Komunitas Jejer Wadon bersama elemen mahasiswa dan aktivis perempuan dan anak serta kelompok masyarakat kembali menggelar aksi budaya berupa pembacaan puisi dan orasi. Tak hanya itu, aksi juga menggalang pembubuhan tanda tangan sebagai bentuk solidaritas kepada para korban di Solo Car Free Day, Minggu pagi (22/5). Menyikapi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak seperti pembunuhan atas YY (14) di Bengkulu, kasus di Lampung Timur, pemerkosaan dan pembunuhan atas MS (10) di Gorontalo. Termasuk juga kasus yang terjadi di Kecamatan Jebres Kota Surakarta pada 8 Mei 2016 yakni pencekokan minuman keras (miras) kepada tiga orang siswa kelas tiga SMP oleh delapan orang laki-laki. Komunitas Jejer Wadon lewat koordinator aksinya, Yuliana Paramayana berpendapat bahwa maraknya kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini terhadap perempuan dan anak-anak harus mendapatkan perhatian yang sangat serius dari berbagai pihak seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam pernyataan sikapnya Jejer Wadon juga mendorong agar pendidikan seksual sejak dini diberikan kepada remaja di sekolah dan masuk dalam kurikulum. Sikap pemerintah saat ini dapat dikatakan terlambat karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual awalnya tidak mendapat respons yang baik. Baru setelah marak terjadi kasus kekerasan dan gencarnya para aktivis menyerukan darurat kekerasan seksual, maka RUU ini masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2016, demikian Yuliana Paramayana menambahkan. Terkait penanganan kasus oleh para penegak hukum terlihat adanya kesan tebang pilih, karena kasus kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah tapi juga menengah ke atas. “Sedangkan kenyataan hukum tidak berpihak kepada yang lemah dan masih tumpul ke bawah. Ini sungguh tidak adil,”pungkas Yuliana Paramayana. (Astuti Parengkuh) Bertempat di kantor Aceh Women’s for Peace Foundation, Jurnal Perempuan mengadakan acara Gathering SJP (Sahabat Jurnal Perempuan) wilayah Aceh dan sekitarnya pada Minggu, 22 Mei 2016. Acara yang bertujuan untuk mempererat ikatan persabahatan dan menggali masukan dari SJP ini dibuka oleh ketua AWPF Irma Sari yang menyampaikan ucapan terima kasih pada SJP yang hadir dan pada Jurnal Perempuan yang memberi kepercayaan untuk memfasilitasi tempat. Gadis Arivia, Pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, kemudian menjelaskan maksud diselenggarakannya pertemuan SJP tersebut. Gadis menjelaskan pada kegiatan di Minggu pagi tersebut JP ingin mendengar masukan dari para Sahabat JP agar ke depan JP menjadi semakin baik apalagi menjelang usianya yang akan mencapai 20 tahun pada Agustus nanti. Demikian juga sebaliknya JP juga ingin mendengar dari para SJP Aceh yang meliputi kalangan akademisi dan aktivis atas kondisi perjuangan perempuan Aceh yang aktual. Gadis kemudian memperkenalkan staf JP dan dilanjutkan dengan perkenalan SJP. Acara dilanjutkan dengan presentasi tentang Sahabat Jurnal Perempuan oleh Himah Sholihah. Ia menjelaskan perkembangan dan situasi aktual SJP. Menurut Himah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tercatat sebagai wilayah dengan jumlah SJP tertinggi di antara provinsi lain di pulau Sumatra. Selain itu di Aceh juga terdapat perwakilan SJP Daerah dengan koordinator dari AWPF. Selain menjadi mitra dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan JP, perwakilan SJP daerah juga menjadi rekanan untuk menjual produk-produk JP. Setelah itu Anita Dhewy, Sekretaris JP menjelaskan produk-produk JP yang lain seperti website, YJP Press dan media sosial yang aktif digunakan dalam proses-proses advokasi dan penyebaran pengetahuan. Anita juga mengundang para SJP untuk ikut berkontribusi dalam mengoptimalkan keberadaan masing-masing media tersebut dalam mendukung upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan. Setelah itu para SJP kemudian menyampaikan masukannya bagi JP. Samsidar aktivis yang saat ini menjadi Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan mengungkapkan JP cocok untuk kalangan akademisi dan aktivis. Untuk itu perlu dipikirkan ada edisi khusus yang mungkin bisa berbentuk executive summary dengan bahasa populer sehingga lebih memudahkan bagi khalayak luas untuk membacanya. Dengan demikian JP tidak perlu menurunkan kualitasnya yang memang sudah bagus. Ia juga mengaku dirinya terbantu dengan keberadaan JP sebagai referensi saat membuat laporan atau tulisan. Hampir senada dengan Samsidar, Bakti Siahaan, dosen hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala mengutarakan bahwa perlu ada pra kondisi yang dilakukan. Seperti misalnya membuat pelatihan menulis berperspektif feminis sehingga JP tidak perlu menurunkan level kualitasnya. Ia juga mengatakan format JP sebagai jurnal ilmiah sudah sangat bagus dan dapat mendorong akademisi maupun publik secara luas untuk membaca. Acara pagi hari itu juga diisi dengan diskusi tentang situasi sosial politik aktual yang terjadi di Aceh yang juga berpengaruh terhadap kehidupan perempuan. Seperti misalnya persoalan kucuran dana yang banyak mengalir bagi desa dengan skema dari pemerintah pusat yang belum banyak memerhatikan aspek gender, aspek lingkungan dan sinkronisasi antar kementerian/lembaga. Menurut Bakti belum terlihat jelas tujuan dasar penguatan desa yang digulirkan pemerintah. Ia khawatir program-program sejenis justru akan menimbulkan masalah baru sementara masalah lama belum teratasi. Ia menambahkan jika aspek sensitivitas gendernya saja belum tersentuh apalagi bicara soal keadilan. Selain itu Samsidar mengungkapkan bahwa di Aceh diskursus terkait gugatan terhadap budaya patriarki masih mengundang banyak penolakan dan dituduh sebagai keluar jalur bahkan kafir. Munawiah, dosen UIN Ar Raniry Banda Aceh juga menceritakan bahwa stigma masih banyak dilekatkan pada perempuan, seperti misalnya tuduhan bahwa pendidikan tinggi dan kepandaian yang dimiliki perempuan menjadi penyebab tingginya angka perceraian di Aceh. Mereka berharap isu-isu aktual yang terjadi di Aceh ini dapat dikaji dan diteliti secara lebih mendalam oleh Jurnal Perempuan sebagai salah satu upaya advokasi di tingkat nasional. Usai diskusi acara dilanjutkan dengan makan siang bersama dengan menu khas Aceh. (Anita Dhewy) Hukum bersifat patriarkis karena hukum disusun dan dibuat oleh orang-orang yang masih memegang budaya patriarkat. Demikian pendapat Khairani Arifin, Dewan Pembina Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala dalam acara Pendidikan Publik tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Universitas Syiah Kuala, Aceh. Dalam acara yang diselenggarakan Yayasan Jurnal Perempuan bersama Pusat Studi Gender dan Fakultas Hukum bagian Humas Universitas Syiah Kuala beserta Aceh Women's for Peace Foundation (AWPF) pada Senin (23/5) ini Khairani berbicara tentang Sumbangan Feminist Legal Theory bagi Lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Lebih lanjut Khairani mengatakan banyak peraturan-peraturan hukum yang bisa menjadi bukti bahwa hukum itu patriarkis. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk diantaranya. Untuk konteks Aceh, kita bisa melihat pada Qanun Jinayah, misalnya Qanun No. 6 tahun 2014 yang mengatur mengenai kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan juga pelecehan seksual tetapi kita dapat menemukan bahwa budaya patriarkat ada di belakangnya. Menurut Khairani hal ini mengingat penyusunnya masih berorientasi pada perspektif pelaku dan melihatnya sebagai upaya untuk menyelamatkan pelaku. Contohnya pasal yang menyebutkan bahwa, “Apabila pelaku bersumpah bahwa dia tidak melakukan pemerkosaan, dsb, maka hakim bisa mengatakan bahwa melepaskan dia dari tuntutan”. Pasal ini dikatakan bertujuan untuk melindungi laki-laki baik-baik atas tuduhan melakukan kekerasan seksual. Qanun ini menjadi contoh peraturan yang berkontribusi menciptakan kekerasan, diskriminasi, dsb. Khairani menambahkan bahwa banyak kasus kekerasan seksual yang diselesaikan melalui mekanisme adat dengan mengacu pada Qanun No. 10 tahun 2008 mengenai penyelesaian kasus-kasus secara adat. Ketika kasus diselesaikan secara adat, perspektif aparatur penegak hukum masih sangat minim berpihak pada korban sehingga putusan-putusan pengadilan hanya berupa menikahkan korban dengan pelakunya atau membayar ganti rugi kepada korban sehingga kekerasan seksual tak ubahnya jual beli atau transaksi dan sama sekali tidak melihat dampaknya baik secara fisik, psikologis, dsb pada perempuan. Maka kemudian semua orang merasa puas termasuk keluarga korban. Khairani mencontohkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Simeulue, yakni seorang guru agama yang memerkosa muridnya kemudian hanya membayar 10 juta kepada keluarga korbannya maka kasus tersebut kemudian selesai. Ia juga menyayangnya sikap kepolisian yang ikut menandatangani berita acara penyerahan uang tersebut. Khairani juga memaparkan bahwa pelaku lebih diuntungkan baik dalam proses hukum adat dan hukum negara karena aparatur penegak hukum baik di tingkat gampong maupun di tingkat yang lebih formal belum bisa meninggalkan pola pikir patriarkis. Pada konteks ini feminist legal theory (FLT) atau teori hukum feminis memiliki kontribusi bagi terciptanya hukum yang adil dan berpihak pada kepentingan perempuan. Proses ini dapat dilihat misalnya dalam proses penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Internalisasi FLT dapat dilihat pada beberapa hal seperti pertama, proses penyusunan yang melibatkan partisipasi perempuan. Kedua substansi yang adil dan tidak diskriminatif dengan kata lain memerhatikan keadilan substantif dan mampu menjawab permasalahan serta bukan justru menciptakan masalah baru. Ketiga kesiapan Aparatur Penegak Hukum (APH) dalam pengimplementasiannya. Hal ini penting mengingat terdapat sejumlah peraturan bagus secara konseptuap tetapi implementasi tidak baik karena aparaturnya tidak siap. Keempta kesiapan sarana dan prasana pendukung seperti anggaran, fasilitas, dsb. Karena itu Khairani menegaskan bahwa feminist legal theory sudah saatnya dijadikan acuan dalam penyusunan perundang-undangan, dan yang paling urgen saat ini adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sudah saatnya pemerintah membuka diri untuk masukan dan konsep yang dikembangkan dalam naskah akademik dan substansi hukumnya. Ia menambahkan yang juga harus disadari bersama adalah bahwa aturan hukum bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai Tujuan. Jadi Perjuangan untuk Mencapai perlindungan maksimal bagi perempuan, dan keadilan bagi korban kekerasan seksual tetap masih merupakan jalan panjang dan kerja keras yang harus ditempuh. Memang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin. (Anita Dhewy) Amrina Habibi: Absenya Perspektif Adil Gender Sebabkan Kasus Kekerasan Seksual Tidak Pernah Tuntas24/5/2016
Amrina Habibi, Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Aceh menjadi salah satu pembicara dalam pendidikan publik “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala, Humas Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) di Aula AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dengan dukungan Ford Foundation pada Senin, 23 Mei 2016. Dalam acara ini Amrina Habibi berbicara tentang bagaimana penanganan kasus kekerasan seksual di lapangan dan bagaimana korelasinya dengan regulasi yang telah ada. “Aparat penegak hukum sangat sedikit yang memiliki perspektif adil gender, mendengar suara korban dan membantu korban dalam proses hukum yang berjalan”, ungkap Amrina. Amrina menjelaskan bahwa pemerintah Aceh telah memberikan perhatian khusus terhadap isu ini, seperti telah adanya Qanun nomor 6 tahun 2009 tentang pemberdayaan perempuan, dan Qanun nomor 11 tahun 2008 tentang perlindungan anak. Beberapa pasal disana menjelaskan tentang tanggung jawab dan kewajiban kepada pemerintah provinsi Aceh untuk memberikan dan mengembangkan pelayanan terpadu yang tentunya diharapkan dapat melayani, menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual. Secara spesifik ada satu Pergub yang menjadi panduan untuk pemerintah, yaitu Pergub no 109 tahun 2013 tentang standar pelayanan minimal bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual di Aceh. Ini menegaskan bahwa bupati, gubernur, pemerintah daerah menetapkan anggaran dan kewajiban mengembangkan P2TP2A di seluruh kabupaten dan kota. Namun saat pelaksanaanya di lapangan, menurut Amrina masih banyak kendala teknis. “Kurangnya perspektif hakim terhadap korban dalam memeriksa perkara—seperti pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan korban dalam rangka memastikan bahwa korban dan pelaku tidak sama-sama menikmati—menjadi salah satu faktor yang akhirnya penyidikan kasus malah lagi-lagi menyudutkan korban”, ungkap Amrina. Kemudian lain hal yang menurut Amrina penting, dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lapangan yang membuat banyak kasus ditutup ialah karena tidak cukupnya barang bukti. “Penyidik, kepolisian dan kejaksaan jarang yang bersedia menggunakan satu alat bukti untuk mengejar kasus tindak pidana”, tutur Amrina. Menurut Amrina, meskipun regulasi sudah dibuat oleh pemerintah Aceh, namun dalam pelaksanaanya perlu dilihat kembali, apakah sumber daya pendamping dan pengetahuan aparat penegak hukum sudah sesuai dengan misi regulasi pemerintah Aceh. Di daerah-daerah pelosok misalnya, menurut Amrina, masih kurang pendamping hukum atau pendamping sosial bagi korban saat persidangan, hal ini bisa dijadikan evaluasi bersama. Sehingga menurut Amrina perlu adanya kerjasama yang dibangun antara pemerintah dengan fakultas psikologi maupun fakultas hukum untuk meningkatkan jumlah Paralegal yang sensitif. Amrina Habibi, berharap forum ini bisa menjadi ruang untuk menghimpun berbagai solusi untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di Aceh. (Andi Misbahul Pratiwi) Sistem hukum Indonesia belum secara sistematis dan menyeluruh mampu mencegah, melindungi, memberdayakan dan memulihkan korban serta menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menghapuskan kekerasan seksual. Pernyataan ini diungkapkan Samsidar, Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan saat menjadi pembicara dalam acara Pendidikan Publik tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan bersama Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala, Fakultas Hukum bagian Humas Universitas Syiah Kuala dan Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) di Gedung AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada Senin (23/5). Lebih jauh Samsidar mengungkapkan fakta hukum yang ada saat ini memperlihatkan bahwa KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) mengenal pemerkosaan, namun terbatas pada penetrasi penis ke vagina, dan prosedur pembuktiannya sebagaimana diatur di Kitab Hukum Acara Pidana masih membebani korban. Sementara pelecehan seksual tidak dikenali sehingga kasus diusut dengan pasal tentang perlakuan tidak menyenangkan. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, pasal ini dinyatakan tidak diberlakukan lagi. Hal lain bahwa eksploitasi seksual diatur dengan keliru dalam UU Pornografi. Dalam penjelasan tidak ada informasi lebih lanjut tentang apa yang dimaksudkan dengan eksploitasi seksual. Pada Pasal 4, eksploitasi seksual direkatkan dengan memamerkan aktivitas seksual. Pemaknaan serupa tampak pada Pasal 8 dan Pasal 10. Akibatnya, UU Pornografi tidak lagi menempatkan pornografi sebagai bentuk kejahatan eksploitasi seksual melainkan lebih pada kerangka moralitas yang berujung pada kontrol seksual perempuan. Samsidar juga mengungkapkan bahwa penyiksaan dan perbudakan seksual tidak dikenal dalam hukum pidana umum, melainkan hanya dalam hukum pidana khusus dalam konteks genosida dan kejahatan kemanusiaan sesuai dengan UU Pengadilan HAM. Akibatnya, penyiksaan seksual yang berulang kali terjadi, misalnya pemerkosaan terhadap tahanan perempuan, tidak ditangani dengan serius dan sistematik. Sedang untuk level daerah sejumlah daerah mengatur tentang larangan prostitusi yang justru mengriminalkan perempuan korban eksploitasi seksual dan perdagangan orang. Sejumlah peraturan daerah juga memuat hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan bernuansa seksual. Aturan yang diskriminatif serupa ini belum ada yang dibatalkan. Sementara itu menurut Samsidar sejumlah regulasi yang bersifat khusus yang telah ada saat ini, seperti UU Penghapusan KDRT, UU Perlindungan Anak dan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah mengatur tentang kekerasan seksual lebih luas dari KUHP. Akan tetapi UU tersebut tidak bisa digunakan untuk melindungi korban kekerasan seksual di luar ruang lingkup yang dimaksud oleh ketiga UU yang bersifat khusus tersebut. Lebih lanjut Samsidar menjelaskan bahwa UU Hukum Pidana maupun UU Kesehatan menekankan pada larangan aborsi tanpa melihat konteks pemaksaan aborsi. Akibatnya, dalam tindak aborsi, serta-merta perempuan menjadi pihak yang dipidanakan. Ia juga menyoroti revisi Kitab Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang berjalan lambat dan seolah kehilangan arah. Situasi ini ditunjukkan dengan sejumlah diskusi yang mengarah pada penempatan isu kekerasan seksual sebagai persoalan susila/kesopanan dan dalam kerangka moralitas. Berbagai situasi tersebut menurut Samsidar menunjukkan bahwa gagasan adanya UU khusus yang mengatur tentang kekerasan seksual perlu menjadi prioritas. Samsidar mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menawarkan terobosan sekaligus berpihak pada korban. Hal ini dapat dilihat antara lain dari ruang lingkup yang diatur yang mencakup pemahaman bahwa pertama penghapusan kekerasan seksual melipui pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban serta penindakan pelaku. Kedua penghapusan kekerasan merupakan kewajiban negara dan ketiga kewajiban negara diselenggarakan dengan melibatkan keluarga, komunitas, organisasi masyarakat dan korporasi. Sementara terkait alat bukti Samsidar menyatakan bahwa keterangan seorang saksi korban harus dianggap cukup untuk membuktikan terjadinya peristiwa kekerasan yang didakwakan terhadap terdakwa apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya. (Anita Dhewy) Senin, 23 Mei 2016, Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala, Humas Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh Women's for Peace Foundation (AWPF) menyelenggarakan Pendidikan Publik dengan tema “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” di Aula AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dengan dukungan Ford Foundation. Acara yang dihadiri oleh kurang lebih 100 peserta dari berbagai kalangan seperti akademisi, aktivis, LSM, mahasiswa maupun masyarakat sipil ini dibuka oleh sambutan dari Prof. Dr. Ir. Hasanuddin, MS selaku ketua lembaga penelitian dan pengabdian pada masyarakat Universitas Syiah Kuala. Prof. Hasanuddin mengungkapkan bahwa ada dampak psikologis pada anak korban kekerasan seksual yang perlu kita perhatikan secara serius. “Jurnal Perempuan 89 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi bahan acuan untuk diskusi pada siang ini, saya harapkan acara ini bisa dijadikan sebagai forum partisipasi akademisi dan masyarakat untuk bisa memberikan kontribusi sehingga RUU tersebut dapat segera disahkan”, ungkap Prof. Hasanuddin dalam sambutannya. Setelah sambutan dari Prof. Hasanuddin, acara dilanjutkan dengan pidato kunci dari direktur eksekutif Jurnal Perempuan, Dr. Gadis Arivia. Gadis membuka pidatonya dengan mengungkapkan bahwa Aceh sangat istimewa dan dekat di hati. “Saat konflik DOM, Jurnal Perempuan ke Aceh untuk meliput situasi perempuan di wilayah konflik”, tutur Gadis. Ia juga mengungkapkan kebahagiaanya dapat bertemu dengan teman-teman perempuan yang berjuang untuk perdamaian dan kesetaraan perempuan Aceh. “Kita bisa lihat kasus Yuyun, bagaimana kekerasan seksual semakin sadis dan anak-anak perempuan kita menjadi korban. Saya rasa ini menjadi pemicu juga untuk para pejabat publik dan legislatif untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”, ungkap Gadis dalam pidatonya. Gadis juga menyayangkan bahwa hukuman kebiri maupun hukuman mati untuk pelaku kekerasan seksual yang diajukan oleh pemerintah—sebagai bentuk reaksi—karena menurutnya itu tidak bisa dibenarkan sama sekali, perkosaan adalah bukan perihal seks tapi soal kuasa, power dan hasrat menaklukkan. Dalam pidato kunci ini, Gadis Arivia menyebutkan bahwa keseluruhan artikel (8 topik empu) yang ada di JP 89 ini mengerucut pada 3 hal yang ingin Jurnal Perempuan angkat dan capai, pertama ialah mengajak publik untuk menghentikan kekerasan seksual. Kedua, menuntut disahkannya segera RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Ketiga, memberikan pencerahan pengetahuan tentang apa sebenarnya kekerasan seksual itu. Gadis merasa masih banyak kesalahan paradigma mengenai kekerasan seksual itu sendiri, sehingga melahirkan kebijakan publik yang salah dan banyaknya statement pejabat publik yang tidak bertanggung jawab. Gadis melanjutkan pidatonya dengan memaparkan bahwa kiprah perempuan di Aceh ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Bumi Nanggroe Aceh memiliki pemimpin perempuan yang membanggakan seperti Cut Nyak Dhien pada tahun 1848 hingga 1908 dan bahkan pernah dipimpin perempuan di abad ke-17 selama 58 tahun setelah Iskandar Muda II wafat tahun 1636. Safiyetuddin Taj ül-Âlem menjadi ratu dan memimpin selama 34 tahun hingga 1675. Kemudian Nakıyetüddîn Nur Âlem menjadi ratu dan disambung dengan Zekiyetüddîn Inayet Shah pada 1678-1688. Ia dikenal kegigihannya melawan Inggris yang hendak membangun benteng di bumi Nanggroe. Setelah Zekiyetüddîn Inayet Shah meninggal, Zıynetüddîn Kemâlât Shah menggantikan menjadi ratu (1688-1699). Setelah Zıynetüddîn Kemâlât Shah meninggal di tahun 1699 kepemimpinan perempuan di Aceh dihentikan oleh maklumat dari Mekkah yang menyatakan perempuan tidak boleh memimpin. “Jadi sesungguhnya perempuan di bumi pertiwi ini sudah berdaya sejak dulu hanya budaya patriarki terus menggerus kekuasaan mereka, dihina dan dijadikan objek kekerasan. Saatnya untuk merebut kembali kemartabatan perempuan demi menyelamatkan generasi masa depan. Perempuan bersatu tak dapat dikalahkan!”, tegas Gadis di akhir pidatonya. Setelah pidato kunci dari Gadis Arivia, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Zubaidah Djohar, penyair perempuan Aceh yang sangat progresif. Zubaidah membawakan puisi yang berjudul “Puisi Mana Yang Akan Ku Bacakan”, merupakan karyanya sendiri yang dibuat khusus untuk acara ini dan sebagai kritik, kenang, dan rasa pilu perempuan, anak-anak, korban kekerasan seksual. Setelah pembacaan puisi oleh Zubaidah Djohar yang menyita perhatian seluruh tamu undangan, acara dilanjutkan dengan diskusi. Jurnal Perempuan menghadirkan Samsidar (Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan), Amrina Habibi (Sekretaris P2TP2A Provinsi Aceh), Khairani Arifin (Dewan Pmbina PSG Universitas Syiah Kuala) sebagai pembicara dan Anita Dhewy (Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Anita Dhewy membacakan profil para pembicara serta pengalaman mereka memperjuangkan hak-hak perempuan di Aceh khususnya. Pembicara pertama yaitu Samsidar, merupakan seorang aktivis yang sudah lama berkiprah dan berkarya bukan hanya di Aceh tapi juga ditingkat nasional, Ia pernah menjabat sebagai komisioner Komnas Perempuan dan konsultan ahli gender untuk berbagai lembaga. Setelah memaparkan profil singkat pembicara pertama, Anita menyilakan Samsidar untuk memulai presentasinya perihal urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan bagaimana perkembangannya sekarang. Samsidar mengungkapkan bahwa masih ada diskursus kekerasan seksual. Faktanya kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan kemanusiaan, pelanggaran terhadap hak asasi dan bentuk diskriminasi gender, namun dalam undang-undang, perkosaan masih dianggap sebagai perbuatan asusila saja. Kemudian menurut Samsidar korban kekerasan seksual masih direviktimisasi, kesaksian dan proses hukum yang menyulitkan kerap kali jadi faktor kasus-kasus kekerasan seksual tidak pernah tuntas ditangani di pengadilan. “Fakta hukumnya, KUHP tidak memberikan ruang bagi korban sebagai subjek dalam peradilan hukum pidana, tidak mengatur mekanisme pemulihan bagi korban”, ungkap Samsidar. Setelah paparan dari Samsidar, Amrina Habibi yang menjabat sebagai sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Aceh menyambung diskusi dengan presentasinya perihal upaya yang dilakukan pemerintah Aceh dalam penanganan korban kekerasan seksual. Pemerintah Aceh telah memberikan perhatian terhadap isu ini, seperti telah adanya Qanun nomor 6 tahun 2009 tentang pemberdayaan perempuan, dan Qanun nomor 11 tahun 2008 tentang perlindungan anak. Beberapa pasal disana menjelaskan tentang tanggung jawab dan kewajiban kepada pemerintah provinsi Aceh untuk memberikan dan mengembangkan pelayanan terpadu yang tentunya diharapkan dapat melayani, menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual. Secara spesifik ada satu Pergub yang menjadi panduan untuk pemerintah, yaitu Pergub nomor 109 tahun 2013 tentang standar pelayanan minimal bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual di Aceh. Ini menegaskan bahwa Bupati, Gubernur, pemerintah daerah menetapkan anggaran dan kewajiban mengembangkan P2TP2A di seluruh kabupaten dan kota. Namun saat pelaksanaanya di lapangan, menurut Amrina masih banyak kendala teknis. “Kurangnya perspektif hakim terhadap korban dalam memeriksa perkara—seperti pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan korban dalam rangka memastikan bahwa korban dan pelaku tidak sama-sama menikmati—menjadi salah satu faktor yang akhirnya penyidikan kasus lagi-lagi menyudutkan korban”, ungkap Amrina. Setelah paparan dari Amrina Habibi, Anita Dhewy selaku moderator menyilakan Khairani Arifin yang merupakan dewan pembina PSG Universitas Syiah Kuala untuk memaparkan presentasinya. Kahirani Arifin yang mengambil tema tentang sumbangan Feminist Legal Theory (FLT) terhadap kasus kekerasan seksual. Ia mengungkapkan bahwa hukum kekerasan seksual masih bekerja dengan menerapkan perspektif pelaku, sehingga dalam proses persidangan korban—yang tentu ada trauma—masih diragukan kesaksiannya. “Memasukkan pengalaman perempuan dalam proses substansi hukum amat penting untuk menciptakan hukum yang lebih adil”, ungkap Khairani. Ia juga mengungkapkan bahwa faktanya penyelesaian kasus kekerasan seksual banyak melalui mekanisme adat, sehingga jalur hukum formal tidak ditempuh dan yang lebih memprihatinkan lagi ialah kasus kekerasan seksual dianggap sebuah transaksi, pelaku diperbolehkan hanya membayarkan denda—yang berarti ini tentu tidak menggunakan perspektif korban. “Hukum disusun dan dibuat oleh orang-orang yang patriarkhis, ini yang sebabkan pelaku kekerasan seksual di Aceh tidak pernah tersentuh oleh hukum”, tutur Khairani. Setelah paparan dari ketiga pembicara, Anita Dhewy membuka sesi tanya jawab kepada para peserta yang hadir. Beberapa pertanyaan seputar mekanisme hukum dan budaya patriarki berkali-kali disebut-sebut dalam pertanyaan maupun masukan-masukan dari peserta pendidikan publik yang hadir. Setelah sesi tanya jawab, seluruh hadirin tergugah kembali oleh puisi yang dibacakan Zubaidah Djohar, puisi tentang Yuyun, puisi tentang kemanusiaan, puisi yang menggambarkan perasaan Yuyun pada waktu itu yang amat pilu. Peserta pendidikan publik sangat antusias dan ingin sekali ada gerakan yang masif sehingga diskriminasi terhadap perempuan bisa dihentikan segera mungkin. Kekerasan seksual bukan hanya urusan perempuan, sehingga hanya kaum perempuan yang berdiskusi, melainkan juga urusan dan kepentingan laki-laki, dan seluruh masyarakat Aceh. Seperti yang diungkapkan oleh Gadis Arivia dalam pidatonya bahwa Islam sebagai agama penuh kasih tidak pernah membenarkan untuk melakukan kekerasan kepada siapapun. Pemahaman dan rasa perdamaian yang sesungguhnya harus bisa dipahami dan dirasakan seluruh lapisan masyarakat Aceh. Rasa sakit Yuyun telah menjadi rasa sakit bersama, semua sedih, semua marah, semua berduka dan semua menuntut segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual! (Andi Misbahul Pratiwi) Dari tahun ke tahun, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak cenderung meningkat. Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2014 terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan terus bertambah hingga mencapai 321.752 kasus pada tahun 2015. Itu artinya setiap hari ada 20 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual, sama dengan setiap 3 jam, ada 2 perempuan menjadi korban. Prihatin dengan peristiwa kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak yang terjadi akhir-akhir ini di Bengkulu, Surabaya, Banten, Manado, Aceh, Bogor dan daerah lainnya, Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Melawan Kejahatan Seksual yang terdiri dari beberapa lembaga dan komunitas se-Solo Raya seperti: SPEK-HAM, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Surakarta, Talita-Kum, Forum Paralegal, dan Komunitas Masyarakat Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya melakukan aksi di Solo Car Free Day, Minggu (15/5). Aksi melawan kejahatan seksual adalah bagian dari pendidikan publik, dengan tujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kejahatan seksual dan pentingnya payung hukum. Aksi ini mendorong negara untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kejahatan Seksual dan penolakan hukuman kebiri dan hukuman mati. “Kita selama ini mendorong upaya penegakan hak asasi manusia. Dalam konteks hukuman, bagaimana membuat hukuman yang manusiawi, yang hukumannya komprehensif, menyelesaikan persoalan dan rehabilitatif bagi pelaku kejahatan seksual terutama yang pelakunya anak,” tutur Endang Listiani, Direktur SPEK-HAM sekaligus koordinator aksi. Aksi melawan kejahatan seksual juga mendorong aparat penegak hukum untuk membuat terobosan-terobosan hukum yang memberikan hukuman yang optimal dan maksimal kepada aparat hukum. Mestinya apabila itu dijalankan akan memberikan efek jera dan memberikan penyelesaian terhadap akar persoalannya yaitu pola pikir, sehingga membuat orang akan berpikir seribu kali untuk melakukan kejahatan seksual. Aksi juga menuntut tanggung jawab pemerintah untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dan memasyarakatkan bahaya tindakan kejahatan seksual. Endang Listiani menjelaskan bahwa pihaknya sudah memberikan desakan tertulis kepada DPR RI juga kepada presiden yang dilakukan secara berjejaring nasional. “Kami melakukan jejaring pada forum-forum pengada layanan yang selama ini memberikan pendampingan kepada korban kejahatan seksual. Jaringan ini meliputi 33 provinsi yang didalamnya ada 115 lembaga atau forum pengada layanan di seluruh Indonesia,” terang Endang Listiani. Menjawab pertanyaan para wartawan yang mewawancarainya usai melakukan aksi, mengapa memilih membunyikan peralatan rumah tangga, Endang Listiani menjawab bahwa alat-alat rumah tangga adalah simbolisasi genderang perang melawan kejahatan seksual. Bahwa ancaman kejahatan seksual bisa terjadi di dalam keluarga, dalam rumah tangga. Dirinya menambahkan bahwa hukuman yang manusiawi adalah seumur hidup atau memaksimalkan hukuman yang sudah diatur dalam undang-undang, dan mungkin bisa ditambah, yang menimbulkan aspek keadilan bagi korban, itu sudah cukup. “Jadi tidak hanya berorientasi kepada penghukuman tetapi bagaimana melakukan upaya pencegahan, penanganan dan juga pemulihan bagi korban dan itu menjadi tanggung jawab negara yang penting,” imbuhnya. Endang Listiani menandaskan bahwa akar persoalan yang sebenarnya bukan pada pemberian hukuman saja tetapi persoalan yang mengakar adalah pola pikir masyarakat, pola pikir pengambil kebijakan yang memberikan diskriminasi ataupun tidak memberikan penghormatan kepada perempuan dan anak sehingga perempuan dianggap lemah, perempuan layak diperkosa perempuan menjadi warga kelas dua sehingga masyarakat tidak menghargai perempuan. (Astuti Parengkuh) Komunitas Jejer Wadon melakukan aksi damai sebagai bentuk solidaritas dan keprihatinan terhadap kasus kekerasan seksual dengan korban anak berusia 14 tahun. Yy dari Bengkulu menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan oleh 14 laki-laki yang masih berusia pelajar. Aksi solidaritas yang semula dihambat oleh petugas kepolisian tersebut kemudian berlangsung lancar setelah Elizabeth Yulianti Raharjo, koordinator acara bernegosiasi. Pihak kepolisian dalam argumennya mengatakan bahwa menurut peraturan yang berlaku, izin menyelenggarakan aksi adalah siang hari, sedangkan penyelenggara bersikeras bahwa pihaknya telah mengantongi izin kepolisian dan aksi yang digelar berupa ekspresi seni melalui pembacaan puisi. Setelah negosiasi berlangsung cukup alot, akhirnya aksi solidaritas yang berlangsung di bundaran Gladak, Rabu malam (4/5) diperbolehkan dengan batasan waktu yang telah disepakati yakni 15 menit. Tiga anggota Jejer Wadon yang berasal dari berbagai lembaga dan komunitas di Surakarta membaca puisi-puisi dengan tema perempuan. Fanny Chotimah membaca salah satu puisi karya Dea Anugerah. Kertas poster kampanye bertuliskan #NyalaUntukYY, #YYAdalahKita, masing-masing dibawa oleh aktivis. Bersamaan dengan berakhirnya acara solidaritas, beberapa anggota Jejer Wadon membentuk lingkaran kecil, sambil mengelilingi nyala sebatang lilin, mereka menyanyikan lagu Nina Bobo yang dipersembahkan kepada korban Yy. Dalam siaran pers siang harinya, Jejer Wadon menyatakan keprihatinan terhadap kasus kekerasan seksual dan pembunuhan berupa kejahatan kemanusiaan terhadap anak. Selain itu kekerasan seksual terhadap anak haruslah mendapat perhatian yang lebih serius dari pihak lain. Kepada para wartawan yang meliput acara, Elizabeth Yulianti Raharjo mengatakan bahwa acara ini memiliki tujuan yakni bentuk solidaritas dan dukungan kepada penegak hukum di Bengkulu agar menuntaskan kasus kekerasan seksual dan pembunuhan yang menimpa Yy. “Kita juga mendorong agar pemerintah dan DPR RI mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan sehingga diperlukan perlakuan extraordinary,” pungkas Elizabeth Yulianti Raharjo. (Astuti Parengkuh) Minggu 1 Mei 2016 Jurnal Perempuan menggelar acara Gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) di Yogyakarta. Acara pertemuan bagi para SJP yang berasal dari Yogyakarta dan sekitarnya ini dimaksudkan untuk mempererat ikatan persahabatan sekaligus sebagai ajang silaturahmi antara Jurnal Perempuan dengan para pembacanya sekaligus antar Sahabat Jurnal Perempuan. Kegiatan yang diadakan di Angkringan Mojok ini diikuti oleh 10 orang SJP baik yang baru maupun yang sudah lama bergabung. Gadis Arivia, pendiri Jurnal Perempuan mengungkapkan bahwa Yogyakarta merupakan salah satu kota dengan jumlah SJP yang cukup tinggi, tercatat sekitar 40 SJP berdomisili di Yogyakarta. Gadis menuturkan di tahun-tahun awal ketika ia mendirikan Jurnal Perempuan (JP), banyak pihak meragukan keberlangsungan jurnal feminis pertama di Indonesia tersebut. Namun waktu membuktikan JP berumur panjang dan tetap bertahan hingga menjelang 20 tahun usianya di tahun ini. Karena itu Gadis sangat berterima kasih pada Sahabat Jurnal Perempuan karena tanpa SJP, Jurnal Perempuan tidak akan bertahan hingga mencapai usia 20 tahun. Sementara itu Himah Sholihah, Koordinator SJP menyampaikan presentasi tentang perkembangan SJP. Ia menjelaskan bahwa program SJP dimulai pada November 2011, sebelumnya disebut sebagai pelanggan JP. Keberadaan SJP dimaksudkan agar ada ikatan personal dan sosial yang lebih kuat. Himah menjelaskan sebanyak 435 (72,5%) orang SJP adalah perempuan dan 165 (27,5%) orang adalah laki-laki. Berdasarkan wilayah, SJP tersebar di 30 provinsi dengan DKI Jakarta menempati urutan teratas. Selain itu terdapat juga SJP yang berada di luar negeri seperti Australia, Belanda dan Timor Leste. Sementara berdasarkan latar belakang pekerjaannya, akademisi adalah pembaca JP terbanyak disusul LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan pemerintah. Himah menambahkan saat ini terdapat 6 perwakilan SJP Daerah yang selain menjadi mitra dalam kegiatan JP juga rekanan dalam mengenalkan dan menjual produk-produk JP di daerahnya masing-masing. Acara sore itu kemudian dilanjutkan dengan mendengarkan masukan dan kritikan dari para SJP. Mutiara Andalas, pastor sekaligus pengajar Universitas Sanata Dharma mengatakan sebagai akademisi dirinya banyak terbantu dengan kehadiran Jurnal Perempuan. Menurutnya dengan kajian akademis yang baik, JP seperti sebuah oase. Ia juga selalu mendorong mahasiswanya untuk membaca Jurnal Perempuan. Sementara Rosalia Nurdiarti, pengajar Universitas Mercu Buana yang juga sedang melanjutkan studi di Universitas Gadjah Mada mengungkapkan rasa senangnya terhadap acara gathering sore itu karena selama ini Gathering SJP lebih banyak diadakan di Jakarta. Sebagai mahasiswa, Rosa mengaku JP menjadi referensi untuk tugas-tugas kuliahnya. Ia menilai riset-riset JP sekarang terlihat lebih tajam. Rosa juga mengusulkan agar isu spiritualitas perempuan dapat dibahas oleh JP. Kontribusi akademis JP juga dirasakan oleh Akhiriyati Sundari dan Unsiyah Siti Marhamah yang saat ini sedang menempuh studi di program studi Islam dan Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga serta Makrus Ali, mahasiswa Sejarah UGM. Hal serupa juga diakui oleh Isyfi Afiani, alumni Program Magister Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Meike Karolus, alumni Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM. Agustinus Supriyanto, dosen Fakultas Hukum UGM mengungkapkan JP memberikan stamina bagi pembacanya sekaligus menumbuhkan kepercayaan diri lewat pengetahuan-pengetahuan yang dibaginya. Ia juga mengapresiasi JP yang mampu menjaga kualitas tulisan dan karenanya mampu bertahan hingga hari ini. Sementara itu Ismulyana dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM mengatakan kehadiran JP membantu mahasiswa dalam studi terutama untuk bahan referensi. Ia juga berharap kegiatan JP ke daerah diperbanyak. SJP yang lain, yakni Naomi Srikandi, seniman teater yang sehari-hari aktif di teater Garasi mengaku sebagai seniman teater yang tidak memiliki latar belakang pendidikan seni secara formal, ia dan rekan-rekannya membutuhkan bacaan-bacaan berupa jurnal seni dan jurnal lain termasuk Jurnal Perempuan. Ia juga menjelaskan bahwa dirinya mengadopsi konsep SJP untuk Sahabat Teater Garasi mengingat kesenian juga merupakan proses produksi pengetahuan seperti halnya JP. Karana itu bagi Naomi JP sangat menginspirasi. Meski hujan sempat turun, namun diskusi diantara SJP tetap berlangsung dengan hangat hingga pukul tujuh malam sambil ditemani camilan dan makanan. (Anita Dhewy) Senin, 2 Mei 2016, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (Sps UGM) menggelar acara seminar dengan tema “Angela McRobbie: Postfeminisme dan Popular Culture”. Acara ini merupakan bagian acara dari program Great Thinkers Sps UGM yang diadakan setiap 2 bulan sekali membahas pemikiran tokoh-tokoh besar di dalam maupun luar negeri. Seminar yang bertujuan untuk mengkaji pemikiran Angela McRobbie ini mendatangkan Dr. Gadis Arivia (Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan) dan Dr. Phil. Dewi Candraningrum (Pemred Jurnal Perempuan) sebagai pembicara dan Dr. Suhadi Cholil (Dosen Prodi CRCS Sps UGM) sebagai moderator. Dr. Suhadi membuka acara ini dengan mengenalkan para pembicara terlebih dahulu, kedua pembicara yang merupakan bagian penting dari Jurnal Perempuan (JP), jurnal akademis feminis satu-satunya di Indonesia. “Saya sangat kagum terhadap JP, karena JP bukan jurnal akademis di universitas namun nafasnya panjang, dan saya juga ucapkan selamat kepada JP yang menginjak usia 20 tahun pada september mendatang, saya rasa ini prestasi yang patut diteladani oleh jurnal akademis lainnya di dalam lingkup universitas”, tutur Dr. Suhadi. Pada kesempatan pertama Dr. Gadis Arivia dipersilakan memberikan paparanya terlebih dahulu perihal pemikiran Angela McRobbie yaitu postfeminisme dan budaya populer. Gadis Arivia membuka presentasinya dengan mengatakan bahwa pemikiran McRobbie ini atau postfeminisme sangat menarik sekali meskipun banyak menuai kontroversial. Gadis menjelaskan bahwa pada awalnya pemikiran ini hadir dengan gambaran perempuan-perempuan mandiri dan independen seperti yang divisualkan dalam film Sex and The City. Film seri ini menggambarkan keempat tokohnya sebagai perempuan yang mandiri dan berlatar belakang pendidikan tinggi, namun juga feminin (pesolek, memerhatikan busana dan penampilan) serta mengisahkan kehidupan perempuan-perempuan metropolitan yang memiliki berbagai persoalan relasi percintaan, karir dan keluarga. Gambaran kehidupan yang ditampilkan oleh perempuan-perempuan di Sex and the City dan Bridget Jones Diary didudukkan dalam konteks budaya populer, budaya konsumer, individualisme dan ketidakpedulian pada institusi politik dan aktivisme. “Inilah yang oleh Brooks disebut postfeminisme yakni feminisme dalam situasi sekarang”, tutur Gadis. Situasi apakah yang dihadapi oleh perempuan dalam era keterbukaan dan kemajuan yang cukup signifikan seperti di dalam film Sex and the City dan Bridget Jones Diary, apakah yang mereka cari? Situasi sekarang adalah situasi fluiditas (cair) yaitu tidak adanya tekanan dari luar melainkan pilihan-pilihan diri dalam menentukan hidup, self-management, self-discipline (era do it yourself) dan bahkan menciptkan diri kembali (era reality show), berpenampilan “cool” dan narsistik (era selfie) dan sadar akan eksotisme kulutral atau multikultural yang dikemas serta kesehatan wellness being (era yogies) Istilah postfeminisme (dulu dituliskan post-feminisme untuk menekankan tidak ada feminisme lagi) mengemuka karena peranan media di tahun 1980an yang membesar-besarkan keresahan perempuan akan artinya menjadi perempuan bebas dan mandiri. Saat perempuan telah memiliki segalanya, perempuan kemudian menjadi galau dan tidak bahagia. Perempuan yang telah memiliki karir, pendidikan, menjadi superwomen, dan menolak menikah misalnya dikatakan cemas. Sebab tiba-tiba menyadari umur untuk memiliki anak sudah dan kegelisahan karena telah keluar dari jalur ibu. “Hal itu lah yang dimainkan oleh media sehingga seakan-akan feminisme kebablasan, dan feminisme sudah tidak kontekstual lagi”, tutur Gadis. Faludi menegaskan bahwa sebenarnya istilah postfeminisme telah dipakai sebelumnya, pertama kali pada tahun 1920an untuk mendeskreditkan pergerakan perempuan pada watu itu. Postfeminisme memberikan kritik terhadap cara feminisme gelombang kedua memaknai seksualitas dan tubuh. Seksualitas menjadi pembicaraan sehari-hari dan penekanan pada pilihan pribadi (personal choice). Berbeda dengan Faludi yang melihat postfeminisme sebagai reaksi dan penolakan feminisme yang dihembus oleh politik pecah belah media masa, McRobbie melihatnya sebagai hal yang positif. Perempuan muda menurut McRobbie keluar dari komunitas yang menganggap bahwa peranan gender itu tetap. Kemudian karena struktur sosial lama semakin lama semakin menghilang, individu semakin terpanggil untuk membuat strukturnya sendiri. Mereka melakukannya secara internal dan mandiri, memonitor diri sendiri (melalui agenda, rencana hidup dan karir) mendobrak cara-cara yang sudah ada atau tetap. Kemudian Gadis Arivia memberikan contoh Inul Daratista yang kontroversial dengan goyangan ngebornya. Ia mengungkapkan bahwa ketika Inul di wawancarai oleh Times ketika goyangan ngebornya dicekal oleh para agamawan dan tokoh agama, Inul menjawab bahwa kenapa saya yang harus malu, seharusnya mereka yang malu karena punya pikiran jorok. Gadis menjelaskan bahwa dalam kasus ini Inul telah mendapatkan subjektifitasnya atas tubuhnya, atas pantatnya, atas goyangannya, dan jawaban Inul amat cerdas. Hal itu menunjukkan bagaimana media dan budaya pop secara kontekstual berkembang dan feminisme tentunya juga ikut tumbuh. Menurut Gadis Arivia ada sebuah pertanyaan besar apakah postfeminisme melemahkan atau menguatkan feminisme? Pertanyaan ini penting dan terus diperdebatkan oleh kaum feminis. “Bagi saya postfeminisme telah menyumbang sebuah gagasan baru dari cara berada baru (era internet, konsumerisme, budaya selebriti dan selfie) yang tentu menuntut pemikiran baru. Feminisme pada dasarnya terbuka dan terus melebarkan ruangnya untuk berbagai cara berada feminis, yang tentu harus inklusif”, tutur Gadis Arivia. Setelah paparan dari Gadis Arivia, moderator mempersilakan Dewi Candraningrum untuk berbicara. “Sangat bagus sekali penjelasan Gadis Arivia tentang postmodernisme dalam kerangka teori yang cukup komprehensif, sekrang kita persilakan pada mbak Dewi, bagaimana postmodernisme dalam aktivisme gerakan perempuan”, tutur Dr. Suhadi. Ia juga menjelaskan bahwa Dewi Candraningrum juga aktif dalam advokasi kasus Kendeng, dan selain menjadi akademisi dan aktivis, Dewi juga seorang pelukis dan kemarin telah mendonasikan lukisan-lukisannya untuk Kendeng. Dewi menjelaskan bahwa McRobbie menuliskan tentang kewarganegaraan konsumen, dimana bukan hanya individu-individu namun juga bangsa, negara, pemerintahan, dan masyarakat telah terhubung dalam mesin besar kapitalisme. “Jadi neoliberalisme menciptakan apa yang disebut kewarganegaraan konsumen, dengan menjebak dalam budaya konsumer yang semakin pintar”, tutur Dewi. Misalnya pemutih bukan hanya untuk wajah saja, sekrang sudah ada pemutih leher, kaki hingga vagina, semua tubuh kita dikondisikan sedemikian rupa, sesungguhnya kita terhubung dalam mega mesin kapitalisme yang begitu masif dan sistematis. “Konsumen sesungguhnya mengalami kenaikkan tingkat refleksifitas ketika ia memakai produk, tetapi sesungguhnya dalam rangka menegaskan kembali hierarki ketidakadilan”, tutur Dewi. Dewi melanjutkan, bahwa McRobbie juga menulis satu chapter tentang postmodernisme, McRobbie juga cukup cerewet mempertanyakan apa sebenarnya postmodernisme. “Beyonce dibilang empowering our girls, tapi apakah bisa anak-anak kita memakai pakaian seperti dia? Apakah pantas anak-anak kita pakai heels setinggi itu? Jadi sebenarnya dus mega machine mengintai kita setiap saat”, jelas Dewi. Dalam salah satu bab McRobbie menulis tentang disartikulasi dan menurut saya ini sangat indah, sangat bermakna sekali. Sejak saya kecil ketika saya dijari tentang tokoh perempuan yang saya dapat hanya itu-itu saja, sisanya saya harus cari sendiri. Salah satu contohnya adalah S.K Trimurti, dia lahir di Boyolali dan dia mendirikan majalah, dia keluar masuk penjara gara-gara dia menolak poligami. Lalu saya mempertanyakan pada mahasiswa saya apakah mau berdonasi untuk Kendeng atau beli sepatu baru? Baju baru? Jadi Disartikulasi adalah keterceraian antara generasi yang lalu dengan generasi sekarang. “Ini terjadi pada anak-anak kita, remaja kita terputus oleh sejarah, terputus dari solidaritas, terputus dari gerakan-gerakan sebelumnya, ada disartikulasi gerakan sosial”, ungkap Dewi. Menurut Dewi, McRobbie juga amat sinis terhadap postmodernisme, McRobbie mengungkapkan bahwa postmodernisme adalah feminisme maskara, palsu, dan membajak. Didalam Indonesian Feminist Journal (IFJ) Dewi mengatakan bahwa Ratna Noviani menulis tentang green advertising. Misalnya lebih alami mana botol minuman jahe dengan tulisan ‘herbal’ dibandingkan dengan jahe diparut? 80 persen menjawab botol dengan tulisan ‘herbal’. Ini telah erjadi pembajakan, dan kita harus terus waspada sekalipun pada konsep keadilan. Industrik kecantikan, industri pakaian, industri kosemetik bekerja sangat keras bagaimana menstabilkan pasar. “Jadi yang bekerja keras bukan hanya aktivis saja, kapitalisme juga bekerja keras”, tegas Dewi. Dengan demikian Dewi mengungkapkan bahwa kemarahan-kemarahan pada remaja seperti mereka tidak menyukai tubuhnya, wajahnya, rambutnya merupakan kemarahan yang kadang kala mereka juga tidak mengerti, ini disebabkan karena remaja kita kerap kali berdiri dalam identitas yang palsu. Angela McRobbie menuliskan perihal ini dalam chapter sendiri, mengenai kemarahan-kemarahan remaja pada dirinya sendiri. Hal ini yang kemudian Angela disebut “pribadi yang tidak kokoh”, karena tidak tahu apa yang benar-benar para remaja itu sukai sebenarnya, solidaritas pun hilang. McRobbie juga menulis bagaimana di media tersebar bahasa-bahasa feminisme palsu. Jadi bahasa-bahasa feminisme diambil dan dipreteli untuk mempertahankan status quo konsumsi. Dewi melanjutkan bagaimana efeknya ini terhadap kebijakan. Gadis Arivia menulis dalam Tempo, kalimat yang paling saya ingat adalah “lipstick dalam suprastruktur kebijakan”, jadi McRobbie juga menuliskan bahwa gender mainstreaming itu gagal. Dalam JP 81 kita bisa temukan data bahwa 80% politisi adalah perempuan pengusaha, jadi wajar kondisi perpolitikan Indonesia menjadi transaksional. Menurut temuan CSIS pada bulan Februari bahwa perpindahan posisi divisi P2TP2A ke divisi-divisi lain menyumbang besarnya Angka Kematian Ibu (AKI). Hal ini dikarenakan tenaga ahli gender yang harus dipindah-pindahkan ke divisi lain. “Saya pernah berbicara kepada walikota solo bahwa tolong jangan didisposisi pejabat-pejabat ahli gender sehingga AKI dan isu-isu perempuan bisa ditangani dengan cepat dan serius”. Pada bab terakhir McRobbie mengatakan, “The Idea of feminist content is disappeared and was replaced by aggresive by individualism, by a hedonistic female phallicism in the field of sexuality, and by obsession with consumer culture”. Maka dari itu McRobbie berduka. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |