Senin (26/11) bertempat di Ruang Soemadipradja dan Taher, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengadakan acara peluncuran buku Marrying Young in Indonesia. Acara ini mengahadirkan Musdah Mulia (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Afwah Mumtazah (Rektor Institut Studi Islam Fahmina) sebagai pembicara dan Pinky Saptandari (Dosen Antropologi Universitas Airlangga) sebagai moderator. Acara tersebut terlaksana atas kerjasama berbagai pihak diantaranya, Fakultas Hukum Universitas Leiden, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste. Pada acara tersebut, Pinky Saptandari mengungkapkan bahwa pernikahan anak seharusnya menjadi isu yang dibahas oleh anak muda. Menurutnya, pernikahan anak lebih sering disuarakan oleh orang yang sudah tua, sedangkan suara anak muda jarang terdengar pada isu tersebut. Menurut Pinky penting bagi anak muda untuk menyuarakan penolakkan pernikahan anak. “Buku ini menarik karena kita akan menemukan anak muda justru berlomba membahas dan meneliti tentang pernikahan anak, buku ini juga terdiri dari berbagai tulisan terbaik dari yang terbaik yang telah kami pilih melalui proses blind review”, tutur Pinky. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia ini merupakan kumpulan karya ilmiah yang berupaya menghadirkan pembahasan pernikahan anak dengan perspektif yang berkeadilan terhadap hak anak. Sementara itu, Afwah Mumtazah menjelaskan perspektif Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dalam melihat persoalan pernikahan anak. “Pada awal diresmikannya KUPI, kami sepakat bahwa ulama perempuan tidak memiliki posisi strategis dalam mengatur kebijakan, karena setiap ada persoalan terutama di daerah, yang memiliki peran penting adalah ulama laki-laki sedangkan yang perempuan terpinggirkan menjadi pelengkap”, tutur Afwah. Selanjutnya Afwah menekankan bahwa tidak adanya ulama permepuan pada posisi strategis membuat persoalan perempuan yang terjadi di daerah seperti KDRT, migrasi, dan pernikahan anak terus berlanjut. Di awal KUPI terbentuk terdapat tiga fokus utama yaitu menyelesaikan persoalan KDRT, buruh migran, dan pernikahan anak. Hanya saja selama perjalanan KUPI menemukan bahwa pernikahan anak adalah sumber masalah dari KDRT, kehamilan tidak diinginkan, feminisasi buruh migran, dan kemiskinan perempuan. Menurut Afwah, KUPI memiliki posisi yang strategis untuk mengubah tradisi pernikahan anak yang terjadi di daerah-daerah. Oleh karena itu, KUPI terus melatih dan melakukan kaderisasi bagi ulama-ulama perempuan untuk menyuarakan keadilan, kesetaraan, dan paham resiprokal. Kemudian, Mudah Mulia menyatakan bahwa isu pernikahan anak sebenarnya telah tuntas pada tahun 1998. Namun, ia menyayangkan jika sampai hari ini masih banyak yang menyuarakan pernikahan anak. “Jika kita berbicara tentang pernikahan muda, saat ini ada gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (ITP), gerakan tersebut membuat saya bingung karena mengapa untuk menghindari zina seseorang harus menolak pacaran, padahal untuk menolak zina, kehamilan tidak diinginkan kita cukup mengajarkan seorang anak untuk memahami kesehatan reproduksi, moral, dan edukasi seksual agar mereka bertangungjawab”, tutur Musdah. Menurut Musdah dalil agama sering dijadikan alasan untuk melegitimasi pernikahan anak. Oleh karena itu, perlu adanya reinterpretasi ajaran agama agar muatannya bisa menjadi humanis dan relevan untuk kehidupan saat ini. Musdah juga menekankan bahwa melakukan reinterpretasi bukan berarti mengubah ajaran suatu agama, namun mengisi pemahaman pada nilai yang diinterpretasi. Musdah juga menyayangkan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di beberapa daerah cenderung mengajarkan ajaran-ajaran konservatif dengan pemahaman jenis-jenis perbuatan yang haram dan halal, tidak jarang pernikahan anak dianggap sebagai sebuah perbuatan yang halal. Menurut Musdah, ajaran seperti itu yang kemudian membentuk perspektif seorang anak terisi oleh hal yang konservatif. “Pernikahan anak pada dasarnya adalah sebuah tradisi yang sangat tradisional, kemudian dipertahankan dengan alasan-alasan tidak masuk akal, padahal apabila kita kritis, pernikahan anak merupakan kejahatan kemanusiaan, sehingga orang-orang yang kritis harus terus bersuara dan melakukan rekonstruksi budaya”, tutur Musdah. (Iqraa Runi) Kriminologi Universitas Indonesia diskusikan Pemenuhan Hak atas Reparasi Bagi Korban Kejahatan27/11/2018
Rabu (21/11) Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia mengadakan acara seminar nasional dan lokakarya viktimologi “Mendorong Negara Memenuhi Hak atas Reparasi bagi Korban Kejahatan” bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono, Depok. Acara ini dihadiri oleh Azriana Rambe Manalu (Ketua Komnas Perempuan), Muhammad Joni (Tenaga Ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Muhammad Mustofa (Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia), Abdul Haris Semendawai (Ketua Perlindungan Saksi dan Korban), dan Amirudin Al Rahab (Komisioner Komnas HAM). Pada acara tersebut Abdul Haris Semendawai menyampaikan bahwa status korban sering kali dikeluarkan pada hukum pidana, mereka difungsikan sebagai saksi. Padahal menurut Haris korban harus menerima perlakuan yang baik. Apalagi korban dirugikan secara fisik, materi, psikologi dan sosial. Hilangnya perhatian atas korban, membuat disiplin viktimologi memberi perhatian khusus dalam pembahasan hak korban. Menurut Haris selama ini korban tidak jelas definisinya, baik definisi kekerasan yang dialami maupun ukuran kerugian yang dialami. Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan deklarasi yang secara spesifik membahas status korban. “Di PBB korban bukan hanya dimaknai sebagai perorangan tetapi juga kelompok. Korban bukan hanya mendapatkan reparasi tetapi juga hak korban mendapatkan keadilan, informasi dan pelakuan yang manusiawi. Hak korban pelanggaran HAM berat untuk Indonesia diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002. Hak korban pelanggaran HAM berat meliputi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Namun, menurut Haris pada praktiknya kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban membutuhkan prasyarat yang menyulitkan korban mendapatkan haknya” tutur Haris. Sementara itu, Azriana Rambe Manalu menyampaikan persoalan yang dihadapi jika korban adalah perempuan. Menurutnya selama ini masyarakat telah lupa tentang konstruksi sosial, padahal konstruksi sosial yang membentuk posisi perempuan tersubordinasi. Ia menjelaskan bahwa pada kasus kekerasan, perempuan sering kali menjadi korban yang tertindas dua kali lebih parah daripada laki-laki karena adanya stigma tentang perempuan. Fungsi reproduksi yang dilekatkan kepada perempuan membentuk pemahaman bahwa perempuan adalah objek seksual. Azriana menambahkan bahwa perempuan dianggap simbol harga diri suatu kelompok tertentu, sehingga pada saat konflik penaklukan suatu kelompok dapat dilakukan dengan menyerang baik secara fisik maupun seksual perempuan pada kelompok tersebut. “Kekerasan yang diadalami oleh perempuan biasanya meliputi kekerasan, fisik, emosional, dan seksual, kekerasan tersebut terjadi hampir setiap hari dan di manapun baik di ruang publik maupun privat” tutur Azriana. Azriana juga menekankan bahwa peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan kebijakan diskriminatif yang mengatur tubuh perempuan. Lebih jauh, menurut Azriana Indonesia perlu memiliki hukum dan skema pemulihan korban yang sesuai dengan kebutuhan perempuan. “Skema pemulihan harus bersifat komprehensif dan holistik, reparasi korban tidak perlu persetujuan pengadilan, sebab perlu diingat bahwa bagian yang paling kuat dari reparasi adalah tanggungjawab negara untuk memulihkan, sehingga, untuk melakukan reparasi korban sejatinya tidak membutuhkan prasyarat terlebih dahulu”, tutur Azriana. Berbeda dengan Azriana, Muhammad Joni justru banyak bicara menyoal hak anak sebagai korban. Menurut Joni, semua manusia pernah menjalani fase sebagai anak-anak. Dengan begitu, sebenarnya orang dewasa lebih memahami kebutuhan anak-anak. Joni juga mengingatkan bahwa hak atas reparasi korban seharusnya tidak diurus oleh warga negara, melainkan menjadi urusan dan tanggungjawab negara untuk memenuhi hal tersebut. “Ketika berbicara mengenai anak maka berbeda dengan orang dewasa, sebab ada perbedaan kebutuhan dan kemampuan, untuk itu negara perlu mengatur penguatan sistem hukum dan kelembagaan untuk perlindungan yang spesifik untuk anak”, tutur Joni. Sementara itu, Amirudin Al Rahab menekankan pada aspek budgeting. Menurut Amirudin Kementerian Keuangan tidak pernah menganggarkan dana untuk reparasi korban. “Reparasi korban masih menjadi persoalan, karena Undang-Undang tidak secara literal menyebutkan bahwa korban adalah tanggungjawab negara, hanya Undang-Undang terorisme yang menyebutkan bahwa korban adalah sepenuhnya tanggungjawab negara”, tutur Amirudin. Menurut Amirudin adanya ketidakjelasan status korban membuat hak kompensasi, reparasi, dan rehabilitasi digantungkan pada keputusan pengadilan. Kemudian, Muhammad Mustofa selaku penanggap lebih menekankan bahwa perlu adanya perumusan perundang-undangan yang mengatur hak korban secara jelas. Mustofa juga menjelaskan bahwa perlu ada penyebarluasan, sosialisasi, dan mekanisme dalam menuntut hak korban. Hal ini berguna untuk mengupayakan pemahaman korban atas hak yang dimiliki. (Iqraa Runi) Kamis, 22 November 2018, pertemuan ketiga kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) Jurnal Perempuan diselenggarakan di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta Selatan. Pada pertemuan ketiga ini, kelas diampu oleh Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan. Topik yang disampaikan ialah menyoal feminisme dan moral politik. Atnike menjelaskan bahwa tradisi filsafat politik klasik dipenuhi oleh pemikiran laki-laki, sehingga menurutnya pemikiran yang muncul menyoal politik adalah pikiran laki-laki. Ia mengungkapkan bahwa para filsuf yang mayoritas laki-laki membangun tembok ilmu yang berangkat dari konsep manusia homogen dan cenderung melupakan keragaman identitas manusia, khususnya manusia perempuan. “Filsafat politik dikritik oleh feminisme karena dianggap tidak mewakili kepentingan dan suara perempuan”, tutur Atnike. Lebih jauh, ia menyampaikan argumen bahwa politik abai terhadap kepentingan perempuan yang diungkapkan juga oleh Alison Jagar. Atnike menjelaskan bahwa Alison Jagar mengkritik dikotomi dan konstruksi ruang privat dan publik yang kerap memandang rendah kerja-kerja atau aktivitas di ruang privat. Lebih jauh, pemikiran Alison Jagar juga sampai pada pernyataan bahwa politik kerap mengutamakan rasionalitas laki-laki daripada rasionalitas perempuan. Dengan demikian, menurut Atnike, pengalaman perempuan tidak hadir dalam kajian filsafat politik. Lebih jauh, Atnike menjelaskan pandangan dari feminis gelombang pertama yaitu Mary Wollstonecraft. “Mary Wollstonecraft menolak pelabelan perempuan itu emosional dan laki-laki itu rasional, menurut Mary ketidakmampuan perempuan dalam pendidikan dan politik karena tidak ada kesempatan yang untuk perempuan”, jelas Atnike. Mengutip Mary Wollstonecraft, Atnike menjelaskan bahwa perempuan akan memiliki rasionalitas yang sama dengan laki-laki jika perempuan mendapat akses dan kesempatan yang sama. Kesamaan yang dimaksud itu disebut Atnike sebagai sameness. Selain kritik dari feminis gelombang pertama, Atnike juga menyebutkan kritik yang datang dari Simone de Beauvoir, feminis gelombang kedua. “Simone de Beauvoir menganggap bahwa perempuan telah lama dikonstruksikan sebagai yang liyan atau the others, sehingga perempuan perlu menjadi subjek yang utuh agar dapat keluar dari ketertindasan”, jelas Atnike. Menurut Atnike, kritik Simone terhadap dunia patriarki tersebut mengandaikan sesuatu yang lebih dari kesamaan (sameness) karena menghendaki perempuan sebagai subjek yang berkesadaran. Kritik Beauvoir ini kemudian disebut Atnike sebagai kehendak akan kesetaraan (equality), kesetaraan yang dimaksud bahkan dimulai sejak dalam pikiran atau kesadaran. Mewakili periode feminisme gelombang ketiga, Atnike meminjam pemikiran Seyla Benhabib yang juga mengkritik tentang dikotomi publik dan privat. Atnike menjelaskan bahwa Seyla Benhabib justru mendorong publik untuk meredefinisi yang publik dan yang privat tersebut. Atnike mengungkapkan bahwa pada pemikiran feminisme gelombang ketiga sudah tidak terjebak lagi pada dikotomi yang dibuat patriarki tetapi justru hendak meredefinisi ulang pemaknaan atas dikotomi tersebut. “Seyla Benhabib menghendaki ruang publik sebagai arena pertarungan feminis. Artinya ada dekonstruksi terhadap apa yang disebut ruang publik dan rasional. Hal ini mengandaikan difference yaitu mengakui dan menghargai perbedaan”, jelas Atnike. Atnike menjelaskan bahwa feminisme gelombang ketiga melihat kesetaraan justru pada pengakuan terhadap keberbedaan/difference. “Perempuan memiliki pengalaman biologis dan sosial yang beragam, sehingga kesetaraan bukan hanya memberikan kesempatan yang tetapi juga pengakuan terhadap eksistensi keragaman dan persepsi keragaman tersebut”, Atnike menjelaskan. Masih mengutip Seyla Benhabib, Atnike menjelaskan bahwa ada dua tipe perlawanan yang muncul dalam mengkritik universalitas, beberapa contohnya yaitu adanya pertarungan ide rasional dan adanya gerakan etno-nasionalisme untuk mendefinisikan ulang ranah publik. Lebih jauh, menurut Atnike, filsafat politik tak hanya pernah abai terhadap kepentingan dan eksistensi perempuan, tetapi juga terhadap ras kulit hitam bahkan kultur afro-amerika. Dalam konteks Indonesia, Atnike memberikan contoh bahwa kelompok LGBT masih terkekslusi dalam ruang publik. Hal tersebut menurut Atnike belum memenuhi nilai-nilai politics of difference yaitu memperjuangkan pengakuan terhadap eksistensi keberbedaan individu atau kelompok. “Salah satu contoh politics of difference dalam kebijakan publik adalah lahirnya UU PKDRT. Artinya persoalan perempuan di ruang domestik menjadi urusan publik. Ada kepentingan perempuan yang diperjuangkan”, jelas Atnike. Mengutip pemikiran Iris Young, Atnike menjelaskan bahwa politics of difference mendorong adanya kesetaraan diantara kelompok sosial maupun budaya yang berbeda, yang saling menghargai dan mengakui keberagaman dengan tidak meniadakan perbedaan berbagai kelompok. Sebagai penutup Atnike mengungkapkan bahwa gerakan dan pemikiran feminisme tidak hanya memperjuangkan kepentingan perempuan sebagai identitas kolektif tetapi juga membaca ketertindasan kelompok lain dengan membangun ethics yang mengakui keberbedaan. (Andi Misbahul Pratiwi) Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP/16 Days of Activism Against Gender Violence) yang berlangsung pada tanggal 25 November hingga 10 Desember merupakan kampanye internasional yang mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama organisasi masyarakat sipil menggelar rangkaian acara selama 16 hari tersebut setiap tahunnya. Melalui siaran pers Peluncuran Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang dilaksanakan pada hari Jumat, 23 November 2018, Komnas Perempuan menyatakan bahwa banyaknya pengaduan dan kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani dan terlindungi disebabkan oleh ketiadaan payung hukum yang dapat memahami dan memiliki substansi tentang kekerasan seksual. Pada siaran pers tersebut, komisioner Komnas Perempuan, Azriana, Masruchah, dan Mariana Amiruddin secara bergantian membacakan pernyataan siaran pers 16HAKTP yang mengangkat judul "Korban Terus Bertambah, Segera Bahas dan Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual". Komnas Perempuan menyatakan bahwa kekerasan seksual masih terabaikan dalam berbagai ranah. Dalam ranah institusi pendidikan, kasus kekerasan yang dialami oleh mahasiswa UGM menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih dianggap bukan pelanggaran berat di institusi pendidikan dan belum adanya prioritas pemulihan bagi korban. Terabaikannya unsur kekerasan seksual dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebabkan usaha pembelaan diri yang dilakukan oleh ibu Baiq Nuril yang merupakan korban kekerasan seksual secara verbal justru menjadi bumerang bagi dirinya. Tren kekerasan terhadap perempuan di dunia maya (cyberspace), masih menjadi kasus yang sering diterima pengaduannya oleh Komnas Perempuan sepanjang tahun 2017. Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Migran Perempuan juga tidak luput dari jerat kekerasan seksual. Sepanjang tahun 2017, Komnas Perempuan menerima 10 pengaduan kasus PRT dan pekerja migran perempuan yang menjadi korban perdagangan perempuan yang disertai dengan kekerasan fisik, seksual, dan juga kriminalisasi. Komnas Perempuan menyampaikan bahwa tren kekerasan seksual menunjukkan bahwa kebutuhan payung hukum RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat diperlukan untuk melindungi kelompok rentan dari kekerasan seksual. Maka dari itu dalam kampanye 16HAKTP tahun ini, Komnas Perempuan mendesak para badan eksekutif dan legislatif untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, mendesak Presiden Republik Indonesia agar memberikan arahan kepada Pemerintah untuk memperhatikan kasus kekerasan seksual dalam proses penyusunan payung hukum agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memiliki ketepatan substansi, serta mendesak masyarakat untuk berpartisipasi dan mengawal proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui kampanye #GerakBersama. Dalam kampanye 16HAKTP tahun ini, Komnas Perempuan telah menyusun sejumlah agenda bersama jaringan masyarakat sipil yang tergabung dalam jaringan #GerakBersama. Selain itu, Komnas Perempuan juga menyatakan telah melakukan audiensi kepada beberapa pihak lainnya seperti Grab, KBR 68H, Google Indonesia, HelloMotion, Majalah Tempo, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, @America, dan masih banyak lainnya untuk terlibat dalam kampanye 16HAKTP. Pada tanggal 8 Desember 2018 juga akan dilakukan karnaval budaya dengan tema “Pawai Akbar Mendorong Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” sebagai puncak dari acara 16HAKTP. Pada siaran pers tersebut juga hadir Valentina Sagala dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan, Luviana dari Indonesia untuk Kemanusiaan, dan Dea Safira Basori dari Indonesia Feminis, ketiganya mewakili Aliansi Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Pengesahan RUU P-KS. Valentina Sagala dalam kesempatan tersebut juga membacakan pernyataan siaran pers dari Aliansi Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Pengesahan RUU P-KS yang mendesak DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU P-KS yang berperspektif korban. Luviana dan Dea Safira Basori serta beberapa rekan dari organisasi yang tergabung dalam jaringan #GerakBersama turut menyampaikan agenda dari masing-masing organisasinya dalam kampanye 16HAKTP. (Bella Sandiata) Perempuan Nelayan Di Tengah Konflik Agraria “Perempuan nelayan tidak dapat bekerja dan memberi makan anak-anak bila laut tercemar, kontaminasi lumpur pada laut membuat suami-suami kami tidak dapat bekerja ke laut”, ungkap Fitriyati, seorang perempuan nelayan Banyuawangi. Kecemasan ini disampaikan Fitriyati pada diskusi umum yang diselenggarakan oleh KIARA (Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Perikanan) di Ruang Ke:Kini, Jakarta pada hari Senin (19/11). Konflik agraria dan kerusakan lingkungan berdampak langsung pada hidup perempuan nelayan. Fitriyati menyatakan bahwa proyek tambang emas di Gungung Tumpang Pitu, Banyuwangi telah memicu sejumlah bencana ekologis. Pasalnya di tahun 2016 telah terjadi banjir lumpur yang disebabkan oleh proyek tambang emas, menyebabkan tangkapan laut, khususnya gurita menurun drastis. Banjir lumpur membuat para nelayan berhenti melaut. Selain menderita kerugian ekonomis, Fitria beserta warga lain terus dihantui ketakutan akan terjadinya banjir lumpur yang lebih dahsyat lagi. Menurut Fitriyati, protes dan penolakan terhadap proyek tambang Tumpang Pitu telah dilakukan oleh warga setempat, alih-alih aspirasi mereka diakomodasi oleh negara, malah banyak diantara para perempuan nelayan yang dikriminalisasi dengan tuduhan memprovokasi masyarakat. Persoalan yang dilontarkan oleh Fitria adalah salah satu potret perempuan nelayan dalam konflik agraria. Pusat Data dan Informasi KIARA menemukan bahwa terdapat beberapa permasalahan agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain adalah marginalisasi masyarakat pesisir dari pulau-pulau kecil yang disebabkan oleh pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) untuk investasi pembangunan wisata bahari. KIARA menemukan bahwa proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) membutuhkan biaya yang amat besar yang tidak dapat diakomodir oleh APBN. Sehingga pemerintah kemudian menggunakan skema utang luar negeri untuk membiayai proyek tersebut. Dalam diskusi umum tersebut, Susan Herawati, Sekjen KIARA menyatakan bahwa pola perampasan ruang hidup masyarakat pesisir termanifestasi dalam beragam wajah, yakni proyek reklamasi, pertambangan pesisir, laut dan proyek pariwisata. Menurut Susan ada persoalan besar dalam memaknai dan menerapkan reforma agraria dalam relasinya terhadap masyarakat pesisir dan masyarakat pulau-pulau kecil. Bagi Susan ada kegagapan negara dalam mengartikulasikan konsep reforma agraria karena gagasan tersebut hanya sekadar dipahami dan diterapkan dalam praktik pembagian atau pemberian sertifikat lahan, padahal reforma agraria sejatinya harus berani mengubah struktur kepemilikan lahan baik di darat maupun laut. “Reforma agraria dalam konteks pesisir, negara harus mengakui empat hak konstitusional masyarakat pesisir yaitu hak untuk melintas, hak untuk mengelola, hak untuk mendapatkan manfaat, dan hak untuk memiliki lingkungan yang bersih dan sehat”, tutur Susan. Konflik agraria berdampak pada kehidupan para perempun nelayan. Perempuan nelayan menghadapi ketidakadilan berlipat. Selain harus berjuang di tengah konflik agraria, perempuan nelayan juga berada dalam pertarungan memperjuangkan pengakuan atas profesi sebagai nelayan. UU No. 7 Tahun 2016 belum mengakomodasi pengakuan atas perempuan nelayan. Implilasinya adalah hanya 21.793 asuransi yang diberikan kepada perempuan nelayan, dari 1.108.852 asuransi nelayan yang ada. Padahal ada 3,9 juta perempuan nelayan terlibat dalam produksi perikanan, mulai dari praproduksi hingga pascaproduksi. KIARA mencatat bahwa hingga saat ini terdapat 37 daerah pesisir Indonesia yang direklamasi. Proyek tersebut telah merenggut hak konstitusional 500.000 masyarakat pesisir. Tumpang tindih peruntukan wilayah pesisir yang bias, pada akhirnya merugikan dan memiskinkan masyarakat pesisir, khususnya perempuan. Permasalahan utama dalam isu agraria adalah siapa yang dominan dalam penguasaan lahan dan siapa yang diuntungkan dari keberlangsungan sebuah proyek. Susan menyatakan bahwa konflik agraria yang dihadapi oleh masyarakat pesisir terjadi karena terenggutnya akses dan wilayah masyarakat terhadap laut karena proyek tambang, reklamasi, dan pariwisata yang tak jarang berimplikasi pada kerusakan lingkungan. Merespons isu perempuan nelayan dalam konflik agraria, Yustus Maturbongs, Asisten Ombudsman RI bidang agraria mengatakan bahwa penting agar aspirasi dan kepentingan masyarakat pesisir termasuk perempuan diakomodasi. Artinya, perempuan perlu diberikan akses pada informasi terkait dokumen pertanahan juga administrasi. Selain itu, perempuan juga harus dilibatkan dalam public hearing dan pengambilan keputusan bersama. Masih menurut Yustus, penting juga untuk melakukan analisis dampak lingkungan yang mempertanyakan dampak kerusakan ekologis terhadap perempuan dan anak. Hal ini perlu dilakukan dalam upaya menjamin aksesibilitas sumber daya alam secara adil. (Abby Gina) Kamis (15/11) bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, KAFFE (Kajian Filsafat dan Feminisme) yang ke-12 dengan tema “Moral Politik” diselenggarakan. Pada pertemuan kedua kelas diampu oleh Robertus Robet (Ketua Jurusan Sosiologi UNJ) dengan topik “Moral Politik Machiavellian”. Di awal kelas, Robertus Robet memulai pembahasan dengan menjelaskan perbedaan moral dan etika. Robet menjelaskan bahwa moral lebih mengarah pada pemahaman atas ide kebaikan, sedangkan etika menyoal pertimbangan tindakan atau perbuatan baik. “Berbicara mengenai moral, kita harus terlebih dahulu membahas moral Kantian, sebab moral Kantian yaitu deontologis adalah cikal bakal perkembangan bahasan moral selanjutnya” tutur Robet. Robertus Robet mengungkapkan bahwa moral Kantian bersifat mengikat batin seseorang dan juga berlaku mutlak. Misalnya jika ada seorang pengemis, maka kita harus memberikannya uang tanpa mengintrogasi terlebih dahulu. Dengan sifatnya yang mutlak tersebut, biasanya moral deontologis dikenal sebagai moral yang tidak memisahkan cara dan tujuan seseorang dalam berbuat baik. Misalnya, jika seseorang melakukan hal baik untuk mencapai tujuan yang baik maka tindakan tersebut bisa dikatkan bermoral. Sedangkan jika seseorang ingin mencapai tujuan baik melalui cara yang buruk maupun sebailknya, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan bermoral. Moral deontologis biasanya digunakan oleh politik libertarian. Berbeda dengan deontologis, moral teleologis menurut robet lebih mengacu pada tujuan. Moral telelologis tergantung pada cara, melainkan berfokus pada tujuan. Selama sebuah tindakan dilakukan untuk tujuan yang baik, maka tindakannya bisa dibenarkan sebagai yang bermoral. Moral telelologis biasanya digunakan oleh politik komunitarian. Selain itu, Robertus Robet juga menjelaskan tentang moral politik Machiavellian yang selama ini sering dianggap sebagai moral politik yang durjana. Dalam buku The Prince yang ditulis oleh Nicolo Machiavelli dapat dikatakan bahwa moral politik Machiavellian cenderung menghalalkan segala cara. Moral politik yang digunakan oleh Machiavelli bahkan bisa dikatakan berada di luar paham deontologis maupun teleologis. Menurut Robet, selama ini Machiavellian berupaya membangun politik yang memiliki satu tokoh sentral. Tokoh sentral ini yang nantinya akan memberi keputusan baik maupun buruk. Sebab menurut moral politik Machiavellian, politik adalah menyoal keputusan. Oleh karena itu, diperlukan adanya tokoh sentral yang dapat memainkan perannya di dalam politik. Selanjutnya, Robertus Robet juga menjelaskan tentang moral politik Machiavellian yang mengibaratkan politik sebagai virtue and fortuna. Menurutnya politik itu adalah sebuah ketidakpastian. Seperti virtue and fortuna yang berarti di antara kebajikan dan perempuan. Mengapa perempuan? Karena dalam sejarah yang misoginis selama ini perempuan dianggap sebagai sebuah ketidakpastian. Robet juga menjelaskan bahwa politik memiliki paradoksnya sendiri. Sebab seseorang sering merasa jengah dalam politik namun juga selalu ada keinginan untuk ikut serta dalam politik. Robertus Robet juga mengungkapkan bahwa moral politik Machiavellian sangat berpegang teguh pada tindakan penguasa. Sebab menurutnya, politik ada jika penguasa menentukan tindakan di antara virtue and fortuna. Politik yang dianggap bermoral adalah politik yang menentukan pilihan kendati pilihan tersebut membahayakan negaranya. Robet kembali menjelaskan bahwa di dalam buku The Prince terdapat penjelasan bahwa kebajikan setiap orang itu berbeda. Masyarakat akan mengatakan bahwa kebajikannya adalah liberty dan penguasa akan mengatakan bahwa kebajikannya adalah membuat keputusan walaupun gila. Robet menganggap bahwa perbedaan pandangan tentang kebajikan akan membuat keinginan penguasa dengan rakyat tidak bertemu. “Pernyataan dari Laclau itu benar tentang masyarakat atau society yang tidak pernah selesai dan berjalan terus, hal ini akibat adanya perbedaan pandangan tentang kebajikan si rakyat dan si penguasa”, Robet menjelaskan. Dalam pemaparannya, Robet menjelaskan bahwa moral politik Machiavellian menganggap suasana politik tidak selalu ada. Melainkan politik ada hanya saat terjadi tragedi besar. Misalnya, runtuhnya kekuasaan Soeharto baru bisa dikatakan sebagai suasana politik menurut Machiavellian. Kemudian, moral politik Machiavellian mengasumsikan adanya dua peran yakni the rule of law dan the rule of man. The rule of law akan berfungsi pada situasi baik-baik saja. Misalnya, negara bisa dengan mudah diatur menggunakan kebijakan dan peraturan daerah saat dalam masa baik-baik saja. Akan tetapi, perlu ada the rule of man saat situasi negara memburuk. The rule of man digunakan untuk memutuskan suatu tindakan yang dapat mengubah siatuasi politik maupun negara. Robet mengakui bahwa sampai hari ini dirinya belum menemukan tokoh Indonesia yang tindakannya sesuai dengan moral politik Machiavellian. Akan tetapi, penguasa yang sesuai dengan moral politik Machiavellian ada. “Abraham Lincoln adalah salah satu pemimpin yang sesuai dengan buku The Prince, pada saat itu ia berani menghapuskan perbudakan dan poligami, keputusan itu sangat gila pada masanya, terjadi banyak perang saudara tetapi Lincoln menjamin dengan keputusan tersebut Amerika akan menjadi negara yang baru”, pungkas Robet. (Iqraa Runi) "Ada kebutuhan akademis untuk mengevaluasi politik", pernyataan tersebut dilontarkan oleh Rocky Gerung pada pertemuan pertama Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) ke-12 yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan pada hari Kamis, 8 November 2018. Pada pertemuan pertama KAFFE ke-12 yang bertema "Moral Politik" tersebut, Rocky Gerung membahas mengenai filsafat politik. Melanjutkan pernyataan di atas, Rocky menjelaskan bahwa politik tidak hanya dapat dievaluasi oleh tim sukses sebagai elit politik, tetapi juga warga negara yang memiliki kepentingan dengan masa depan politik bangsa. Tidak hanya berdasarkan pada kepentingan semata, namun menurutnya masyarakat perlu untuk mengevaluasi politik karena adanya kebutuhan untuk membaca seluruh permasalahan politik. Rocky mengatakan bahwa pemilu merupakan alat untuk menyelesaikan permasalahan politik tetapi pemilu juga dapat menimbulkan permasalahan politik apabila tidak ada evaluasi kritis dari masyarakat. Rocky menjelaskan bahwa politik sendiri sesungguhnya merupakan suatu persoalan etis karena pada awalnya politik adalah upaya untuk mendistribusikan keadilan. Filsafat politik sendiri muncul setelah adanya gejala-gejala patologis dalam politik. Rocky menyampaikan bahwa pertanyaan yang muncul dari gejala patologis tersebut adalah; mengapa politik yang tadinya adalah ideal berubah jadi buruk sehingga dibutuhkan evaluasi terus menerus? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut Rocky diperlukan filsafat politik. Peran utama dari filsafat politik adalah mengevaluasi kondisi politik serta mengevaluasi antara "election" dan"decision".Rocky menjelaskan bahwa maksud dari kesenjangan dua hal tersebut ialah kekecewaan publik atas hasil pilihannya yang justru terpilih larut dalam kekuasaaan. Lebih lanjut Rocky membahas mengenai dasar dari filsafat politik. Ketika berbicara mengenai filsafat politik maka terdapat tiga hal yang akan terus dibahas yaitu, keadilan (justice), kebebasan (freedom),dan kedaulatan (sovereignity). Rocky menjelaskan tiga hal tersebut dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti; bagaimana mendistribusikan keadilan hingga tidak ada disparitas? Bagaimana kebebasan seorang individu bisa dimaksimalkan tanpa menghalangi kebebasan individu lain? Bagaimana agar ketertiban kehidupan politik dijamin oleh kekuasaan yang sah? Rocky menjelaskan bahwa politik sejak awal merupakan pertanyaan-pertanyaan tentang apa itu masyarakat yang adil, apa itu masyarakat yang memelihara kebebasan, dan apa itu masyarakat yang pemerintahnya berdaulat berdasarkan legitimasi dari rakyat. Namun, menurut Rocky hal tersebut merupakan konsep awal filsafat politik yang saat ini sudah tidak lagi dibahas lebih lanjut. Pada masa kini, filsafat politik mengalami pergeseran konsep karena munculnya persoalan etis baru dalam masyarakat, yaitu lingkungan (enviroment). Jauh sebelum adanya pergeseran etis masalah lingkungan, gerakan perempuan telah lebih dahulu melakukan interupsi dalam filsafat politik yaitu dengan ethics of care. Hal tersebut terjadi karena tiga konsep dasar filsafat politik seluruhnya memihak laki-laki, Rocky menjelaskan bahwa para feminis menyatakan apabila relasi gender belum diselesaikan maka keadilan, kebebasan, dan kedaulatan hanya akan dinikmati oleh laki-laki. Adanya pergeseran nilai etis dalam masyarakat memberikan suatu corak tersendiri bagi filsafat politik. Pada masa sekarang ini, masyarakat melihat pergerakan politik tidak hanya dalam konteks hak politik dan demokrasi tapi juga bagaimana lingkungan memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat yang akhirnya pun berpengaruh pada kontestasi politik. Meski adanya perubahan nilai etis dalam masyarakat, nilai-nilai dasar filsafat politik sesungguhnya tetap dan tidak pernah berubah. Konsep keadilan, kebebasan, dan kedaulatan merupakan tiga hal dasar yang terus dan tetap menjadi indikator evaluasi dalam politik. Pada akhirnya filsafat politik merupakan alat evaluasi dari kekuasaan yang berkuasa untuk memeriksa kembali apakah keadilan, kebebasan, dan kedaulatan berpihak pada masyarakat. (Bella Sandiata) Femina bersama P&G mengadakan acara Indonesian Women’s Forum pada 8-9 November 2018 yang bertempat di Ciputra Artpreneur, Jakarta Selatan. Acara tersebut memiliki beberapa agenda seperti konferensi, kelas master, dan pameran. Pada hari Jumat (9/11) terselenggara konferensi yang berjudul “Siapa Bilang Gak bisa” yang menghadirkan Anggun Cipta Sasmi (Penyanyi), Silvia Halim (Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta), Najwa Shihab (Jurnalis dan Pendiri Narasi TV), Devi Asmarani (Co-Founder Magdalene) sebagai pembicara dan Petty S. Fatimah (Pemimpin Redaksi Majalah Femina) sebagai moderator. Pada acara tersebut Anggun Cipta Sasmi mengungkapkan bahwa perempuan perlu memiliki keberanian. Ia merasa beruntung memilih mengejar cita-citanya di usia yang masih belia yakni 20 tahun. “Usia 20 tahun ego saya masih tinggi, tetapi saya mempergunakan itu untuk mengejar cita-cita saya dan jika diingat saya merasa beruntung karena saat itu saya membuat keputusan”, tutur Anggun. Namun menurut Anggun ada yang berbeda ketika ia sudah memiliki anak. Baginya, perempuan yang mengejar cita-cita memang harus mengorbankan waktu untuk keluarga. Anggun mengaku bahwa selama 11 tahun anaknya lahir, Anggun empat kali absen pada ulang tahun anaknya. “Uniknya, mengapa jika seorang ayah absen pada ulang tahun anaknya itu menjadi hal biasa, sedangkan jika ibunya yang absen itu menjadi hal yang luar biasa buruk”, tegas Anggun. Selain itu Silvia Halim menyampaikan pendapatnya tentang peran perempuan pekerja. Silvia mengakui bahwa perempuan khususnya di dunia teknik mengalami diskriminasi kerja. Diskriminasi tersebut terjadi karena adanya anggapan bahwa teknik adalah zona yang sangat maskulin, sehingga ada anggapan perempuan tidak dapat melakukan pekerjaan tersebut. Silvia mengaku awalnya ia bekerja di Singapura untuk bidang infrastruktur, pekerjaan cukup menjanjikan dari segi materi. Akan tetapi, penawaran datang dari Basuki Tjahaja Purnama (Mantan Gubernur DKI Jakarta) untuk membangun Jakarta. “Desember 2015 pak Basuki menemui profesional muda Indonesia, ia memberikan dialog dan mengajak kami para profesional muda untuk pulang dan membangun Indonesia”, tutur Silvia. Bagi Silvia tak mudah menjadi perempuan yang bekerja di dunia teknik. Akan tetapi, ia selalu memiliki tekat bahwa perempuan juga harus duduk di depan meja bersama para petinggi yang kebanyakan laki-laki. Sementara itu Najwa Shihab ikut serta menceritakan kegelisahannya dalam menentukan masa depan untuk dirinya sendiri. Bagi Najwa tidak mudah melepaskan perusahaan yang selama 17 tahun sudah ia tinggali. “Kadang saya menangis di depan suami saya sambil bertanya apakah pantas saya membuang semua yang sudah saya bangun sampai sejauh ini, tetapi saya mencoba pahami bahwa keputusan tidak akan menemukan waktu yang tepat, jadi saya hanya memutuskan dengan keberanian untuk membangun Narasi TV dan saya senang melakukan hal itu”, tutur Najwa. Kemudian, Devi Asmarani juga menyampaikan pengalamannya sebagai jurnalis. Menurut Devi pengalamannya sebagai jurnalis di The Jakarta Post membawanya berkeinginan untuk membangun perusahaan berita. Namun keterbatasan dana membuatnya membangun perusahaan berita berbasis web. “Saat itu saya tidak punya modal yang besar, akhirnya kami membuat Magdalene berbasis web yang simple”, Devi menjelaskan. Ia mengakui bahwa belum banyak media yang secara khusus membahas perempuan. Oleh karena itu, Magdalene berupaya membangun media yang ramah terhadap narasi dan perspektif perempuan. Sebab media mainstream seringkali membisukan narasi perempuan. (Iqraa Runi) Pembukaan Indonesian Women's Forum 2018, Femina Ajak Perempuan Jadi Pemilih dan Pemimpin Cerdas8/11/2018
Rabu malam, 7 November 2018, diskusi "Perempuan dan Politik" menjadi pembuka rangkaian acara Indonesian Women's Forum (IWF) 2018 yang diselenggarakan oleh Majalah Femina. Acara yang diperkirakan akan mempertemukan lebih dari 2000 pengusaha perempuan se-Indonesia ini akan berlangsung pada 8-9 November 2018 di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Dalam acara malam pembukaan IWF 2018 tersebut, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa hadir sebagai pembicara. Jurnal Perempuan merupakan salah satu knowledge partner dalam acara Indonesian Women's Forum 2018. Acara pembukaan yang diselenggarakan di Raffles Hotel Jakarta Selatan ini diawali dengan makan malam bersama para tamu undangan. Menurut Svida Alisjahbana (CEO Femina Group), pemilihan tema "Perempuan dan Politik" sebagai topik diskusi pada malam pembukaan IWF 2018 relevan dengan konteks tahun politik 2019 dan hasil riset yang dilakukan Femina, Accenture dan Jurnal Perempuan tentang pemimpin pilihan perempuan. "Kita akan berbagi wawasan tentang kekuatan wanita dalam dunia politik, juga tentang pentingnya bagi perempuan dan juga laki-laki menjadi pemilih yang bertanggung jawab dan sadar saat menggunakan hak suaranya dalam setiap proses pemilu", jelas CEO Femina Group tersebut. Ia menyebutkan bahwa hampir setengah penduduk Indonesia ialah perempuan yaitu sebesar 49% dan sekitar 50.4% dari daftar pemilih potensial di tahun 2019 adalah perempuan. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa Femina, Accenture dan Jurnal Perempuan melakukan survei terkait pemimpin pilihan perempuan yang hasilnya cukup disayangkan karena 22% dari responden (perempuan) lebih memilih pemimpin laki-laki. Hasil riset tersebut menemukan tiga alasan perempuan lebih memilih laki-laki sebagai pemimpin karena identitas gendenrnya, yaitu karena laki-laki mobilitasnya lebih tinggi daripada perempuan, laki-laki dianggap lebih rasional, dan laki-laki dianggap lebih berwibawa. Menurut Svida hasil riset tersebut menjadi pemantik menarik untuk didiskusikan bersama. Khofifah Indar Parawansa dalam diskusi tersebut menuturkan sepenggal pengalamannya meniti karier di dunia politik. Ia menceritakan bahwa tidak mudah bagi perempuan untuk meyakinkan publik akan kemampuannya sebagai pemimpin di ruang publik. Ia menuturkan bahwa ia pernah ditolak oleh para Kyai untuk menjadi ketua Komisi 8 DPRI RI pada tahun 1993. "Seorang Kyai mendatangi saya, dan berkata, Khofifah pemimpin itu harus laki-laki", ungkap Khofifah. Ia menjelaskan bahwa perempuan sebagai pemimpin haruslah bernegosiasi dengan banyak hal, dengan dirinya, dengan lingkungannya dan dengan kemampuannya. Meskipun sebenarnya keputusan fraksi tidak bisa dipatahkan oleh siapapun, namun ia tetap rendah hati, alih-alih mengabaikan pernyataan Kyai tersebut, Khofifah justru mengunjungi satu per satu para anggota Komisi 8 untuk minta restu. "Saya sowani satu per satu, Kyai sepuh, yang ada di komisi 8 waktu itu, saya nuwun sewu keputusan fraksi saya ditugasi jadi pimpinan komisi 8, beliau menyampaikan: saya sebetulnya tersinggung dan berat hati tapi bu Khofifah sudah silaturahim ke rumah saya dengan ikhlas menerima bu Khofifah sebagai pimpinan saya", ungkapnya. Selain menyoal sulitnya mendapatkan dukungan politik di kalangan elit politik, Khofifah juga menjelaskan bahwa masyarakat juga perlu diberikan kayakinan untuk menaruh kepercayaan pada pemimpin atau politisi perempuan. Ia sendiri menyiapkan waktu khusus untuk menyapa dan mendengar pendapat masyarakat. Ia menceritakan bahwa pada masa kampanye Pilgub Jawa Timur, dirinya setiap hari pergi ke pasar. Menurutnya pasar adalah spirit dan energi yang baik untuk memulai hari, selain karena pasar adalah pusat berkumpulnya masyarakat yang masif tetapi juga karena di pasarlah ia dapat mendengar berbagai aspirasi masyarakat--yang mayoritas perempuan. Sebagai pemimpin perempuan ia sendiri merasa memiliki tanggung jawab untuk mendorong lahirnya pemimpin perempuan lainnya, yang ia tanamkan adalah optimisme bahwa perempuan bisa. Hal penting yang juga dituturkan ialah soal pembagian waktu antara pekerjaan dan keluarga. Khofifah menceritakan bahwa ia dan suaminya memiliki kesepakatan untuk berbagi peran di rumah tangga. Ia bertanggung jawab atas sekolah, kehidupan keagamaan dan perilaku anak. Sedangkan suaminya bertanggung jawab atas kesehatan, olahraga, kesenian anak-anak mereka. "Jadi di meja kerjanya (suami) itu ada KMS atau Kartu Menuju Sehat, jadi dia yang tahu anak saya imunisasi kapan, jadi dimanapun dia bertugas beliau akan kasih tahu saya dan beliau akan berusaha mengantarkan anak ke dokter, karena kesehatan tugas ayah", ungkap Khofifah. Menurutnya pembagian tugas seperti ini sangat membantu dirinya dalam menjalani karier politik. Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, memberikan apresiasi kepada Khofifah Indar Parawansa karena aktivismenya sebagai politisi dan atau pemimpin perempuan, baik di level legislatif maupun eksekutif. Atnike pada diskusi tersebut menjelaskan bahwa perempuan masih mengalami berbagai hambatan untuk menjadi pemimpin. Ia menjelaskan bahwa bias gender terhadap pemimpin perempuan tidak hanya bekerja pada masyarakat umum tetapi juga pada diri perempuan. Merujuk dari hasil riset yang dilakukan Femina, Accenture dan Jurnal Perempuan, Atnike menjelaskan bahwa masih banyak perempuan yang merasa kurang yakin atas kemampuan perempuan menjadi pemimpin maupun politisi. "Hasil survei menunjukkan 70% lebih responden terlibat dalam pemilu untuk melakukan tugas sebagai warna negara, 60% lebih menyatakan mereka ikut dalam pemilihan karena ingin ada perubahan", jelas Atnike. Meskipun kedua hal tersebut mendominasi secara positif, artinya perempuan menyadari tanggung jawab sebagai negara dan perempuan memiliki keinginan untuk perubahan, namun pada perihal preferensi memilih pemimpin perempuan ada kesenjangan. Bias gender dari pemilih hanya salah satu faktor, menurut Atnike beban ganda yang dialami perempuan dalam ruang publik dan domestik juga menjadi faktor penghambat lainnya yang membuat perempuan ragu ataupun tertatih-tatih berkarier di ranah politik. Tidak adanya pembagian kerja di dalam rumah tangga membuat perempuan yang berkarier di dunia publik memiliki dua jam kerja, yaitu jam kerja di ruang domestik dan publik. Menurutnya penting untuk berkomunikasi dengan pasangan dan membangun relasi yang setara antara suami dan istri sehingga pembagian kerja bisa diharmonisasikan. "Hal ini tidak mungkin bisa diatasi tanpa ada kesadaran untuk saling membantu dalam pengelolaan rumah tangga, atau dalam kerja-kerja perawatan atau care work yang selama ini dilekatkan dengan perempuan", jelas Atnike. Menyoal kuota 30% untuk perempuan di legislatif yang tak kunjung tercapai, Atnike menegaskan bahwa kaderisasi partai politik selama ini pun tidak cukup memadai. Namun menurutnya hal tersebut bukan hanya spesifik berdampak pada kualitas caleg perempuan tetapi juga laki-laki. Tidak adanya kaderisasi kader partai yang sehat membuat perempuan memiliki hambatan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki, yaitu mulai dari level dirinya, keluarga hingga komunitas dalam hal ini partai politik. "Caleg perempuan itu dicalonkan bukan dipersiapkan sebagai caleg yang mampu tapi hanya untuk memenuhi 30% ada, hal yang sama juga dialami caleg laki-laki", tutur Atnike. Lebih jauh ia menjelaskan tentang biaya politik di Indonesia yang sangat tinggi. Menurutnya kapabilitas perempuan untuk terjun di politik juga ditentukan dengan kapabilitas perempuan di dalam bidang ekonomi. Sehingga menurut Atnike, acara Indonesian Women's Forum 2018 juga sangat relevan dalam konteks perempuan dan politik, yaitu dalam mendorong partisipasi perempuan dalam politik. "Pada politik perempuan kita bicara mengenai aspirasi dan kepentingan perempuan di dalam politik, sedangkan perempuan dan politik itu kita bicara agensi perempuan dan bagaimana perempuan turut serta di dalam politik", jelas Atnike. Menurutnya perbincangan publik mengenai perempuan dan politik kerap kali sempit, hanya sebatas menjadi politisi atau pemimpin. Padahal menurut Atnike, perempuan dan politik juga adalah menyoal peran warga negara untuk turut aktif dan kritis dalam pemilu, pilkada, ataupun dalam berbagai keputusan politik. Dengan demikian, menurut Atnike, perempuan juga seharusnya memikirkan kepentingannya dalam politik, misalnya kepentingannya dalam perumusan undang-undang yang terkait kesehatan reproduksi, kekerasan seksual dan sebagainya. (Andi Misbahul Pratiwi) Putri Sulung Reformasi, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), merayakan hari jadinya yang ke-20 pada tanggal 15 Oktober 2018. Untuk memperingati usianya yang telah menginjak dua dasawarsa, Komnas Perempuan mengadakan diskusi "Refleksi 20 Tahun Upaya Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan di Indonesia", pada hari Rabu, 31 Oktober 2018 di Hotel Sari Pacific Jakarta. Acara tersebut dibuka dengan sambutan dari Azriana Manalu, Ketua Komisioner Komnas Perempuan, dan pidato kunci dari Jaleswari Pramodhawardhani (Deputi V bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Presiden Republik Indonesia). Pada pidato pembukanya, Azriana menyampaikan bahwa tidak ada perubahan apapun terkait kondisi perempuan pasca dua puluh tahun reformasi. Lebih jauh, Azriana menjelaskan bahwa perlindungan terhadap hak-hak perempuan mengalami kemajuan dalam satu sisi dan juga kemunduran di sisi lainnya. Menurutnya, hal positif dapat dilihat dari terdapat sejumlah peraturan tingkat nasional maupun regional yang melindungi hak-hak perempuan. Namun, Komnas Perempuan juga mencatat terdapat 421 kebijakan diskriminatif di daerah yang menjadi faktor penghambat bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Azriana juga menyoroti mengenai perempuan pembela HAM (Women Human Rights Defender/WHRD) yang tersebut dalam empat Undang-Undang namun tidak ada satupun yang menyebutkan mengenai perlindungan dalam bentuk jaminan keamanan maupun hukum bagi para perempuan pembela HAM secara spesifik. Jaleswari dalam pidato kuncinya memberikan penegasan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu kekerasan yang berdampak bagi aspek kehidupan sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan politik perempuan. Namun, perlindungan bagi perempuan dalam dua puluh terakhir sangat jauh dari kata tercukupi atau bahkan mumpuni. Menurutnya, dua puluh tahun merupakan perjalanan yang panjang dan berliku bagi Komnas Perempuan untuk bekerja dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Jaleswari mengatakan bahwa perkembangan teknologi dan juga keterlibatan media memiliki peranan penting dalam membantu kerja Komnas Perempuan dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan ke depannya. Pada acara inti yakni, Refleksi 20 Tahun Upaya Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan di Indonesia, diadakan diskusi panel yang terbagi menjadi tiga tema, yaitu, "Reformasi Hukum dan Kebijakan untuk Pemenuhan HAM Perempuan dalam Dua Dekade Reformasi"; "Dua Dekade Reformasi dan Pengembangan Sistem Pemulihan bagi Perempuan Korban Kekerasan"; dan "Perlindungan Perempuan Pembela HAM dalam Dua Dekade Reformasi". Diskusi panel yang dilaksanakan serentak dan diikuti oleh para tamu undangan--yang merupakan para aktivis gerakan perempuan--tersebut diharapkan dapat memberikan suatu resolusi untuk masing-masing topik. Dalam diskusi panel tema ketiga yang difasilitasi oleh Tati Krisnawati, menghadirkan Hasto Atmojo Suroyo (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK) dan Arimbi Heroepoetri (Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan) sebagai pemantik diskusi. Tati membuka diskusi dengan menyampaikan terlebih dahulu mengenai perempuan pembela HAM yang luput dari perhatian negara, padahal beban kerja yang dimiliki oleh para perempuan pembela HAM sangat berat dan juga penuh tantangan. Arimbi memantik diskusi dengan menyampaikan definisi dari perempuan pembela HAM yang dapat diartikan sebagai siapapun yang melakukan pembelaan kepentingan perempuan tanpa melihat batasan gender. Diskusi pun dimulai dengan pembahasan mengenai kerentanan perempuan pembela HAM yang berawal dari isu tentang rendahnya kesadaran perempuan pembela HAM akan bahaya yang mengancam mereka. Para perempuan pembela HAM sering kali tidak menyadari bahwa dirinya pun manusia biasa yang dapat jatuh sakit dan juga memiliki keterbatasan lainnya, hal ini diungkapkan oleh para aktivis perempuan yang hadir dalam diskusi tersebut. Para peserta forum menyampaikan beberapa poin permasalahan bagi perempuan pembela HAM yang berasal dari diri mereka sendiri, antara lain, lupa untuk menjaga kesehatan, tidak bijak dalam mengatur keuangan pribadi, dan tidak peduli akan waktu. Selain itu, faktor eksternal yang menjadi penyebab kerentanan perempuan pembela HAM adalah para pelaku pelanggar HAM seperti korporasi, negara, maupun Aparat Penegak Hukum (APH) yang seringkali menyudutkan dan bersikap sewenang-wenang pada perempuan pembela HAM. Sehingga masyarakat yang mudah terprovokasi oleh isu-isu yang dipolitisasi pun juga menjadi ancaman bagi para perempuan pembela HAM yang dapat membahayakan hidup mereka dalam melakukan pekerjaannya. Dalam kaitannya mengenai perlindungan bagi para perempuan pembela HAM, Hasto menyampaikan bahwa negara melalui LPSK telah berupaya untuk memberikan perlindungan bagi para pembela HAM tanpa melihat gendernya. "Tidak ada yang berbeda (antara perempuan dan laki-laki) untuk perlindungan bagi para pembela HAM", ujar Hasto. Hal tersebut dinilai menjadi polemik tersendiri bagi forum karena perempuan memiliki kerentanan yang spesifik dan tidak bisa disamakan kebutuhan perlindungannya dengan laki-laki. Peserta forum mengidentifikasi bahwa ada kebutuhan utama bagi para perempuan pembela HAM adalah pengetahuan yang komprehensif akan bahaya yang mengancam dirinya dalam melakukan pekerjaannya, seperti mendapatkan ancaman dari pihak tidak dikenal hingga serangan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Sehingga dibutuhkan suatu kesadaran bagi para perempuan pembela HAM akan risiko pekerjaan yang dijalaninya. Di akhir diskusi para peserta forum sepakat bahwa perlindungan dari negara unyuk para perempuan pembela HAM sangat diperlukan demi menjamin keselamatan para perempuan pembela HAM yang rela mempertaruhkan hidupnya dalam menjalankan pekerjaannya. Strategi yang diusulkan forum dalam upaya perlindungan bagi perempuan pembela HAM adalah upaya penegasan definisi dari perempuan pembela HAM untuk mendapatkan pengakuan dari negara dan masyarakat. Hal tersebut dibutuhkan agar elemen negara dan masyarakat tidak menjadi pihak yang membahayakan para perempuan pembela HAM ketika mereka melakukan pekerjaannya. (Bella Sandiata) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |