Melawan Penyeragaman Tampilan Perempuan Lewat Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara30/10/2021
Penutup kepala telah menjadi identitas perempuan Nusantara. Selain merupakan bagian dari busana, penutup kepala juga melambangkan identitas kultural dan kebebasan berekspresi perempuan. Sayangnya, banyaknya produk hukum daerah yang membatasi cara berpakaian dan menyebabkan penggunaan penutup kepala tradisional perempuan pun mulai berkurang. Rabu (20/10) Departemen Kebijakan Daerah, Badan Eksekutif Mahasiswa, Pemerintahan Mahasiswa (BEM PM) Universitas Udayana menyelenggarakan diskusi online kemahasiswaan dengan tema “Budaya Patriarki dan Diferensiasi Gender di Bali”. Diskusi tersebut menghadirkan Budawati (LBH Bali WCC) dan Retno Daru Dewi G. S. Putri (Jurnal Perempuan). Membuka diskusi ini, Budawati menyampaikan mengenai permasalahan patriarki di Bali yang merugikan perempuan seperti kawin kasta, hak waris, dan garis keturunan yang mengikuti laki-laki. Diskriminasi kerap terjadi walaupun tidak ada agama dan budaya yang membenarkan penindasan perempuan. Dalam menghadapi situasi ini, Budawati mengharapkan bahwa perempuan terus bisa bersuara di lingkungan sekitarnya untuk menghentikan kekerasan dan budaya yang merugikan perempuan. Peran ini tidak hanya dapat dilakukan oleh perempuan saja, tetapi juga oleh semua pihak. Kekerasan domestik terhadap perempuan menyamar dalam banyak wujud, salah satunya adalah pemaksaan perkawinan. Budaya kerap kali dijadikan alasan untuk membenarkan praktik keji ini. Di wilayah Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), praktik kawin paksa ini dikenal dengan nama kawin tangkap. Guna membahas budaya ini, pada Sabtu (16/10) lalu, telah dilaksanakan webinar bertajuk “Menghapus Praktik ‘Kawin Tangkap’ dan Upaya Pemulihan Korban”. Acara ini diselenggarakan oleh Prodi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia. Webinar ini menghadirkan Sulis Seda (Yayasan Kemanusiaan DONDERS Sumba Barat Daya), Martha Hebi (Perkumpulan SOPAN Sumba Timur), serta Dr. Irene Lolo (Pendeta dan aktivis PERUATI Sumba) sebagai narasumber. Ketiganya merupakan perempuan asli Sumba yang memahami budaya kawin tangkap. Rasio keterlibatan perempuan dan laki-laki di bidang STEM masih menunjukkan ketidakseimbangan. Akibat dari konstruksi pemikiran masyarakat, perempuan memang tidak seleluasa laki-laki dalam menentukan pilihannya, termasuk karier. Terutama dalam sektor nuklir dan keamanan internasional, yang masih terlihat sangat maskulin. Berangkat dari hal tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkolaborasi dengan Jurnal Perempuan dan Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam mengadakan webinar bertajuk “Perempuan di Bidang Keamanan Nuklir dan Seifgard”. Webinar ini disiarkan secara daring melalui platform Zoom dan YouTube pada Senin (11/10) lalu. Pada hari Rabu (13/10/2021) The Washington Post mengeluarkan tulisan berjudul The Nobel prizes have a gender problem, but quotas are not the solution, says head of science academy. Tulisan tersebut melaporkan isu kesenjangan gender pada penghargaan Nobel atau yang dikenal dengan Nobel Peace Prize. Topik ini muncul setelah Maria Ressa, seorang jurnalis asal Filipina, memenangkan penghargaan nobel gabungan bersama jurnalis asal Rusia, Dmitry Muratov. Selasa, 05/10/2021 lalu, Representative of Indonesia to the ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) mengadakan diskusi mengenai Online Gender-based Violence atau Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) yang bertemakan Web-consultation on Gender, Human Rights, and ICT: Surfacing Online Gender-based Violence Gendered Disinformation and Hate Speech, and Women and Girls’ Accessibility in ASEAN Region. dengan menghadirkan Andy Yentriyani (Komnas Perempuan), Jeanette Laurel-Ampog (Talikala Philippines), Rahimah Abdulrahim (Facebook Asia Pacific), dan Rachel Teo (Google). Narasumber pertama, Andy Yentriyani (Komnas Perempuan) membuka penyampaian materi dengan menjelaskan mengenai kasus (KBGS) yang tercatat selama pengaduan langsung ke Komnas Perempuan Tahun 2020. Laporan-laporan tersebut berasal dari ranah Komunitas (706 kasus), Negara (24), dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Relasi Personal (1.404). Jika dilihat Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyampaikan bahwa kasus kekerasan berbasis kasus ini meningkat sebanyak 2.592 aduan di bulan Januari hingga Juni 2021. Kekerasan seksual bukanlah suatu peristiwa yang normal. Kekerasan seksual marak terjadi karena adanya kecacatan sistemik dan paradigma patriarki dalam masyarakat. Pemerintah, sebagai institusi sosial terbesar dalam suatu negara, wajib hadir dan mengakomodasi payung hukum yang memadai, agar kekerasan seksual tidak menjadi momok bagi masyarakat. Pengesahan RUU PKS menjadi salah satu hal yang dapat menyediakan payung hukum bagi korban—agar korban dapat mengakses keadilan dan pemulihan yang berhak diterimanya. |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |