Kamis, 22 November 2018, pertemuan ketiga kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) Jurnal Perempuan diselenggarakan di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta Selatan. Pada pertemuan ketiga ini, kelas diampu oleh Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan. Topik yang disampaikan ialah menyoal feminisme dan moral politik. Atnike menjelaskan bahwa tradisi filsafat politik klasik dipenuhi oleh pemikiran laki-laki, sehingga menurutnya pemikiran yang muncul menyoal politik adalah pikiran laki-laki. Ia mengungkapkan bahwa para filsuf yang mayoritas laki-laki membangun tembok ilmu yang berangkat dari konsep manusia homogen dan cenderung melupakan keragaman identitas manusia, khususnya manusia perempuan. “Filsafat politik dikritik oleh feminisme karena dianggap tidak mewakili kepentingan dan suara perempuan”, tutur Atnike. Lebih jauh, ia menyampaikan argumen bahwa politik abai terhadap kepentingan perempuan yang diungkapkan juga oleh Alison Jagar. Atnike menjelaskan bahwa Alison Jagar mengkritik dikotomi dan konstruksi ruang privat dan publik yang kerap memandang rendah kerja-kerja atau aktivitas di ruang privat. Lebih jauh, pemikiran Alison Jagar juga sampai pada pernyataan bahwa politik kerap mengutamakan rasionalitas laki-laki daripada rasionalitas perempuan. Dengan demikian, menurut Atnike, pengalaman perempuan tidak hadir dalam kajian filsafat politik. Lebih jauh, Atnike menjelaskan pandangan dari feminis gelombang pertama yaitu Mary Wollstonecraft. “Mary Wollstonecraft menolak pelabelan perempuan itu emosional dan laki-laki itu rasional, menurut Mary ketidakmampuan perempuan dalam pendidikan dan politik karena tidak ada kesempatan yang untuk perempuan”, jelas Atnike. Mengutip Mary Wollstonecraft, Atnike menjelaskan bahwa perempuan akan memiliki rasionalitas yang sama dengan laki-laki jika perempuan mendapat akses dan kesempatan yang sama. Kesamaan yang dimaksud itu disebut Atnike sebagai sameness. Selain kritik dari feminis gelombang pertama, Atnike juga menyebutkan kritik yang datang dari Simone de Beauvoir, feminis gelombang kedua. “Simone de Beauvoir menganggap bahwa perempuan telah lama dikonstruksikan sebagai yang liyan atau the others, sehingga perempuan perlu menjadi subjek yang utuh agar dapat keluar dari ketertindasan”, jelas Atnike. Menurut Atnike, kritik Simone terhadap dunia patriarki tersebut mengandaikan sesuatu yang lebih dari kesamaan (sameness) karena menghendaki perempuan sebagai subjek yang berkesadaran. Kritik Beauvoir ini kemudian disebut Atnike sebagai kehendak akan kesetaraan (equality), kesetaraan yang dimaksud bahkan dimulai sejak dalam pikiran atau kesadaran. Mewakili periode feminisme gelombang ketiga, Atnike meminjam pemikiran Seyla Benhabib yang juga mengkritik tentang dikotomi publik dan privat. Atnike menjelaskan bahwa Seyla Benhabib justru mendorong publik untuk meredefinisi yang publik dan yang privat tersebut. Atnike mengungkapkan bahwa pada pemikiran feminisme gelombang ketiga sudah tidak terjebak lagi pada dikotomi yang dibuat patriarki tetapi justru hendak meredefinisi ulang pemaknaan atas dikotomi tersebut. “Seyla Benhabib menghendaki ruang publik sebagai arena pertarungan feminis. Artinya ada dekonstruksi terhadap apa yang disebut ruang publik dan rasional. Hal ini mengandaikan difference yaitu mengakui dan menghargai perbedaan”, jelas Atnike. Atnike menjelaskan bahwa feminisme gelombang ketiga melihat kesetaraan justru pada pengakuan terhadap keberbedaan/difference. “Perempuan memiliki pengalaman biologis dan sosial yang beragam, sehingga kesetaraan bukan hanya memberikan kesempatan yang tetapi juga pengakuan terhadap eksistensi keragaman dan persepsi keragaman tersebut”, Atnike menjelaskan. Masih mengutip Seyla Benhabib, Atnike menjelaskan bahwa ada dua tipe perlawanan yang muncul dalam mengkritik universalitas, beberapa contohnya yaitu adanya pertarungan ide rasional dan adanya gerakan etno-nasionalisme untuk mendefinisikan ulang ranah publik. Lebih jauh, menurut Atnike, filsafat politik tak hanya pernah abai terhadap kepentingan dan eksistensi perempuan, tetapi juga terhadap ras kulit hitam bahkan kultur afro-amerika. Dalam konteks Indonesia, Atnike memberikan contoh bahwa kelompok LGBT masih terkekslusi dalam ruang publik. Hal tersebut menurut Atnike belum memenuhi nilai-nilai politics of difference yaitu memperjuangkan pengakuan terhadap eksistensi keberbedaan individu atau kelompok. “Salah satu contoh politics of difference dalam kebijakan publik adalah lahirnya UU PKDRT. Artinya persoalan perempuan di ruang domestik menjadi urusan publik. Ada kepentingan perempuan yang diperjuangkan”, jelas Atnike. Mengutip pemikiran Iris Young, Atnike menjelaskan bahwa politics of difference mendorong adanya kesetaraan diantara kelompok sosial maupun budaya yang berbeda, yang saling menghargai dan mengakui keberagaman dengan tidak meniadakan perbedaan berbagai kelompok. Sebagai penutup Atnike mengungkapkan bahwa gerakan dan pemikiran feminisme tidak hanya memperjuangkan kepentingan perempuan sebagai identitas kolektif tetapi juga membaca ketertindasan kelompok lain dengan membangun ethics yang mengakui keberbedaan. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |