Kamis, 22 Februari 2018, penyelenggara Women’s March Jakarta bersama dengan Universitas Atma Jaya Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta mengadakan acara Diskusi Perempuan Melek Hukum dengan topik “Kekerasan Dalam Pacaran”. Acara tersebut merupakan rangkaian acara Women’s March Jakarta yang akan diselenggarakan tanggal 3 Maret 2018 mendatang. Pada Diskusi Perempuan Melek Hukum ini tidak sedikit mahasiswa perempuan yang mengutarakan pendapat dan pengalamannya sebagai korban dari kekerasan dalam pacaran. Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang datang, Nike Nadia, Inisiator HelpNona menyatakan bahwa kekerasan dalam pacaran tidak selalu mewujud, karena bentuk kekerasan bermacam-macam bisa kekerasan fisik maupun psikis. “Ada pemahaman bahwa perempuan cenderung mengalami kekerasan fisik dan laki-laki cenderung mengalami kekerasan psike” tutur Nike. Diskusi tentang kekerasan dalam pacaran yang diadakan oleh Women’s March Jakarta terbilang menarik, sebab korban kekerasan dalam pacaran bukan hanya perempuan tetapi juga dialami oleh laki-laki. Walaupun pada faktanya angka kekerasan terhadap perempuan memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kekerasan terhadap laki-laki. Menurut Nike Nadia siklus kekerasan dalam pacaran memang bisa ditebak. Pada kekerasan dalam pacaran terdapat 4 fase yaitu fase bulan madu yang ditandai bahwa hubungan baik-baik saja, yang kedua adalah fase ketegangan pada fase ini mulai terjadi perdebatan antara keduanya, kemudian yang ketiga adalah fase kekerasan yang berarti mulai terjadinya kekerasan psikis maupun fisik dan yang terakhir adalah fase penyesalan dimana pelaku mulai meminta maaf dan berjanji untuk berubah. Tidak jarang keempat fase ini menjadi fase yang berulang terus menerus. Oleh karena itu, tidak jarang kita mendapati bahwa korban kekerasan dalam pacaran sulit untuk keluar dari lingkaran kekerasan. Uli Pangaribuan, Pengacara LBH APIK Jakarta yang juga hadir sebagai pembicara menyatakan pendapatnya mengenai perempuan yang sering menjadi korban pada kekerasan dalam pacaran. “Kekerasan pada perempuan bukan hanya terhenti pada kekerasan fisik, bagaimana jika terjadi pemaksaan hubungan seksual, berlanjut pada kehamilan, lalu aborsi karena mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, polisi akan mendapati perempuan sebagai pelaku, itu mengapa lingkaran kekerasan pada perempuan terus terjadi”, tutur Uli. Menyikapi hal tersebut kita seharusnya tidak tinggal diam atau beranggapan bahwa kekerasan dalam pacaran adalah hal biasa. Kate Walton, Pendiri Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG) yang merupakan penyintas kekerasan dalam pacaran ikut serta mengambil andil dalam memberi support untuk korban kekerasan. Kate mengaku bahwa ia ingin menolong banyak korban kekerasan dalam pacaran, karena penyintas dapat memahami betul bagaimana rasanya menjadi korban. Tetapi, Kate menegaskan bahwa kita perlu memahami kapasitas kita sebagai manusia. Oleh karena itu, para penyintas bisa melakukan alternatif dengan membawa para korban kekerasan dalam pacaran kepada organisasi yang dapat membantu mereka seperti Yayasan Pulih maupun LBH APIK. Lanjutnya Kate menjelaskan “Pada kekerasan dalam pacaran terdapat kontrol antara yang satu kepada yang lain. Bukan hanya kontrol, kekerasan ekonomi juga bisa terjadi. Sehingga, untuk membantu para penyintas perlu ada support system dari teman-teman dan keluarga”, tutur Kate. (Iqraa Runi) Rabu, tanggal 21 Februari 2018, bertempat di Rumah Kembang Kencur, Pejaten Barat, Jakarta Selatan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama dengan Robert Bosch Stiftung mengadakan acara yang bertajuk “Bincang-Bincang Toleransi dan Perdamaian di Bulan Kasih Sayang”. Acara ini melibatkan sepuluh anak muda yang terpilih menjadi agen perubahan melalui acara “Human Rights Cities Youth Fellowship INFID”. Agen yang terpilih diharapkan dapat menjadi agen perubahan di tengah-tengah derasnya permasalahan intoleransi di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa permasalahan intoleransi disebabkan karena tumbuhnya paham membenci perbedaan. Sehingga, sangat mungkin intoleransi menyerang Indonesia, sebab Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki multietnis. Tetapi, perlu dipahami bahwa perbedaan seharusnya tidak menjadi alasan untuk bersikap intoleran. Intoleransi yang menyerang sebagian besar anak muda, mendorong INFID untuk mengajak anak muda dalam mempromosikan toleransi melalui sosial media. Bukan hanya itu INFID juga melakukan survei terhadap 1200 anak muda di 6 kota yaitu Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Pontianak, Makassar dan Surabaya. Survei ini dilakukan untuk melihat sejauh mana paham anak muda tentang radikalisme agama dan toleransi yang didalamnya terdapat 7 indikator yang dibahas yaitu indikator ketaatan beragama, persepsi radikalisme dan kekerasan berbasis agama, persepsi dan sikap toleransi, akses media, nasionalisme, pihak yang berpengaruh membentuk keyakinan beragama dan yang terakhir solusi menghindari radikalisme dan ekstrimisme. Dari survei yang dipaparkan, terdapat kesimpulan bahwa mayoritas responden secara tegas menolak bentuk kekerasan berbasis agama, tetapi pemahaman toleransi di kalangan anak muda masih rentan. Sebab hasil survei pada pernyataan tentang pemeluk agama non-muslim sebagai kafir memiliki angka yang cukup tinggi. Hal ini membuat INFID berusaha untuk mendorong agen perubahan untuk melakukan sesuatu, khususnya dalam menyampaikan idenya kepada pemangku kebijakan. Pendekatan yang dilakukan oleh agen perubahan diantara lain adalah menyampaikan ide mereka tentang sebab dan juga penyelesaian masalah intoleransi. Hal ini ditanggapi oleh Kepala Kesbangpol Bojonegoro, Kusbiyanto bahwa dalam menyikapi intoleransi memang memiliki kesulitan tersendiri, karena pada dasarnya rasa toleran berawal dari pikiran. ”Perlu adanya promosi toleransi secara terus menerus, agar suara orang-orang yang toleran tidak kalah dengan mereka yang intoleran”, tutur Kusbiyanto. Kurangnya pemahaman tentang Hak Asasi Manusia dalam demokrasi membuat banyak anak muda terjebak pada demokrasi yang hanya fokus pada kebebasan berpendapat. Sementara secara bersamaan ada ketegangan antara aturan menghormati Hak Asasi Manusia dengan ide mengemukakan pendapat pada demokrasi. Sehingga, dalam memahami demokrasi perlu adanya penguatan pemahaman Hak Asasi Manusia, agar dalam praktik demokrasi tidak ada hak dari kelompok tertentu yang dicederai. (Iqraa Runi) Hingga hari ini Indonesia belum memiliki payung hukum perlindungan pekerja rumah tangga (PRT). Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) yang diajukan ke DPR sejak 2004 belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Proses advokasi untuk mendorong pengesahan RUU Perlindungan PRT dan ratifikasi konvensi ILO 189 yang dilakukan oleh Jaringan Nasional Advokasi PRT (Jala PRT) masih stagnan karena RUU ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2018. Untuk itu pada Selasa (6/2) bertempat di kantor Kowani, Jakarta Pusat, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggelar diskusi untuk membahas evaluasi dan rencana tindak lanjut advokasi perlindungan PRT. Komisioner Komnas Perempuan Madgalena Sitorus mengungkapkan pada 2017 Komnas Perempuan dengan didukung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah mengadakan empat kali pertemuan dengan melibatkan sejumlah pihak dan menghasilkan concept paper dan lembar fakta yang dapat digunakan sebagai bahan bersama dalam proses lobi dan advokasi. Ia menambahkan terkait ratifikasi konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT yang prosesnya seharusnya tidak serumit RUU, sejauh ini belum ada sinyal dari Kementerian Ketenagakerjaan untuk melakukan ratifikasi. Koordinator Jala PRT Lita Anggraini menambahkan langkah untuk mendorong ratifikasi Konvensi ILO 189 membutuhkan political will dari Kemnaker mengingat konvensi ini mengatur soal ketenagakerjaan. Lebih lanjut Lita mengatakan perlu ada pendekatan dan lobi kepada partai politik termasuk anggota legislatif dan calon legislatif mengingat salah satu hambatan dalam penyusunan RUU Perlindungan PRT di DPR berasal dari anggota legislatif. Lita mengungkapkan terkait rencana yang digulirkan Lembaga Kerja Sama (LKS) untuk melakukan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka momentum tersebut hendaknya dapat digunakan untuk mendorong agar revisi Undang-Undang No 13 tahun 2003 tersebut juga dapat mewadahi PRT. Dengan demikian undang-undang tersebut tidak hanya mengakomodasi hubungan industrial antara perusahaan dan pekerja. Paling tidak diharapkan ada pengakuan bahwa PRT termasuk pekerja yang dilindungi di dalam undang-undang tersebut. Dari diskusi yang diikuti oleh sejumlah elemen seperti organisasi PRT, LSM, kementerian, organisasi buruh dan asosiasi pengusaha, disepakati sejumlah poin penting yakni perlunya memperluas jaringan dan mengajak lebih banyak elemen untuk mendukung RUU Perlindungan PRT. Selain itu, upaya advokasi, lobi dan kampanye perlu dilakukan dengan lebih intensif. Untuk itu disiapkan beberapa agenda untuk proses advokasi dan kampanye sepanjang tahun 2018. Forum tersebut menyepakati untuk menyiapkan penyusunan concept paper Konvensi ILO 189 dan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan; pembahasan pasal-pasal krusial dalam RUU Perlindungan PRT seperti terkait upah, sanksi dan kontrak kerja; juga pembahasan pasal-pasal krusial yang terkait dengan proyeksi lobi atau negosiasi ke luar dalam konteks negara-negara tujuan PRT migran. Setelah proses pembahasan tersebut selesai, maka akan diikuti dengan proses lobi kepada seluruh fraksi di DPR dan tenaga ahli (TA) fraksi dan/atau anggota DPR serta audiensi dengan menteri ketenagakerjaan. Langkah lain yang dipandang penting untuk dilakukan adalah membuat kampanye untuk membangun kesadaran dan memperluas dukungan. Sejak diajukan ke DPR pada 2004, RUU Perlindungan PRT belum mengalami kemajuan signifikan. RUU ini bahkan beberapa kali tersingkir dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. Hingga masa jabatan DPR periode 2009-2014 berakhir, RUU ini masih terhambat di Badan Legislasi. Terakhir pada November 2017, RUU Perlindungan PRT juga tidak masuk daftar prolegnas prioritas 2018. (Anita Dhewy) Jurnal Perempuan (JP) menerima penghargaan Kategori Kepeloporan dalam Memperjuangkan Hak Perempuan dalam Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang berlangsung pada Jumat (9/2/2018) di Kota Padang, Sumatera Barat. Pemberian Penghargaan yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo ini, diberikan sebagai bentuk apresiasi terhadap media dan insan pers yang selama ini dengan visi misinya, kegigihan, konsistensi dan kreativitasnya telah memelopori isi media yang menjalankan fungsi pers, terutama dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Penghargaan kepada Jurnal Perempuan yang diwakili oleh Direktur JP Atnike Sigiro diberikan oleh Penanggung Jawab Hari Pers Nasional 2018 Margiono dan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo di hadapan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Atnike mengungkapkan penghargaan Kepeloporan Media dalam rangka Hari Pers Nasional 2018 adalah bentuk pengakuan insan pers dan publik atas perjuangan untuk pencerahan dan keadilan bagi perempuan. “Jurnal Perempuan mengucapkan terimakasih kepada panitia HPN 2018, Sahabat Jurnal Perempuan, lembaga donor khususnya Ford Foundation, Dewan Redaksi, Mitra Bestari, dan semua pihak yang setia menemani perjalanan Jurnal Perempuan.” Selain penghargaan kepeloporan media, panitia HPN 2018 juga memberikan penghargaan khusus kepada tiga tokoh pers nasional yaitu, alm Djamaludin Adinegoro alias Datuak Maradjo Sutan, alm Rosihan Anwar dan alm Rohana Koedoes yang diterima oleh perwakilan keluarga/ahli waris. Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup diberikan kepada wartawan senior Fikri Jufri sedang Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup Bidang Pers masing-masing diberikan kepada Harjoko Trisnadi dan Bernard Soedarmara. Dalam Sambutannya Ketua Dewan Pers Yoseph Stanley Adi Prasetyo memaparkan Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia. Ketua Dewan Pers yang biasa disapa Stanley mengungkapkan saat ini Indonesia adalah salah satu negara yg memiliki media terbanyak di dunia, hal ini menjadi salah satu indikator bahwa Indonesia adalah negara yang menjaga kemerdekaan pers. Diperkirakan Indonesia saat ini memiliki 47 ribu media. Sebanyak dua ribu diantaranya adalah media cetak, 674 adalah media radio, 523 adalah media televisi termasuk televisi lokal, dan 43.300 diantaranya adalah media online atau media siber. Stanley mengungkapkan media saat ini sedang memasuki ambang transisi akibat kemajuan teknologi digital. Media cetak banyak yang tidak bisa terbit lagi karena kesulitan pendanaan dan merosotnya oplah penjualan. Para pemimpin dan pejabat tidak lagi bicara dengan pemimpin redaksi, mereka memilih bicara langsung dengan publik melalui media sosial. Media dan wartawan sepertinya mengalami kegamangan dan kehilangan peran. Beberapa media justru mengangkat topik perbincangan netizen di media sosial sebagai bahan liputan atau acara-acara di televisi. Lebih lanjut Stanley menyampaikan pertumbuhan media yang marak mengakibatkan terjadinya perekrutan wartawan dalam jumlah yang besar dari berbagai latar belakang akademis. Celakanya diantara mereka banyak yang tidak pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan jurnalistik. Hal ini ditambah dengan kualitas sebagian besar media siber yang dipertanyakan. Media-media ala kadarnya itu tetap eksis karena mendapatkan dana bantuan dari APBD. Hal ini menurut Stanley menjadi tugas dan pekerjaan rumah masyarakat pers. Menurut Stanley tugas utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Akan tetapi kebenaran yang disampaikan oleh kelompok profesi ini kini dicemari oleh maraknya berita-berita hoax. Fakta kebenaran yang diungkap media arus utama tertutup oleh berbagai berita hoax. Berita hoax ini bukan hanya membawa kebohongan tapi juga menebar kebencian, prasangka, sara, fitnah, dan juga ketidakpercayaan kepada badan-badan publik. Stanley mengungkapkan menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018, fenomena ini bukan tidak mungkin akan kian menguat, mengingat pengalaman pada tahun 2017 yang lalu. Stanley mengatakan selama satu tahun terakhir sejak HPN di Ambon 9 Februari tahun lalu, masyarakat pers dibantu berbagai pihak termasuk sejumlah kementerian dan badan negara secara intensif melakukan upaya untuk memerangi fake news dan berita hoax. Upaya yang disertai dengan media literasi ini berhasil mengurangi peredaran hoax karena masyarakat telah tahu cara untuk melakukan verifikasi atas kebenaran informasi yang mereka terima. Lebih lanjut Stanley mengatakan pers kita kondisinya cukup baik, ada diantara bebas dan agak bebas, angkanya ada di kisaran antara 65 sampai 70. Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Stanley menegaskan bahwa pers nasional merupakan wahana komunikasi massa, penyebar informasi dan pembentuk opini yang harus melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional. Dalam menjalankan profesi, wartawan Indonesia juga bekerja berlandaskan moral dan etika profesi yaitu etika jurnalistik. Untuk itu pada kesempatan tersebut mewakili Dewan Pers, Stanley mengingatkan kembali bahwa pers dan wartawan Indonesia adalah bagian dari perjuangan membentuk dan menjaga nation state. Stanley menutup sambutannya dengan mengungkapkan bahwa platform media mungkin akan mengalami perubahan tapi jurnalisme akan terus eksis. Untuk itu tugas para insan pers, wartawan dan media saat ini adalah mengawal kebangsaan kita termasuk dengan menyampaikan kritik dan pandangan-pandangan yang independen. (Anita Dhewy) Rabu, tanggal 7 Februari 2018, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan media briefing tentang “Potret Perlindungan Perempuan dalam RUU KUHP”. Acara yang berlangsung di kantor Komnas Perempuan ini bertujuan untuk mensosialisasikan alasan Komnas Perempuan menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Rencana pengesahan RUU KUHP yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2018 membuat sejumlah pihak merasa dirugikan khususnya Komnas Perempuan. Pasalnya RUU KUHP adalah rancangan undang-undang yang dapat membuat semua orang menjadi tersangka. Posisi Komnas Perempuan yang menolak pengesahan RUU KUHP atau pasal zina sering dianggap sebagai bentuk persetujuan atas perzinaan. Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyatakan, “Saat ini banyak orang-orang yang mengambil kesimpulan dengan melompat, saat kita mengkritisi pasal zina maka kita langsung dianggap pro terhadap perzinaan, ini yang sering menimbulkan kekacauan sosial.” Lebih lanjut Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, menegaskan “Kami butuh ruang untuk menjelaskan tanpa adanya miskonsepsi terhadap pandangan kami tentang RUU KUHP dan LGBT. Seringkali kami dianggap mendukung sesuatu yang tidak bermoral.” Untuk itu, Komnas Perempuan mencoba menjelaskan secara detail tentang permasalahan pada RUU KUHP dan posisi mereka dalam melihat permasalahan di dalamnya. RUU KUHP secara umum bermasalah, karena membuat hukum terkesan mengatur urusan pribadi terlalu jauh. Banyak isu yang muncul ke permukaan terkait masalah yang ada di dalam RUU KUHP, tetapi Komnas Perempuan mengkhususkan bahasannya dengan menyoroti empat isu utama yaitu perluasan makna zina, kriminalisasi hidup bersama, perluasan makna cabul dan hukum yang hidup di masyarakat. Dalam perluasan makna zina terdapat overspel yaitu dengan menyamakan makna zina pada hukum adat dengan hukum Islam, padahal keduanya berbeda. Pada pasal 484 ayat 1 huruf e dinyatakan bahwa makna zina adalah “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan”. Apabila kita mengacu pada kalimat “pernikahan yang sah” tentunya terdapat multitafsir di dalamnya, karena banyak warga negara Indonesia yang menikah dengan sistem penghayat kepercayaan dan banyak pula orang yang tidak bisa menjangkau instansi pencatatan sipil karena kemiskinan. Dengan begitu semua orang yang menikah tanpa pencatatan sipil bisa saja terjerat pasal zina. Selain itu, Komnas Perempuan juga merasa bahwa perluasan makna zina akan berujung pada kriminalisasi perempuan korban perkosaan dengan tuduhan melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Dengan adanya penguatan pada pasal 484 ayat 2 yang berbunyi “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dilakukan penentuan kecuali atas pengaduan suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar” justru membawa dimensi yang membuat perempuan korban perkosaan menjadi takut untuk melapor. Selain itu, perluasan makna pencabulan yang tertera pada pasal 490 ayat 2, pasal 496 dan pasal 498 ayat 2 berkali-kali disebutkan bahwa seorang pelaku pencabulan akan dipidana jika dilakukan terhadap seorang yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin. Kalimat ini menuai kritik dari berbagai pihak seperti disampaikan Magdalena Sitorus, Komisioner Komnas Perempuan yang fokus membahas hak anak. Menurut Magdalena, status kawin dan tidaknya seorang anak korban pencabulan akan menjadi masalah. Jika seorang anak sudah kawin maka akan berpotensi menimbulkan impunitas pelaku. “Anak bukan persoalan sudah kawin atau belum kawin, anak adalah anak,” tutur Magdalena. Seharusnya pemerintah mengambil langkah konkret misalnya dengan menghapus perkawinan anak, karena status kawin dan tidak kawin menunjukkan adanya legitimasi atas perkawinan anak. Azriana Rambe Manalu, Ketua Komnas Perempuan yang juga hadir dalam media briefing menyatakan pendapatnya tentang upaya pemerintah dalam membuat pasal zina dengan keluaran hukuman pidana. “Daripada berusaha memenjarakan orang, lebih baik anggaran masuk ke pembangunan budaya dan pendidikan, sebab lapas yang ada tidak akan cukup untuk menampung orang-orang yang nantinya terjerat RUU KUHP jika disahkan,” tutur Azriana. Dengan adanya RUU KUHP hukum seolah-olah bekerja dengan mempermasalahkan hal yang sifatnya pribadi. Hukuman tidak melulu soal pidana atau hukuman mati, tetapi ada persoalan yang bisa diselesaikan dengan cara lain misalnya melalui budaya dan pendidikan. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika pemerintah menggunakan dana pembesaran lapas untuk pengembangan budaya dan pendidikan. (Iqraa Runi) Rabu, 31 Januari 2018, Jurnal Perempuan meluncurkan film dokumenter dan pendidikan publik JP 95 dengan judul Perempuan Nelayan di Hotel Aryaduta, Jakarta. Rangkaian acara ini dilakukan sebagai bentuk advokasi demi mendorong terpenuhinya hak-hak perempuan nelayan. Advokasi terhadap hak perempuan nelayan adalah hal yang penting dilakukan mengingat besarnya kontribusi mereka dalam pemenuhan ketahanan pangan dan nutrisi di tingkat nasional maupun global. Di Indonesia setidaknya terdapat 3,9 perempuan nelayan namun ironisnya hingga saat ini pemenuhan hak-hak dan pengakuan atas profesi nelayan masih sulit mereka dapatkan. Pada kesempatan tersebut, Susan Herawati Romica, Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) membincangkan mengenai strategi dan tantangan dalam melakukan pengorganisasian dan advokasi terhadap hak-hak perempuan nelayan atas pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan. Susan memberi fokus pada pengorganisasian kelompok perempuan nelayan sebagai bagian penting dari advokasi hak-hak perempuan nelayan. Pada tahun 2010 KIARA dan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) yang didukung oleh Oxfam mendorong lahirnya PPNI (Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia). Susan menyatakan bahwa PPNI dibangun dengan menemukan kekhasan gerakan perempuan nelayan, nilai lokal, dan moda ekonomi yang bisa digerakkan dengan jalan gotong royong. PPNI adalah wadah solidaritas dalam upaya mendorong perempuan nelayan untuk berdaulat, mandiri dan sejahtera. Solidaritas menjadi kata kunci dalam gerakan perempuan, begitu juga dengan PPNI. Solidaritas artinya memiliki rasa sepenanggungan. Menurut Susan, PPNI berupaya membangun dan mengenalkan gagasan solidaritas pada perempuan nelayan, karena awalnya perempuan nelayan sangatlah individual dan tidak terlibat dalam kegiatan keorganisasian. Susan melihat hal ini sebagai dampak konstruksi budaya yang mendomestikasi perempuan. Hambatan budaya adalah tantangan terbesar bagi gerakan perempuan akar rumput. Susan memaparkan masyarakat masih kental dengan keyakinan bahwa perempuan tempatnya di rumah, sehingga keterlibatan perempuan di dalam organisasi masih dianggap hal yang tidak wajar. Perempuan-perempuan yang terlibat dalam organisasi mendapat stigma sebagai perempuan yang melawan kodrat. Susan menambahkan bahwa mengubah kesadaran perempuan nelayan merupakan perkara yang tidak mudah. Sedari kecil mereka telah mendapat sosialisasi bahwa peran perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga, sehingga pun mereka bekerja sama dengan suaminya melakukan seluruh kerja nelayan mereka tidak menganggap kerja mereka sebagai profesi. Ini artinya, organisasi seperti PPNI harus terlebih dahulu bergerak untuk membangun kesadaran para perempuan mengenai identitas profesi mereka sebelum dapat masuk dalam advokasi kepada pemerintah untuk menuntut pemenuhan hak perempuan nelayan. “Kondisi perempuan nelayan masih terstigma dengan tiga hal yaitu dapur, sumur, kasur, padahal peran perempuan sudah tidak di wilayah domestik saja tapi juga masuk ke ranah publik,” ungkap Susan. Menurut Susan makna kerja perempuan nelayan direduksi sedemikian rupa, walaupun kontribusi perempuan nelayan dalam perekonomian keluarga nelayan sangat besar yaitu 48% dan mereka bekerja 17 jam per hari di perikanan tangkap dan 15 jam per hari di perikanan budi daya, tetap saja masyarakat dan pemerintah sulit mengakui peran mereka dalam sektor perikanan. Menurut Susan definisi nelayan dalam undang-undang menjadi hambatan bagi pengakuan atas profesi perempuan sebagai nelayan. Undang-undang idealnya tidak membedakan subjek pekerjaan berdasarkan jenis kelamin seseorang, entah ia laki-laki atau perempuan, namun implementasinya tidak demikian. UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak garam tidak mengakomodasi kepentingan perempuan. Dalam UU tersebut perempuan hanya disebut satu kali yaitu dalam rumah tangga nelayan, hal ini menjadi salah satu penyebab proses advokasi untuk pengakuan profesi perempuan nelayan menjadi sangat sulit. Perempuan hanya sebatas dimaknai sebagai teman melaut suami. Selain berfokus pada gerakan politik, PPNI juga berfokus pada pemberdayaan ekonomi perempuan nelayan. Susan menuturkan bahwa awalnya PPNI hendak memulai perjuangan dari gerakan politik, tapi langkah tersebut dirasa tidak berjalan bila persoalan ekonomi perempuan belum disentuh. PPNI menginisiasi sejumlah pelatihan pengolahan hasil perikanan yang membawa agenda politis. Menurut Susan, tiap produk yang dihasilkan oleh perempuan-perempuan nelayan ini membawa pesan bahwa mereka melawan kekerasan, stigma, marginalisasi dan segala bentuk ketidakadilan yang dialami oleh perempuan nelayan. (Abby Gina) Andi Misbahul Pratiwi: Pengakuan terhadap Perempuan Nelayan Merupakan Kebutuhan Strategis Gender5/2/2018
Rabu, 31 Januari 2018, Jurnal Perempuan menyelenggarakan acara Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan dan Pemutaran Film Dokumenter Perempuan Nelayan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Acara dibuka dengan sambutan dari Dr. Ir. Rina, M.Si sebagai perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kemudian dilanjutkan dengan pidato kunci dari Atnike Nova Sigiro, M.Sc, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan. Kegiatan selanjutnya ialah pemutaran film dokumenter Perempuan Nelayan yang menggambarkan kehidupan perempuan nelayan di Desa Morodemak dan Desa Purworejo, Jawa Tengah serta perempuan petambak udang di Dipasena, Lampung. Pada Pendidikan Publik JP 95 kali ini, Jurnal Perempuan menghadirkan Dedi Supriadi Adhuri (Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Andi Misbahul Pratiwi (Redaksi Jurnal Perempuan), dan Susan Herawati Romica (Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) sebagai pembicara, dan Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Dalam sesi diskusi, Andi Misbahul Pratiwi memaparkan hasil riset yang ia tulis bersama Abby Gina, dengan judul “Eksistensi dan Kekuatan Perempuan Nelayan di Desa Morodemak dan Purworejo: Melawan Kekerasan, Birokrasi, dan Tafsir Agama yang Bias”. Dalam pemaparannya, Andi menyampaikan bahwa masyarakat masih melihat pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang hanya dilakukan oleh laki-laki. Banyak ujaran seperti, “Wong Wedok kok Miyang” yang artinya “Perempuan kok melaut”. Anggapan tersebut merupakan bukti bahwa stigma masih dilekatkan pada perempuan yang bekerja sebagai nelayan dalam masyarakat kita. Persoalan yang diangkat oleh Andi mengenai perempuan nelayan ialah soal sempitnya definisi nelayan serta keterlibatan dan peran perempuan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam sehingga perempuan nelayan sulit mendapat pengakuan sebagai nelayan dan akses terhadap Kartu Nelayan. Andi menyatakan bahwa sempitnya definisi nelayan dan lingkup peranan perempuan nelayan dalam UU No.7/2016 menurut alat analisis gender Kabeer merupakan model pembangunan yang buta gender (blind gender) yang hanya menyasar kepada masyarakat laki-laki sebagai kepala keluarga dan agen produktif. “Pengakuan terhadap perempuan nelayan dianggap perlu dan penting karena menurut Mooser, pengakuan terhadap perempuan memiliki keterkaitan pada akses dan kontrol terhadap program pembangunan sehingga pengakuan terhadap perempuan nelayan merupakan kebutuhan strategis gender, bukan hanya praktis gender”, tutur Andi. Berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan Andi, perempuan yang melaut memiliki porsi kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan suami mereka. Selain melaut, pekerjaan menjual ikan di pasar dan melakukan tawar-menawar juga dibebankan kepada para perempuan nelayan karena ada anggapan bahwa urusan pasar adalah urusan perempuan. Mereka juga masih dibebani dengan pekerjaan domestik yang harus mereka jalankan terkait peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa beban ganda merupakan salah satu persoalan yang dialami oleh para perempuan nelayan. Meski para perempuan nelayan bekerja di ranah publik untuk membantu ekonomi keluarga namun hingga kini mereka sulit mendapatkan pengakuan sebagai nelayan serta tidak memiliki akses kartu nelayan. “Pengakuan terhadap identitas perempuan nelayan hanya langkah awal untuk memperbaiki kondisi perempuan nelayan di seluruh Indonesia. Langkah ini harus dilanjutkan dengan pendidikan dan pengadopsian perspektif adil gender dalam kebijakan. Kemudian definisi nelayan juga harus diperluas sehingga dapat mengakomodasi kerja perempuan di sektor perikanan mulai dari menangkap ikan, menjual, mengolah, hingga memasarkan hasil tangkapan.” tutur Andi di akhir pemaparannya. (Bella Sandiata) Rabu, 31 Januari 2018 pukul 09.00, bertempat di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Jurnal Perempuan mengadakan acara Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 95 Perempuan Nelayan. Dedi Supriadi Adhuri, Peneliti Bidang Humaniora Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang hadir sebagai pembicara menyampaikan paparan tentang peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan perikanan yang terbilang sangat penting. Sebelum membahas pentingnya perempuan di sektor pengelolaan sumber daya pesisir dan perikanan, Dedi terlebih dahulu menjabarkan kegentingan yang terjadi di sektor perikanan. Melalui data dari Komisi Nasional Kajian Sumberdaya Ikan (KKP) Dedi memaparkan bahwa pada tahun 2017 tercatat Indonesia memiliki cadangan ikan sebanyak 12,5 juta ton. Akan tetapi, Dedi dengan tegas menyatakan bahwa terdapat paradoks pada penelitian tersebut. Dari jumlah ikan yang tersebar di Indonesia nyatanya banyak wilayah laut Indonesia yang mengalami eksploitasi berlebihan. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada ikan tetapi juga sumber daya pesisir lainnya seperti terumbu karang dan bakau. Mengingat banyaknya persoalan terkait tidak meratanya penyebaran ikan dan juga eksploitasi berlebihan maka dibutuhkan pengelolaan secara berkelanjutan atau sustainability. Dedi memaparkan bahwa nelayan membutuhkan pendekatan berbasis ekosistem yang bukan hanya berfokus pada hasil tangkapan tetapi juga lingkungan sekitarnya. Sebab dengan menggunakan pendekatan berbasis ekosistem, maka aspek pemanfaatan sumberdaya, pemeliharaan lingkungan, konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam dan ekosistemnya menjadi perhatian. Dalam paparannya Dedi menjelaskan bahwa pendekatan berbasis ekosistem belum memasukkan perspektif gender sehingga ada kebutuhan untuk menambahkan perspektif gender. Itu sebabnya Dedi berpendapat pendekatan berbasis ekosistem perlu digabung dengan pengelolaan kolaboratif berbasis komunitas agar nelayan dapat mengelola hasil tangkapan hingga pemasaran sesuai dengan lingkungan mereka. Pengelolaan sektor perikanan bisa dijadikan acuan untuk mengatur ekonomi dan ekosistem yang berkelanjutan di sektor nelayan. Melalui sistem pengelolaan berbasis komunitas yang didukung oleh pemerintah, komunitas bisa membentuk rancangan pengelolaan perikanan pada wilayah mereka, sehingga, terdapat prinsip yang berkeadilan. Pada posisi ini nelayan perempuan tentunya memiliki ketertindasan ganda. Di satu sisi terdapat fakta bahwa persediaan sumber daya pesisir menurun sementara di sisi lain terdapat fakta bahwa perempuan nelayan tidak diakui sebagai pekerjaan profesional. Dedi menyayangkan nasib perempuan nelayan yang tidak diakui sebagai pekerjaan profesional. Pasalnya dari penelitian yang Dedi lakukan ia menyatakan bahwa dari Sabang hingga Merauke perempuan nelayan ikut serta dalam memajukkan ekonomi nelayan, mulai dari proses penangkapan hingga pemasaran. Tidak jarang pula perempuan nelayan menjadi penentu apakah nelayan laki-laki bisa melaut atau tidak. Hal ini terkait posisi perempuan nelayan sebagai pemasok bahan bakar minyak (BBM) untuk para komunitas nelayan. Melihat pentingnya perempuan dalam dunia perikanan Dedi mengakui bahwa perspektif gender masih sangat dibutuhkan untuk disusupi ke dalam kebijakan dan kultur, mengingat pengelolaan berbasis komunitas dapat terlaksana dengan dukungan komunitas yang ada pada suatu wilayah. Tentunya terdapat dugaan jika perempuan tertindas dalam kultur yang bias, bisa jadi sistem pengelolaan tidak lagi bekerja dalam menyuarakan aspirasi perempuan nelayan. Tidak jarang pula implementasi pengelolaan berbasis komunitas bersifat blind-gender. Oleh karena itu, besar harapan Dedi agar perspektif gender terus digunakan untuk mengkritisi kebijakan dan juga kultur, “penyuaraan kepentingan perempuan dalam pengelolaan sumber daya pesisir masih langka dan oleh karenanya sangat dibutuhkan” tutur Dedi. (Iqraa Runi) Rabu, 31 Januari 2018, Jurnal Perempuan mengadakan Pendidikan Publik JP 95 dan Pemutaran film dokumenter Perempuan Nelayan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Acara yang berlangsung di ballroom lantai Mezzanine Hotel Aryaduta ini menghadirkan Dedi Supriadi Adhuri (Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Andi Misbahul Pratiwi (Redaksi Jurnal Perempuan), dan Susan Herawati Romica (Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) sebagai pembicara serta Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Pendidikan Publik dan pemutaran film dokumenter Perempuan Nelayan ini dibuka oleh Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Dr. Ir. Rina, M.Si sebagai perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam sambutannya Rina mengungkapkan bahwa isu perempuan nelayan sudah menjadi isu yang mendapat perhatian lebih di KKP. Hal ini sesuai dengan amanat Ibu Susi Pudjiastuti selaku Menteri Kelautan dan Perikanan agar memajukan kesejahteraan perempuan nelayan terutama pada sektor pengolahan dan pengawetan hasil tangkapan laut. Rina kemudian menambahkan sebenarnya akses untuk mendapatkan kartu dan asuransi nelayan tidak terbatas hanya pada nelayan laki-laki saja, perempuan juga diperbolehkan untuk mendapatkan kartu dan asuransi nelayan. Namun, ia mengakui memang perempuan nelayan lebih sulit dalam mengakses haknya tersebut dibandingkan nelayan laki-laki. Selanjutnya Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro, M.Sc memberikan pidato kunci terkait diskusi yang membahas isu dan problem perempuan nelayan. “Dalam kebudayaan yang umum, profesi nelayan dianggap sebagai profesi khas yang hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Anggapan ini muncul karena adanya pandangan bahwa tidak ada perempuan yang pergi melaut atau perempuan tidak memiliki kemampuan untuk pergi melaut. Jika seorang perempuan atau istri pergi melaut, maka ia dianggap hanya menemani suami. Pengabaian terhadap peran perempuan nelayan juga terjadi pada proses pengolahan dan pemasaran ikan–yang banyak dilakukan oleh perempuan–yang dianggap bukan bagian dari profesi nelayan”, ujar Atnike. Hasil dari stereotyping yang bias gender pada masyarakat kita, pada akhirnya membuat peran perempuan nelayan dalam rantai produksi perikanan dari praproduksi, produksi, dan pascaproduksi menjadi tidak terhitung sebagai kegiatan ekonomi ataupun dianggap sebagai pekerjaan profesional layaknya nelayan laki-laki. Atnike juga menyoroti polemik Undang-Undang No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam yang hanya menempatkan perempuan dalam kategori ‘istri nelayan’ atau ‘keluarga nelayan’. Kombinasi antara pandangan budaya dan legislasi yang timpang ini berakibat pada pengabaian terhadap pengakuan, hak-hak, dan perlindungan bagi perempuan nelayan, seperti hak untuk dicantumkan profesinya sebagai nelayan dan hak untuk mendapatkan Kartu dan Asuransi Nelayan. Sementara seperti kita ketahui, perempuan nelayan juga memiliki risiko yang sama besarnya dengan nelayan laki-laki di dalam rantai produksi perikanan. Atnike juga menyoroti persoalan jumlah rumah tangga nelayan di Indonesia yang berkurang nyaris 50%. Hal ini diperkirakan karena kehidupan sebagai nelayan tidak lagi menjanjikan untuk keberlangsungan hidup sebab, ikan-ikan di laut Indonesia mulai habis. Menurut Atnike hal ini tentu berdampak pada ekonomi keluarga nelayan dalam kehidupan sehari-hari. Peran domestik perempuan dalam mengelola anggaran rumah tangga, menempatkan perempuan nelayan sebagai kelompok yang paling merasakan kemiskinan di dalam komunitas nelayan sehingga menyebabkan kemiskinan struktural pada mereka. Hal ini cukup disayangkan mengingat 2/3 wilayah Indonesia adalah perairan dan profesi nelayan dan perempuan nelayan khususnya, belum mendapat perhatian lebih dari negara. Menurut Atnike kerja sama yang sinergis antara pemerintah, masyarakat, dan dunia akademis perlu digalakkan untuk memajukan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak perempuan nelayan. “Perempuan nelayan mungkin bukanlah wonder woman, namun kontribusi mereka terhadap kehidupan keluarga bahkan juga perekonomian nasional tak boleh dilupakan. Sudah selayaknya pula, pemerintah, para pembuat kebijakan, dan dunia akademik memberikan perhatian lebih terhadap keberadaan perempuan nelayan. Karena mengabaikan keberadaan perempuan nelayan bukan hanya mengabaikan hak kewarganegaraan perempuan nelayan, tetapi juga mengabaikan problem kemiskinan yang masih dialami oleh negeri yang bercita-cita membangun poros maritim ini”, tutup Atnike dengan penuh harapan untuk keadilan perempuan nelayan. (Naufaludin Ismail) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |