Senin, 27 Agustus 2018 bertempat di rumah AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat mengadakan konferensi pers tentang RUU (Rancangan Undang-Undang) Masyarakat Adat. Dalam kesempatan itu Muhammad Arman, Devi Anggraini, Khalisa Khalid dan Siti Rahma memaparkan urgensi dari RUU Masyarakat Adat. Nurul Firmansyah selaku moderator menyampaikan bahwa tema konferensi pers tersebut adalah “Bineka adalah Keniscayaan”. Menurut Nurul tema ini menjadi relevan karena masyarakat adat merupakan pilar kebangsaan Indonesia, masyarakat adat lebih dahulu hadir sebelum lahirnya republik Indonesia, dan masyarakat adat juga merupakan manifestasi dari keberagaman. Sehingga menurutnya, kehadiran UU (Undang-Undang) Masyarakat Adat menjadi penting dalam upaya mengakomodasi hak masyarakat adat dan menjamin kebudayaan. Saat ini draft RUU Masyarakat Adat versi DPR RI sudah berada pada tahap pembahasan di Baleg (Badan Legislasi) DRP RI, namun dari segi substansi draft tersebut mengandung sejumlah persoalan karena draft RUU tersebut berpotensi menghilangkan keberadaan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Mengacu pada policy brief yang telah disusun oleh koalisi, setidaknya ada 6 aspek yang perlu diperhatikan dalam membincang hak masyarakat adat yaitu; hak atas wilayah adat, hak atas budaya spiritual, hak perempuan adat, hak anak dan pemuda adat, hak atas lingkungan hidup, hak untuk berpartisipasi. Aspek-aspek ini seharusnya menjadi perhatian dan harus hadir di dalam UU masyarakat adat. Muhammad Arman selaku Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) menyatakan bahwa sejumlah konflik terjadi karena ketiadaan UU khusus yang mengatur tentang masyarakat adat. Setidaknya ada 127 kasus yang dihadapi oleh komunitas masyarakat adat yang berdampak pada pemenjaraan 262 orang. Arman juga mengatakan bahwa terdapat 3,2 juta masyarakat adat yang saat ini terancam hak kewarganegaraannya dan tidak dapat mengakses hak politiknya karena mereka hidup di kawasan konflik yaitu kawasan hutan dan kawasan HGU (Hak Guna Usaha). Arman menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri tidak mau memberikan bukti kependudukan bila masyarakat adat masih menempati daerah konflik tersebut, padahal bukti kependudukan adalah hak warga negara. Khalisah Khalid dari WALHI menyatakan persoalan lain terkait pengabaian pengetahuan masyarakat adat. Khalisa melihat bahwa masyarakat adat memiliki pengetahuan, nilai dan praktik dalam mengelola kekayaan alam dengan keragamannya. Tetapi dalam pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam) negara menerapkan perspektif monokultur, artinya pengelolaan SDA mengacu pada satu sumber yaitu pengetahuan modern dan mengabaikan keterlibatan pengetahuan dan pengalaman masyarakat adat. Padahal pengetahuan masyarakat adat merupakan fondasi dari kebudayaan. Persoalan pengabaian pengetahuan masyarakat berdampak pada relasi perempuan di dalam masyarakat. Devi Anggraini dari Perempuan AMAN dalam kesempatan tersebut mengajak para hadirin untuk berefleksi tentang dasar didirikannya negara ini. Menurut Devi semangat berdirinya Indonesia adalah semangat perlawanan terhadap penindasan dan terhadap relasi yang tidak setara. Menurutnya, sedari awal bangsa ini dibangun, sudah ada kesadaran bahwa Indonesia dibangun atas dasar kebinekaan. Ironis bahwa dalam kebangsaan Indonesia, keragaman identitas tergerus sedemikan rupa. “Kami dari Perempuan AMAN, mengikuti proses draft RUU Masyarakat Adat ini, kami sadar betul bahwa banyak masukan terkait perspektif gender yang tidak ada di dalam RUU versi DPR RI, baik di awal gagasan hingga diskusi yang telah cukup panjang di Baleg DPR RI dan AMAN,” tutur Devi. Bagi Devi hal kesetaraan gender penting untuk hadir dalam UU Masyarakat Adat agar dapat memastikan tiap kelompok khususnya minoritas memiliki tempat dalam masyarakat dan untuk menjamin inklusifitas. Artinya tiap kelompok seperti perempuan, anak, pemuda, lansia, disabilitas, kelompok miskin dan lainnya harus terjamin haknya untuk berpartisipasi dan menyuarakan aspirasinya sebagai bagian dari masyarakat tanpa mengalami diskriminasi. RUU Masyarakat Adat seharunya mengenali keberadaan perempuan adat. Menurut Devi perempuan adat mempunyai hak sebagai warga negara, hak individu perempuan adat, hak kolektif perempuan adat dan hak kolektif sebagai bagian dari masyarakat adat termasuk hak kolektif dalam aspek ekspresi budaya. Bagi Devi hak perempuan adat bersifat indivisibility yang artinya dalam satu identitas perempuan adat terdapat keterhubungan hak yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hak kolektif perempuan adat dapat dilihat dari keseharian mereka yang erat dengan pengetahuan lokal, wilayah kelola dan otoritas. Perempuan adat menurut Devi memiliki peran kunci dalam menjamin berlangsungnya keberadaan masyarakat adat karena mereka memiliki pengetahuan soal tenun, benih, perladangan, ritual, pengobatan, persalinan dan lain sebagainya. Berdasarkan pengetahuan-pengetahuan tersebut, perempuan mengambil peran-peran tertentu di dalam masyarakat adat. Melalui peran inilah perempuan memastikan keberadaan dan juga kemandiriannya di dalam masyarakat adat juga negara. Ironis bahwa teradapat kebijakan negara yang alih-alih menjamin hak malah membuat rentan posisi perempuan. Lebih jauh, menurut Devi , peraturan Menteri Kesehatan RI yang mengatur tentang dukun beranak telah menyingkirkan dan bahkan berpotensi mengkriminalkan perempuan adat yang berperan sebagai dukun beranak. Permen Kesehatan RI No. 97 tahun 2014 menyatakan bahwa praktik dukun beranak harus dalam pendampingan bidan, artinya bila perempuan adat yang menjalankan fungsinya sebagai dukun beranak tanpa dampingan bidan maka ia dapat dikriminalisasi. Peraturan semacam ini merugikan perempuan adat yang memiliki pengetahuan, mereduksi peran-peran perempuan dari masyarakat adat di tingkat kampung dan membuat perempuan tercerabut dari pelibatan. Perempuan adat memiliki peran kunci dalam keberlangsungan masyarakat adat karena mereka adalah kelompok yang mampu merepresentasikan nilai adat, jembatan pengetahuan dan menjadi kunci untuk meneruskannya ke generasi mendatang. Perempuan Adat memiliki fungsi tidak hanya dalam kehidupan masyarakat adat tetapi juga dalam memaknai dan menjamin keberlangsungan kebinekaan sebagai identitas bangsa Indonesia. Muhammad Arman menekankan bahwa UU Masyarakat Adat nantinya harus dapat menata ulang hubungan antara Masyarat Adat dengan negara, dengan mengutamakan prinsib-prinsip keadilan, transparasi, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, perlakuan tanpa diskriminasi dan Pro lingkungan hidup. (Abby Gina) Pada tanggal 5 Agustus 2005, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengakhiri konflik bersenjata di Helsinki, Finlandia. Kendati konflik bersenjata Aceh telah berakhir secara resmi, siapa sangka jika musuh yang lebih besar justru dihadapi oleh kaum rentan seperti perempuan, anak dan lansia. Kebijakan diskriminatif yang berupa peraturan daerah seperti qanun jinayat membawa perempuan pada pembatasan jam malam, aturan pakaian, dan hukuman yang tidak mengacu pada nilai kemanusiaan. Jumat (24/8) bertempat di Auditorium Perpustakaan dan Kearsipan, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Amnesty International Indonesia, Timang Research Center (TRC) Aceh, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) mengadakan acara Malam Budaya “Demi Damai” untuk merespons situasi yang mengkhawatirkan tersebut. Acara tersebut dipersembahkan untuk Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Zubaidah Djohar, Aktivis Perempuan Aceh, mengungkapkan bahwa acara Malam Budaya “Demi Damai” diadakan untuk memperingati Hari Perdamaian Aceh yang dinyatakan 13 tahun silam untuk menolak lupa terhadap korban konflik, untuk mempertahankan kebudayaan Aceh yang sejatinya telah tergerus dengan adanya qanun jinayat. Menurutnya, perdamaian Aceh membawa masyarakat Aceh berbondong-bondong berlindung pada nilai keagamaan. Namun sayangnya, beberapa nilai keagamaan yang digunakan justru mendiskriminasi perempuan Aceh. Bagi Zubaidah, hal tersebut tentunya mencederai hak perempuan dan kebudayaan Aceh secara umum. “Terbebasnya Aceh dari konflik bersenjata rupanya tidak membawa Aceh pada kesejahteraan, saat ini Aceh mengalami keterpurukan yang cukup serius pada beberapa bidang yaitu ekonomi, pelayanan kesehatan, pendidikan, pemulihan korban konflik”, tutur Zubaidah. Selain itu Melanie Subono, seorang pekerja seni, juga turut menghadiri acara dan menampilkan musikalisasi puisi. Menurut Melanie kesadaran kita semua sebagai manusia seharusnya membawa kita menyuarakan hal yang sama yaitu kemanusiaan. Acara ini juga dihadiri oleh beberapa akademisi dan budayawan seperti Nezar Patria, Melani Budianta, Usman Hamid, Sisters in Danger, Debra Yatim, Riri Khariroh, dan Linda Christanty yang menyumbang puisi, lagu, dan pengalaman mereka saat menjalankan aktivisme di Aceh. Acara ini juga memberi perhatian dan mendorong perdamaian berkelanjutan yang fokus kepada pemulihan korban di wilayah konflik. Selain itu, panitia acara ini juga melakukan penggalangan dana dengan melelang beberapa buku karya Zubaidah Djohar yang berjudul Demi Damai, serta kain dan tas kerajinan dari Aceh. Zubaidah Djohar menegaskan bahwa semua hasil dari penggalangan dana akan disumbangkan kepada perempuan-perempuan Aceh. (Iqraa Runi) Jumat, 24 Agustus 2018, Malam Penganugerahan Saparinah Sadli 2018 digelar di Bimasena, Dharmawangsa, Jakarta. Anugerah Saparinah Sadli adalah penghargaan dua tahunan untuk memberikan inspirasi kepada masyarakat dan generasi penerus agar terus bekerja demi terciptanya keadilan gender di Indonesia. Acara tersebut sekaligus merayakan ulang tahun Prof. Saparinah Sadli yang ke-92 tahun ini. Anugerah Saparinah Sadli 2018 mengangkat tema “Keteladanan Pemimpin Perempuan dalam Kebinekaan”. Tema ini dipilih karena pentingnya peran perempuan sebagai motor penggerak dan tokoh sentral dalam mewujudkan keadilan dalam kerangka kebinekaan. Saparinah Sadli sendiri dengan tegas mengatakan bahwa kebinekaan harus diperjuangkan dan kita tidak bisa duduk diam. Acara Malam Penganugerahan Saparinah Sadli 2018, mengundang Sinta Nuriyah Wahid untuk memberikan pidato kunci terkait kepemimpinan perempuan dan kebinekaan Indonesia. Sinta dalam pidatonya menjelaskan bahwa perempuan adalah tokoh sentral dalam kehidupan manusia karena perempuanlah yang melahirkan umat manusia. Menurutnya perempuan adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anak manusia, perempuan yang mengajarkan makna hidup, dan perempuan jugalah yang memberikan arti cinta dan kasih sayang. Sehingga baginya perempuan adalah pemimpin, bukan hanya hanya di rumah sebagai pemimpin anak-anaknya tetapi juga di masyarakat dan negara-bangsa. “Kami sebagai orang islam pasti tidak akan lupa dengan adanya sebuah kata-kata mutiara yang mengatakan bahwa perempuan adalah tiang negara, kalau perempuannya baik maka negaranya baik, kalau perempuannya susah maka negara pun demikian”, ungkap Istri Gus Dur tersebut. Sinta Nuriyah Wahid yang juga merupakan alumni Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia—yang didirikan oleh Prof. Saparinah Sadli—menyatakan bahwa perempuan tidak hanya sebagai seorang ibu, tidak hanya sebagai seorang pendidik, tetapi juga seorang pemimpin—yang bisa menentukan kuat dan tidaknya sebuah negara. Dalam konteks negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama, budaya, Sinta berpendapat bahwa tali pengikat Bhinneka Tunggal Ika perlu dirawat dan dijaga bersama. Lebih jauh menurutnya, melalui perempuanlah tali persaudaraan tersebut bisa dijaga. Namun ia menyayangkan situasi perempuan yang masih marginal di Indonesia, terlebih lagi kurangnya apresiasi dan dokumentasi atas karya-karya perempuan di berbagai bidang seperti akademik, teknologi, seni budaya, olahraga hingga aktivisme gerakan keadilan. Menyoal apresiasi dan dokumentasi karya-karya perempuan, Sinta menjelaskan bahwa banyak aktivitas dan gerakan para aktivis perempuan yang hilang begitu saja karena minimnya apresiasi dan sosialisasi dari masyarakat maupun negara. Padahal menurutnya prestasi dan laku juang perempuan semestinya dapat dijadikan role model, sumber inspirasi, pemantik semangat dan keteladanan bagi masyarakat. Sehingga baginya Penghargaan Saparinah Sadli yang diberikan kepada para pejuang keadilan dan kesetaraan merupakan langkah penting dan strategis di tengah situasi masyarakat yang terjebak dalam dinding primordialisme, intoleransi dan arogansi kelompok. “Para pejuang keadilan dan kesetaraan hak ini adalah orang-orang yang ikhlas, bahkan tidak peduli pada publikasi dan apresiasi, mereka adalah orang-orang yang lebih concern pada keadilan sesama. Saya melihat justru orang-orang seperti inilah yang layak mendapat perhatian dan penghargaan, sehingga dengan apresiasi dan Penghargaan Saparinah Sadli, praktik hidup yang baik dapat menjadi teladan dan sumber inspirasi bagi masyarakat”, tutur Sinta Nuriyah Wahid. Tema yang diangkat Anugerah Saparinah Sadli 2018 ini juga merupakan hal penting bagi Sinta Nuriyah, pasalnya tahun ini adalah tahun politik yang banyak menimbulkan ketegangan, intrik dan caci maki yang dapat memancing konflik bagi seluruh anak bangsa. “Pada tahun ini hampir seluruh energi dan perhatian anak bangsa tercurah pada perdebatan yang rawan menimbulkan perpecahan. Dalam kondisi sosial dan suasana emosional masyarakat yang seperti ini, Penghargaan Saparinah Sadli seperti oase yang mengalirkan arus kesejukan di tengah suasana yang panas” jelas Sinta Nuriyah Wahid. Ia berharap Anugerah Saparinah Sadli tahun ini bisa menyadarkan masyarakat akan pentingnya keadilan, kesetaraan hak, kerukunan bangsa dan juga menambah semangat perjuangan penerima anugerah. Penghargaan ini membuktikan bahwa perempuan tidak berjuang sendirian melainkan bersama-sama dalam solidaritas. (Andi Misbahul Pratiwi) “Anugerah Saparinah Sadli yang telah digagas sejak 2002 dan 2004 menemukan dan memberikan penghargaan kepada perempuan-perempuan Indonesia yang luar biasa. Anugerah ini bertujuan untuk memberikan inspirasi kepada masyarakat dan generasi penerus untuk terus bekerja demi terciptanya keadilan gender”, ungkap Rita Serena Kolibonso dalam sambutannya di acara Malam Penganugerahan Saparinah Sadli 2018 pada Jumat (24/08). Acara tersebut sekaligus merayakan ulang tahun Prof. Saparinah Sadli yang ke-92 tahun ini. Anugerah Saparinah Sadli 2018 mengangkat tema “Keteladanan Pemimpin Perempuan dalam Kebinekaan”. Tema ini dipilih karena pentingnya peran perempuan sebagai motor penggerak dan tokoh sentral dalam mewujudkan keadilan dalam kerangka kebinekaan. Rita Serena Kolibonso yang merupakan ketua panitia Anugerah Saparinah Sadli 2018 mengungkapkan bahwa Anugerah Saparinah Sadli berbeda dengan anugerah atau penghargaan sejenis di Indonesia karena tidak digagas oleh Saparinah Sadli atau keluarganya, melainkan digagas dan dilaksanakan oleh para sahabat dan murid Saparinah Sadli. Menurutnya Saparinah Sadli adalah sosok perempuan inspiratif, seorang perempuan akademisi yang kemudian menjadi pegiat keadilan gender yang gigih, tekun, toleransi, konsisten, sederhana, rendah hati, inklusif dan memiliki integritas yang tinggi. Rita dalam sambutannya juga merasa bangga bahwa para sahabat yang bergabung untuk menyelenggarakan Anugerah Saparinah Sadli bertambah dari waktu ke waktu. Dalam sambutannya Rita juga menyebutkan para penerima Anugerah Saparinah Sadli terdahulu yang adalah juga sosok perempuan inspiratif. Di tahun 2004, penerima Anugerah Saparinah Sadli ialah Maria Ulfah Anshor, seorang perempuan yang aktif dalam memperjuangkan hak reproduksi perempuan. Di tahun 2007, penghargaan diberikan kepada dua aktivis perempuan Aleta Ba’un—yang memperjuangkan hak-hak masyarakat dari perusahaan tambang NTT, dan Mutmainah Korona atas perjuangannya dalam advokasi peraturan daerah yang peka gender di Sulawesi Tengah. Tahun 2010, penghargaan diberikan kepada Nani Zumilarni atas kiprahnya mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan kepala keluarga melalui organisasi PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga). Tahun 2012, penghargaan diberikan kepada aktivis perdamaian Baihajar Tualeka yang secara gigih dan konsisten menggalang kegiatan untuk memelihara perdamaian antar kelompok beragama di Ambon, Maluku. Tahun 2014, penghargaan diberikan kepada Asnaini, Kepala Desa perempuan pertama di Aceh—yang dipilih langsung oleh warga desa Pegasing, Takeon, ia berhasil mendatangkan listrik ke desanya dan mengalokasikan 50% dari dana desa untuk kehidupan perempuan. Tahun 2016, penghargaan diberikan kepada Sri Wahyuningsih, guru SMP yang mendorong arti penting guru sebagai agen perubahan dalam mencegah perkawinan anak bersama dengan Paguyuban Guru Peduli Kesehatan Reproduksi (PGB Kespro) di Kabupaten Bondowoso. Maman Suherman yang merupakan juri dan mewakili para juri Anugerah Saparinah Sadli 2018 lainnya yaitu Bonnie Triyana, Maria Ulfah Anshor, Ani Soetjipto dan Ery Seda, mengungkapkan bahwa empat tahun dalam setiap lima tahun, Indonesia menghadapi ratusan perhelatan Pilkada dan puncaknya Pileg dan Pilpres yang begitu meriah dan marak. Namun di sisi lain, tak jarang terlihat dan terdengar aksi dan narasi-narasi yang sungguh melukai telinga, mata dan hati nurani orang-orang yang peduli dengan Bhinneka Tunggal Ika negeri ini. “Sekubu tidak sekubu menjadi penentu benar-salah, setuju tidak setuju wajib menang menjadi tuntutan utama meski ekor dan sayap sayap Garuda harus dicabut satu persatu dan tinta suci putih dicengkram begitu kuat oleh kokoh kaki Garuda bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika, dikoyakkan, di cakar-cakar, bahkan diinjak, tak mau itu terus berlanjut menjadi pertimbangan utama Anugerah Saparinah Sadli”, ungkap Maman Suherman. Lebih jauh ia menegaskan bahwa, sosok yang terpilih dalam Anugerah Saparinah Sadli adalah sosok yang ramah terhadap kebinekaan dan sosok yang selalu berupaya merekatkan bukan yang meretakkan bangsa. Menurutnya, dalam kerangka berpikir yang lebih luas lagi, membicarakan sosok yang bersangkutan sekaligus membicarakan representasi persoalan yang belum beres—yang menjadi tanggung jawab kita bersama seperti persoalan keadilan gender, diskriminasi, kesempatan yang sama untuk mandiri dan sejahtera. Baginya persoalan tersebut bukan hanya persoalan perempuan, melainkan persoalan kemanusiaan. Di tahun 2018, Anugerah Saparinah Sadli diberikan kepada pejuang hak-hak perempuan nelayan, pendiri organisasi perempuan nelayan Puspita Bahari di Demak dan Sekjen Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Penerima anugerah tersebut ialah Masnuah, perempuan kelahiran 1974 yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan nelayan dan memberdayaan ekonomi perempuan nelayan. Salah satu capaiannya yang luar biasa adalah berhasil memperjuangkan hak perempuan nelayan untuk mendapatkan pengakuan profesi sebagai nelayan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Selain itu ia juga melakukan advokasi dan pemberdayaan untuk perempuan nelayan yang mengalami kekerasan, marginalisasi, dan penelantaraan ekonomi. Masnuah dipilih karena dedikasi dan perjuangan wujudkan keadilan gender dan kebinekaan dalam profesi di sektor perikanan di Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi) Jumat (10/8) Just Associates Southeast Asia (JASS Southeast Asia) bersama dengan Forum Aktivis Perempuan Muda Indonesia (FAMM Indonesia) mengadakan acara Peluncuran buku Solidarity, Safety and Power Young Women Organizing in Indonesia. FAMM Indonesia merupakan forum yang menyuarakan kepentingan perempuan dari berbagai sektor. Forum ini beranggotakan 350 perempuan muda yang tersebar di 30 propinsi di Indonesia. FAMM Indonesia mengadakan sejumlah program penguatan gerakan perempuan yang bersifat transformatif bagi para perempuan dari berbagai latar belakang berbeda. Nani Zulminarni, salah satu pendiri FAMM Indonesia, menyatakan bahwa derasnya arus fundamentalisme agama dan kekerasan telah berdampak pada tertutupnya ruang sipil dan terkikisnya hak asasi manusia. Selain itu, Nani juga mengatakan bahwa maraknya arus fundamentalisme agama telah membuat para aktivis yang bekerja di pedesaan, masyarakat adat, generasi muda, dan LGBT rentan dipinggirkan, dikriminalisasi, dan distigmatisasi. Pada peluncuran buku Solidarity, Safety and Power Young Women Organizing in Indonesia, Nani menyatakan “Buku Solidarity, Safety and Power Young Women Organizing in Indonesia dibuat untuk melatih perempuan muda dalam dunia aktivisme khususnya dalam dunia kepemimpinan” tutur Nani. Bersamaan dengan kegiatan peluncuran buku Solidarity, Safety and Power Young Women Organizing in Indonesia, JASS Southeast Asia meluncurkan toolkit online yang bernama We Rise. Toolkit online ini dapat dipergunakan untuk membantu aktivis muda dalam mempelajari isu perempuan. JASS Southeast Asia percaya bahwa untuk menciptakan perubahan, kita harus membangun kelompok yang paling berdampak. Melalui We Rise kita dapat mengorganisasi perubahan dengan cara menginformasikan tentang keberadaan dan kerja-kerja kelompok tersebut. Apabila kita mengunjungi laman werisetoolkit.org maka kita akan menemukan empat bagian yang berbeda yaitu:
We Rise dirancang guna menyatukan gagasan, strategi dan juga pengalaman para aktivis muda dari Asia Pasifik dan Afrika. Dalam era digital ini perputaran arus informasi begitu cepat, JASS Southeast Asia berharap agar We Rise dapat menjadi solusi untuk sejumlah tantangan yang dihadapi oleh para aktivis muda dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Asmida Karim, FAMM Indonesia menyatakan “We Rise bertujuan untuk menguatkan aktivis muda dalam wilayah pekerjaan maupun domestik. Di FAMM Indonesia terdapat isu yang amat beragam, oleh karena itu kami berupaya untuk membagikan pengalaman dan juga kerja yang pernah kami lakukan dalam dunia aktivisme melalui We Rise.” Asmida menegaskan bahwa kapasitas FAMM adalah merawat organisasi akar rumput, solidaritas lintas gerakan, dana aksi dan keamanan kolektif dan itu dapat dilihat sebagai buah dari sebuah investasi jangka panjang dalam kepemimpinan aktivis, dan sebagai batu loncatan untuk melakukan aksi publik dan politik. (Iqraa Runi) Masyarakat adat berkontribusi atas pelestarian hutan, penyediaan bahan makanan, bahan obat-obatan dan praktik hidup yang berkelanjutan. Namun sayangnya masyarakat adat belum mendapatkan perlindungan hukum dan pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara, misalnya dalam penguasaan tanah dan kebebasan beribadah. Di sisi lain saat ini Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat masih dalam proses persetujuan di DPR dan dinilai perlu perbaikan secara substansi karena masih jauh dari semangat pengakuan dan perlindungan. Untuk itu sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Pendukung RUU Masyarakat Adat berdiskusi membahas substansi dan menyusun strategi pengawalan RUU Masyarakat Adat tersebut pada Rabu (1/8) di Jakarta. Devi Anggraini Ketua Umum PEREMPUAN AMAN mengungkapkan memasukkan perspektif gender dalam RUU Masyarakat Adat menjadi tantangan besar. Sejauh ini hak kolektif perempuan adat belum memiliki tempat di berbagai kebijakan mengingat peraturan yang ada lebih mengatur hak-hak individu sementara perempuan adat menghadapi situasi-situasi khusus. Persoalan ini bahkan belum diatur dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Untuk itu RUU Masyarakat Adat diharapkan dapat menjadi ruang hukum yang kuat untuk melindungi hak kolektif perempuan adat. Rukka Sombolinggi Sekretaris Jenderal AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mengatakan terdapat beberapa hal krusial di dalam RUU Masyarakat Adat yang perlu dikritisi. Pertama terkait evaluasi terhadap status masyarakat adat. Pengaturan tentang evaluasi keberadaan masyarakat adat ini dinilai bertentangan dengan semangat pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Hak asal-usul bukanlah pemberian negara, ia merupakan dasar bagi lahirnya hak untuk menentukan nasib sendiri yang kemudian memunculkan hak khusus yang dimiliki masyarakat adat yang disebut Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). FPIC memungkinkan masyarakat adat memberi atau menolak persetujuan atas proyek yang dapat memengaruhi mereka atau wilayah mereka. Kedua proses pendaftaran masyarakat adat dinilai berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat adat. Menurut Rukka proses pendaftaran masyarakat adat sebaiknya murah bagi APBN, mudah bagi masyarakat adat dan sah di mata hukum. Ketiga, persoalan kelembagaan mengingat urusan masyarakat adat sejauh ini ditangani secara sektoral. Untuk itu dibutuhkan sebuah lembaga negara di tingkat nasional untuk mengurusi masyarakat adat yang mempunyai kewenangan pengaturan dan eksekusi. Keempat, upaya pemulihan belum diatur dalam RUU tersebut. Mekanisme pemulihan dibutuhkan karena masyarakat adat telah dan masih mengalami diskriminasi, kekerasan, penggusuran, dan pengabaian hak-haknya. Untuk itu mereka berhak mendapatkan hak atas rehabilitasi dan restitusi. Kelima, terkait judul RUU tentang Masyarakat Adat. Draf awal yang diserahkan Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) sebagai inisiator setelah proses diskusi dengan AMAN menggunakan judul RUU tentang Masyarakat Adat dan bukan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat sebagaimana draf yang sedang dibahas pemerintah dan DPR. Sementara itu Arimbi Heroepoetri dari debtWATCH Indonesia menegaskan ada tiga hal utama yang perlu diatur secara jelas dalam RUU Masyarakat Adat. Pertama eksistensi perempuan adat, harus ada pengakuan secara eksplisit terhadap hak-hak perempuan adat. Hal ini penting diatur sehingga tidak ada ruang penafsiran dalam hal menghormati dan melindungi hak-hak khas perempuan adat. Kedua eksistensi kerajaan/kesultanan. Ketiga keberadaan organisasi yang lahir dengan berbasis adat. Arimbi menjelaskan RUU Masyarakat Adat perlu meletakkan dengan tegas perbedaan antara komunitas kesultanan, kerajaan dan organisasi adat dengan masyarakat adat. Menurutnya masyarakat Adat memiliki hubungan yang kuat dengan habitat dan wilayahnya sebagai sumber pengetahuan, ekspresi dan sumber penghidupan. Untuk itu definisi tentang masyarakat adat menjadi penting. Tiga hal yang harus tercakup dalam definisi adalah asal-usul leluhur, wilayah dan aturan tingkah laku yang mengatur mereka dan dihormati komunitas tersebut. Ketiga hal ini merupakan ciri khas masyarakat adat yang tidak dimiliki oleh komunitas kesultanan, kerajaan dan organisasi adat. Masukan dari Organisasi Masyarakat Sipil tersebut menunjukkan pemerintah dan DPR perlu membahas RUU Masyarakat Adat dengan jeli dan hati-hati agar semangat pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat benar-benar terwujud. Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan semata-mata untuk kepentingan masyarakat adat. Dengan menyadari keberadaan masyarakat adat sebagai komponen penting bangsa Indonesia yang berperan untuk menunjukkan identitas keberagaman bangsa, menjaga keberlangsungan lingkungan hidup, dan penyumbang pengetahuan dan ekonomi, maka masyarakat sipil perlu ikut mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. (Anita Dhewy) Indonesia adalah negara dengan identitas budaya, etnisitas, dan agama yang beragam. Di tengan-tengah keberagaman identitas tersebut, khususnya identitas agama dan keyakinan masih banyak terjadi praktik intoleransi, baik yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat sipil (termasuk di dalamnya organisasi masyarakat). Berdasarkan Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan Politisasi Agama 2017 Wahid Foundation (WF) tercatat ada 213 peristiwa intoleransi yang terjadi sepanjang tahun 2017. Pada kasus-kasus intoleransi tersebut perempuan dan anak perempuan merupakan kelompok yang rentan menjadi korban karena identitas gendernya. Dalam acara peluncuran Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan Politisasi Agama 2017 Wahid Foundation (WF) pada 8 Agustus 2018 di Jakarta, Alamsyah M. Dja'far (Peneliti Senior Wahid Foundation) mengungkapkan bahwa dari 213 kasus tersebut ada 17 kasus intoleransi yang menyasar perempuan dan 10 kasus menyasar anak perempuan sepanjang tahun 2017. Beberapa kasus yang berdampak langsung kepada dua kelompok rentan tersebut diantaranya, kasus penutupan lembaga pengajian dan pemidanaan terhadap Siti Aisyah di Mataram NTB, kasus Nenek Hindun yang ditolak dishalatkan karena memilih Ahok di Pilkada DKI lalu, kasus pelarangan acara diskusi buku Dina Y Sulaiman di Universitas Brawijaya Malang, kasus bullying “kafir” terhadap seorang anak SMP di Yogyakarta, kasus kekerasan siber yang berbunyi “perempuan pendukung Ahok halal diperkosa” menjelang Pilkada putaran kedua di DKI, kasus pemaksaan jilbab pada seorang calon siswi SMPN (padahal yang bersangkutan merupakan siswi non muslim) di Banyuwangi, dan kasus pemaksaan mengenakan jilbab bagi siswi-siswi Kristen SMP Negeri 1 Peranap. Selain menunjukkan kerentanan perempuan dan anak perempuan sebagai korban praktik intoleransi, kasus-kasus di atas juga menunjukkan bahwa tubuh perempuan menjadi lokasi utama penindasan. Hal itu terlihat pada kasus pemaksaan jilbab dan ujaran kebencian selama Pilkada Jakarta 2017. Dengan demikian negara perlu menyadari ada keberbedaan dalam kasus intoleransi pada umumnya dengan kasus intoleransi terhadap perempuan. Tindakan-tindakan terhadap mereka tidak hanya terkait dengan status mereka sebagai warga negara melainkan juga terkait status gender dan usia mereka. Hal ini menjadikan dampak pelanggaran yang mereka alami menjadi berlipat atau dalam perspektif feminis disebut korban ganda (double victim). Dalam laporan hasil pantauan Wahid Foundation tersebut, 64% atau 170 praktik intoleransi dilakukan oleh aktor negara. Meskipun, aktor non negara juga memiliki kontribusi, namun sangat disayangkan aktor negara (intitusi, kebijakan, dan aparat) menjadi pelaku intoleransi. Dari segi persebaran wilayah, provinsi dengan tingkat pelanggaran tertinggi pada 2017 ini adalah DKI Jakarta dengan 50 peristiwa, diikuti Jawa Barat (44 peristiwa), Jawa Timur (27 peristiwa), Jawa Tengah (15 peristiwa) dan NTB (10 peristiwa). Tahun 2017 untuk pertama kali DKI menjadi provinsi dengan tingkat pelanggaran tertinggi, menggeser Jawa Barat yang pada tahun-tahun sebelumnya selalu menempati posisi teratas. Peristiwa terbanyak didominasi oleh DKI Jakarta, utamanya terkait dengan kasus Ahok dan Pilkada. Peristiwa di DKI Jakarta didominasi ujaran kebencian. Peristiwa pelanggaran terbanyak terjadi pada Maret (9 peristiwa), disusul Januari (8 peristiwa) dan Mei (7 peristiwa). Laporan Tahunan KBB dan Politisasi Agama ini disusun dengan metode berbasis peristiwa (event-based methodology). Artinya data yang dihasilkan merupakan data peristiwa atau kasus pelanggaran yang dicatat dan dihitung berdasarkan kategori yang sudah ditetapkan oleh tim riset. Data-data laporan tersebut didapatkan melalui beberapa cara yaitu (1) Berdasarkan pemantauan terhadap pemberitaan media nasional, lokal, baik media cetak maupun elektronik; (2) Berdasarkan informasi yang diberikan jaringan lembaga dan ahli yang selama ini concern dalam isu-isu KBB, di tingkat nasional maupun lokal; (3) Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang didapat dari pengamatan langsung pelapor melalui korban atau forum ilmiah dan keagamaan yang diikuti pelapor; (4) Sebagai tambahan data terkait politisasi agama, Wahid Foundation melakukan diskusi kelompok terarah dengan para ahli yang memiliki perhatian pada isu politisasi agama, dan jaringan masyarakat sipil di daerah-daerah yang sudah melaksanakan Pilkada. (Andi Misbahul Pratiwi) Kamis (2/8) Bertempat di Gedung PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia) Salemba, Jakarta Pusat, Pimpinan Unit Kerja (PUK) Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPKEP SPSI) PT. Freeport Indonesia dan LOKATARU Foundation melakukan aksi damai dan audiensi dengan PGI atas terjadinya pemberhentian hubungan kerja pada 8300 pekerja PT. Freeport Indonesia. Pdt. Gomar Gultom (HKBP) dan Sekretaris Umum MPH PGI menyatakan ucapan permintaan maaf kepada para pekerja Pt. Freeport yang telah datang ke Jakarta karena fasilitas yang disediakan sangat sederhana. "Terkait dengan kejadian yang menimpa rekan-rekan 8300 pekerja, sudah semestinya PGI hadir untuk persekutuan kita bersama, menjadi tugas kami untuk menyuarakan suara-suara yang tidak terdengar, siaran pers akan dilakukan oleh PGI untuk menginformasikan hal-hal yang terjadi oleh pekerja, karena negara dan pemerintah harus hadir untuk melindungi warganya", ungkap Pdt. Gomar. Julius Mauhere, Perwakilan Pekerja Freeport meminta publik untuk memberikan perhatian atas segala ketidakadilan di tanah Papua. Audiensi yang dilakukan para pekerja Freeport kepada PGI bertujuan untuk menginformasikan bahwa banyak pendeta tidak memberikan perlindungan pada umat kristiani di tanah Papua. Julius juga mengaku bahwa diskriminasi ini bukanlah permasalahan satu-satunya sebab PT. Freeport Indonesia mengambil keputusan sepihak. Keputusan sepihak tersebut antara lain, diputusnya BPJS dan diblokirnya akun rekening bank pekerja, yang berdampak pada perceraian dan angka putus sekolah anak-anak Papua. Kasus tersebut adalah masalah yang timbul dari tercabutnya hak mereka sebagai pekerja. Audiensi yang dilakukan oleh Pekerja Freeport kepada PGI membuat mereka merasa ada tempat mengadu selain kepada pihak pemerintahan yang sudah mereka coba sebelumnya. Selain itu Marten Mote, Koordinator Tim Mogok Kerja (Moker) menyatakan bahwa PT. Freeport Indonesia bukan hanya menyalahi aturan tentang isu ketenagakerjaan tetapi mereka juga melakukan pelanggaran HAM lewat beberapa kriminalisasi pekerja. “Para pekerja yang selama 1 tahun 4 bulan hidup tanpa bayaran dibuat tidak tahu harus melakukan upaya apalagi, sebab kami semua sudah menjajaki komunikasi dengan pemerintah maupun organisasi masyarakat” tutur Marten. Ia mengaku bahwa PT. Freeport Indonesia dikenal sebagai perusahaan yang menguntungkan masyarakat disekitarnya padahal faktanya masyarakat Papua jauh dari kata sejahtera. Menurutnya, PT. Freeport Indonesia juga tidak bertanggungjawab atas kerusakan alam yang disebabkan oleh limbah pabrik. Pekerja PT. Freeport Indonesia bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan, walaupun dengan jumlah yang sedikit. PT. Freeport Indonesia bukan hanya mencederai hak pekerja, tetapi juga memunculkan efek domino bagi perempuan dan anak-anak. Tri Puspita, Perwakilan Pekerja menyatakan bahwa Perempuan di Papua mengalami ketertindasan ganda. “Perempuan dan anak-anak di Papua mengalami ketertindasan baik yang diceraikan hingga anak-anak yang putus sekolah. Salah satu sahabat kami ada yang rela menggorok istrinya karena keributan dalam rumah tangga, setelah itu ia menyusul dengan gantung diri, hal ini dipengaruhi oleh psikologi keluarga yang berantakan, ketidakmampuan menghidupi keluarga saya rasa menjadi faktor utama” tutur Tri Puspita. (Iqraa Runi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |