![]() Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) dan Komnas Perempuan menggelar Konferensi Pers tentang komitmen Indonesia menghapus diskriminasi terhadap perempuan pada 24 Juli 2017, bertepatan dengan 33 tahun Indonesia meratifikasi CEDAW (The Convention on Elimination of all Forms of Discrimination Against Women). Dalam konferensi Pers ini Rita Kolibonso, koordinator GPPI menuturkan bahwa ratifikasi CEDAW adalah sebuah komitmen negara jangka panjang untuk melindungi hak-hak asasi perempuan dan mengupayakan pencegahan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Hingga saat ini sudah ada 7 laporan Indonesia kepada komite dan sejumlah rekomendasi telah diberikan, namun Rita mengungkapkan bahwa hingga tahun 2017 ini pemerintah Indonesia belum menyampaikan laporan kedelapannya pada batas waktu yang telah ditentukan yakni Juli 2016. Hal ini sangat disayangkan karena menurut Rita laporan pelaksanaan CEDAW dari negara Indonesia ke Komite CEDAW adalah penting guna melihat situasi dan mendapatkan evaluasi terkait pemenuhan hak-hak asasi perempuan. Lebih jauh Rita menyebutan kesimpulan dan rekomendasi penting dari Komite CEDAW dalam dialog konstruktif pada 11 Juli 2012, yaitu setelah pengumpulan laporan pelaksanaan CEDAW. Ada 3 hal penting yang disarankan untuk ditangani secara serius, 1) Peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan baik di level nasional maupun daerah, 2) Praktik sunat perempuan, 3) Perkawinan anak. Selain itu Komite CEDAW juga meminta agar pemerintah Indonesia dalam waktu dua tahun memberikan informasi tentang langkah-langkah yang akan diambil untuk pelaksanaan rekomendasi tersebut. Rita menyayangkan bahwa Indonesia belum mengirimkan laporannya kepada Komite CEDAW, dan mempertanyakan komitmen dan tanggung jawab negara untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Azriana Manalu, Ketua Komnas Perempuan turut menyampaikan pernyataan dan catatan Komnas Perempuan terkait pelaksanaan CEDAW di Indonesia. “Hingga saat ini belum ada satu pun perda diskriminatif yang dicabut oleh pemerintah, jadi memang belum ada langkah maju”, ungkap Azriana. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan disebutkan bahwa isu yang berkembang terkait diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks dan masif namun daya respons negara dalam menanganinya masih rendah. “Kekerasan semakin lintas batas namun konvensi ini saat dijadikan undang-undang malah terjadi penyempitan ruang perlindungan”, tutur Azriana. Lebih jauh ia menyebutkan bahwa kasus kekerasan yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan mencapai angka 649 kasus untuk periode Januari hingga Juni 2017, dan 90% adalah kasus kekerasan berbasis gender. Ia mengungkapkan bahwa pelaporan pada umumnya dilakukan karena korban menemui kemadekan dalam upaya penanganan kasus dan korban tidak mendapatkan respons yang semestinya. “Komnas Perempuan mendesak negara untuk segera merevisi UU Perkawinan terkait batas usia minimun menikah dan tentang poligami, mencabut tanpa penundaan seluruh perda diskriminatif dan melakukan pemulihan korban HAM masa lalu”, ungkap Azriana. Pada konferensi pers ini G.K.R Hemas juga memberikan pernyataannya, menurutnya Indonesia belum mengadopsi secara penuh dan menganggap penting substansi CEDAW. Ia menyebutkan bahwa banyaknya perda diskriminatif di berbagai daerah, gagalnya Judicial Review UU Perkawinan dan lemahnya penanganan kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) membuat situasi pemenuhan hak-hak asasi perempuan di Indonesia belum melangkah maju. Ketua Kaukus Perempuan Parlemen ini juga mengakui bahwa minimnya anggaran yang sampai pada P2TP2A dan pemahaman untuk menangani kasus kekerasan menjadi faktor utama mengapa lembaga negara tersebut menjadi tidak efektif menangani kekerasan pada perempuan dan anak. Menurutnya masih banyak persoalan-persoalan lain seperti angka kematian ibu, HIV/Aids pada Ibu Rumah Tangga, pendidikan rendah bagi anak perempuan yang juga harus menjadi kepentingan semua pihak. “Kebijakan bukan hanya ditandatangani tapi diimplementasikan”, ungkap G.K.R Hemas. Setelah pernyataan dari G.K.R Hemas, selanjutnya ialah pernyataan dari Sylvana Apituley, Deputi 5 Kantor Staff Presiden yang fokus pada bidang politik, hukum, pertahanan, keamanan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Sylvana mengungkapkan bahwa isu perlindungan anak dan perempuan berada di bawah kedeputian 5, yaitu di bawah isu HAM. Ia mengakui bahwa revisi atas UU Perkawinan No. 1 Tahun 1972 masih jauh dari harapan, meskipun demikian Sylvana mengungkapkan bahwa di tingkat daerah komitmen pemerintah sudah cukup tinggi, salah satunya adalah dengan terus melakukan penguatan infrastruktur dan kapasitas pada P2TP2A yang merupakan bentuk negara hadir di tingkat yang paling rendah. Perihal kekerasan terhadap perempuan, Sylvana juga mengungkapkan bahwa sudah ada perhatian yang serius dan khusus dari pemerintah terkait isu ini, pada beberapa rapat terbatas kabinet menurutnya isu kekerasan seksual kerap kali dibahas. Sylvana meminta seluruh masyarakat sipil bersama-sama dengan pemangku kebijakan mengupayakan terwujudnya kesetaran dan keadilan gender di Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() “Peran domestik itu mulai terjadi saat terbentuknya keluarga, ada pembagian peran antara ruang domestik dan publik”, tutur Syaldi Sahude dalam acara Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan pada Kamis (20/07/17). Dalam pertemuan ketiga Kelas Kaffe 7: Feminis Laki-Laki ini, tema yang didiskusikan ialah “Laki-Laki dan Kerja-Kerja Domestik”. Kelas Kaffe yang dihadiri oleh sekitar 18 orang peserta ini diampu oleh Syaldi Sahude, ia adalah sosok yang aktif menyuarakan kesetaraan gender melalui Aliansi Laki-Laki Baru, sebuah gerakan pelibatan laki-laki untuk penghapusan kekerasan perempuan di Indonesia. Syaldi menjelaskan bahwa meskipun pembagian peran domestik sangat terlihat pada level keluarga, namun menurutnya peran domestik memiliki sejarah yang panjang dan hampir berada di semua level masyarakat bukan hanya pada level keluarga. Mengutip dari bukunya Friedrich Engels The Origin of Family Private Property and the State, Syaldi menjelaskan bahwa sebelumnya manusia tidak melakukan pembagian peran domestik maupun publik. Ia meneruskan bahwa di era savages ada 3 tahapan yaitu lower, middle, upper. Pada lower stage manusia bersama-sama mencari makanan, baik laki-laki maupun perempuan, kemudian pada middle stage manusia sudah mengetahui cara menangkap ikan, lalu pada upper stage manusia sudah mulai berburu, pada level inilah sudah ada pembagian peran berdasarkan jenis kelamin, perempuan menjaga tempat tinggal sedangkan laki-laki pergi ke hutan untuk berburu. Lebih jauh Syaldi menjelaskan bahwa setelah itu, manusia masuk dalam zaman barbarians dimana di zaman ini keramik dan besi sudah mulai ditemukan dan sudah ada konsep tentang keluarga sebagai pelindung properti. Dalam konteks Indonesia sendiri, Syaldi menjelaskan bahwa pembagian peran gender dilekatkan dengan dikotomi kerja publik-domestik, rasional-emosional, yaitu kerja-kerja di ruang publik kerap kali dilekatkan dengan kerja yang maskulin dan kerja di ruang domestik dilekatkan dengan kerja yang feminin seperti membesarkan anak, merawat dan mengurus rumah. Bahkan profesi sebagai perawat pun dilekatkan dengan pekerjaan perempuan, meskipun pekerjaan tersebut berada di ruang publik. Lebih jauh Syaldi menjelaskan bahwa peran gender sudah dimulai sejak manusia lahir, yaitu dengan mengidentifikasi jenis kelamin mereka, jika memiliki penis maka manusia secara otomatis dalam kultur patriarki mendapatkan privilege bahkan telah ditentukan jenis-jenis pekerjaan yang dianggap oleh masyarakat sesuai. Ia mencontohkan beberapa pekerjaan yang bias terhadap perempuan, misalnya pekerjaan sekretaris, bendahara yang bias pada perempuan karena ada anggapan bahwa perempuan lebih teliti. Lebih jauh Syaldi menjelaskan bahwa ada internalisasi nilai-nilai patriarki yang dimulai dari dalam individu, kemudian keluarga melalui pengasuhan, masyarakat melalui norma-normanya, media massa dengan produk iklan dan kemudian negara melalui kebijakan publik. Menurut Syaldi kesemuanya memiliki pengaruh satu sama lain dalam mengonstruksi nilai-nilai patriarki dalam kehidupan manusia, sehingga perlu perubahan yang masif mulai dari level individu hingga negara. Syaldi menjelaskan bahwa untuk melakukan perubahan bahkan di level individu tidaklah mudah, laki-laki harus siap merelakan privilege yang dimiliki sejak lahir, perempuan harus membukan ruang bagi laki-laki untuk masuk dan terlibat dalam kerja-kerja domestik yang selama ini menjadi domain perempuan. Syaldi menuturkan pengalamannya ketika ia belajar untuk menggendong anaknya, ia akui itu adalah pekerjaan yang sulit jadi tidak bisa disepelakan, namun bukan berarti laki-laki tidak bisa melakukannya. Dalam relasi suami-istri misalnya, laki-laki dan perempuan harus bernegosiasi dalam pembagian kerja domestik agar ada kepedulian atau ethics of care di dalam pembagian peran kerja tersebut. Perubahan di level individu juga harus diikuti dengan perubahan di level masyarakat, maka menurut Syaldi role model di dalam masyarakat juga penting. Dengan demikian akan ada kesadaran bahwa sebenarnya pengasuhan di dalam keluarga adalah tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Di Indonesia sendiri belum ada kebijakan yang mendukung pelibatan laki-laki dalam pengasuhan keluarga secara maksimal, misalnya belum adanya cuti melahirkan secara khusus untuk ayah, sedangkan di Swedia telah ada cuti melahirkan panjang untuk ayah, karena memang platform kebijakannya adalah feminist policy. Syaldi melanjutkan bahwa apa yang disebut laki-laki baru adalah bukanlah label semata tapi sebuah gerakan yang terus menerus dalam proses untuk melakukan perubahan, wujudkan kesetaraan dan keadilan gender. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Selasa, 18 Juli 2017 Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) mengadakan seminar umum yang berjudul “Seminar Pendekatan Alternatif dalam Menangani Permasalahan Narkotika di Indonesia”. Seminar yang berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini bertujuan untuk mengangkat urgensi pendekatan alternatif dalam menangani permasalahan narkotika di Indonesia. Landasan yang digunakan MaPPi FHUI dan PKNI atas gagasan pendekatan alternatif untuk menangani permasalahan narkotika di Indonesia khususnya pecandu/pengguna narkotika adalah catatan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menyebutkan bahwa upaya kriminalisasi terhadap pengguna narkotika menambah deretan eksploitasi pecandu dalam bentuk pemerasan. Hal ini ditambah dengan pernyataan dari Global Commission on Drugs Policy (GCDP) yang menyatakan bahwa perang terhadap narkotika (war on drugs) dinyatakan gagal, karena lebih banyak memberikan dampak negatif. Padahal sebagaimana kita tahu, Indonesia sudah sejak lama menyatakan perang terhadap narkotika dan salah bentuk pembuktiannya adalah kriminalisasi bagi pengguna narkotika. Seminar ini terbagi menjadi dua sesi. Sesi I seminar tersebut berjudul “Pendekatan Alternatif dalam Menangani Permasalahan Narkotika di Indonesia: Public Health Approach”. Pembicara pada seminar sesi I adalah Prof. Irwanto, Ph.D selaku dosen dan Senior Advisor PPH dan LPPM Unika Atmajaya, Brigjen Polisi dr. Budiyono, MARS selaku Direktur Pascarehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), Suhendro Sugiharto perwakilan dari PKNI. Pada sesi I seminar para pembicara diberi kesempatan mengemukakan gagasannya mengenai pendekatan alternatif untuk penanganan permasalahan narkotika berupa rehabilitasi untuk pecandu narkotika. Suhendro sebagai perwakilan dari PKNI menyampaikan gagasannya dari perspektif mantan pengguna narkotika atas gagasan rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Menurutnya, rehabilitasi jauh lebih manusiawi daripada memberikan tuntutan pidana bagi para pecandu narkoba karena sesungguhnya mereka adalah korban yang jauh lebih butuh rehabilitasi dan perbaikan hidup untuk masa depannya daripada dibebani dengan masa tahanan. Suhendro menambahkan, sekali saja seseorang tertangkap tangan menggunakan narkotika, maka selamanya ia akan mempunyai catatan kriminal dan akan sulit untuk mendapatkan kehidupan yang layak ke depan. Dr. Budiyono kemudian menanggapi pernyataan Suhendro dengan memaparkan fakta bahwa pecandu narkotika di Indonesia berbeda dengan pecandu narkotika di negara lain. Menurutnya, pecandu narkotika sering berperan ganda sebagai pengedar sehingga tidak mungkin hanya direhabilitasi atas sebuah kejahatan yang mereka lakukan. Rehabilitasi sebenarnya diperbolehkan dan merupakan hak yang diberikan oleh negara namun ia bukanlah opsi utama untuk menangani kasus pecandu narkotika. Prof. Irwanto kemudian menengahi dengan mengatakan bahwa rehabilitasi sebagai alternatif untuk penanganan permasalahan narkotika sangat dimungkinkan karena selama ini pendekatan untuk kasus narkotika adalah pendekatan moralitas sehingga hanya menghasilkan residual policy making. Sesi II seminar diisi dengan pembahasan mengenai “Dekriminalisasi Pecandu Narkotika” dengan pembicara Prof. Drs. Adrianus E. Meliala Ph.D., M.Si., M.Sc beliau adalah Guru Besar Kriminologi FISIP UI, Darmawel Aswar, M.H selaku Direktur Hukum BNN, dan Choky R, Ramadhan S.H., LL.M selaku Ketua Harian MaPPi FHUI. Pemaparan pertama seminar sesi II dimulai dengan paparan dari Choky yang menyatakan terdapat pendekatan filosofis mengapa pengguna narkotika tidak perlu dipidanakan. Ia merujuk pada Douglas Husak, seorang filsuf dalam bidang hukum, yang menyampaikan bahwa kondisi adiksi seharusnya bisa dijadikan alat defensif untuk keadaan keterpaksaan sehingga membuat dia seharusnya tidak bisa dipidana karena ketika seseorang terjebak dalam keadaan adiksi, sulit untuk menentukan tindakan yang benar ataupun salah sehingga dekriminalisasi bagi pengguna narkotika lebih masuk akal untuk diterapkan. Seminar kemudian dilanjutkan dengan pemaparan Darmawel yang mengungkapkan bahwa setidaknya ada 72 titik peredaran narkoba di Indonesia. Dengan demikian, sudah pasti akan banyak sekali pengedar dan pengguna narkotika di Indonesia. Darmawel melihat setidaknya ada 2 alasan mengapa dekriminalisasi pengguna narkotika tidak efektif. Pertama, prosedur dan sistem penyembuhan panti rehabilitasi narkotika di Indonesia belum memiliki standar yang jelas. Kedua, hukum tidak mengatur dengan tegas para pengedar yang bisa saja mengaku-ngaku sebagai pengguna karena berhasil menunjukkan surat keterangan dokter bahwa ia adalah pengguna sehingga bisa direhabilitasi tanpa dipenjarakan. Prof. Adrianus melengkapi seminar ini dengan pemaparannya tentang sistem dan prosedur yang baik dan benar untuk menerapkan aturan dekriminalisasi bagi pengguna narkotika. Menurut beliau, dekriminalisasi bagi pengguna narkotika sangat mungkin dilakukan apabila segala syarat, ketentuan dan fakta memang mendukung. Dua sesi seminar yang dihadirkan oleh MaPPi dan PKNI ini pada akhirnya bertujuan agar masyarakat menjadi terbuka bahwa di balik segala pro dan kontra mengenai penanganan alternatif atau dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika, penghapusan diskriminasi terhadap individu adalah yang sesungguhnya ingin disampaikan melalui seminar ini. (Naufaludin Ismail) ![]() Sabtu, 15 Juli 2017 bertempat di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti, Menteri KKP menjadi pembicara kunci dalam acara halal bihalal Ikatan Alumni Universitas Indonesia. Sesuai dengan tema yang diangkat yaitu “Kedaulatan Maritim”, Susi memaparkan sejumlah persoalan dan juga capaian-capaian penting KKP selama dirinya menjadi bagian dari Kabinet Kerja Jokowi. Susi menjelaskan bahwa misi KKP adalah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan menjadikan laut sebagai masa depan bangsa. Menurut Susi, misi ini sangat realistis bila bersandar pada kondisi geografis Indonesia, namun jika melihat capaian yang dimiliki Indonesia pada awal dirinya bergabung dengan KKP, sesungguhnya Indonesia masih sangat jauh untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Pada saat itu, neraca pedagangan Indonesia hanya menempati posisi ke-3 di Asia Tenggara, peringkat tersebut tidaklah merefleksikan fakta bahwa luas laut Indonesia terluas ke-2 di dunia. Susi menjabarkan sejumlah persoalan yang dihadapi oleh kamaritiman Indonesia, pertama menurunnya rumah tangga nelayan. Berdasarkan sensus 2003 hingga 2013 diketahui bahwa jumlah rumah tangga nelayan berkurang dari 1.600.000 menjadi 800.000 rumah tangga. Kedua, 115 Eksportir tutup. Ketiga, impor Indonesia berada di angka yang sangat tinggi dan keempat maraknya illegal fishing. Sebagai respons terhadap maraknya aksi illegal fishing, Susi mempromosikan dan menerapkan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. UU tersebut mengamanatkan bahwa Indonesia berhak menenggelamkan kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di laut Indonesia. Tidak hanya itu, Susi juga mengeluarkan Permen KP (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan) Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap, Permen KP Nomor 57/PERMEN-KP/2014 yang mengatur soal larangan transshipment dan Permen KP 58/PERMEN-KP/2014 tentang Disiplin PNS. Penerapan aturan-aturan ini dirasa perlu demi menghasilkan efek jera dan keefektifannya cukup tinggi meskipun belum 100%. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan dalam beberapa aspek, pertama nilai tukar nelayan yang awalnya 104 naik menjadi 110, kedua, nilai tukar usaha perikanan naik dari 102 menjadi 120. Dengan kata lain, saat ini usaha perikanan adalah usaha yang sangat menguntungkan. Ketiga, stok ikan Indonesia meningkat dari 6,5 juta ton menjadi 12,5 juta ton. Keempat, konsumsi ikan nasional meningkat dari 36 kg menjadi 43,6 kg. Kelima, ekspor Indonesia naik 5% dan impor turun 70%. Susi menambahkan bahwa ini adalah pertama kalinya neraca perdagangan ikan Indonesia menempati posisi pertama di Asia Tenggara. Susi melihat bahwa pengelolaan dan penjagaan terhadap laut Indonesia tidak hanya memberi dampak pada peningkatan komoditas perikanan, hal ini berkaitan pula dengan komoditas lain seperti BBM. Pertamina surplus 37% solar, ternyata ini berkaitan dengan kapal-kapal illegal fishing yang ada di Indonesia. Kapal-kapal tersebut tidak pulang ke negaranya untuk mengisi bahan bakar melainkan mengisi bahan bakar di Indonesia dan bahkan mengonsumsi BBM bersubsidi. Kebijakan penenggelaman kapal ini menuai sejumlah penolakan, bahkan beberapa investor asing menolak untuk berinvestasi bila penenggelaman tetap diberlakukan di laut Indonesia. Susi menjelaskan bahwa aturan tersebut bisa saja tidak diterapkan, namun persoalannya apakah Indonesia mampu melindungi laut seluas itu dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab, mengingat telah banyak negara-negara Asia yang melakukan moratorium penangkapan ikan. Untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan demi mengawal laut masa depan bangsa, maka penting bagi KKP menjalankan tiga pilar yaitu kedaulatan, kesejahteraan dan keberlanjutan. (Abby Gina) ![]() Kabar menggembirakan datang dari salah satu tokoh feminisme senior Indonesia yaitu Prof. Dr. Saparinah Sadli atau yang biasa disapa ibu Sap. Sabtu, 15 Juli 2017, bertempat di Kemang Jakarta Selatan, Saparinah mendapatkan penghargaan di bidang penelitian bernama Roosseno Award. Penganugerahan Roosseno Award sudah dilakukan sebanyak tujuh kali. Roosseno Award adalah sebuah penghargaan yang diberikan kepada perseorangan atas jasa mereka yang telah melakukan penelitian yang memberikan dampak positif yang luar biasa di Indonesia. Saparinah dianggap layak menerima penghargaan ini karena dirinya merupakan tokoh perempuan yang memperjuang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Saparinah bukan orang baru dalam isu feminisme atau pergerakan perempuan di Indonesia. Ia merupakan salah satu penggagas berdirinya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Indonesia sebagai usaha beliau untuk mengungkap dan mengadvokasi hak dan keadilan bagi perempuan di Indonesia. Saparinah juga mempunyai peran penting atas lahirnya Women’s Studies (bisa juga disebut Kajian Wanita atau Kajian Gender) di Universitas Indonesia (UI). Saparinah harus melalui jalan panjang dan berliku dalam usahanya memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia. Selain menjadi salah satu pengajar di Program Studi (Prodi) Kajian Wanita UI, Saparinah diberikan kepercayaan untuk melaksanakan kepemimpinan di Prodi Kajian Wanita UI selama sepuluh tahun pertama berdirinya jurusan pascasarjana tersebut (November 1990 sampai Mei 2000). Bagi Saparinah hal Ini bukanlah tanggung jawab yang mudah dijalani. Banyak sekali cemooh baik dari dalam dunia akademik maupun dari masyarakat yang menganggap bahwa Kajian Wanita bukanlah sebuah kajian yang penting untuk dipelajari. Pengalaman direndahkan/dicemooh dalam dunia akademisi biasanya terkait dengan kejelasan pohon ilmu yang menjadi kiblat Prodi Kajian Wanita. Saparinah tidak lantas putus asa karena beliau percaya pada ucapan Prof. Dr. Iskandar Wahidiyat yang mengatakan bahwa sudah bukan zamannya lagi ilmu harus selalu merunut pada pohon keilmuwan yang selama ini banyak diyakini secara kolot oleh beberapa akademisi. Sepakat dengan Prof. Dr. Iskandar Wahidiyat, Saparinah meyakini bahwa Prodi Kajian Wanita tetap bisa berdiri setara sebagai bidang keilmuwan yang sama dengan kajian di bidang lain. Selain di bidang akademisi, Saparinah juga bergerak pada perjuangan advokasi perempuan khususnya dalam mendirikan Komnas Perempuan di Indonesia pada tahun 1998. Saparinah juga didapuk menjadi ketua Komnas Perempuan dari tahun 1998-2004. Selama Saparinah menjabat sebagai ketua Komnas Perempuan, fokusnya adalah perjuangan keadilan untuk para korban dan penyintas kejahatan pemerkosaan etnis keturunan Tionghoa saat peristiwa reformasi 98 terjadi. Sesuai dengan tema penghargaan Roosseno Award yaitu tentang pengabdian terhadap penelitian untuk Indonesia, Saparinah pernah terlibat dalam beberapa penelitian skala internasional salah satunya riset bersama World Health Organization (WHO) tentang hak reproduksi perempuan. Berdasarkan hasil risetnya, perempuan Indonesia ditinjau dari sisi kesehatan, sangat terpuruk. Angka Kematian Ibu, yang dipergunakan sebagai indikator, sangat tinggi. Keadaan ini bukan baru saja terjadi, melainkan sudah 30 tahun terakhir. Padahal, kesehatan perempuan yang rendah berdampak juga pada anak-anak yang dilahirkan. Seharusnya menurunkan angka kematian ibu dan pendidikan untuk setiap anak perempuan menjadi prioritas. Dua hal tersebut penting agar perempuan dapat memainkan perannya dengan lebih baik. Selain itu juga akan menambah lapangan kerja untuk perempuan yang sekarang sangat terbatas, baik pilihan maupun keamanannya. Tidak seharusnya, seperti yang terjadi selama ini, perempuan bekerja tanpa perlindungan, padahal itu adalah hak yang seharusnya ia dapatkan (Jurnal Perempuan, No.48, 2006). Di usianya yang hampir 90 tahun, Saparinah tidak pernah berhenti mendukung dan memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi perempuan di Indonesia. Saparinah sampai saat ini masih sangat aktif mengikuti perkembangan terkini isu-isu perempuan di Indonesia, ia kerap kali masih datang dan memberikan masukan pada berbagai acara yang terkait dengan isu-isu kesetaraan gender dan feminisme. Dengan berbagai rekam jejak yang begitu baik, hebat dan konsisten terhadap perjuangan kesetaraan untuk perempuan di Indonesia, sudah sangat layak rasanya Saparinah mendapatkan penghargaan Roosseno Award. Selamat Bu Sap! (Naufaludin Ismail) ![]() Kamis, 14 Juli 2017 kuliah kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) VII: Feminisme Laki-laki pertemuan kedua membincang mengenai “Laki-laki, Kekerasan, Gender, dan Feminisme”. Dr. Nur Iman Subono (Boni) mengampu kelas pada malam itu. Boni membuka kelas dengan menceritakan pengalamannya menjadi feminis laki-laki dengan mengikuti workshop laki-laki anti kekerasan bersama Michael Kaufman, salah satu pendiri kampanye pita putih (white ribbon campaign) yang bekerja untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, yang dihadiri sejumlah laki-laki dari berbagai negara yang mendukung kampanye laki-laki anti kekerasan terhadap perempuan. Setelah mengikuti workshop, Boni bersama beberapa aktivis membuat gerakan dan deklarasi CANTIK (Cowok-cowok Anti Kekerasan). Kemudian Boni melanjutkan kelas dengan membahas CATAHU (Catatan Akhir Tahun) 2016 dari Komnas Perempuan yang memperlihatkan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat sejak 2010. Hal ini menurut Boni menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang taken for granted atau wajar dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi di mana saja baik dilakukan oleh negara, terjadi di dalam pernikahan, maupun dalam bentuk femicide atau pembunuhan terhadap perempuan hanya karena mereka perempuan. Fakta menunjukkan bahwa 99% pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah laki-laki. Uniknya, laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap perempuan ini seringkali mengaku tidak mendukung kekerasan terhadap perempuan. Boni kemudian memaparkan temuan dari Carr dan VanDeusen: Risk Factors for Male Sexual Aggression on College Campuses tahun 2004 mengenai laki-laki pelaku kekerasan seksual. Pertama, pelaku kekerasan seksual umumnya mengalami kekerasan seksual/fisik di masa kecil, meski tidak selalu demikian. Kedua, kebanyakan laki - laki melakukan kekerasan seksual di komunitas yang tidak memberikan penghukuman terhadap kekerasan seksual. Ketiga, pelaku kekerasan seksual meminimalkan jumlah korbannya. Keempat, pelaku kekerasan seksual lihai dalam merasionalisasi perbuatannya dan yang kelima, tidak ada profil tipikal atau ciri-ciri khusus dan spesifik pelaku pemerkosaan. Boni memberikan penjelasan yang lebih kompleks mengenai alasan laki-laki melakukan kekerasan. Menurutnya, ada dua poin terkait perilaku laki-laki yang kerap kali merasionalisasikan tindakan kekerasan terhadap perempuan yang ia lakukan. Pertama, mayoritas laki-laki umumnya tidak memiliki karakter yang menjurus melakukan kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak. Kedua, masyarakat “permisif” yang mendorong laki-laki memiliki keyakinan agresif dan kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri (self-expression) yang diterima dalam masyarakat. Karena masyarakat terus-menerus percaya bahwa kekerasan yang terjadi terhadap perempuan adalah sesuatu yang wajar, laki-laki umumnya terbagi menjadi tiga golongan yang berbeda dalam memilih posisinya terhadap isu kekerasan terhadap perempuan. Pertama, mereka sebagai pelaku kekerasan yang seksis atau berbasis gender. Kedua, bukan sebagai pelaku melainkan menjadi silent majority, yang berarti bersikap pasif, dan seringkali, langsung maupun tidak, permisif terhadap berbagai bentuk kekerasan dan seksisme di sekitarnya. Ketiga, sebagai pelaku yang menentang berbagai bentuk kekerasan dan seksisme, dan mengajak berbagai pihak, khususnya laki-laki, untuk berbuat hal sama (vocal minority). Boni menganjurkan kepada semua laki-laki untuk mengambil posisi yang ketiga sebagai vocal minority karena kekerasan terhadap perempuan tidak akan berhenti kalau laki-laki terus permisif dan mengangap wajar kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki secara umum harus ikut bertanggung jawab atas kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan lain dalam masyarakat karena sebagian besar pelaku kekerasan adalah laki-laki. Sudah sewajarnya laki-laki bisa memahami, memiliki, dan bertanggung jawab atas pengetahuan yang lebih baik terhadap sikap, tingkah laku dan persepsi mereka sendiri, serta, laki-laki dewasa biasanya menjadi role model atau teladan bagi anak laki-laki yang lebih muda. Sepakat dan mengutip Kaufman, Boni mengemukakan bahwa ada tujuh akar kekerasan yang kerap kali dilakukan oleh laki-laki dan disebut dengan 7P, yaitu: Patriarchy (Patriarki), Privilege (Privilese/Hak-hak istimewa), Permission (Permisif), The Paradox of Men’s Power (Paradoks Kekuasaan Laki-laki), The Psychic Armor of Manhood (Baju Zirah Kedewasaan), Past Experience (Pengalaman Masa lalu), Masculinity as a Psychic Pressure Cooker (Maskulinitas sebagai Mesin Tekanan Fisik). Akar pertama adalah patriarki. Secara harfiah patriarki artinya kekuasaan bapak (Patriarch). Awalnya, jenis keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki (patriarch) di dalam sejarahnya merupakan rumah tangga besar yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak, dan pelayan rumah tangga yang semuanya di bawah kekuasaan si laki-laki penguasa tersebut. Seiring berjalannya waktu, sistem kekuasaan laki-laki menguasai berbagai lini kehidupan dan bersifat mendarah daging dan lekat sekali dengan kebudayaan masyarakat di seluruh dunia, termasuk hubungan kuasa laki-laki yang menganggap bahwa menguasai perempuan adalah kewajiban dan hak seorang laki-laki. Pada akhirnya, sistem patriarki membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara termasuk melalui kearifan lokal (local wisdom). Menurut Boni, kita perlu kritis terhadap kearifan lokal yang terus-menerus mendiskreditkan dan membuat perempuan sebagai individu yang tersubordinasi di dalam masyarakat. Akar kedua kekerasan yang dilakukan laki-laki adalah privilese. Pengalaman laki-laki yang melakukan kekerasan tidak harus berkisar pada keinginannya untuk mempertahankan kekuasaannya, seringkali kekerasan sebagai akibat logis dari perasaan atau pengertian laki-laki bahwa ia memiliki hak-hak istimewa tertentu dalam hidupnya seperti menganggap bahwa perempuan adalah individu yang harus ia didik dan apabila perempuan tersebut berbuat suatu kesalahan, adalah hak seorang laki-laki sebagai pemimpin atas perempuan untuk memberikan pelajaran berupa kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, tidak selalu ketidaksetaraan kekuasaan yang menyebabkan kekerasan, tapi kesadaran, atau seringkali ketidaksadaran, akan pemahaman bahwa ia memiliki hak-hak istimewa tertentu adalah penyebabnya. Permisif adalah hal ketiga yang menjadi dasar laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan, apapun penyebabnya, sebetulnya bisa tidak berlanjut atau berhenti jika tidak ada kondisi permisif, baik terbuka maupun terselubung, dari adat, penegakan hukum, peraturan, atau ajaran agama. Tindakan kekerasan laki-laki seringkali justru dirayakan seperti dalam olahraga maupun media dan anehnya dianggap suatu kewajaran apabila laki-laki berlaku kasar. Sifat permisif ini kemudian menjadi akar historis dari masyarakat patriarki yang menggunakan kekerasan sebagai cara utama menyelesaikan perselisihan dan perbedaan, baik diantara individu, kelompok laki-laki, maupun bangsa. Keempat, paradoks kekuasaan laki-laki atau disebut juga sebagai “men’s contradictory experiences of power” yakni cara laki-laki mengkonstruksi kekuasaan individual dan sosialnya adalah sebuah paradoks karena merupakan sumber ketakutan, isolasi, rasa tidak percaya diri, dan kesakitan bagi laki-laki itu sendiri. Kelima, baju zirah kedewasaan menjelaskan bahwa akar kekerasan laki-laki juga merupakan hasil struktur karakter yang berasal dari penarikan jarak emosional di luar dirinya. Sosialisasi anak-anak dalam keluarga acapkali diwarnai dengan ketidakhadiran ayah atau laki-laki dewasa, atau setidaknya, adanya jarak emosional laki-laki. Ada semacam ‘baju baja’ (armor) sebagai tameng ego yang kaku. Pengalaman masa lalu menjadi akar keenam mengapa laki-laki melakukan kekerasan. Berdasarkan berbagai riset, laki-laki pelaku kekerasan kebanyakan berasal dari keluarga di mana praktik kekerasan terjadi dalam kehidupan mereka. Pada akhirnya, mereka tumbuh dengan menyaksikan atau mengalami perilaku kekerasan sebagai norma dan kewajaran sehari-hari. Budaya kekerasan yang tumbuh dalam kehidupan mereka di masa lalu pada gilirannya terbawa hingga mereka dewasa saat ini. Terakhir, maskulinitas sebagai mesin tekanan fisik merupakan akar kekerasan terhadap perempuan karena menganggap maskulinitas atau Kelelakian (muscle = otot) adalah definisi sosial yang diberikan masyarakat kepada laki-laki yang mengarahkan mereka untuk berperilaku, berpakaian dan berpenampilan serta bersikap dan memiliki kualitas tertentu. Hal ini kemudian berujung pada stereotip atau pelabelan laki-laki dengan karakteristik tertentu seperti lelaki harus kuat, cuek, kasar, tidak boleh bersolek, tidak boleh menangis/lemah dan sebagainya. Sebenarnya pelabelan yang sedemikian berat ini membuat laki-laki terbebani di dalam kehidupannya dan acapkali korban pelampiasan amarah laki-laki karena tidak bisa memenuhi karakteristik tertentu adalah perempuan yang ia anggap lebih lemah dari dirinya, termasuk dengan melakukan kekerasan terhadap perempuan. Lantas, bagaimana cara laki-laki untuk dapat berpartisipasi dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan jika permasalahan yang mengakar begitu kompleks? Mengutip Alan Berkowitz yang mengatakan bahwa kamu tidak dapat menjadi bagian dari pemecahan masalah sampai kamu memahami bagaimana kamu menjadi bagian dari masalah, Boni kemudian memaparkan cara laki-laki dapat berperan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan. Terdapat 10 cara yang dapat dilakukan oleh laki-laki untuk mengambil peran dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, (1) Komunikasi. Masalah besar kita adalah kita seringkali tidak mau bicara atau tidak mau tahu, padahal jika kita bicara dengan mitra kita, kita dapat saling memahami keinginan, pikiran dan harapan kita. Kesepakatan tidak bisa hanya diandaikan ada (taken for granted). (2) Mencari Informasi. Banyak informasi mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) misalnya, dan kita harus belajar, memahami, dan memberikan simpati dan empati. (3) Kontribusi. Kita sepatutnya menyediakan waktu, menyumbang pikiran, dan bahkan dana untuk membantu menghentikan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Bantuan selalu dibutuhkan, dan ada banyak cara untuk terlibat dan mendukung gerakan atau kampanye ini. (4) Mendukung Korban/Penyintas. Kita dapat hadir di sana bagi mereka yang menjadi korban kekerasan domestik atau serangan seksual atau pemerkosaan. Ini artinya membawa seseorang ke rumah sakit, menemani korban ke pengadilan atau kantor polisi, atau hanya sekadar duduk dan mendengarkan penyintas. (5) Mengorganisir. Sebagai laki-laki, kita bisa membangun atau bergabung dengan gerakan yang menentang kekerasan terhadap perempuan. (6) Bertindak. Dari hanya sekadar melihat pelecehan terjadi, kita dapat lebih berperan proaktif dan menjadi saksi yang berdaya. Ini artinya, berdiri tegak, berbicara keras dan terlibat dalam situasi yang berbahaya atau mengajak yang lain untuk membantu. Selalu ada sesuatu yang bisa kita kerjakan. (7) Memilih kata-kata secara sensitif gender. Kita harus memahami dampak dari kata-kata atau kalimat yang kita gunakan sehar-hari. Menggunakan kata-kata atau kalimat seperti “jablay”, “perek”, dan lainnya yang sejenis untuk menggambarkan perempuan kerapkali menjadikan masyarakat secara umum memandang perempuan sebagai inferior. (8) Bicara dengan/dan mendengar perempuan. Banyak perempuan telah bicara selama tahunan, dan berupaya menyebarkan kesadaran. Sekarang waktunya bicara dengan perempuan dan belajar pikiran dan pengalaman mereka yang hidup dengan ancaman kekerasan setiap harinya. Mendengarkan pengalaman perempuan adalah keharusan karena itu adalah bagian dari upaya kita untuk memahami penderitaan yang mereka rasakan dari berbagai tindak kekerasan/ diskriminasi yang mereka alami. (9) Bicara dengan laki-laki. Kita dapat terlibat dialog dengan laki-laki lain dan bicara mengenai kekerasan domestik yang telah menimbulkan dampak buruk pada hidup kita. Kita bisa mengeksplorasi perasaan dan akibat jika dianggap sebagai pelaku potensial kekerasan, dan belajar untuk mendukung penyintas. Bicara dengan laki-laki lain membuat ruang untuk membicarakan ide-ide atau tindakan menantang dan menentang kekerasan domestik. (10) Tunjukkan dengan teladan. Jangan pernah abai, alasan atau tetap diam terhadap kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak. Kita bisa menjadi model panutan terhadap laki-laki lain dan anak-anak dalam komunitas kita. Kita dapat mengajarkan anak-anak kita untuk respek dan tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kita bisa menjadi ayah yang baik dan mitra setara dalam hubungan kita. Kekerasan terhadap perempuan sejatinya bukan hanya menyakiti perempuan saja, tetapi juga menyakiti diri pribadi pelaku kekerasan dan juga laki-laki lain. Hal tersebut dikarenakan kekerasan adalah sesuatu yang destruktif dan merusak tatanan sosial mengingat di kemudian hari ketika kekerasan terus dianggap sebagai sebuah kewajaran, maka tidak perlu heran jika perdamaian akan sulit diraih. Boni menutup kelas dengan mengatakan bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan akan lebih baik jika dirangkul dan disembuhkan secara psikis agar di kemudian hari dapat mengubah perilakunya, dan bukan terus dihakimi secara membabi buta tanpa memberikan pencerahan bahwa tindakan yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Boni menegaskan bahwa peran laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih dibutuhkan dalam perjuangan feminisme sekalipun jalan yang dilalui masih panjang dan cibiran yang dilekatkan kepada laki-laki feminis tetap ada. Untuk itu, Boni menghimbau agar kita mengabaikannya dan terus berjuang untuk menyuarakan kesetaraan gender. (Naufaludin Ismail) ![]() Senin, 11 Juli 2017, Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) menyampaikan hasil capaian program “Pemajuan HAM Perempuan dan Hak Konstitusi dalam Konteks Demokratisasi di Indonesia” yang telah dilaksanakan sepanjang tahun 2010-2016. Konferensi pers tersebut dibuka oleh Azriana selaku Ketua Komisioner Komnas Perempuan. Tujuan diadakannya kegiatan tersebut adalah untuk menyampaikan agenda bersama dalam menyikapi situasi nasional dan daerah. Mitra Komnas Perempuan dari daerah yang hadir pada acara tersebut antara lain mitra dari Jaringan Jawa Barat, Jaring Pemantauan Aceh, kelompok Reformis Lokal di NTB dan Koalisi Jurnalis Makassar. Mereka adalah mitra Komnas Perempuan yang membantu dalam pemetaan tindak intoleran di daerah dan memantau keberadaan peraturan daerah (Perda) diskriminatif. Pada kesempatan tersebut Khariroh Ali selaku Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan memaparkan bahwa konferensi pers yang dilakukan Komnas Perempuan merupakan respons terhadap meningkatnya politik identitas di DKI Jakarta dan di berbagai daerah. Persoalan yang diperbincangkan dalam kegiatan tersebut adalah tentang keberadaan Kebijakan diskriminatif dan Putusan Mahkamah Konstitusi pada April 2017. Khariroh menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 154 kebijakan diskriminatif yang tersebar di 33 provinsi. Kebijakan diskriminatif yang dimaksudkan oleh Komnas Perempuan adalah kebijakan yang mengatasnamakan moralitas dan agama, seperti perda yang mengatur untuk berpakaian tertentu, penetapan jam malam dan pembatasan berkeyakinan dan beragama. Jumlah perda diskriminatif meningkat 273% dari tahun 2010 hingga tahun 2016. Di tahun 2016 ditemukan 41 perda diskriminatif. Keberadaan perda diskriminatif memberikan dampak buruk bagi kehidupan perempuan, kehidupan tata kelola negara dan konsensus kebangsaan. Khariroh menyatakan bahwa kebijakan yang diskriminatif merupakan ancaman bagi demokrasi dan keberadaannya merupakan bentuk penyikapan negara yang tidak mengenali akar persoalan dari pengalaman perempuan. Temuan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam konflik-konflik yang terjadi di masa lalu seperti di Poso, Ambon, Aceh, dan Kalimantan, perempuan dijadikan sebagai korban. Dengan kata lain, perempuan menjadi kelompok yang semakin rentan dengan keberadaan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Selain menyoal keberadaan kebijakan yang diskriminatif, Komnas Perempuan juga menyatakan keprihatinannya terhadap Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) pada April 2017 yang mengabulkan Judicial Review Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menjadi sandaran bagi pencegahan kebijakan diskriminatif melalui executive review. Khariroh menyatakan bahwa putusan MK tersebut berpotensi menyuburkan kehadiran kebijakan diskriminatif. Putusan MK ini menunjukkan ketiadaan mekanisme kontrol yang artinya pengujian perda hanya tertumpu pada Mahkamah Agung dan Legislatif. Komnas melihat akar-akar persoalan tersebut merupakan bahaya laten bagi bangsa jika negara tidak menyikapinya secara sungguh-sungguh. Untuk itu Komnas Perempuan mendorong dibatalkannya kebijakan-kebijakan diskriminatif yang ada di daerah dan mengupayakan agar lahir kebijakan-kebijakan yang kondusif, yaitu kebijakan yang berpihak pada perlindungan terhadap perempuan dan anak (Abby Gina). ![]() “Perempuan adalah kelompok paling rentan terkena dampak kerusakan ekologi”, ungkap Siti Maimunah (Koordinator Program Perempuan dan Agraria Sajogyo Institute) dalam Konferensi Pers Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air di Sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional pada 11 Juli 2017. Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air merupakan ruang untuk bertukar pengetahuan antara perempuan daerah yang selama ini melakukan upaya-upaya pemertahanan ekologi. Acara yang akan diselenggarakan pada 14-16 Juli 2017 di Pesantren Ath-Thariq Garut merupakan hasil kerjasama Sajogyo Institute dan Pesantren Ath-Thariq Garut. Menurut Siti Maimunah Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air adalah upaya untuk mempertemukan perempuan-perempuan dari berbagai daerah agar dapat saling bertutur dan belajar bersama tentang aktivisme mereka di daerahnya. Lebih jauh Siti Maimunah menuturkan bahwa perempuan adalah korban paling pertama akibat kerusakan tanar air, menurutnya tanah dan air adalah ruang hidup perempuan karena dekat dengan peran-peran domestiknya dan terkait fungsi reproduksi perempuan. Ia menceritakan bahwa di berbagai daerah perempuan menjadi aktor untuk mempertahankan lingkungannya dan hak atas tanah, seperti sosok Mama Aletta Baun yang berjuang di Mollo, Mbak Gunarti yang melawan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara dan Teh Nisa yang menjadi sosok sentral dalam merawat pengetahuan teologi ekologi di Pesantren Ath-Thariq Garut. Para perempuan-perempuan tersebut bagi Siti Maimunah sendiri adalah seorang pejuang yang tanggung, hal itu tentu tidak mudah, perempuan menghadapi berbagai tantangan dalam proses pemertahanan ruang hidupnya, stereotipe, stigma dan diskriminasi . Dalam pers rilisnya disebutkan bahwa Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air adalah ruang perjumpaan untuk merayakan, mensyukuri perjalanan, ruang belajar dan bertukar pengetahuan antar perempuan dari berbagai latar belakang, termasuk ibu rumah tangga, petani, wirausaha, kepala dusun, penulis, pembuat film, pejabat pemerintahan dll. Lebih jauh, Jambore ini bertujuan untuk: (1) Menyediakan kesempatan bertukar cerita dan pengalaman dalam menghadapi krisis sosial ekologi di kampung; (2) Menyediakan pembelajaran, cerita-cerita, dan kesaksian pengalaman dari para perempuan kampung, dan perempuan peserta program Beasiswa Studi Agraria & Pemberdayaan Perempuan (SAPP); (3) Menyediakan tauladan yang menginspirasi dalam pengelolaan pertanian halaman, pangan mandiri, produk herbal, kerajinan, dan partisipasi perempuan pada pembangunan desa. Peserta Jambore ini meliputi penerima beasiswa SAPP, perwakilan perempuan dari desa-desa di Kapubaten Aceh Utara, Aceh Selatan, Ogan Komering Ilir (OKI), Tojo Una-una, Donggala, Sigi, Palu, Melawi, Kapuas Hulu, Kutai Kertanegara, Bulungan, Maluku Utara, Tabanan Bali, Bogor, Garut, Flores, Timor Tengah Selatan, Pati, Kota Samarinda dan Jakarta. Dalam konferensi ini Eko Cahyono, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute menyampaikan bahwa persoalan agraria tidak bisa dilepaskan dari persoalan perempuan dan agraria itu sendiri. Menurutnya percakapan tentang isu agraria masih didominasi oleh narasi besar laki-laki. Lebih jauh berdasarkan studi dan temuan Sajogyo Institute perempuan memiliki kedekatan dengan alam, Eko menjelaskan bahwa hilangnya sumber air bersih di perdesaan akan berdampak langsung pada perempuan, begitu juga dengan perampasan hak atas tanah, perempuanlah yang pertama-tama terkena dampaknya. Dengan demikian menurut Eko perbincangan tentang agraria juga harus mendengar suara-suara perempuan. Lebih jauh Direktur Sajogyo ini menjelaskan bahwa perempuan sebagai pejuang tanah air mengalami setidaknya tiga babak, yaitu perjuangan melawan penjajah, perjuangan melawan pembangunan dan perjuangan melawan neoliberalisme. Pada babak ketiga perempuan berjuang mempertahankan tanah air dari neoliberalisme, cirinya adalah perjuangan perempuan di perdesaan dihadapkan pada soal komodifikasi sumber-sumber agraria. Industri ekstraktif dan penambangan masif hingga ke desa-desa yang ruang hidup perempuan desa terancam. “Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mengalami kerentanan berlapis akibat kerusakan ekologi dan perampasan tanah”, ungkap Melani Abdulkadir Sunito, Pengajar di Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Ia mengungkapkan bahwa perampasan tanah bisa dilakukan dalam lingkup yang paling kecil, tentangga, komunitas, bahkan suami, misalnya akta tanah atas nama suami, kemudian laki-laki menjual tanah pada perusahaan. Menurutnya pola pembangunan sudah berubah, berbagai penelitian menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan hambatan untuk mempertahankan tanah airnya, mulai dari keluarga, komunitas, agama, hingga negara. Konferensi Pers menjadi menarik karena Sajogyo Institute mengundang Nyai Nissa Wargadipura Garut untuk menuturkan cerita dan pengalamannya mengelola Pesantren Ath-Thariq. Nissa yang terhubung melalui video call mengungkapkan bahwa pesantren Ath-Thariq disebut dengan pesantren ekologi selain karena menanam sendiri bahan pangannya, namun juga karena memberikan pengetahuan atau ajaran tentang teologi ekologi kepada santri-santrinya. Nissa mengungkapkan bahwa ia menggarap lahan pesantren untuk menjaga keseimbangan alam, kemandirian pangan, dan guna memperlambat perubahan iklim. Lahan pertanian dan perkebunan yang digarap tidak menggunakan pupuk kimia. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa penting adanya Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air, yaitu untuk saling bertutur dan bercerita tentang merawat alam antara perempuan di daerah. Narasi perempuan pejuang tanah air kerap kali tidak dimunculkan sehingga semakin tidak tampak persoalan yang dihadapi perempuan. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() KAFFE 7 (Kajian Filsafat dan Feminisme 7) berlangsung di kantor Yayasan Jurnal Perempuan pada hari Kamis, 6 Juli 2017. KAFFE ke-7 membahas mengenai Feminis Laki-Laki. Narasumber KAFFE pada pertemuan pertama adalah Rocky Gerung. Pada kesempatan itu Rocky membahas tentang Etika Feminis. Persoalan utama yang hendak dipaparkan dalam kuliah tersebut adalah adakah kemungkinan laki-laki untuk menjadi seorang feminis dan mampukah laki-laki menerapkan etika feminis? Pertanyaan ini bergulir sebagai reaksi atas anggapan bahwa feminisme identik dan eksklusif pada perempuan. Kuliah sesi pertama KAFFE 7 diikuti oleh 35 peserta yang datang dari berbagai latar belakang keilmuan dan profesi yang berbeda. Rocky membuka kuliah KAFFE dengan pernyataan bahwa, “Diskusi tentang feminis laki-laki merupakan sebuah tema yang licin, kita bisa tergelincir dalam arogansi bila kita dengan mudah memproklamasikan diri sebagai feminis setelah mempelajari teori feminis”. Mempelajari metodologi feminisme tidak sama dengan menjadi feminis, kuliah KAFFE 7 bertujuan untuk mencegah arogansi semacam itu. Rocky menyatakan bahwa menjadi laki-laki feminis bukan soal kecerdasan akademik belaka, menjadi feminis adalah sebuah panggilan etis. Mempelajari metodologi feminis tidak serta-merta menjadikan seseorang sebagai feminis, sebaliknya karena kita dipanggil oleh peradaban untuk memperbaiki konstruksi keadilan, maka kita berupaya untuk menghadirkan metodologi. Teori feminis dielaborasi karena ada semacam imperatif etis. Eksistensi laki-laki feminis masih dipertanyakan oleh masyarakat, ada keragu-raguan tentang kemungkinan tersebut. Rocky mengatakan bahwa masih banyak pandangan yang menyamakan antara menjadi feminis dengan menjadi perempuan atau menjadi feminis sama dengan menjadi feminin. Menurut Rocky menjadi feminis berarti mengadopsi feminisme. Feminisme tidak hanya mempelajari teori keadilan, belajar feminisme artinya memahami secara konseptual jenis-jenis ketidakadilan yang tidak dipahami oleh teori filsafat, ekonomi, budaya dan ilmu lainnya. Hanya di dalam tubuh perempuan segala ketidakadilan bermukim. Ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik dan ketidakadilan seksual bersamaan melekat pada tubuh perempuan. Status perempuan di dalam peradaban selalu dihargai dengan sangat rendah. Menurut Rocky problem utama dari perbincangan mengenai feminis laki-laki adalah bahwa seorang laki-laki menikmati surplus secara ekonomi, politik dan seksual. Persoalan berikutnya adalah maukah seorang laki-laki melepas surplus tersebut demi mencapai keadilan gender? Rocky menambahkan bahwa menjadi feminis artinya mengadopsi politik feminis dalam upaya untuk menghasilkan alam pikran baru dalam bernegara, misalnya mengadopsi feminis dalam sistem APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan memberi sentuhan feminis pada retorika politik. Etika feminis bukanlah sebuah etika yang sudah selesai, ia adalah pegangan awal agar lahir etika baru untuk memproduksi keadilan. Menurut Rocky etika feminis adalah on going ethic. Membincang etika feminis artinya berbicara soal etika kepedulian. Rocky menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun belakangan semua pembahasan berkerumun pada pembahasan etika kepedulian, isu ekonomi misalnya, saat ini kita bisa bicara soal indeks kebahagian, kita tidak sekadar membahas soal GDP (Gross Domestic Product). Indeks kebahagiaan mempersoalkan apakah distribusi keadilan sudah berdasarkan pendekatan gender, hal ini dapat dilihat dalam pengarusutamaan gender dalam gender budgeting. Etika kepedulian juga hadir dalam membincang persoalan lingkungan, menurut Rocky tanpa sentuhan ekofeminisme, eksploitasi terhadap bumi tidak akan pernah berakhir, sehingga menjadi penting untuk mengekspansi etika kepedulian ke dalam berbagai aspek kehidupan. Rocky menjelaskan bahwa etika kepedulian hadir sebagai respons dari ethic of right, sebuah etika yang basisnya adalah hak. Etika berbasis hak bersifat universal, berbeda halnya dengan etika kepedulian yang basisnya adalah kondisi konkret. Ia berpihak pada situasi konkret dan bukan pada doktrin universal. Etika kepedulian berbeda dengan etika utilitarian atau deontologi. Ethic of right yang bersifat universal menghasilkan praktik moral. Praktik moral diuji berdasarkan ethic of right. Prinsip moral menjadikan kehidupan konkret ditakar. Sebaliknya, etika kepedulian berangkat dari problem ketidakadilan. Problem ketidakadilan yang dibincang oleh etika feminis adalah model persoalan yang tidak selesai dalam analisis ethic of right alasannya adalah karena kode dalam ethic of right berdasarkan virtue. Menurut Rocky virtue dalam ethic of right ditulis dalam perspektif laki-laki sehingga ia mengandung bias laki-laki. Persoalan keadilan misalnya, feminisme memahami ketidakadilan bukan dari abstraksi melainkan dari pengalaman konkret atas ketidakadilan itu sendiri karena perempuan mengalami ketidakadilan. Rocky menggarisbawahi bahwa etika kepedulian adalah koreksi terhadap ethic of right yang bersifat universal sekaligus patriarkis. Perbedaan mendasar antara ethic of right dengan etika feminis adalah perspektif dalam melihat persoalan. Yang pertama mengandaikan bahwa masalah yang dihadapi manusia sifatnya universal, yang kedua mengandaikan bahwa respons terhadap problem yang dihadapi manusia tidaklah universal. Etika feminis selalu bersifat situated knowledge, artinya pengetahuan perempuan selalu berlokasi pada situasi konkret, ia tumbuh dari pengalaman kebertubuhan perempuan, sedangkan pengetahuan laki-laki selalu berasal dari abstraksi dan diformulasikan menjadi nilai yang universal. Etika kepedulian adalah respons dari kebutuhan akan sebuah etika jenis baru. Tahun 1982, Gilligan menghadirkan sebuah teori etika kepedulian dalam buku yang berjudul In a Different Voice. Gilligan melihat bahwa tidak mungkin prinsip-prinsip pengatur moral dibuat sama antara laki-laki dan perempuan. Gilligan dalam buku tersebut menunjukkan kekhususan perempuan dalam melihat dan menerapkan etika. Etika kepedulian hadir bukan untuk melengkapi ethic of right, tapi ia memanfaatkan ethic of right untuk menghasilkan sebuah etika jenis baru. Etika publik adalah ethic of right tapi etika sosial adalah etika kepedulian. Etika kepedulian melihat situasi-situasi konkret dalam persoalan sehingga ia mampu menyentuh persoalan secara lebih radikal. Rocky menutup kelas dengan menyatakan bahwa kita harus terus-menerus melakukan refleksi kritis, karena refleksi adalah cara yang paling baik untuk menjadi dekat dengan etika kepedulian. Jangan sampai kita sekadar paham teori, terlatih secara akademik, namun defisit dalam moral etis. (Abby Gina) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
April 2025
Categories |