Pada Jumat (19/7), Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera bekerjasama dengan Lokataru Foundation dan Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan kegiatan diskusi publik mengangkat tema “Ketimpangan Gender dalam Kasus-kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Indonesia”. Kegiatan yang menghadirkan tiga narasumber, Anugerah Rizki Akbari (Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan) dan Haris Azhar (Direktur Eksekutif Lokataru Foundation) ini dihadiri diantaranya oleh mahasiswa fakultas hukum, akademisi dan pegiat hukum serta media. Dalam paparannya, Atnike menyampaikan bahwa pada umumnya perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah korban. Namun dari sekian banyak kasus yang dialami perempuan yang berhadapan dengan hukum, sedikit diantaranya yang diselesaikan melalui jalur hukum. “Hukum kita belum mampu menangkap esensi keadilan khususnya yang melibatkan perempuan yang berhadapan dengan hukum,” ujar Atnike. Lebih jauh, Atnike menjelaskan bahwa perempuan berhadapan dengan hukum seringkali memperoleh berbagai tantangan seperti, 1) aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif gender, 2) perempuan korban kerap mengalami reviktimisasi, 3) norma hukum acara yang masih berorientasi pada hak-hak pelaku/tersangka, 4) identitas korban yang dipublikasikan di media massa sehingga menimbulkan stigma bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum, 5) perempuan korban yang diperiksa secara bersamaan dengan tersangka/terdakwa, 6) perempuan yang berhadapan dengan hukum juga seringkali tidak mendapat pendampingan yang cukup dari pengacara;, 7) praktik korupsi dan rekayasa bukti dalam proses penegakan hukum yang masih terjadi. Selain itu, persoalan yang juga dihadapi korban ialah minimnya kepekaan atau senstivitas gender para pendamping hukum. Reformasi hukum yang sudah dilakukan lebih banyak menyasar pada mereka yang sudah menjadi aparat penegak hukum. Padahal, kepekaan gender tidak bisa dilatih melalui pelatihan ketrampilan semata tetapi juga menyangkut pada nilai-nilai di dalam hukum itu sendiri. Dengan demikian menurut Atnike, perubahan dalam hukum pidana harus dimulai sejak pendidikan tinggi hukum. Sementara itu Haris dalam paparannya memberikan contoh kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum secara umum dengan latar belakang dan karakteristik yang berbeda-beda. Dari berbagai kasus tersebut, ada yang berhasil memenangkan kasus maupun gugatannya di pengadilan, ada juga yang kasusnya tidak direspons oleh hakim dan tidak dilanjutkan. Contoh-contoh yang disampaikannya memperkuat apa yang disebutkan sebelumnya terkait tantangan yang harus dihadapi perempuan berhadapan dengan hukum. Perempuan berhadapan dengan hukum juga sering menghadapi penghakiman oleh publik. Haris menyampaikan, “dalam kasus RA, misalnya, selain mendapat penghakiman oleh publik, dia juga terancam mengalami apa yang menimpa BN. Dirinya terancam akan dilaporkan karena melanggar UU ITE”. Selain itu, Haris menambahkan dalam hal perempuan berhadapan dengan hukum yang memenangkan kasus, pihak tergugat kerap kali tidak melaksanakan putusan pengadilan, terutama jika Negara yang menjadi tergugat. Melengkapi paparan dua pembicara sebelumnya, Anugerah Rizki Akbari yang sering disapa Eky, dengan menggunakan kasus BN sebagai contoh menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang perlu diperbaiki terkait kasus perempuan berhadapan dengan hukum. Ketiga hal tersebut ialah konteks penanganan kasusnya, legislasi dan emosi/opini masyarakat yang “dimainkan” seiring kasus berjalan. “Saya melihat dalam hukum pidana terdapat dua problem. Satu, perspektif gendernya kurang atau malah tidak ada; dan yang kedua, pemahaman mendasar tentang asas-asas hukum pidana juga tidak ada,” ujarnya. Eky juga mempersoalan rumusan dan interpretasi dalam legislasi yang juga problematik dan menimbulkan masalah dalam konteks penanganan kasus, khususnya dalam kasus perempuan berhadapan dengan hukum seperti dalam rumusan perkosaan di KUHP. Itulah menurutnya yang menyebabkan hampir 76% kasus perkosaan jauh di bawah tuntutan, karena tidak terpenuhinya definisi yang sesuai rumusan dalam KUHP. Dalam peradilan hukum pidana saat ini, korban masih bekum mendapat perhatian penting dan banyak pihak yang masih memfokuskan pada penghukuman seberat-beratnya bagi pelaku. Sehingga menurut Eky, “Advokasi harus diperluas. Mengharapkan penegak hukum untuk tiba-tiba berubah memiliki perspektif gender yang baik, tidak feasible. Yang harus dikunci adalah bagaimana rumusan UU ini agar tidak terlalu berbahaya, punya tujuan kriminalisasi yang jelas, dan hukuman yang sesuai. Dan yang peling penting dengan tidak melupakan pemulihan bagi korban”. Atnike menambahkan bahwa agenda keadilan gender di dalam hukum pidana, tidak bisa hanya menjadi agenda kaum perempuan, kelompok perempuan atau organisasi perempuan semata karena persoalannya melibatkan seluruh elemen dalam masyarakat dan dimensi hukum baik dari substansi hukum maupun pelaku hukum. Diskusi dan pembelajaran seperti ini perlu diadakan di tempat-tempat seperti Jentera dan bukan hanya di ruang pengadilan atau di pelatihan hakim dan jaksa. (Dewi Komalasari) Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional, pada Selasa (24/07) bertempat di Bakoel Koffie Cikini, Koalisi Perempuan Indonesia mengadakan konferensi pers berjudul “Anak Muda Bicara Perkawinan Anak”. Acara ini menghadirkan Mega Puspitasari (Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia Cabang Kabupaten Bogor), Ramdan Setiawan (Sahabat KPI Desa Banjarsari), Deviana (Jaringan Forum Anak Wahana Visi Indonesia), dan Lia Anggiasih (Staf POKJA Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia) sebagai pembicara, dan moderator Ria Yulianti, yang juga staf POKJA Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia. “Berikan anak ijazah, bukan buku nikah. Biarkan anak bermain, bukan kawin. Tunjang pendidikan anak, jangan rampas hak anak.” Adalah tagline dari kampanye #STOPPERKAWINANANAK, yang juga menjadi kalimat pembuka dalam slide yang dipaparkan pada awal acara. Perkawinan anak adalah isu global, yang sebagian besar korbannya adalah anak perempuan. PBB melansir bahwa di seluruh dunia setiap hari sekitar 37.000–39.000 anak perempuan di bawah usia 18 tahun menjadi korban perkawinan anak. Indonesia sendiri berada di urutan tujuh dunia dan urutan dua di Asia Tenggara dalam kategori perkawinan anak. Perkawinan anak merampas hak anak. Seperti disebutkan Mega, salah satu hak anak itu adalah hak atas pendidikan, hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik maupun mental, hak atas pencapaian kesehatan yang tertinggi, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas istirahat dan waktu luang, hak untuk tidak dipisahkan dari orang tua, hak atas perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, dan hak atas keberlangsungan hidup dan berkembang. Menyadari akan hal itu, ketiga pembicara muda—Mega, Ramdan, dan Deviana—tergerak untuk turut serta menjadi agen perubahan. Mereka terlibat aksi nyata untuk memerangi perkawinan anak di daerahnya masing-masing. Mulai dari mengadakan diskusi dan workshop guna memperkuat kapasitas diri anak muda, melakukan sosialisasi dampak dari perkawinan anak, hingga memproduksi film pendek bertemakan “Stop Perkawinan Anak”. Di samping ekonomi, budaya dan stigma yang mengakar pada perempuan (yang notabenenya menjadi korban yang lebih banyak dibanding laki-laki) turut melanggengkan praktik ini. “Untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi?”, “Sudah nikah saja, urusanmu nanti hanya sumur, dapur, dan kasur”, “Perempuan itu tempatnya di rumah” adalah konstruksi yang melekat pada perempuan. Upaya sosialisasi kepada orang tua, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama menjadi salah satu kunci dalam mengubah konstruksi sosial ini. Dalam hal kebijakan, Koalisi Perempuan Indonesia mendorong pemerintah dan legislatif mengesahkan perubahan terbatas UU Perkawinan Pasal 7 dengan menaikkan usia batas minimal usia perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun (sama dengan usia minimal laki-laki), sebelumnya untuk laki-laki sekurangnya 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Adapun prosesnya telah sampai pada tahap penyerahan naskah akademik dan draft RUU Perubahan UU No. 1/1974 kepada pemerintah dan Badan Legislatif pada 25 Juni 2019 lalu. Baleg berjanji akan membahasnya dan mengusahakan untuk disahkan pada September ini (sebelum pergantian anggota parlemen periode berikutnya). Selain mengenai kematangan reproduksi perempuan, pengajuan menaikkan usia batas minimal usia perkawinan bagi perempuan ini juga untuk menghilangkan diskriminasi gender. Seseorang yang berusia 16 tahun, meskipun laki-laki atau perempuan, mereka masih tergolong kategori anak. Meminjam semangat Ramdan yang juga mewakili anak Indonesia lainnya, “Jangan rampas hak kami, karena kami masih ingin bermain, belajar, tumbuh, dan berkembang bersama teman-teman kami agar bisa menggapai harapan dan cita-cita kami untuk ikut membangun negeri.” Mari gerak bersama hentikan perkawinan anak. (Shera Ferrawati) ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), PKBI, dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP bekerja sama dengan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila dan Ikatan Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila mengadakan seminar dengan tema besar “Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia: Menggali Pemikiran Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia” pada Rabu (17/7). Diskusi sesi kedua seminar ini mengangkat topik “Mencegah Korban Berulang: Melihat Aspek Kesehatan Masyarakat dalam RKUHP”. Diskusi sesi kedua ini menghadirkan Sundoyo, S.H., M.K.M., M.Hum. (Kepala Biro Hukum Dan Organisasi Kementerian Kesehatan), Dr. Santi Kusumaningrum (Direktur PUSKAPA), Dr. Yusuf Shofie, S.H., M.H. (Akademisi Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila), dan Aditia Taslim (Direktur Eksekutif Rumah Cemara) sebagai pembicara, dan Dr. Atnike Nova Sigiro (Direktur Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Diskusi dimulai dengan pemaparan Sundoyo mengenai pembentukan regulasi dalam perspektif kesehatan. Menurutnya, pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan gender dan nondiskriminatif, dan norma-norma agama. Ia juga memaparkan bahwa regulasi mengenai kesehatan perlu memperhatikan beberapa aspek, yaitu (1) kebutuhan masyarakat akan tenaga kesehatan; (2) pendayagunaan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat; (3) perlindungan kepada masyarakat dalam menerima penyelenggaraan upaya kesehatan; (4) mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan upaya kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan; dan (5) memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan tenaga kesehatan. Dilanjut Aditia Taslim sebagai pembicara kedua, ia memaparkan pengalamannya mengenai HIV/AIDS dan akses kesehatan. Ia menyayangkan kegagalan negara dalam menyediakan perlindungan kesehatan terhadap warga negaranya. Berdasarkan laporan yang Rumah Cemara terima dari anggota komunitas dan masyarakat—bahwa ada waria yang meninggal setiap minggunya karena HIV/AIDS, lebih tepatnya disebabkan akses kesehatan bagi mereka yang belum memadai. Padahal, kesehatan yang merupakan hak warga negara harusnya bisa diakses oleh semua kalangan, tapi nyatanya tidak. “Berdasarkan pengalaman saya, mereka yang rentan (terkena HIV/AIDS) justru adalah mereka yang sering dikucilkan, dikriminalkan, dan dipinggirkan sehingga sulit mendapatkan akses layanan kesehatan yang berkeadilan,” ungkapnya saat membahas sulitnya akses kesehatan HIV/AIDS bagi kelompok marginal. Begitu banyak waria, pengguna narkoba, pekerja seks komersial, gay, dan kelompok lainnya yang enggan datang melakukan pemeriksaan HIV/AIDS ke puskesmas atau rumah sakit karena alasan eksternal. Salah satunya tak lain karena stigma yang melekat pada mereka membuat mereka selalu “dihakimi” di awal proses pemeriksaan kesehatan. Kesehatan adalah hak asasi manusia, sangat penting untuk bisa diakses oleh semua kalangan. Namun, karena kebijakan yang diambil menerapkan asas mayoritas yang mana apa yang dianggap baik oleh banyak orang, hal ini tentu menyebabkan ketimpangan dimana kepentingan kelompok rentan (minoritas) selalu terpinggirkan. Kelompok minoritas inilah yang seharusnya juga difasilitasi. Santi menekankan, “Bukan hanya niat baik yang perlu diperhatikan dalam membuat hukum, tapi juga dampak yang akan ditimbulkan ke depannya”. Sebagai pembicara terakhir, Yusuf Shofie membahas bagaimana menjamin prinsip kesetaraan dalam proses pembaruan hukum pidana di Indonesia dengan fokus perlindungan terhadap perempuan konsumen. Pengalamannya dalam bidang advokasi perempuan konsumen membuatnya mengerti betapa pentingnya perlindungan terhadap mereka. Kepentingan konsumen yang perlu dikedepankan adalah perlindungan dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanan serta tersedianya upaya ganti yang efektif (right to redress). Ia pun menambahkan bahwa diperlukan pemahaman mengenai keadilan gender untuk bisa menganalisisnya dalam hukum yang akan diterapkan. (Shera Ferrawati) Pada Rabu (17/7), ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), PKBI, dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP bekerja sama dengan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila dan Ikatan Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila mengadakan Seminar Nasional bertajuk “Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia: Menggali Pemikiran Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”. Sesi pertama diskusi ini dimulai pukul 10 pagi dengan tema “Menyiapkan Ruang Keadilan bagi Korban Kejahatan dengan Paradigma Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”, dengan pembicara Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A. (Tim Perumus RKUHP), H. Arsul Sani, S.H., M.Si. (Anggota Panja RKUHP), Prahesti Pandanwangi, S.H., Sp.N, LL.M. (Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas), Dr. Rocky Marbun S.H., M.H. (Akademisi Universitas Pancasila), dan Zainal Abidin, S.H., M.Law&Dev. (Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP). Diskusi yang dipandu oleh Dr. iur. Asmin Fransiska (Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta) ini diawali dengan keynote speech dari Mardjono Reksodiputro yang menyampaikan makalah pengarah berjudul “Mendorong Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”. Dalam sambutan kuncinya, Mardjono melontarkan pertanyaan tentang; apa itu restorative justice atau keadilan restoratif? Ia melanjutkan bahwa keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban. Menurutnya, keadilan restoratif penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya. Lebih jauh, Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan bahwa pendekatan keadilan restoratif ini penting untuk menjadi salah satu unsur dalam pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia. Pendekatan tersebut bertujuan untuk memulihkan korban, pelaku, dan masyarakat. Salah satu Tim Perumus RKUHP ini menekankan bahwa sistem hukum pidana di Indonesia belum spesifik memperhitungkan suara, pengalaman dan perspektif korban. “Padahal, kerugian yang dialami korban (yang bisa berujung pada ganti rugi) dan unsur ‘pemaafan’ dari korban adalah dua hal yang harus diperhitungkan dalam proses perkara,” ujarnya. Di lain sisi, proses perumusan RKHUP itu sendiri sudah berjalan sejak lama dari 1945. Saat ini, proses pembahasan RKUHP sudah memasuki tahap akhir. DPR dan Pemerintah menargetkan pembahasan RKUHP sekaligus pengesahannya tuntas pada pertengahan Juli 2019. Arsul Sani mengungkapkan bahwa RKUHP telah mengadopsi pendekatan keadilan restoratif. RKUHP telah mengatur tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, dan pertimbangan yang diwajibkan dalam pemidanaan yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP, dan juga menghapus pidana mati dari pidana pokok. Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana ini pun menjadi salah satu agenda dalam RPJMN 2020–2024. “Perbaikan peradilan pidana dengan keadilan restoratif menjadi salah satu agenda kami,” ujar Prahesti Pandanwangi. Urgensi itu semakin menyeruak setelah Prahesti dan tim melihat Lembaga Pemasyarakatan yang terlampau penuh (over-crowded), yang justru menurutnya tak lagi relevan karena lebih mengarah pada “penjagaan”, bukan pemidanaan. Mengenai peran korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Rocky Marbun, meminjam istilah Heidegger untuk menggambarkan kondisi peradilan pidana di Indonesia sebagai suatu keterlemparan (gowerfen-sein) dalam mitos modernitas. Mitos modern ini merupakan common sense tanpa kritik, yang sejak dulu sudah ada dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Mitos ini sudah mengental dan memiliki kekuasaan sejak dulu. “Masyarakat saja tidak masuk dalam komponen sistem peradilan pidana, apalagi korban,” ungkapnya. Zainal Abidin juga menambahkan soal urgensi pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pendekatan tersebut menurutnya mengubah konsep dari sekadar menghukum dan mengisolasi pelaku. Ia menjelaskan bahwa pendekatan tersebut berperan sebagai healing justice, yaitu suatu cara dalam mendekati masalah kejahatan dengan menangani kerusakan dengan tujuan mengurangi kerusakan, dengan proses yang holistik, penghormatan pada para pihak, memperbaiki kerusakan dan menciptakan perubahan. Pendekatan keadilan restoratif ini sesungguhnya sangat dekat dan erat kaitannya dengan peradilan kasus pidana anak dan perempuan. Di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan sebagai langkah awal menuju pemenuhan HAM anak dan perempuan. Salah satunya dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan Perma No 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. (Shera Ferrawati) Koalisi Perempuan Indonesia Mendesak DPR Percepat Pembahasan Perubahan Terbatas UU Perkawinan16/7/2019
Senin (15/7), Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) mengadakan kegiatan seminar nasional berjudul “Percepatan Pembahasan Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Perubahan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974”. Kegiatan ini ditujukan untuk mendukung percepatan pembahasan perubahan terbatas atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2017 Mahkamah Konstitusi menerima sebagian permohonan Judicial Review yang diajukan oleh pemohon dalam perkara Nomor 22/PUU-XV/2017 tentang permohonan untuk mengubah pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1874 tentang Perkawinan. Adapun isi permohonan berkaitan dengan batas minimal usia perkawinan yang berbeda bagi perempuan (16 tahun) dan laki-laki (19 tahun) serta dispensasi kawin bagi mereka yang berada di bawah usia minimal tersebut. Pemohon meminta agar batas minimal usia tersebut dinaikkan dan disesuaikan dengan UU Pelindungan Anak. Judicial Review ini merupakan upaya kedua setelah upaya serupa pada tahun 2014 diputuskan ditolak oleh majelis hakim. Sebagai upaya advokasi tindak lanjut terhadap putusan tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia bersama jaringannya mendorong DPR untuk segera melakukan pembahasan perubahan terbatas terhadap UU No. 1 Tahun 1974 khusunya Pasal 1 ayat (1). Perubahan terbatas pada UU Perkawinan didorong untuk dibahas dan masuk dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka. Dalam kegiatan ini hadir Eva Kusuma Sundari (anggota Badan Legislasi) dan Rahayu Saraswati (anggota Komisi VIII) mewakili DPR RI. Eva mengungkapkan optimismenya bahwa pembahasan revisi bisa selesai pada periode ini meskipun waktu efektif yang tersisa hanya dua bulan. Menurutnya perlu menyusun workplan mundur, bukan maju, dengan menetapkan batas waktunya yaitu saat terakhir sidang penutupan. “Harapan saya Supres (surat presiden) segera keluar. Kita (DPR) standby menyiapkan Panja di Baleg karena tidak perlu RDPU, tidak perlu NA, karena ini hanya melaksanakan putusan MK”, jelas Eva. Ditambahkan oleh Rahayu Saraswati, “penting juga untuk konsisten mengawal substansi karena menurutnya ada pihak-pihak yang mau mendompleng dengan mengubah aturan soal poligami (agar tak perlu ijin dari istri pertama)”. Menurut politisi Gerindra tersebut putusan MK sudah sangat baik karena menyasar pada diskriminasi dalam UU Perkawinan. UU Perkawinan sudah berusia lebih dari 45 tahun. Undang-undang yang problematik dan diskriminatif ini termasuk salah satu kebijakan peninggalan orde baru dan sudah beberapa kali diusulkan untuk direvisi, khususnya pada batas usia minimal perkawinan. Akan tetapi berbagai upaya tersebut selalu menghadapi penolakan dengan kekhawatiran akan mengubah pasal-pasal yang lain. Putusan MK yang menerima permohonan untuk mengubah pasal 7 ayat (1) dalam UU Perkawinan adalah langkah strategi dalam mendorong reformasi hukum perkawinan dan keluarga. Namun upaya mengakhiri perkawinan anak tidak akan berhenti dengan diubahnya pasal terkait batas minimal usia kawin karena perubahan tersebut baru menyasar aspek substansi hukum. Menurut Dian Kartikasari (Sekjen KPI), untuk suatu kebijakan hukum dapat berjalan, perlu dukungan dari struktur yang menjalankan dan budaya yang menerimanya sebagai aturan bersama. “Harus ada sinkronisasi elemen pelaksana/penegakan hukum. Setelah (perubahan) UU disahkan, pekerjaan rumah kita adalah bagaimana KUA dibekali untuk mengoperasionalkan aturan yang baru. Perlu advokasi ke Kemenag untuk mengubah cara pandang KUA”, ujar Dian. Sementara penerimaan terhadap aturan yang baru, menurut Dian, merupakan pekerjaan rumah yang butuh gerakan yang luas dan melibatkan banyak pihak dengan memanfaatkan berbagai kanal media. (Dewi Komalasari) Senin (8/7), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan konferensi pers dalam rangka merespons putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan BN. Mariana Amiruddin, Budi Wahyuni, dan Sri Nurherwati (Komisioner Komnas Perempuan) dan Livia Iskandar (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK) hadir untuk memberikan pernyataan dalam konferensi pers. BN merupakan korban pelecehan seksual yang merekam tindak pelecehan yang ia alami sebagai bukti untuk mencari keadilan. Namun BN justru dilaporkan oleh pelaku dan dijerat dengan UU ITE karena membuat rekaman tersebut. Nurherwati menjelaskan bahwa BN dijerat pasal dalam UU ITE yang mengatur tentang transmisi yang memiliki muatan atau konten yang melanggar kesusilaan (pasal 27 ayat 1). Padahal menurutnya, di zaman era digital saat ini, banyak perempuan korban pelecehan seksual yang belum terlindungi oleh hukum dan kerap kali menggunakan media elektronik untuk menyimpan bukti-bukti. Namun disayangkan, menurut Nurherawati pasal UU ITE tersebut, tindakan ini (jika tersebar) dapat dikategorikan sebagai penyebaran konten-konten yang melanggar kesusilaan. “Kalau nanti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini disahkan dan salah satunya adalah memuat soal elektronika sebagai salah satu alat bukti maka itu bagian dari kesetaraan perlindungan sehingga tidak dengan mudah perempuan korban kemudian dikriminalkan dengan menggunakan UU ITE,” jelas Nurherwati. Dengan demikian menurutnya, penegak hukum juga akan lebih mudah melihat bagaimana sebenarnya posisi korban dan bagaimana sebenarnya posisi sebagai pelaku yang sesungguhnya (terdakwa sebagai pelaku sesungguhnya) dalam penegakan hukum. Nurher menegaskan bahwa kasus ini menunjukkan bagaimana pada akhirnya perempuan korban yang berupaya membuktikan dirinya sendiri tapi kemudian tidak mendapatkan kesetaraan di depan hukum, dihadapkan dengan hukum yang pada akhirnya dia harus dipidanakan. Dalam pernyataan persnya, Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 (PERMA 3/2017) tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dalam menjatuhkan putusan kasasi dan menolak Peninjauan Kembali kasus BN. Disampaikan oleh Nurherwati betapa biasnya penanganan perkara kasus BN. Hakim memandang bahwa (tindakan) pencabulan harus melalui kontak fisik sementara alat bukti yang ada berupa rekaman telepon, yang membuktikan tidak ada kontak fisik. Terdapat bias cara pandang dalam hal ini, pertama, bias di dalam cara membaca perbuatan cabulnya sendiri, dan yang kedua bias dalam cara membaca UU ITE-nya sendiri, karena itu ada frasa “tanpa hak” di sana. Kalau hakim melihatnya sebagai korban, maka tidak akan ada lagi frasa “tanpa hak” yang terpenuhi. Hakim tidak melihat latarbelakang BN sebagai korban dalam mempertimbangkan dan memutuskan. Menyinggung hal tersebut, Mariana menyebutkan “banyak pihak yang masih belum paham terhadap kekerasan seksual”, namun menurutnya jika banyak pihak, termasuk wartawan dan media banyak mengangkat soal hal ini, maka akan dapat mempengaruhi opini publik bahwa tidak hanya BN yang mengalami hal ini tapi juga kita. Mengenai langkah hukum yang akan ditempuh berikutnya, Komnas Perempuan dan LPSK menyatakan mendukung upaya dalam mengajukan permohonan amnesti kepada presiden. Disampaikan juga oleh Livia Iskandar bahwa wakil Ketua Komisi III DPR Erma Ranik sudah menyatakan akan memberikan dukungan dan akan memberikan dukungan pertimbangan kepada presiden dalam memberikan amnesti kepada BN. Mereka optimis jika anggota DPR melihat bagaimana proses ketidaksetaraan di depan hukum ini terjadi maka amnesti akan dikabulkan. “Alat bukti sudah cukup, tinggal bagaimana cara membaca situasi dan kondisinya, proses hukumnya, kemudian kasusnya sendiri maka kita akan melihat bahwa dia (BN) benar adalah korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan” ujar Nurherwati. (Dewi Komalasari). |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |