Jakarta (23/2), Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta meluncurkan hasil survei tentang Pendekatan Feminis dalam merespons Kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) Selama Pandemi Covid-19. Bersamaan dengan itu, pada kegiatan ini Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta juga meluncurkan website carilayanan.com. Sebuah platform yang dihadirkan sebagai upaya merespons tingginya laporan KBG di Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut Naila Rizqi Zakiah sebagai salah satu peneliti memaparkan bahwa Pandemi global COVID-19 yang terjadi di awal tahun 2020 ini telah memakan banyak korban kekerasan berbasis gender (KBG). KBG telah lama disebut sebagai fenomena shadow pandemic atau pandemi bayangan. Sekarang, setelah pandemi COVID-19 telah berlangsung selama lebih dari satu tahun, tren di seluruh dunia menunjukkan bahwa tingkat KBG, khususnya terhadap perempuan dan kelompok rentan, terus meningkat. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta merasa perlu adanya kajian tentang isu kebutuhan, tantangan, kendala, dan kesempatan yang berhubungan dengan pemberian informasi dan layanan terhadap penanganan kasus KBG selama pandemi COVID-19 di Indonesia. Maka dari itu, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta kemudian menjalankan penelitian dan menulis sebuah laporan (white paper) yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan advokasi pada pemerintah dan pihak terkait untuk dapat memberikan respons terhadap kasus kekerasan berbasis gender selama pandemi. Naila memaparkan bahwa berdasarkan data Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, sebelum terjadinya pandemi tingkat KBG terhadap perempuan sudah tinggi setiap tahunnya, tetapi dengan adanya pandemi kerentanan tersebut semakin meningkat. Berdasarkan survei yang diketahui bahwa hampir dari 2/3 korban menyatakan bahwa mereka mengalami kekerasan, bukan kekerasan yang pertama melainkan kekerasan berulang dan berlapis. Namun demikian, terdapat 22% responden korban yang mengatakan mereka terkena kekerasan untuk pertama kali pada saat pandemi. Naila menambahkan bahwa berdasarkan jenis-jenis kekerasan, kekerasan verbal adalah kekerasan yang paling banyak dihadapi oleh para korban selama masa pandemi. Jenis KBG yang dialami korban adalah 79% kekerasan verbal, 77% kekerasan psikis, 65% kekerasan seksual, 48% kekerasan online, 39% kekerasan fisik dan 14% kekerasan ekonomi. Mayoritas korban KBG mengalami kekerasan berlapis dan pelakunya adalah orang yang dikenali oleh korban. Temuan lain survei ini adalah bahwa mayoritas responden yang mengalami KBG adalah mereka yang berasal dari kelompok rendah yaitu SMP. Artinya tingkat pendidikan rendah meningkatkan kerentanan seseorang mengalami KBG. Selain itu survei ini mengungkapkan bahwa dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi, hanya sedikit korban yang melaporkan kekerasan yang dialami. Setelah acara peluncuran survei, Anindya Restuviani—Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta kemudian memperkenalkan website carilayanan.com sebagai salah satu upaya untuk merespons tingginya kasus KBG di Indonesia. Menurut Anindya, salah satu alasan rendahnya pelaporan kasus KBG adalah masih minimnya pengetahuan para korban soal lembaga pendamping di daerahnya. Untuk itu Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta menghadirkan website bernama carilayanan.com sebagai bentuk intervensi online yang diharapkan dapat merespons tingginya kasus KBG. Tujuan platrofm ini adalah menginformasikan kepada korban, layanan dampingan apa saja yang dapat mereka akses ketika mengalami KGB. Anindya menyatakan tujuan dibuatnya website ini adalah untuk mengurangi dan merespons kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia. Dalam sesi tanggapan, Zuma—LBH Apik, mengapresiasi hasil survei yang diluncurkan oleh kegiatan ini. Menurut Zuma, LBH Apik Jakarta sendiri seperti juga berbagai layanan lainnya mengalami kegagapan dalam memberikan layanan saat pandemi. Salah satu persoalan yang kita hadapi adalah banyaknya lembaga rumah aman dari negara di tutup, sehingga rumah aman yang hadir adalah yang berasal dari inisiatif masyarakat sipil/individu. LBH Apik sendiri merespons kondisi ini dengan menghadirkan layanan online. Meski demikian memberikan layanan online memiliki tantangannya tersendiri, misalnya bagaimana para pendamping rentan dikenakan pasal UU ITE karena menerima dan memberikan bukti KBG kepada institusi yang bersangkutan. Artinya ada sejumlah kerentanan yang dihadapi para pendamping dalam memberikan layanan pendampingan online. Mariana Amirudin—Komnas Perempuan, mengapresiasi kerja-kerja JFDG, menurut Mariana insiatif ini sangat penting dalam merespons persoalan KBG bagi para korban. Menurut Mariana penting agar sejumlah layanan (SDM) diberdayakan agar memiliki perspektif korban. Beberapa saluran lain yang perlu dikembangkan lagi oleh webiste ini adalah pemberian layanan hukum, layanan psikis dan layanan rumah aman. Tantangan kita adalah masih minimnya layanan yang menjawab kebutuhan rangkaian layanan yang dibutuhkan oleh korban. Menurut Mariana, penting agar kuantitas dan kualitas pengada layanan baik dari pemerintah dan dari masyarakat sipil terus ditingkatkan. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta menyimpulkan bahwa pandemi covid-19 memperparah kerentanan perempuan terhadap KBG, oleh sebab itu mereka merekomendasikan dua hal yaitu: pertama, pemerintah, lembaga layanan dan penegak hukum perlu melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai kekerasan berbasis gender untuk meningkatkan pengetahuan dan tingkat pelaporan. Kedua, Lembaga layanan dan penegak hukum perlu memberlakukan prosedur pelaporan yang lebih mudah. Ketiga, lembaga layanan dan penegak hukum perlu memahami keberagaman korban kekerasan. Dan terakhir, Pemerintah perlu memberikan dukungan secara keseluruhan kepada lembaga layanan pendampingan korban kekerasan (Abby Gina). SAMBUTAN YAYASAN KURAWAL
DARMAWAN TRIWIBOWO Selamat siang. Sebuah kehormatan bisa berada dalam forum ini untuk meluncurkan Jurnal Perempuan edisi 107: “Perempuan & Pandemi COVID-19” bersama dengan Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste. Sebuah kesempatan yang berharga pula untuk bisa mendengar langsung pesan solidaritas yang disampaikan oleh H.E. Cameron MacKay. Hal yang tidak boleh kita lupakan adalah, seperti yang pernah diungkapkan oleh mendiang Christopher Eric Hitchens, seorang jurnalis Inggris, “solidarity is an attitude of resistance”. Solidaritas ada untuk mendorong perlawanan. Perlawanan terhadap kebencian, keserakahan, diskriminasi, kebohongan, disinformasi, represi, maupun pengabaian yang kerap terlihat begitu telanjang di masa pendemi ini. Salah satu mitos yang sering kali didengungkan saat kita berbalah dengan wabah adalah bahwa kita mengarungi terpaan badai ini di dalam perahu yang sama. Itu adalah bualan yang paling menyesatkan yang digunakan negara dan para pemilik kuasa untuk meredam gugatan terhadap ketimpangan dan kesenjangan. Laporan CNN minggu lalu menunjukkan bahwa, di saat jutaan orang kehilangan pekerjaan dan kelompok minoritas terjerembab dalam kemiskinan, bilioner di Amerika Serikat secara kolektif telah meraup $1,1 triliun dan menjadi 40% lebih kaya semenjak pandemi. Tidak akan mengherankan jika fenomena yang sama telah terjadi di Indonesia. Tidak, tuan dan nyonya, kita tidak berada dalam perahu yang sama. Masing-masing dari kita mengarungi badai ini dengan rakit yang berlainan. Malangnya, mereka yang rentan dan terpinggirkan (pekerja informal, kelompok miskin kota, para korban pemutusan hubungan kerja, kaum minoritas) acap kali harus mengayuh dalam telatak yang paling repih. Jurnal Perempuan Edisi 107 ini menggarisbawahi ketimpangan tersebut dengan melewa lampu sorot pada salah satu dari mereka : perempuan. Perempuan membayar “ongkos” pandemi ini berlipat-kali dibandingkan laki-laki. Sri Mulyani, mengutip laporan awal dari ADB-UN Women’s High-Level Roundtable pada 2020, dalam acara UN Women Asia Pacific WEPs Awards Ceremony in Indonesia beberapa waktu lalu menjelaskan perempuan kehilangan 50 persen jam kerjanya, sedangkan laki-laki hanya kehilangan 35 persen sehingga terjadi implikasi yang asimetris dari Covid-19, khususnya di sektor-sektor formal di Asia. Tak hanya itu, tingkat pendapatan dari 740 juta pekerja perempuan di sektor informal secara global juga berkurang sebesar 60 persen dalam bulan pertama setelah terjadinya Covid-19. Sekitar 40 persen dari pekerja perempuan di seluruh dunia bekerja di sektor-sektor yang paling terdampak. Bahkan, 70 persen pekerja di sektor sosial dan layanan kesehatan merupakan perempuan sehingga mereka menjadi lebih rentan. Tidak, tuan dan nyonya, kita tidak berada dalam perahu yang sama. Namun, potongan-potongan pengetahuan yang disulam dalam Jurnal Perempuan Edisi 107 ini seharusnya hanya merupakan langkah awal untuk mengkonsolodasikan perlawanan serta mendorong perubahan. Pengetahuan dan kesadaran harus dianjurkan ke dalam pestaka perbantahan publik, dibawa ke lorong-lorong kekuasaan, disuntikkan dalam percakapan di koridor-koridor pengambilan keputusan politik kepemerintahan. Bahkan, jika perlu, diteriakkan di jalanan. Bagi kami, Yayasan Kurawal, itu adalah tantangan selanjutnya bagi Jurnal Perempuan, sekaligus manifestasi lanjutan dari solidaritas yang kita bicarakan siang ini. Sebagai penutup, pada hari Selasa, 26 Januari 2021, kasus COVID-19 di Indonesia telah melampaui 1 juta kasus. Catatan terburuk di Asia Tenggara. Menanggapi hal tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengajak semua pihak merenung. Merenung. ME-RE-NUNG? Satu juta kasus adalah saat kita marah dan melawan untuk mengubah keadaan. Ketidakjujuran, pengabaian dan ketidakbecusan punya harga, dan dalam masa pandemi itu dibayar dengan nyawa. Semoga pengetahuan yang kita himpun, percakapan yang kita lakukan, serta kesadaran yang kita peroleh hari ini terus bisa bergulir dan bergerak. Panjang umur perlawanan! Jakarta, 4 Februari 2021 Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste H.E. Bapak Cameron MacKay Good afternoon, bonjour, selamat siang! Senang sekali saya dapat bergabung dengan Anda semua dalam acara peluncuran resmi Jurnal Perempuan edisi 107, yang tentu saja berfokus pada ‘Perempuan dan Pandemi COVID19’. Setelah nyaris setahun pandemi ini berlangsung, jalan kita masih panjang. Sementara semua orang menghadapi tantangan, perempuanlah yang terkena dampak paling tidak proporsional dan menanggung beban dampak ekonomi dan sosial COVID-19. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau berkata: “Pandemi telah menyoroti dan memperdalam ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang ada bagi perempuan di dalam masyarakat kita. Kita tahu bahwa dibutuhkan kerja keras untuk memperbaiki kesenjangan ini, yang akan bertambah buruk tanpa tindakan tegas. Sekarang, lebih dari sebelumnya, kita perlu memastikan bahwa perempuan mendapatkan dukungan sehingga kita tidak kehilangan kemajuan yang telah dibuat dalam beberapa tahun terakhir.” Kita semua tahu beliau benar. Lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang kehilangan pekerjaannya akibat pandemi, dan perempuanlah yang dipaksa untuk menanggung beban rumah tangga yang meningkat di rumah. 58% perempuan di dalam sektor formal Indonesia, dan 71% di sektor informal, telah kehilangan pekerjaan mereka atau mengalami penurunan pendapatan. Kami melihat dampak yang sama di Kanada. Bahkan di antara anak-anak kita melihat kesenjangan gender yang makin melebar – perkiraan menunjukkan bahwa ada tambahan 11 juta anak perempuan yang kemungkinan besar meninggalkan sekolah pada akhir krisis COVID. Lembaga UN Women dan lainnya telah menunjukkan adanya “pandemi bayangan” berupa kekerasan yang meningkat terhadap perempuan di negara-negara di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, diperkirakan terjadi peningkatan 75% kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan selama pandemi. Dan situasinya serupa di negara saya. Jurnal Perempuan tahun ini menyoroti semua kisah ini - dan menunjukkan banyak sekali kesulitan yang dihadapi oleh jutaan wanita dan anak perempuan di seluruh Indonesia karena krisis COVID. Sayangnya, terlepas dari implikasi gender yang jelas dari pandemi, upaya tanggapan dan pemulihan di seluruh dunia masih belum cukup. Di Kanada, di Indonesia, dan di semua negara - Kita semua harus berbuat lebih baik. Melibatkan perempuan dan anak perempuan dalam pengambilan keputusan tentang tindakan respon pandemi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dan prioritas mereka baik di negara maju dan berkembang. Di Indonesia, Kanada bekerja sama dengan berbagai mitra untuk membantu mengurangi dampak pandemi ini pada mereka yang paling rentan dan miskin, terutama perempuan dan anak perempuan. Kanada memberi dukungan langsung sebesar 2,35 juta dollar kepada Indonesia untuk penanggulangan pandemi termasuk 850 ribu dollar kepada UNICEF dan Palang Merah Indonesia untuk memberikan bantuan darurat dalam menanggapi COVID-19, serta tambahan 1,5 juta dollar melalui Proyek BERANI kami – dalam kemitraan dengan UNFPA dan UNICEF – untuk membantu menyediakan layanan kesehatan reproduksi seksual yang memadai, dan membantu melindungi bidan, ibu, dan anak selama pandemi COVID-19. Melalui Canada Fund untuk Prakarsa Lokal, kami juga bekerja sama dengan mitra lokal untuk membantu perempuan korban kekerasan, dan melatih perempuan akar rumput agar dapat mengadvokasi anggaran untuk merespon COVID19 yang responsif gender di wilayah mereka. Kami juga telah memberikan 1,5 juta dollar kepada BBC Media Action untuk memerangi penyebaran informasi dan mis-informasi COVID-19 di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Proyek ini akan mendukung pembuatan konten media untuk mengatasi "infodemi", memperkuat kapasitas media lokal, dan mendukung komunikasi yang efektif dalam bantuan kemanusiaan secara keseluruhan. Kanada juga berkomitmen untuk mendukung akses global yang adil untuk vaksin COVID-19, dan telah memberikan dana yang cukup besar kepada Fasilitas COVAX dan Gavi, Aliansi Vaksin, untuk mendukungnya. Saya bangga bahwa Menteri Pembangunan Internasional kami, Karina Gould, baru-baru ini bergabung dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Menteri Kesehatan Ethiopia Lia Tadesse - semuanya perempuan - sebagai ketua bersama COVAX Advance Market Commitment Engagement Group. Grup ini akan mendukung partisipasi 92 negara berpenghasilan menengah ke bawah dan rendah di seluruh dunia dan memastikan akses mereka untuk vaksin COVID-19. Saya berharap penelitian yang sangat baik dalam Jurnal Perempuan tahun ini akan menjadi pengingat yang berguna untuk selalu menempatkan perempuan dan anak perempuan pada pusat upaya kita dalam upaya pemulihan dari pandemi COVID-19. Seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres: “Kesetaraan gender dan hak-hak perempuan sangat penting untuk melewati pandemi ini bersama, untuk pulih lebih cepat, dan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua orang.” Terima kasih dan selamat berdiskusi. |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |