Koalisi Perempuan Indonesia Mendesak DPR Percepat Pembahasan Perubahan Terbatas UU Perkawinan16/7/2019
Senin (15/7), Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) mengadakan kegiatan seminar nasional berjudul “Percepatan Pembahasan Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Perubahan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974”. Kegiatan ini ditujukan untuk mendukung percepatan pembahasan perubahan terbatas atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2017 Mahkamah Konstitusi menerima sebagian permohonan Judicial Review yang diajukan oleh pemohon dalam perkara Nomor 22/PUU-XV/2017 tentang permohonan untuk mengubah pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1874 tentang Perkawinan. Adapun isi permohonan berkaitan dengan batas minimal usia perkawinan yang berbeda bagi perempuan (16 tahun) dan laki-laki (19 tahun) serta dispensasi kawin bagi mereka yang berada di bawah usia minimal tersebut. Pemohon meminta agar batas minimal usia tersebut dinaikkan dan disesuaikan dengan UU Pelindungan Anak. Judicial Review ini merupakan upaya kedua setelah upaya serupa pada tahun 2014 diputuskan ditolak oleh majelis hakim. Sebagai upaya advokasi tindak lanjut terhadap putusan tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia bersama jaringannya mendorong DPR untuk segera melakukan pembahasan perubahan terbatas terhadap UU No. 1 Tahun 1974 khusunya Pasal 1 ayat (1). Perubahan terbatas pada UU Perkawinan didorong untuk dibahas dan masuk dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka. Dalam kegiatan ini hadir Eva Kusuma Sundari (anggota Badan Legislasi) dan Rahayu Saraswati (anggota Komisi VIII) mewakili DPR RI. Eva mengungkapkan optimismenya bahwa pembahasan revisi bisa selesai pada periode ini meskipun waktu efektif yang tersisa hanya dua bulan. Menurutnya perlu menyusun workplan mundur, bukan maju, dengan menetapkan batas waktunya yaitu saat terakhir sidang penutupan. “Harapan saya Supres (surat presiden) segera keluar. Kita (DPR) standby menyiapkan Panja di Baleg karena tidak perlu RDPU, tidak perlu NA, karena ini hanya melaksanakan putusan MK”, jelas Eva. Ditambahkan oleh Rahayu Saraswati, “penting juga untuk konsisten mengawal substansi karena menurutnya ada pihak-pihak yang mau mendompleng dengan mengubah aturan soal poligami (agar tak perlu ijin dari istri pertama)”. Menurut politisi Gerindra tersebut putusan MK sudah sangat baik karena menyasar pada diskriminasi dalam UU Perkawinan. UU Perkawinan sudah berusia lebih dari 45 tahun. Undang-undang yang problematik dan diskriminatif ini termasuk salah satu kebijakan peninggalan orde baru dan sudah beberapa kali diusulkan untuk direvisi, khususnya pada batas usia minimal perkawinan. Akan tetapi berbagai upaya tersebut selalu menghadapi penolakan dengan kekhawatiran akan mengubah pasal-pasal yang lain. Putusan MK yang menerima permohonan untuk mengubah pasal 7 ayat (1) dalam UU Perkawinan adalah langkah strategi dalam mendorong reformasi hukum perkawinan dan keluarga. Namun upaya mengakhiri perkawinan anak tidak akan berhenti dengan diubahnya pasal terkait batas minimal usia kawin karena perubahan tersebut baru menyasar aspek substansi hukum. Menurut Dian Kartikasari (Sekjen KPI), untuk suatu kebijakan hukum dapat berjalan, perlu dukungan dari struktur yang menjalankan dan budaya yang menerimanya sebagai aturan bersama. “Harus ada sinkronisasi elemen pelaksana/penegakan hukum. Setelah (perubahan) UU disahkan, pekerjaan rumah kita adalah bagaimana KUA dibekali untuk mengoperasionalkan aturan yang baru. Perlu advokasi ke Kemenag untuk mengubah cara pandang KUA”, ujar Dian. Sementara penerimaan terhadap aturan yang baru, menurut Dian, merupakan pekerjaan rumah yang butuh gerakan yang luas dan melibatkan banyak pihak dengan memanfaatkan berbagai kanal media. (Dewi Komalasari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |