Dalam rangka merayakan Hari Internasional Perempuan dalam Sains yang jatuh pada tanggal 11 Februari, UNDP Indonesia mengadakan seminar bertajuk “SDGs Talk 1: Women and Girls in Science, Technology, Engineering, Mathemathics”. Acara yang digelar di Jakarta Creative Hub pada 26 Februari 2019 ini mengundang para perempuan inspirasional yang bergelut dalam bidang STEM (Sains, Teknologi, Engineering, Matematika). Acara ini dibuka oleh Sophie Kemkhadze, Phd (UNDP Indonesia Deputy Resident Representative) yang menyampaikan dukungannya kepada para perempuan yang bergelut dalam dunia STEM. Menurut Sophie, partisipasi perempuan dalam bidang STEM menunjukkan adanya kesetaraan gender. Hal ini sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 5, yakni “Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan”. SDGs juga memiliki motto yang berbunyi “Leaving No One Behind”, mengartikan bahwa semua orang dapat membawa perubahan yang positif kepada dunia dan semua orang dapat menjadi agen perubahan, termasuk perempuan. Selain itu, ketimpangan gender pada kenyataannya telah merugikan komunitas global secara ekonomi. “Studi terdahulu mengatakan, jika perempuan memiliki akses dalam semua kesempatan, layaknya laki-laki, dan jika tidak ada diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, maka keuntungan yang akan diperoleh secara ekonomi dapat mencapai USD 1063”, tutur Sophie. Ia menekankan bahwa kesetaraan gender di bidang ekonomi melalui akses perempuan terhadap teknologi inovasi adalah hal yang penting. Stereotip peran perempuan yang “tabu” dalam dunia STEM menjadi salah satu faktor menciutkan nyali perempuan untuk berkecimpung di dalamnya. Hal ini dibuktikan dengan perbedaan signifikan peraih penghargaan nobel yang mayoritas laki-laki, yakni sebanyak 853 laki-laki dan 56 perempuan. Menurut Sophie, kehidupan di era revolusi 4.0 dan masa depan akan berdampingan dengan ekologi dan sains karenanya, penting bagi perempuan untuk fokus edukasi berbasis teknologi dan sains, serta membangun standar kompetitif yang lebih tinggi. Melalui inovasi teknologi, perempuan dapat melibatkan diri dalam perubahan, diskusi, bahkan menciptakan solusi. “Perempuan harus berani untuk mengambil bagian dalam dunia STEM, karena STEM membawa dunia ini kepada perubahan yang lebih baik”, tuturnya. Kemudian, acara dilanjutkan dengan sesi berbagi pengalaman yang diisi oleh Verania Andria, PhD (Renewable Energy Advisor, UNDP Indonesia), Tengku Alia Sandra (Signal Engineer, MRT Indonesia), dan Three Maskerteens (pemenang 2017 L’Oreal Girls in Science). Yenny Widjaja (Gender Specialist, UNDP Indonesia), selaku moderator, turut menyampaikan data mengani ketimpangan gender dalam STEM. Ia menyebutkan bahwa berdasarkan data UNESCO tahun 2018, dua dari sepuluh orang perempuan memilih berkarier secara profesional dalam industri STEM dan tiga dari sepuluh perempuan menjadi peneliti di bidang STEM. Badan Pusat Statistik (BPS) juga menemukan bahwa perbandingan gender dalam tingkat partisipasi pasar kerja masih didominasi oleh laki-laki sebanyak 83% dan perempuan sebanyak 55%. Selain itu, hanya sekitar 30% pekerja perempuan memiliki pekerjaan dalam industri STEM. Setelah penyampaian data tersebut, Yenny mempersilakan Verania Andria untuk berbagi pengalaman bekerja dalam bidang STEM. Memiliki latar belakang sains dengan pendidikan sarjana biologi dan pascasarjana dalam bidang mikrobiologi dan genetika, Verania kini menjadi ahli energi terbarukan. Dalam kesehariannya, ia bekerja untuk memberikan saran agar UNDP dapat berkontribusi dan meningkatkan dampak kepada masyarakat melalui pemanfaatan potensi alam. Salah satu program yang ia kerjakan adalah meningkatkan akses listrik pada desa-desa terpencil. Sebagai minoritas dalam bidang pekerjaanya, seringkali ia merasa dipandang sebelah mata. “Bekerja dalam berbagai tim proyek dan terlibat dengan kementrian, seringkali kami mengadakan meeting tersebut. Dalam meeting tersebut, saya perempuan sendiri”, ujarnya. Tak jarang pula ia dianggap sebelah mata karena ia bekerja dalam bidang sains. Tetapi, Verania terus membuktikan kemampuannya dan melawan untuk tunduk pada stereotip yang ada. Lain halnya dengan Tengku Alia Sandra. Pasalnya, menjadi engineer bukan cita-citanya sejak awal. Ketika kecil, ia bermimpi untuk menjadi dokter, namun kegagalan dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri mengantarkan dia untuk bersekolah di Jurusan Sistem Informasi. Selepas sarjana, ia kemudian bekerja sebagai telco engineer di perusahaan Nokia Siemens selama dua tahun, kemudian pindah ke Australia. Namun sayangnya prospek kerja sebagai telco engineer di Australia, tidak mudah seperti di negara Asia. Kemudian, Alia bekerja menjadi signal engineer di sebuah perusahaan Australia bernama Jacob Engineering. Setelah pulang ke Indonesia di tahun 2017, ia mempertahankan idealisme untuk tetap menjadi signal engineer dan bekerja untuk MRT Jakarta. Saat ini, Alia mengelola departemen raw Engineering yang memiliki 6 disiplin ilmu, track, signalling, rolling stock (kereta), tempo, power, dan overheat regulation system. Ia juga menyampaikan bahwa permasalahan ketimpangan gender dalam dunia STEM bukan karena perbedaan laki-laki dan perempuan, “Satu hal yang saya ambil dari pengalaman saya, isu dari permasalahan perempuan dalam STEM bukan lah masalah gender, namun masalah mampu atau tidak. Melalui bekerja dengan ekstra keras, respek akan muncul dengan sendirinya”, ucapnya. Selanjutnya, kelompok perempuan muda bernama Three Maskerteens mendapatkan giliran untuk bercerita mengenai prestasinya. Ketiga siswi kelas 12 SMA Plus Pembangunan Jaya ini merupakan pemenang dari kompetisi L’Oreal Girls in Science di tahun 2017. Beranggotakan Ayu Sekar, Ashilla Maitsa, dan Alia Reiza, mereka berbagi pengalaman mengenai keiikutsertaan dalam pengembangan sains. Dengan tema “Social Impact”, Three Maskerteens berhasil menciptakan inovasi baru dengan membuat produk masker anti polusi. “Masker ini dibuat karena masker yang dijual dipasaran kebanyakan hanya menggunakan karbon aktif sebagai pelindungnya. Kami menawarkan masker dengan proteksi ganda, dengan pelindung dari lidah mertua, yang berfungsi untuk menyerap polutan-polutan yang ada, aromaterapi jeruk, dan arang aktif dari buah bintaro”, tutur Ashilla. Selain itu, alasan lain dari pembuatan masker ini ialah data yang menunjukkan bahwa salah satu penyebab angka kematian di tahun 2014 adalah tuberculosis (TBC), yang dapat dipicu oleh polusi, dan kecelakaan berkendara karena mengantuk. Aromaterapi jeruk yang digunakan dalam masker ini akan membantu para penggunanya menghilangkan rasa ngantuk. Desain yang dimiliki oleh masker ini pun sangat unik, selain terbuat dari kain yang dapat dicuci ulang, terdapat pula resleting di bagian depan dan sampingnya sebagai akses untuk mengganti isi dari proteksi ganda tersebut. “Ruang ini diisi dengan 3 lapisan, pertama, yang paling depan atau yang jauh dari mulut, adalah arang aktif dai buah bintaro. Kedua, ekstrak lidah mertua, dan ketiga, aromateriapi jeruk yang paling dekat denan mulut”, jelas Ayu lebih lanjut. Selain itu, nama tim yang dipilih pun menggambarkan keunikan masker ini. “Kita cari nama yang mampu mendeskripsikan kita bertiga, tapi nama itu harus juga mudah masuk ke telinga orang, catchy, dan mudah diingat. Nama Three Maskerteens diambil dari cerita anak-anak, The Three Musketeers. “Three” mengartikan 3 desain yang dibuat untuk masker ini. Kemudian, teens dipilih karena corak yang dipakai pada masker ini sesuai dengan anak muda dan tidak ketinggalan jaman,” jelas Alia. Acara ini kemudian ditutup dengan motivasi yang diberikan oleh setiap pembicara. Alia dari Three Maskerteens memotivasi para peserta yang hadir agar tidak pernah ragu dalam menjalankan setiap rencana, setiap orang harus yakin akan kemampuan dirinya. Ayu mengatakan bahwa anak-anak muda harus berani untuk memulai inovasi, “Bukan hanya untuk yang ada di sini, tetapi juga mereka yang ada di luar sana, terutama untuk anak-anak yang seumuran dengan kita, atau pun yang masih kecil. Apapun yang kita pikirin, yakini saja kalau kita bisa dan jangan pernah takut sebelum kita memulai”, ujarnya. Kemudian, Verania menyampaikan bahwa dengan jumlah laki-laki dan perempuan yang hampir sama, ia percaya potensi yang dimiliki laki-laki dan perempuan setara, “Sudah bukan zamannya lagi kalo laki-laki dan perempuan itu tidak bisa beriringan. Kita semua capable, mari kita jadikan 100% potensi laki-laki dan perempuan bisa terwujud”, tuturnya. Terakhir, Tengku menjelaskan bahwa ada dua hal yang membawa kita kepada kemajuan. “Bagi saya, ada dua hal. Kerja keras, karena saya yakin kerja keras itu tidak akan membohongi hasil. Kalau kita benar-benar menunjukkan kita siapa, dan kita mampu, pasti orang akan melihat kita. Kedua, berani akan kesempatan yang ada. Satu kesempatan yang muncul akan membawa kita kepada kesempatan lain yang mungkin dapat membawa kita menjadi lebih baik lagi”, tutup Tengku. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Perbedaan pendapat terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih menjadi isu besar yang diperdebatkan oleh masyarakat, khususnya di tahun politik 2019 ini. Sabtu (23/2) Jurnal Perempuan mengangkat isu ini dalam Gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dalam diskusi terbuka. Diskusi diawali dengan pemaparan tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) oleh Mariana Amiruddin, M.Si (Komisioner Komnas Perempuan). Dalam kesempatan tersebut, banyak anggota SJP yang antusias mengutarakan pendapat dan memberikan saran mereka tentang isu undang-undang tersebut. Dalam diskusi tersebut, Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Guru Besar UI) menyampaikan bahwa masih banyak dari pihak-pihak yang kontra terhadap RUU PKS karena menganggap bahwa undang-undang tersebut akan memperbolehkan zina atau seks bebas dalam masyarkat. Menurut Sulis, sebagai aktivis perempuan kita harus bisa membuat mereka yang kontra dapat memahami bahwa RUU PKS ini berpihak kepada korban dan bertujuan untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Merespons pendapat tersebut, Mariana Amirudin mengungkapkan bahwa diskusi-diskusi tentang RUU PKS lebih banyak terjadi di sosial media, sehingga menimbulkan banyak salah paham, bias, dan konflik. Mariana menambahkan bahwa permasalahan pada RUU ini adalah ketiadaan ruang-ruang diskusi dan dialog untuk membahas isu ini. “Dialog itu ini tidak pernah ada. Tidak pernah ada konfirmasi kepada Komnas Perempuan atau kelompok-kelompok yang menjadi tim perancang undang-undang ini. Menurut kami, DPR seharusnya memfasilitasi kedua pihak ini, yang pro dan kontra.” tambah Mariana. Setuju dengan Mariana, Sonya (Jurnalis Harian Kompas) menyarankan agar ruang-ruang diskusi dan dialog harus diperbanyak. Berdasarkan pengalaman Sonya saat menjadi moderataor di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang RUU PKS, dia menyampaikan bahwa di dalam pemerintahan pun masih banyak orang yang belum benar-benar memahami pentingnya RUU PKS. Untuk itu, sebaiknya ruang-ruang diskusi dan dialog tentang pemahaman RUU PKS semakin diperbanyak, baik ke ranah pemerintahan dan juga ke masyarakat. Dea Basori (Dokter Gigi dan Aktivis Perempuan) memerhatikan bahwa salah satu cara yang dilakukan oleh pihak yang kontra terhadap RUU PKS adalah melakukan diskusi online di Whatsapp. Diskusi grup online tersebut bersifat tertutup dan satu arah, sehingga apabila ada orang lain memberikan argumen pro RUU PKS maka akan langsung dikeluarkan dari grup Whatsapp. Berdasarkan pengamatannya, Dea pun menyarakan agar para aktivis Perempuan juga melakukan hal serupa, yaitu membuat ruang diskusi online yang terbuka dan dua arah untuk mengedukasi warganet tentang pentingnya RUU PKS. Dalam diskusi tersebut Melli Darsa, S.H., LL.M. (Pendiri & Mitra Senior, PwC Indonesia) menyatakan bahwa dibutuhkan kesabaran dalam membuat peraturan, apalagi bila peraturan tersebut mengandung gagasan yang dianggap berbenturan dengan pandangan-pandangan budaya dan norma-norma agama. Dia juga menegaskan bahwa pembuatan peraturan undang-undang membutuhkan waktu yang tidak singkat, namun sebagai aktivis perempuan, kita tetap harus optimis dalam mengadvokasi undang-undang tersebut. Dr. Atnike Nova Sigiro selaku Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan mengakhiri diskusi dengan menyimpulkan beberapa hal penting dalam diskusi. Pertama, diingatkan lagi bahwa sebagai aktivis perempuan kita harus sabar dan tetap optimis untuk memperjuangkan RUU PKS. Kedua, aktivis pemberdayaan perempuan harus fokus menakankan bahwa RUU PKS bertujuan melindungi korban. Ketiga, strategi penggunaan media sosial juga perlu diperhatikan dan dimanfaatkan sebaik mungkin agar dapat menjadi media advokasi RUU PKS dan tidak menjadi senjata yang berbalik. Terakhir, perlu membuka ruang-ruang diskusi dan dialog. Selain itu kita sebagai aktivis perempuan harus memperlengkapi diri agar memiliki argumen yang kuat dan dapat bisa berdialog dengan orang-orang yang belum paham terhadap RUU PKS. (Rahel Narda Chaterine) Sabtu (23/2), Jurnal Perempuan menggelar gathering perdana Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) di tahun 2019. Bertempat di kediaman Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, acara ini bukan hanya sekadar pertemuan rutin belaka, namun juga wadah untuk berdiskusi mengenai isu-isu perempuan dan keadilan gender di Indonesia saat ini. Pada gathering kali ini, Jurnal Perempuan mengajak para SJP untuk mendiskusikan perjuangan dan pro-kontra pengesahan “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” bersama Mariana Amiruddin, M.Si (Komisioner Komnas Perempuan). Gathering SJP dimulai dengan sambutan oleh Prof. Sulistyowati Irianto selaku tuan rumah. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan dukungan serta harapan untuk Jurnal Perempuan agar terus hidup dan giat memproduksi ilmu pengetahuan. Prof. Sulis, yang juga merupakan Dewan Redaksi Jurnal Perempuan, mengungkapkan bahwa penting bagi generasi muda untuk turut merawat kualitas dan menjaga keberlangsungan JP sebagai satu-satunya jurnal feminis di Indonesia. “Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua staff dan penulis Jurnal Perempuan yang berkontribusi dalam memproduksi pengetahuan melalui tulisan-tulisannya,” tutur Prof. Sulis. Kemudian, acara dilanjutkan dengan pemaparan program dan penerbitan oleh Dr. Atnike Nova Sigiro, Diretur Eksekutif Jurnal Perempuan. “SJP tidak hanya komunitas berlangganan jurnal, namun juga komunitas yang bergerak bersama untuk mendukung cita-cita pemajuan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender,” tutur Atnike. Atnike juga menginformasikan bahwa JP 100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan, akan segera terbit di bulan Maret sebagai upaya untuk menghadirkan suasana reflektif terhadap pemikiran serta gerakan perempuan di Indonesia dalam 20 tahun terakhir, khususnya semenjak reformasi 1998. Atnike juga menjelaskan beragamnya tema atau isu yang diangkat dalam terbitan Jurnal Perempuan bukan hanya sebagai bukti bahwa persoalan gender di Indonesia masih banyak, tetapi juga merupakan upaya pengembangan teoritik dan advokasi guna menghadirkan perspektif feminisme yang dapat menjawab tantangan persoalan kontemporer. Ia menyebutkan judul terbitan JP selama tahun 2017, yaitu JP 96 Feminisme dan Cinta, JP 97 Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender, JP 98 Perempuan dan Kebangsaan, dan JP 99 Perempuan dan Ekonomi. Perawatan. “Misalnya pada JP 97, kami mengangkat isu hukum pidana dan ketimpangan gender, mengingat pada waktu itu ada urgensi untuk menjelaskan dan menghadirkan pada publik tentang pasal-pasal yang diskriminatif dalam rancangan kitab hukum pidana,” tutur Atnike. Setelah paparan program dari Atnike, acara dilanjutkan dengan mendengar pendapat maupun kritik dari Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) sebagai bagian dari JP. Sjamsiah Achmad, seorang aktivis perempuan, memberikan saran kepada JP agar dapat hadir dan memberikan pendidikan kesetaraan gender kepada instansi pemerintah, mengingat masih banyaknya kebijakan diskriminatif dalam berbagai aspek. Selaras dengan kritik tersebut, Riris W. Widati turut memberikan masukan agar Jurnal Perempuan melakukan kerjasama dan pelatihan kepada anggota DPR, sehingga lembaga negara tersebut dapat memahami kondisi perempuan dan ketimpangan gender di Indonesia. Selain itu, beliau juga menyampaikan usulan agar program Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) dapat diakses secara daring. Terakhir, masukan kepada Jurnal Perempuan juga diberikan oleh Subeti Makdriani, pustakawan utama Perpustakaan RI, untuk memanfaatkan ruang dan fasilitas teknologi di Perpustakaan Nasional sehingga Jurnal Perempuan dapat memberikan sosialisasi terkait dengan isu-isu kesetaraan gender kepada publik. Acara ini disambung dengan pemaparan data dan perkembangan SJP oleh Himah Sholihah, selaku koordinator SJP. Himah melaporkan bahwa Januari 2019, tercatat ada 487 orang anggota aktif SJP, yang terdiri dari 107 orang laki-laki dan 380 orang perempuan. “SJP juga telah berhasil merangkul hampir seluruh bagian di Indonesia, kecuali Kalimantan Utara, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara, serta mancanegara, seperti Norwegia dan Australia”, jelas Himah. Ia melanjutkan bahwa ragam pembaca Jurnal Perempuan masih didominasi oleh akademisi, LSM dan pegawai pemerintah. Himah juga menjelaskan bahwa Jurnal Perempuan juga terus mencoba mengenalkan jurnalnya ke daerah-daerah terpencil. Setelah pemaparan tentang program dan SJP, acara dilanjutkan dengan diskusi mengenai perkembangan dan pro kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Atnike Nova Sigiro. Diskusi ini dilatar belakangi oleh ramainya perbincangan dan kesalahpahaman tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Mariana sebagai pemantik diskusi menekankan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual murni bertujuan untuk melindungi korban kekerasan. Ia juga menyayangkan banyaknya informasi yang salah dan kurang tepat terkait perjuangan perempuan dalam mendorong lahirnya payung hukum bagi korban kekerasan seksual. Menurutnya, kurangnya ruang dialog dengan berbagai pihak dan masyarakat menjadi salah satu faktor banyaknya kesalahpahaman akan isi kandungan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Merespons isu ini, SJP yang hadir juga secara aktif menyuarakan pandangan, pendapat, dan pengalaman mereka. Di penghujung acara, Atnike menutup Gathering SJP dengan harapan agar SJP terus mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan menyebarkan pengetahuan berkeadilan gender. Selepas acara, antusiasme SJP tak kujung padam, berbagai dialog bernafaskan isu sosial dan keadilan gender terus dirajut oleh SJP dalam diskusi-diskusi informal. (Nadya Nariswari Nayadheyu) RUU Masyarakat adat telah dua kali masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Sejak tahun 2013 hingga saat ini pengesahan RUU tersebut masih belum jelas. Pada periode pemerintahan SBY, RUU Masyarakat Adat gagal menjadi undang-undang karena dianggap masih terdapat sejumlah persoalan dalam perumusan pasal-pasalnya. Dalam periode pemerintahan Jokowi-JK, komitmen politik terkait masyarakat adat telah tertuang dalam Nawacita. Salah satu dari enam komitmen politik Jokowi-Jk terkait masyarakat adat adalah mendorong pengesahan RUU masyarakat adat. Namun sayangnya hingga jelang akhir periode pemerintahan Jokowi-JK, tanda-tanda akan disahkannya RUU tersebut belum juga nampak. Hal ini memperlihatkan rendahnya prioritas negara dalam perlindungan masyarakat adat. Dalam diskusi yang diselenggarakan di YLBHI, Jakarta (10/2), Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan. Muntaza, Direktur Program dan Komunikasi Perempuan AMAN mempertanyakan komitmen negara pada masyarakat adat khususnya perempuan adat. Ia menuturkan bahwa komitmen politik pemerintah melalui Nawacita seharusnya membawa semangat pemulihan relasi negara dengan masyarakat adat dan bukan sebagai alat politik belaka. “Bila kita mengingat sejarah Indonesia, masyarakat adat telah berkali-kali menjadi korban dari kebijakan yang tidak adil. Komitmen pemerintahan Jokowi tahun 2014 perlu dipahami sebagai keinginan negara untuk memperbaiki relasi dengan masyarakat adat. Artinya ada sebuah upaya untuk mengembalikan harkat dan martabat masyarakat adat”, tutur Muntaza. Menurut Muntaza, kehadiran UU Masyarakat adat akan membawa semangat perlindungan dan pengakuan terhadap Masyarakat Adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan. “Kami di Perempuan AMAN menyadari bahwa di dalam komunitas adat masih terdapat praktik-praktik adat yang diskriminatif dan membenarkan tindak kekerasan terhadap perempuan adat. Misalnya hukum adat yang menyelesaikan kasus perkosaan dengan menikahkan korban dengan pelaku perkosaan dan tradisi potong jari. Ini adalah praktik kekerasan yang dilindungi oleh hukum adat”, kata Muntaza. Muntaza juga menyatakan bahwa RUU Masyarakat Adat akan menjadi sebuah instrumen hukum yang memasukkan masyarakat adat ke dalam kehidupan bernegara dan mengikat masyarakat adat terlibat aktif dalam mengeliminasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat. RUU Masyarakat Adat memandatkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Artinya disahkannya RUU tersebut tidak sekadar mempersoalkan hak tetapi mempersoalkan pula tentang kewajiban dari masyarakat adat sebagai warga negara untuk mendistribusikan keadilan bagi seluruh masyarakat termasuk perempuan adat. Selain itu, menurut Muntaza disahkannya RUU Masyarakat Adat menjadi UU amatlah penting karena RUU ini akan menjadi media untuk mengenali dan melindungi hak kolektif perempuan adat. Aturan hukum yang ada selama ini, termasuk CEDAW hanya mengatur hak individual perempuan, padahal di dalam komunitas Masyarakat Adat terdapat hak-hak kolektif perempuan. Muntaza menegaskan bahwa kehadiran UU Masyarakat Adat dapat menjadi ruang hukum yang kuat untuk melindungi hak kolektif perempuan adat. “RUU Masyarakat Adat merupakan satu-satunya kebijakan yang mampu melindungi hak-hak kolektif perempuan adat serta menjamin partisipasi perempuan adat di dalam pembangunan berbangsa dan bernegara”, sambung Muntaza. Keberadaan UU Masyarakat Adat akan berguna untuk mengenali pengetahuan, peran dan kontribusi perempuan adat dalam keberlangsungan masyarakat adat. Hak kolektif perempuan terkait dengan pengetahuan mereka seperti pengelolaan danau, pewarnaan tenun dan berbagai pengetahuan kolektif lainnya yang selama ini belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum menjadi diakui. Perempuan adat memiliki peran besar dalam keberlangsungan bangsa ini, ungkap Muntaza. Perempuan adat berkontribusi dalam pengetahuan, pangan, etika dan berperan pula sebagai pembawa keberlangsungan masyarakat adat. Artinya tanpa perlindungan hukum yang jelas pengetahuan-pengetahuan perempuan adat perlahan akan menghilang. Oleh karena itu, RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan demi melindungi hak-hak perempuan adat dan jaminan keberlangsungan masyarakat adat. (Abby Gina) Rabu (6/2) Komnas Perempuan mengadakan “Media Briefing” guna menjelaskan berita bohong atau hoax yang menimbulkan kesalahpahaman tentang isi dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). “Media Briefing” yang diselenggarakan di kantor Komnas Perempuan tersebut bertujuan untuk meluruskan pemberitaan dan informasi keliru tentang RUU PKS yang beredar di masyarakat. Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan) menjelaskan adanya informasi yang salah terkait RUU PKS tersebar di media sosial, sehingga publik dibuat bingung. Informasi yang salah tersebut tersebut antara lain, RUU PKS melindungi dan melegalkan perzinaan, aborsi dan LGBT. “Penting bagi kita untuk membaca terlebih dahulu isi dari RUU PKS, sebab semua yang dituduhkan tidak tertulis di dalam RUU PKS”, tutur Mariana. Ia juga meminta agar rekan media dapat menuliskan berita sesuai fakta. Mariana menegaskan bahwa pengesahan RUU PKS dibutuhkan untuk menjawab kegelisahan atas meningkatnya korban kekerasan seksual. Selain itu Azriana Rambe Manalu (Ketua Komnas Perempuan) menjelaskan bahwa RUU PKS dibentuk pada tahun 2012 dengan pertimbangan laporan kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat setiap tahunnya. Di tahun yang sama kekerasan terhadap perempuan berada di tanda darurat, sebab setiap dua jam ada tiga perempuan mengalami kekerasan seksual. Azriana menjelaskan bahwa perjuangan mendorong RUU PKS juga diikuti sejumlah perlawanan, salah satunya ialah argumen bahwa persoalan kekerasan seksual telah diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Azriana, RUU PKS berguna untuk mengisi kekurangan KUHAP dalam menyelesaikan urusan kekerasan terhadap perempuan yang selama ini belum memperhatikan hak korban untuk dilindungi dan dipulihkan. Azriana juga memberikan catatan penting pada model diskusi dengar pendapat yang dilakukan Komisi 8 DPR RI selama ini. Menurutnya, penting untuk mengajak diskusi korban dan keluarga korban kekerasan seksual, selain diskusi dengan ahli gizi dan agama. Dengan pembuat UU dapat melihat pokok persoalan dengan lebih jelas. Sementara itu, Sri Nurherwati (Komisioner Komnas Perempuan) menjelaskan bahwa dalam upaya pengesahan RUU PKS ada enam elemen kunci yang perlu dipertahankan yaitu, pencegahan kekerasan seksual, hukum acara yang ramah terhadap korban kekerasan seksual, kritik atas pemidanaan yang tidak memunculkan efek jera, 9 bentuk kekerasan yang tercantum di dalam pasal 11 RUU PKS, pemulihan korban dan keluarga korban, dan mencerahkan masyarakat. Dengan begitu substansi RUU PKS tetap fokus pada pemulihan dan hak korban. Pada acara tersebut Masruchah (Komisioner Komnas Perempuan) juga mengemukakan pandangannya. Menurutnya selama ini banyak orang keliru memandang bahwa RUU PKS adalah inisiatif Komnas Perempuan semata. “Sejak RUU PKS diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hingga RUU PKS masuk dalam Program Legislasi Nasional Komnas perempuan telah melakukan diskusi dengan seluruh partai, fraksi, dan elemen kementerian”, tutur Masruchah. Ia juga menyayangkan bahwa banyak isu tersebar tentang RUU PKS yang bertolak dari ajaran Islam, sehingga terdapat pertentangan dari sejumlah kelompok. Padahal menurutnya Komnas Perempuan telah berdiskusi dengan sejumlah mitra strategis seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Ijtihad Ulama untuk membicarakan persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam perspektif Islam. Para mitra mendukung pengesahan RUU PKS karena memiliki tujuan untuk melindungi martabat kemanusiaan korban kekerasan seksual. (Iqraa Runi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |