Jakarta (23/1), Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) menyelenggarakan konferensi pers guna menyampaikan Catatan Awal Tahun (Cawalu) tahun 2020. Kegiatan yang diadakan di Bakoel Koffie, Cikini tersebut dihadiri Dian Kartikasari (Sekjen KPI), Anna Margret (Direktur Cakra Wikara Indonesia) dan Dominicus Dalu (Staf Ombdusman RI) sebagai narasumber. Penyampaian Cawalu merupakan kegiatan yang rutin diadakan setiap awal tahun oleh KPI sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban terhadap publik. Laporan tersebut memotret dan merefleksikan pengalaman yang dialami perempuan Indonesia sepanjang tahun 2019. Dalam laporannya yang disampaikan oleh Dian, KPI menyoroti berbagai persoalan perempuan dalam berbagai isu seperti hukum dan legislasi, SDGs, perlindungan sosial dan layanan dasar, intoleransi, ekstremisme dan terorisme, perempuan dan desa membangun, kelompok rentan, PUG dan prioritas KPPPA. Terkait legislasi, Dian menyebutkan salah satu RUU yang dibahas pada tahun 2019 dan berkaitan dengan perempuan yaitu RUU Kebidanan. “RUU ini hanya mengatur soal pendaftaran bidan, perijinan praktik dan organisasi kebidanan. Kemudian kami kritisi karena RUU tidak menyinggung mengenai layanan kebidanan,” Dian menuturkan. Salah satu masukan yang diberikan adalah jaminan pemerataan persebaran bidan untuk memenuhi kebutuhan perempuan di pedesaan. Masukan terkait layanan kebidanan bagi ibu dan anak serta kesehatan reproduksi kemudian diadopsi ke dalam RUU Kebidanan tersebut. KPI juga menyoroti banyaknya persoalan dalam penyelenggaraan berbagai program perlindungan sosial seperti dana BOS, Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan JKN. Khusus terkait penyelenggaraan JKN, Dian menyampaikan bahwa kenaikan iuran BPJS bukanlah solusi yang permanen karena menurutnya sejak awal BPJS selalu menyampaikan defisit anggaran. “Namun di sisi lain ada isu gaji dan tunjangan bagi pejabat dan direksi BPJS yang sangat tinggi melebihi standar gaji pada badan-badan lainnya dan menjadi sorotan publik namun luput dari perhatian pemerintah dan DPR,” protesnya. Isu lainnya yang Dian sampaikan ialah terkait dengan layanan dasar di bidang Pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat, pekerjaan umum, dan penataan ruang. Berdasarkan pantauan KPI tercatat bahwa belum semua provinsi dan kabupaten / kota memiliki Peraturan Daerah mengenai Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar tersebut termasuk pelayanan dan perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Ia menjelaskan bahwa pemerintah daearah wajib memiliki SPM sebagai wujud implementasi dari mandat dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 2 Tahun 2018 dan Permendagri No. 100 Tahun 2018. Dian juga mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2019 pengabaian hak kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, kelompok dengan orientasi seksual dan identitas gender minoritas, buruh migran, perempuan masyarakat adat masih terjadi baik di tingkat nasional maupun lokal. Perempuan dalam kelompok-kelompok rentan tersebut tidak mendapat perhatian bahkan menghadapi berbagai ancaman dan tantangan dalam pemenuhan hak-haknya. Dian menuturkan, “masih banyak diskriminasi yang dialami kelompok rentan, seperti lansia, penyandang disabiltas, LBT, buruh migran dan perempuan masyarakat adat”. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa kelompok LBT semakin terancam dikriminalisasi melalui RUU Pidana Propaganda Penyimpangan Seksual. Lebih jauh, KPI juga mencatat berbagai persoalan perempuan pada pemilu 2019 lalu. Dian menyayangkan bahwa adanya praktik partai politik yang menempatkan perempuan sebagai caleh hanya hanya untuk vote getter. Hal itu ditunjukkan ketika seorang caleg perempuan yang terpilih melalui proses pemilu namun kemudian dipecat oleh partai politik, atau kalah dalam proses sengketa pemilu di pengadilan. “Pemanfaatan perempuan sebagai vote getter dalam pemilu menjadi catatan penting supaya ke depan tidak terjadi lagi,” Dian menambahkan. Di sisi lain, hasil pemilu menunjukkan adanya peningkatan keterwakilan perempuan di DPR. Namun menurutnya masih ada tantangan untuk meningkatkan sensitivitas gender para anggota DPR terpilih mengingat hampir sebagiannya adalah politisi baru. Salah satu isu yang juga menjadi perhatian KPI adalah menyoal radikalisme dan ekstremisme. “Isu ini memiliki banyak wajah, mulai dari promosi negara khilafah sampai dengan isu-isu yang berkaitan langsung dengan tubuh perempuan seperti penolakan terhadap aturan yang membatasi perkawinan anak, penolakan terhadap aturan penghentian sunat perempuan dan penolakan terhadap vaksin,” lanjut Dian. Salah satu isu yang juga diusung kelompok tersebut adalah promosi poligami, yang juga dimanfaatkan oleh partai politik untuk meningkatkan perolehan suaranya. Merespons pembentukan kabinet oleh Presiden Joko Widodo dan prioritas KPPPA, menurut Dian turunnya jumlah menteri perempuan dalam kabinet sangat mengejutkan. Selain itu, proritas KPPPA yang terbatas pada 5 hal (UKM Perempuan, Perempuan sebagai pendidik, penghapusan KTPA, penghapusan perkawinan anak, dan juga penghapusan pekerja anak) sangat sempit menurut Dian. Dian menyatakan kekecewaannya karena isu-isu lain yang sempat disuarakan ketika kampanye pemilihan presiden dulu seperti pengarusutamaan gender di segala bidang, pemberdayaan politik perempuan tidak menjadi prioritas sama sekali. “Isu pengarusutamaan gender semakin redup dan perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah hampir tidak ada. Hal ini sangat mengkhawatirkan,” ujar Dian. Menurut Dian, isu-isu yang disebutkannya tidak berdiri sendiri dan saling terkait satu sama lain (intersectional). Dian menjelaskan bahwa pembelajaran yang bisa diambil dari pengalaman-pengalaman perempuan sepanjang tahun 2019 adalah dibutuhkan kecermatan dan kecakapan perempuan dalam mengintegrasikan isu-isu strategis. Dian mencontohkan bahwa isu politik identitas bersinggungan dengan isu kesejahteraan. Sementara itu Direktur CWI, Anna Margret, membenarkan pernyataan Dian yang menyebutkan bahwa perempuan diposisikan sebagai vote getter dalam pemilu. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya perolehan suara bagi kandidat perempuan dalam pemilu 2019 dimana rata-rata kontribusi suara caleg perempuan di setiap partai adalah di atas 20%. Di sisi lain, Anna juga memaparkan bahwa indeks prestasi keterwakilan perempuan dari masing-masing partai politik masih sangat rendah. Indeks keterwakilan perempuan di partai politik adalah perbandingan jumlah kursi perempuan yang diperoleh partai politik terhadap jumlah perolehan kursi partai politik di parlemen. Namun yang perlu dicatat dari data yang disingkap oleh CWI adalah terjadinya defisit suara perempuan dalam proses pemilu. Defisit ini nampak dari jukstaposisi yang menunjukkan semakin kecilnya angka persentase yang dialami perempuan dari mulai pencalonan, perolehan suara (keterpilihan) hingga perolehan kursi perempuan. Variable yang sama pada laki-laki justru menunjukkan angka yang semakin besar. Menyikapi anggota legislative (aleg) perempuan terpilih, Anna menjawab bahwa dibutuhkan diskusi yang lebih adil untuk menelusuri kualitas aleg terpilih. Berangkat dari data yang ada, Anna menyebutkan beratnya pekerjaan rumah dan tantangan yang dihadapi ke depan dalam mewujudkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan perempuan. “Apakah 120 orang perempuan yang terpilih dan masuk dapat menentukan atau mempengaruhi proses pembuatan kebijakan maupun pengambilan keputusan di parlemen, masih harus dinantikan bersama,” jelas Anna. Dalam merespons mengenai pilkada yang akan berlangsung tahun ini, Anna menjelaskan bahwa isu utama perempuan dalam pilkada 2020 adalah aturan yang ada bersifat netral gender. “Banyak perempuan yang terpilih dalam pilkada-pilkada yang lalu adalah istri dari pejabat yang terpilih sebelumnya yang kemudian sebelum masuk penjara atau anak dari pejabat yang kemudian masuk penjara,” ungkap Anna. Oleh karena itu menurut Anna, penting untuk memperhatikan sumber rekrutmen dalam pencalonan pilkada, termasuk basis dukungannya. Dominicus dari Ombudsman RI (ORI) menyampaikan dari laporan-laporan yang masuk sejak ORI berdiri (meski tidak ada data yang spesifik) bisa dipastikan sebagian besarnya sangat berkaitan dengan isu perempuan seperti layanan kesehatan, pendidikan sampai isu agraria. Selama ini laporan yang paling banyak diterima Ombudsman adalah pengaduan mengenai layanan publik oleh pemerintah daerah seperti layanan adminduk, perizinan, juga yang terkait dengan kesejahteraan. Terbanyak kedua adalah adalah terkait konflik pertanahan/agraria, diikuti oleh laporan mengenai layanan oleh kepolisian. Lalu yang berikutnya adalah laporan mengenai K/L di tingkat pusat, diikuti dengan laporan mengenai layanan penegakan hukum. Dominicus mengungkapkan bahwa maladministrasi mayoritas terjadi dalam bentuk penundaan atau lambatnya layanan. ORI juga menemukan masih adanya praktik permintaan biaya untuk layanan publik yang seharusnya disediakan secara gratis dan minimnya representasi penyandang disabilitas dalam lembaga publik. Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa ada beberapa Pemerintah Daerah yang belum membuat Perda pelayanan publik—yang memuat standar pelayanan dan beberapa daerah yang sudah memiliki Perda tersebut pun mbelum mengimplementasi secara maksimal. Dominicus menyebutkan HAM generasi ke-4 adalah pelayanan publik, yaitu bahwa Negara memiliki kesempatan kedua untuk mengoreksi atau memperbaiki kualitas layanan namun ini juga belum terjadi. Terkait prospek ke depan, ORI menyebutkan 2 mekanisme yang ada untuk mendorong transformasi pelayanan publik. Pertama, menerima laporan aduan dari masyarakat. Kedua, proaktif memenuhi layanan atau meningkatkan kualitas layanaan, dengan memberi masukan terhadap rancangan regulasi termasuk isu-isu di daerah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. (Dewi Komalasari) Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030 telah dicanangkan sejak tahun 2015 sebagai respons dari gagalnya tujuan pembangunan milenium. Setelah lima tahun, data menunjukkan ketimpangan di dunia masih besar. “Berdasarkan penelitian Oxfam di tahun 2019, gabungan kekayaan 22 laki-laki terkaya di dunia lebih besar dari kekayaan semua perempuan di Afrika,” ujar Megawati peneliti Infid pada diskusi publik yang mengusung tema Pekerjaan Perawatan dan Kontribusinya terhadap Perekonomian dalam Upaya Mengurangi Ketimpangan Sosio-ekonomi dan Ketimpangan Gender di Gedung Perpusatakaan Nasional, Jakarta (23/01/2020). Di Indonesia, ketimpangan di sektor pekerjaan masih menjadi permasalahan. Dalam konteks kerja masih ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam kesempatan maupun pendapatan, berdasarkan data Sakernas 2018, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja perempuan jauh lebih rendah yakni 51,88% dibandingkan laki-laki 82,69%. Kemudian, rata-rata upah per bulan perempuan 2,4 juta dan laki-laki 3,06 juta. Masih berdasarkan data tersebut, perempuan mendominasi sektor kerja informal sebab hanya 35,05% perempuan bekerja di sektor formal. Peneliti Prakarsa, Herawati, menambahkan bahwa berdasarkan data International Labor Organization tahun 2018, sebanyak 76% perempuan di dunia melakukan kerja perawatan yang tidak berbayar (unpaid care work). Menyoal kerja perawatan, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro, menjelaskan bahwa publik termasuk perempuan masih berasumsi bahwa kerja perawatan adalah bagian dari tanggung jawab perempuan, baik sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) maupun sebagai anggota di dalam keluarga. Lebih jauh, dalam sistem ekonomi kapitalistik pun perempuan dianggap sebagai angkatan kerja cadangan. Sehingga menurut Atnike, tak heran bila terjadi ketimpangan dalam hal kesempatan dan pendapatan perempuan dalam kerja. “Kerja perawatan yang dilakukan ibu rumah tangga dan anggota keluarga perempuan di dalam rumah cederung dianggap sebagai kerja non-ekonomi karena tidak remunerasi atau upah,” jelas Atnike. Jurnal Perempuan di tahun 2018 melakukan penelitian terkait persepsi publik terhadap kerja perawatan yang dimuat dalam JP 99 Perempuan dan Kerja Perawatan. Riset tersebut menggunakan metode pengumpulan data dengan survei nasional di 34 provinsi dan mengambil 2.041 dengan kategori IRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 9 kategori pekerjaan perawatan yang dilakukan IRT, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengurus anak hingga mengurus kebun. Penelitian ini juga menemukan bahwa rata-rata lama kerja IRT yakni 13,5 jam per hari, lebih besar dibandingkan survei ILO di tahun 2018 yang menyebutkan bahwa rata-rata perempuan di Asia Pasifik bekerja 7,7 jam per hari. Meskipun demikian, penelitian ini memperlihatkan minimnya penghargaan terhadap kerja perawatan oleh publik maupun perempuan itu sendiri. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil survei yang menyebutkan bahwa 21% responden IRRT menilai pekerjaan yang mereka lakukan layak diberikan upah 2-3 juta rupiah per bulan. Bila dibuat rata-rata keseluruhan responden maka rata-rata upah yang diasumsikan untuk kerja perawatan IRT ialah 2 juta per bulan. “Bila pekerjaan IRT tersebut didistribusikan pada PRT, tukang kebun, baby sitter, maka sesungguhnya nominal 2 juta rupiah tersebut sangat kecil sekali, bahkan lebih kecil dari rata-rata upah buruh perempuan nasional yakni sebesar 2,2 juta rupiah,” pungkas Direktur sekaligus Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan tersebut. Riset yang dilakukan Jurnal Perempuan menyimpulkan adanya kesenjangan antara beban kerja dan renumerasi kerja perawatan IRT di Indonesia. Ari Ujianto, Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) menjelaskan bahwa isu PRT itu beririsan dengan identitas kelas, identitas gender, bahwa di beberapa negara identic dengan identitas ras. Ia menyebutkan bahwa berdasarkan data ILO bahwa di Indonesia terdapat 4,2 juta PRT. Namun ia sendiri yakin bahwa jumlah PRT di Indonesia lebih banya daripada temuan ILO. Ari menyebutkan, dalam konteks kerja perwatan yang dilakukan PRT, rata-rata upah yang mereka dapatkan hanya 25-35% dari upah minimun regional. Menurutnya penghargaan terhadap kerja perawatan dan perlindungan sosial PRT masih sangat rendah. “Meski bagi sebagian banyak orang PRT adalah pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian, namun pekerjaan PRT ini sangat identik dengan umur. Berdasarkan temuan Jala PRT mayoritas perempuan PRT berusia 20-35 tahun. Umur itu penting untuk mendapatkan pekerjaan PRT,” jelas Ari. Maria Lauranti, Country Director Oxfam Indonesia, mengatakan bahwa seharusnya pekerjaan perawatan tidak dianggap pekerjaan biasa. “Pemangku kebijakan sebagai arsitektur ekonomi bisa berperan salah satunya dengan menyediakan infrastruktur yang memadai untuk kerja perawatan. Contohnya, dengan ketersediaan sumber air yang lebih dekat, para pekerja rumah tangga dapat dipermudah aksesnya untuk mengambil air,” jelasnya. Menurutnya, saat infrastruktur dan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pelayanan pengasuhan anak dan ketenagakerjaan dikembangkan dengan keberpihakan terhadap perempuan, maka mereka akan lebih berdaya pada sektor sosial, ekonomi maupun politik dan ketimpangan bisa dikurangi. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga mengakui bahwa ada ruang kerja perempuan yang belum mendapat perhatian dari negara yakni kerja perawatan dan kerja sektor informal. Menurutnya pemerintah dan LSM perlu bekerja bersama untuk merumuskan indikator-indikator kerja yang belum diakomodir dalam perhitungan ekonomi makro ini. “Kementerian PPPA punya peran besar untuk upaya mendorong pengakuan pekerjaan perawatan di Indonesia. Pemerintah memerlukan data dan indikator tentang kontribusi pekerjaan domestik dan unpaid care work dalam ekonomi,” tuturnya. “Data yang dipaparkan menarik, dan saya kira penting bagi kita untuk membuat perhitungan valuasi dari kerja perawatan baik yang dilakukan ibu rumah tangga, anggota keluarga perempuan, maupun pekerja rumah tangga agar dapat terlihat seberapa besar kontribusi kerja perawatan ini terhadap perekonomian makro,” pungkas Wahyu Susilo Direktur Migrant Care yang juga menyampaikan pendapatnya dalam forum tersebut. (Andi Misbahul Pratiwi) Jumat, 17 Januari 2020, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta (STFT), PERSETIA (Perhimpunan sekolah-sekolah Teologi di Indonesia, Jurnal Perempuan, dan Perhimpunan Gereja Indonesia (PGI), menyelenggarakan Seminar dan Bedah Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis “Peran Pemuda dan Perempuan dalam Merawat Kebinekaan dan Mewujudkan Perdamaian” di aula STFT Jakarta. Acara ini menghadirkan Prof. Siti Musdah Mulia (Penulis Buku Muslimah Reformis, Ketua umum ICRP), Pdt. Septemmy Eucharistia Lakawa (Ketua STFT Jakarta), Dr. Atnike Nova Sigiro (Direktur Yayasan Jurnal Perempuan) sebagai pembicara dan Abdiel Fortunatus Tanias (MPH PGI) sebagai moderator. Pada pembukaan acara diskusi ini, Romo Haryanto (ICRP) memberikan sambutannya. Ia menjelaskan bahwa dengan membicarakan buku ini di STFT artinya kita sebagai masyarakat berhasil dan mampu melewati batas-batas yang kita ciptakan sendiri. “Buku yang ditulis Musdah Mulia diberikan judul ensiklopedia yang berarti mencakup begitu banyak aspek dan topik. Ensiklopedia tidak pernah diharapkan memberikan jawaban”, tutur Romo Haryanto. Lebih jauh, ia menuturkan bahwa melalui buku ini Musdah Mulia menawarkan sudut pandang yang tidak banyak disentuh orang yakni teologi feminis. Romo Haryanto mengungkapkan bahwa agama bukan hanya sebatas ritual tetapi studi bersama. Setelah sambutan dari Romo Haryanto, selanjutnya Pdt. Septemmy Lakawa mewakili civitas STFT Jakarta. Dalam sambutannya Pdt. Septemmy menegaskan bahwa pluralisme harus menjadi basis hidup berbangsa dan ia sangat mendukung kegiatan-kegiatan diskusi lintas agama seperti hari ini. Ia berharap STFT dapat menjadi ruang aman untuk membicarakan agama di Indonesia. Acara selanjutnya, yakni diskusi yang dimulai dengan paparan dari Prof. Musdah Mulia. Dalam paparannya secara khusus ia menjelaskan bukunya mulai dari penamaan, konsep yang digunakan, hingga topik pembahasan di dalam buku. “Buku ini adalah upaya memperkenalkan ajaran islam yang damai, yang sejuk, yang menekankan kepada pengharagaan kebinekaan. Memang tidak mudah, karena pandangan ini tidak mainstream”, jelas Musdah. Melalui buku ini, Musdah Mulia hendak menghadirkan pandangan keislaman yang membantu manusia dalam beragama agar menghindari proses dehumanisasi yang bertentangan dengan prinsip kemuliaan. Ia melanjutkan bahwa agama yang mengedepankan ajaran konservatif, intoleran dan radikal kerap menyadera harkat dan martabat manusia sehingga membawa kepada kehancuran peradaban. Sehingga menurutnya, penting bagi umat manusia untuk mendobrak konservatisme beragama. Lebih jauh, Musdah Mulia menjelaskan arti kata muslimah yang berakar dari kata al-salam, yang bermakna damai, tenang, aman, dan sejahtera. “Menjadi muslimah adalah kata kerja aktif bukan pasif. Menjadi muslimah artinya aktif merajut damai, mulai dari diri sendiri, dan bukan hanya untuk sesama muslim saja, tapi juga sesama manusia, bahkan semesta alam”, jelas Musdah Mulia. Ia melanjutkan bahwa definisi perempuan solehah yang digambarkan sebagai pasrah, tidak banyak bicara, itu adalah definisi yang keliru. Ia menegaskan bahwa menjadi muslimah yakni menjadi orang yang aktif, peduli, dan penuh empati terhadap kebaikan bersama. “Saya merumuskan muslimah berjihad adalah mereka yang meneggakan nilai-nilai keadilan dan kasetaraan yang menjadi esensi ajaran islam sekaligus pilar utama demokrasi dan pluralisme demi terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai spritual dan kemanusiaan”, jelas Musdah Mulia. Ia menjelaskan bahwa ada dua alasan dibalik lahirnya buku ini. Pertama, dilatarbelakangi karena kegelisahan pribadinya dalam melihat kondisi sosial di Indonesia yakni terjadinya distrupsi atau perubahan yang cepat dan drastis dalam kehidupan sosial. Hal tersebut menurutnya membawa pengaruh yang besar terutama dalam bidang agama. “Manusia semakin merasa teralienasi dan terpinggirkan sehingga tidak sedikit mengalami disorientasi dan kehilangan arah”, jelasnya. Alasan kedua Musdah Mulia dalam menerbitkan buku ini yakni karena meningkatnya konservatisme beragama yang dipengaruhi oleh masifnya ujaran kebencian dan berita bohong yang tersebar melalui media sosial. “Ledakan informasi yang mengandung konten hoax dan fitnah menciptakan politik identitas yang membuat polarisasi dalam masyarakat. Hal tersebut menimbulkan konflik kegamaan yang berkepanjangan. Hasil survey anak-anak muda kita lebih intoleran daripada generasi sebelumnya”, jelas Musdah. Rujukan utama dalam buku ini adalah konsep tauhid. Musdah menjelaskan bahwa konsep tauhid mengajarkan manusia untuk tunduk hanya kepada Tuhan. Dengan konsep ini maka manusia akan dapat sama-sama membangun peradaban dengan damai karena kesadarannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. “Bagi saya dengan pemaknaan tauhid semua orang akan dapat berjuang atau berjihad melawan kekerasan dan diskriminasi di muka bumi”, jelas Musdah. Buku ini dimulai dengan visi penciptaan manusia, yakni penjelasan tentang manusia agen moral. “Laki-laki dan perempuan adalah khalifah yang artinya pemimpin atau pengelola. Sehingga kita harus menjadi manusia yang mampu mengelola kehidupan di bumi untuk kebaikan semua makhluk”, tutur Musdah. Ia melanjutkan bahwa Islam mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan kepada manusia, dan mengajak manusia untuk berjuang menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan. Buku ini menggunakan perspektif islam sebagai agama rahmatan lil alamin. “Ajaran islam mengedepankan cinta kasih dan akomodatif. Rahmatan lil alamin adalah ajaran islam yang humanis, ajaran islam yang mendorong keluarga yang damai dan sejahtera, ajaran islam yang inklusif dan menjunjung nilai pluralis, ajaran islam yang peduli kemanusiaan”, tegas Musdah. Buku ini terdiri dari 16 bagian, yang masing-masing bagiannya memiliki perspektif teologi feminis. Tema-tema dalam buku ini yakni, pendidikan, membentuk keluarga melalui perkawinan, membangun keluarga berencana, poligami menghambat keluarga harmonis, mengapa memilih sistem demokrasi, menegakkan HAM, hak asasi anak, hak asasi perempuan, sulitnya mewujudkan prinsip kesetaraan gender, membangun kekuasaan politik yang ramah perempuan, melawan radikalisme dan terorisme, melindungi hak kebebasan beragam, berjuang menghapus kekerasan, berjihad merajut perdamaian, menawarkan humanis-feminis, merumuskan dakwa transformatif. Setelah penjelasan dari Musdah Mulia terkait isi bukunya. Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan) memberikan tanggapannya atas buku Ensiklopedia Muslimah Reformis. Atnike mengatakan bahwa topik yang ditulis Musdah Mulia dalam bukunya sangat beragam, sehingga layak diberikan nama ensiklopedia. “Ibu musdah menuangkan pertanyaan dan pengalaman ibu Musdah sebagai muslimah. Buku ini adalah buku feminis yang mengambil standpoint perempuan. Buku memaknai dan mempertanyakan segala sesuatu sebagai perempuan dan masyarakat”, jelas Atnike. Atnike melanjutkan bahwa dalam buku ini, pembahasannya tidak melulu menyoal topik spesifik perempuan, artinya Musdah Mulia sebagai perempuan tidak hanya berkutat pada persoalan dirinya saja, tetapi juga dirinya sebagai bagian dari situasi yang lebih luas yakni sebagai warga negara. Menurut Atnike, buku ini tidak hanya relevan terhadap umat muslim tetapi juga agama lain. Sebab dalam buku ini juga dimuat refleksi tentang hubungan umat islam dengan agama lain dalam konteks Indonesia. Lebih jauh, Atnike menjelaskan bahwa salah satu kritik feminisme terhadap agama ialah dominasi laki-laki dalam tafsir teks keagamaan. Sehingga menurut Atnike, buku Musdah Mulia memberikan cara pandang baru terhadap agama yang lebih humanis dan feminis. Atnike juga mengapresiasi keberanian Musdah Mulia untuk membicarakan dan bahkan mengkritik tafsir agama yang bias melalui buku ini. Atnike menjelaskan bahwa di dalam feminisme ada dua cara pandang feminisme dalam memandang agama. Cara pandang yang pertama yakni yang memandang agama sebagai objek di luar dirinya. Studi semacam ini khususnya berkembang di pemikiran barat. Kedua, yang tidak menempatkan agama sebagai objek di luar dirinya, tapi justru meleburkan feminisme ke dalam diskursus agama itu sendiri. Menurut Atnike, Musdah Mulia ada pada cara pandangan yang kedua, yakni tidak menarik batas antara agama dengan dirinya. Dalam proses tersebut, Musdah Mulia membangun narasi yang feminis dan humanis. Atnike menjelaskan bahwa pada bagian yang membahas tentang poligami, Musdah Mulia menggunakan literatur agama, pengalaman sejarah, dan pengalaman politik di negara lain, serta konsep-konsep keadilan gender. “Dalam buku ini kita bisa lihat bahwa agama bukan sesuatu yang statis, dia dipengaruhi manusia dalam sejarah”, jelas Atnike. Pembahasan dalam bab poligami ini, menurut Atnike, memperlihatkan adanya perubahan dalam agama yang terjadi karena adanya agensi dari manusia. “Ibu Musdah mengembangkan suatu teologi feminis, yakni menggunakan agama sebagai pandangan hidup, dan juga membangun pandangan yang berkeadilan secara bersamaan”, jelas Atnike. Atnike melihat buku ini menawarkan beberapa hal yakni pandangan tentang relasi agama dan perempuan, relasi agama dan masyarakat, dan kehidupan agama masyarakat Indonesia. Buku ini juga menawarkan ruang emansipasi dengan membuka ruang berpikir tentang agama yang humanis dan nasionalis. Pdt. Septemmy dalam paparannya menjelaskan bahwa buku ini berdimensi lintas iman. Menurutnya buku ini berusaha melawan proses hegomi identitas kolektif yang pedekatannya menisbikan feminsme dalam islam. Melalui buku ini saya diyakinkan oleh Musdah Mulia bahwa menjadi muslimah juga adalah menjadi Indonesia. “Musdah Mulia dalam buku ini mengafirmasi identitas kolektif yang multidimensi”, jelas Pdt. Septemmy. Lebih jauh ia menegaskan bahwa pluralitas dalam komunitas agama adalah penting. “Secara khusus, dalam pembahasan terkait Pancasila saya melihat bu Musdah sabar menjelaskannya khususnya dalam diskusi tentang islam dan demokrasi”, jelas Pdt. Septemmy. Bagi Pdt. Septemmy buku ini adalah tulisan perempuan beriman dan nasionalis. Secara khusus, Pdt. Septemmy menjelaskan bahwa penting untuk memasukkan cerita-cerita muslimah reformis di akar rumput sehingga tergambar jelas dan terbukti bahwa sosok muslimah reformis itu sungguh ada. Pdt. Septemmy yakin bahwa lembaga Pendidikan sangat strategis sebagai sumber agen perubahan. Ia menjelaskan bahwa perubahan yang transformatif adalah bagian dari kegiatan keagamaan dan pendidikan. “Gereja yang diperbaharui mesti memperbaharui dirinya seturut dengan firman Allah”, jelas Pdt. Septemmy. Lebih jauh Pdt. Septemmy menjelaskan bahwa prisnip dalam kristen ialah perubahan harus berakar pada firman, artinya perubahan tentang cara pandang haruslah berakar pada yang tekstual. Di agama Kristen dikenal konsep metanoya, yang artinya berputar 180 derajat. “Pendidikan itu artinya kita berubah total kearah yang lebih baik. Metanoya adalah pertobatan, kembali menghadapi kepada Tuhan. Caranya kita menghadap pada tuhan yaitu tertunduk”, jelas Pdt. Septemmy. Menurutnya perubahan bukanlah antitesis dari agama. Pdt. Septemmy menjelaskan bahwa Hermenetuika teologi feminis di Indonesia harus ada dan tidak bisa melepaskan diri dari konteks Indonesia. Ia menutup dengan pernyataan bahwa buku Ensiklopedia Muslimah Reformis adalah personifikasi dari diskursus resistensi. Diskusi ini dihadiri oleh akademisi, aktivis kemanusiaan, agamawan dan mahasiswa di STFT Jakarta. Diskusi berjalan dengan interaktif dan informatif. (Andi Misbahul Pratiwi) Salam pencerahan dan kesetaraan! Setelah terbit sejak tahun 1996, tahun 2019 Jurnal Perempuan telah mencapai edisi ke-100 (JP 100). JP 100 yang berjudul Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia, berusaha merefleksikan pemikiran dan gerakan perempuan di Indonesia selama duapuluh tahun terakhir, khususnya pasca Reformasi 1998. Beberapa kebaruan telah dicapai gerakan perempuan Indonesia, salah satunya adalah pengakuan negara atas kekerasan dalam rumah tangga sebagai sebuah kejahatan, yang diatur dalam Undang-undang No. 2003 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kebaruan lain yang dicatat dalam JP 100 adalah pengakuan terhadap hak-hak politik perempuan, melalui kuota pencalonan legislatif perempuan dalam undang-undang Pemilihan Umum sejak tahun 2003. Tahun 2019 merupakan tahun politik, tahun dimana prinsip-prinsip sebuah negara demokrasi dijalankan melalui penyelenggaraan pemilihan umum. JP 101 mengangkat judul Perempuan dan Demokrasi. Meski Pemilu di Indonesia telah mengatur kuota pencalonan perempuan dalam Pemilu legislatif, namun gerakan perempuan dalam demokrasi elektoral masih menghadapi tantangan. Pemilu yang berbiaya tinggi, serta pragmatisme/ oportunisme politik yang oligarkis, baik di tingkat nasional maupun daerah, menyebabkan terabaikannya agenda keadilan gender dalam sistem kepartaian, selain sebatas keperluan memenuhi kuota administratif dalam Pemilu. Politisi perempuan masih menghadapi kultur politik yang maskulin, baik di dalam partai maupun badan legislatif. Tahun 2019 juga perlu dicatat sebagai tahun perjuangan kaum perempuan Indonesia, khususnya dalam mendorong pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Tahun 2019 juga diisi dengan gerakan perempuan, bersama dengan mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil, dalam mengkritik RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang di dalamnya memasukkan pasal-pasal yang berpotensi merentankan perempuan, salah satunya terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi. Untunglah RUU KUHP ini kemudian ditunda pengesahannya. Kesehatan perempuan secara khusus diangkat dalam JP 102 Perempuan dan Kesehatan. Berbagai isu terkait kesehatan perempuan, mulai dari persoalan kesehatan reproduksi, kematian ibu, hingga kanker payudara diangkat dalam edisi ke-102 ini. Hingga kini, nilai dan unsur budaya di dalam masyarakat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap sikap masyarakat dan kebijakan pemerintah terhadap kesehatan perempuan. Pemahaman pembuat dan pelaksana kebijakan terkait kesehatan perempuan masih kurang memahami keragam konteks budaya, ekonomi, sosial, dan geografis yang dihadapi oleh perempuan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. Meski gerakan perempuan di Indonesia telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, namun perlu disadari bahwa diskursus seputar hak-hak perempuan dan keadilan gender masih lebih banyak berfokus pada isu perempuan urban dan berpusat pada Jakarta, atau sedikit lebih luas terfokus pada pulau Jawa. JP 103 tentang Agensi Perempuan Pedesaan, mengangkat pengalaman kaum perempuan di wilayah pedesaan di berbagai wilayah, seperti Aceh, Bengkulu, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Perempuan di berbagai wilayah Indonesia, menghadapi persoalan yang berbeda-beda. Namun, di setiap wilayah tersebut, perempuan masih menghadapi persoalan yang sama, yaitu ketimpangan gender, kemiskinan, dan eksklusi sosial. Tim Redaksi Jurnal Perempuan mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung kami di tahun 2019 ini. Terimakasih kami sampaikan kepada MAMPU (Kemitraan Australia – Indonesia untuk Kesetaraan Gender), Ford Foundation, Kemitraan, dan The Asia Foundation. Secara khusus kami berterimakasih kepada para penulis/ peneliti yang telah menyumbangkan karyanya bagi Jurnal Perempuan, kepada para Mitra Bestari dan Dewan Redaksi. Kami juga berterimakasih sebesar-sebesarnya kepada para Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) yang mempercayai dan mendukung kami melalui dukungan publik. Demikian juga terimakasih kami kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu demi satu. Tahun 2019 penuh dengan tantangan bagi perempuan Indonesia. Masih terlalu banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang belum memperoleh keadilan. Feminisasi kemiskinan masih membayangi kaum perempuan. Sistem dan budaya politik pun masih menjadi tembok besar bagi partisipasi penuh perempuan. Namun, posisi subordinat perempuan, tidak serta merta mematikan agensi perempuan. Keempat edisi Jurnal Perempuan di tahun 2019 ini memperlihatkan tidak hanya resiliensi perempuan, tetapi juga bentuk agensi perempuan. Melalui agensinya, kaum perempuan di Indonesia dapat melampaui subordinasi melalui strategi-strategi yang bersifat lokal dan kontekstual. Tahun 2019 telah diisi oleh berbagai agensi perempuan, perempuan korban kekerasan seksual, perempuan pejuang HAM, perempuan petani dan nelayan, politisi perempuan, dan lainnya, yang berusaha mendobrak sistim dan budaya kekerasan dan ketimpangan berbasis gender, sistim patriarki. Tahun 2019 adalah tahun agensi perempuan Indonesia! Jakarta, 31 Desember 2019 Atnike Nova Sigiro Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |