Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030 telah dicanangkan sejak tahun 2015 sebagai respons dari gagalnya tujuan pembangunan milenium. Setelah lima tahun, data menunjukkan ketimpangan di dunia masih besar. “Berdasarkan penelitian Oxfam di tahun 2019, gabungan kekayaan 22 laki-laki terkaya di dunia lebih besar dari kekayaan semua perempuan di Afrika,” ujar Megawati peneliti Infid pada diskusi publik yang mengusung tema Pekerjaan Perawatan dan Kontribusinya terhadap Perekonomian dalam Upaya Mengurangi Ketimpangan Sosio-ekonomi dan Ketimpangan Gender di Gedung Perpusatakaan Nasional, Jakarta (23/01/2020). Di Indonesia, ketimpangan di sektor pekerjaan masih menjadi permasalahan. Dalam konteks kerja masih ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam kesempatan maupun pendapatan, berdasarkan data Sakernas 2018, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja perempuan jauh lebih rendah yakni 51,88% dibandingkan laki-laki 82,69%. Kemudian, rata-rata upah per bulan perempuan 2,4 juta dan laki-laki 3,06 juta. Masih berdasarkan data tersebut, perempuan mendominasi sektor kerja informal sebab hanya 35,05% perempuan bekerja di sektor formal. Peneliti Prakarsa, Herawati, menambahkan bahwa berdasarkan data International Labor Organization tahun 2018, sebanyak 76% perempuan di dunia melakukan kerja perawatan yang tidak berbayar (unpaid care work). Menyoal kerja perawatan, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro, menjelaskan bahwa publik termasuk perempuan masih berasumsi bahwa kerja perawatan adalah bagian dari tanggung jawab perempuan, baik sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) maupun sebagai anggota di dalam keluarga. Lebih jauh, dalam sistem ekonomi kapitalistik pun perempuan dianggap sebagai angkatan kerja cadangan. Sehingga menurut Atnike, tak heran bila terjadi ketimpangan dalam hal kesempatan dan pendapatan perempuan dalam kerja. “Kerja perawatan yang dilakukan ibu rumah tangga dan anggota keluarga perempuan di dalam rumah cederung dianggap sebagai kerja non-ekonomi karena tidak remunerasi atau upah,” jelas Atnike. Jurnal Perempuan di tahun 2018 melakukan penelitian terkait persepsi publik terhadap kerja perawatan yang dimuat dalam JP 99 Perempuan dan Kerja Perawatan. Riset tersebut menggunakan metode pengumpulan data dengan survei nasional di 34 provinsi dan mengambil 2.041 dengan kategori IRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 9 kategori pekerjaan perawatan yang dilakukan IRT, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengurus anak hingga mengurus kebun. Penelitian ini juga menemukan bahwa rata-rata lama kerja IRT yakni 13,5 jam per hari, lebih besar dibandingkan survei ILO di tahun 2018 yang menyebutkan bahwa rata-rata perempuan di Asia Pasifik bekerja 7,7 jam per hari. Meskipun demikian, penelitian ini memperlihatkan minimnya penghargaan terhadap kerja perawatan oleh publik maupun perempuan itu sendiri. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil survei yang menyebutkan bahwa 21% responden IRRT menilai pekerjaan yang mereka lakukan layak diberikan upah 2-3 juta rupiah per bulan. Bila dibuat rata-rata keseluruhan responden maka rata-rata upah yang diasumsikan untuk kerja perawatan IRT ialah 2 juta per bulan. “Bila pekerjaan IRT tersebut didistribusikan pada PRT, tukang kebun, baby sitter, maka sesungguhnya nominal 2 juta rupiah tersebut sangat kecil sekali, bahkan lebih kecil dari rata-rata upah buruh perempuan nasional yakni sebesar 2,2 juta rupiah,” pungkas Direktur sekaligus Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan tersebut. Riset yang dilakukan Jurnal Perempuan menyimpulkan adanya kesenjangan antara beban kerja dan renumerasi kerja perawatan IRT di Indonesia. Ari Ujianto, Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) menjelaskan bahwa isu PRT itu beririsan dengan identitas kelas, identitas gender, bahwa di beberapa negara identic dengan identitas ras. Ia menyebutkan bahwa berdasarkan data ILO bahwa di Indonesia terdapat 4,2 juta PRT. Namun ia sendiri yakin bahwa jumlah PRT di Indonesia lebih banya daripada temuan ILO. Ari menyebutkan, dalam konteks kerja perwatan yang dilakukan PRT, rata-rata upah yang mereka dapatkan hanya 25-35% dari upah minimun regional. Menurutnya penghargaan terhadap kerja perawatan dan perlindungan sosial PRT masih sangat rendah. “Meski bagi sebagian banyak orang PRT adalah pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian, namun pekerjaan PRT ini sangat identik dengan umur. Berdasarkan temuan Jala PRT mayoritas perempuan PRT berusia 20-35 tahun. Umur itu penting untuk mendapatkan pekerjaan PRT,” jelas Ari. Maria Lauranti, Country Director Oxfam Indonesia, mengatakan bahwa seharusnya pekerjaan perawatan tidak dianggap pekerjaan biasa. “Pemangku kebijakan sebagai arsitektur ekonomi bisa berperan salah satunya dengan menyediakan infrastruktur yang memadai untuk kerja perawatan. Contohnya, dengan ketersediaan sumber air yang lebih dekat, para pekerja rumah tangga dapat dipermudah aksesnya untuk mengambil air,” jelasnya. Menurutnya, saat infrastruktur dan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pelayanan pengasuhan anak dan ketenagakerjaan dikembangkan dengan keberpihakan terhadap perempuan, maka mereka akan lebih berdaya pada sektor sosial, ekonomi maupun politik dan ketimpangan bisa dikurangi. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga mengakui bahwa ada ruang kerja perempuan yang belum mendapat perhatian dari negara yakni kerja perawatan dan kerja sektor informal. Menurutnya pemerintah dan LSM perlu bekerja bersama untuk merumuskan indikator-indikator kerja yang belum diakomodir dalam perhitungan ekonomi makro ini. “Kementerian PPPA punya peran besar untuk upaya mendorong pengakuan pekerjaan perawatan di Indonesia. Pemerintah memerlukan data dan indikator tentang kontribusi pekerjaan domestik dan unpaid care work dalam ekonomi,” tuturnya. “Data yang dipaparkan menarik, dan saya kira penting bagi kita untuk membuat perhitungan valuasi dari kerja perawatan baik yang dilakukan ibu rumah tangga, anggota keluarga perempuan, maupun pekerja rumah tangga agar dapat terlihat seberapa besar kontribusi kerja perawatan ini terhadap perekonomian makro,” pungkas Wahyu Susilo Direktur Migrant Care yang juga menyampaikan pendapatnya dalam forum tersebut. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |