengan sosok Perempuan yang memotong bagian-bagian yang cantik dari seekor burung untuk dijadikan bagian dari tubuhnya. Jessie menggunakan banyak simbol dan terinspirasi oleh karya seni gotik dan eksentrik. Ia memakai gouache dan tinda dalam karyanya. Gouache menjadi pilihan karena menurut Jessie dengan latar belakang studi desain komunikasi visual, ia terbiasa menggunakan cat poster dan gouache memiliki konsistensi yang mirip dengan cat poster sehingga memudahkannya untuk beradaptasi. Sementara penggunaan tinta hitam yang bisa menghasilkan gradasi warna mulai dari hitam, kebiruan, keunguan, juga kekuningan menurut Jessie menjadi hal yang menarik karena hasilnya tak selalu bisa diprediksi. Elle Dhita sebelumnya merupakan seorang seniman digital yang terinspirasi dengan estetika animasi disney dan ilustrasi Jepang pada pameran ini bereksperimen melalui medium tradisional dengan menggunakan cat air. Warna-warna pastel seperti merah muda dan biru mendominasi karya-karyanya. Sepuluh karyanya bertutur tentang pengalaman hidupnya tinggal seorang diri jauh dari keluarga di San Fransisco, Amerika. Hal yang menarik meski bicara tentang tema kesendirian, Elle tak menggunakan warna-warna monokrom dan gelap. Sebaliknya ia memilih warna-warna pastel yang cerah. Selain karena preferensinya pada warna-warna lembut, pilihan warna ini juga menyiratkan bahwa pengalaman kesendirian tak melulu berarti hal yang menyedihkan, tetapi ia bisa menjadi sesuatu yang indah bahkan pengalaman yang menarik. Dalam karyanya Elle menggambarkan tokoh perempuan yang selalu ditemani oleh binatang-binatang dengan tampilan unik dan imajinatif yang merupakan perpaduan dari beberapa jenis binatang. Mereka merepresentasikan sosok-sosok entah teman atau orang asing yang membantunya menghadapi kesulitan. Naga dalam lukisan Elle diwujudkan dalam dua macam bentuk dengan wajah yang bersahabat dan tak menyeramkan. Elle ingin menyampaikan pesan bahwa naga tak selalu punya konotasi negatif bahkan dalam kultur Asia naga berarti makhluk yang membawa peruntungan. Ini berbeda dengan kultur Barat yang menggambarkannya sebagai makhluk yang menyeramkan. (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |