Sistem hukum Indonesia belum secara sistematis dan menyeluruh mampu mencegah, melindungi, memberdayakan dan memulihkan korban serta menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menghapuskan kekerasan seksual. Pernyataan ini diungkapkan Samsidar, Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan saat menjadi pembicara dalam acara Pendidikan Publik tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan bersama Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala, Fakultas Hukum bagian Humas Universitas Syiah Kuala dan Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) di Gedung AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada Senin (23/5). Lebih jauh Samsidar mengungkapkan fakta hukum yang ada saat ini memperlihatkan bahwa KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) mengenal pemerkosaan, namun terbatas pada penetrasi penis ke vagina, dan prosedur pembuktiannya sebagaimana diatur di Kitab Hukum Acara Pidana masih membebani korban. Sementara pelecehan seksual tidak dikenali sehingga kasus diusut dengan pasal tentang perlakuan tidak menyenangkan. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, pasal ini dinyatakan tidak diberlakukan lagi. Hal lain bahwa eksploitasi seksual diatur dengan keliru dalam UU Pornografi. Dalam penjelasan tidak ada informasi lebih lanjut tentang apa yang dimaksudkan dengan eksploitasi seksual. Pada Pasal 4, eksploitasi seksual direkatkan dengan memamerkan aktivitas seksual. Pemaknaan serupa tampak pada Pasal 8 dan Pasal 10. Akibatnya, UU Pornografi tidak lagi menempatkan pornografi sebagai bentuk kejahatan eksploitasi seksual melainkan lebih pada kerangka moralitas yang berujung pada kontrol seksual perempuan. Samsidar juga mengungkapkan bahwa penyiksaan dan perbudakan seksual tidak dikenal dalam hukum pidana umum, melainkan hanya dalam hukum pidana khusus dalam konteks genosida dan kejahatan kemanusiaan sesuai dengan UU Pengadilan HAM. Akibatnya, penyiksaan seksual yang berulang kali terjadi, misalnya pemerkosaan terhadap tahanan perempuan, tidak ditangani dengan serius dan sistematik. Sedang untuk level daerah sejumlah daerah mengatur tentang larangan prostitusi yang justru mengriminalkan perempuan korban eksploitasi seksual dan perdagangan orang. Sejumlah peraturan daerah juga memuat hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan bernuansa seksual. Aturan yang diskriminatif serupa ini belum ada yang dibatalkan. Sementara itu menurut Samsidar sejumlah regulasi yang bersifat khusus yang telah ada saat ini, seperti UU Penghapusan KDRT, UU Perlindungan Anak dan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah mengatur tentang kekerasan seksual lebih luas dari KUHP. Akan tetapi UU tersebut tidak bisa digunakan untuk melindungi korban kekerasan seksual di luar ruang lingkup yang dimaksud oleh ketiga UU yang bersifat khusus tersebut. Lebih lanjut Samsidar menjelaskan bahwa UU Hukum Pidana maupun UU Kesehatan menekankan pada larangan aborsi tanpa melihat konteks pemaksaan aborsi. Akibatnya, dalam tindak aborsi, serta-merta perempuan menjadi pihak yang dipidanakan. Ia juga menyoroti revisi Kitab Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang berjalan lambat dan seolah kehilangan arah. Situasi ini ditunjukkan dengan sejumlah diskusi yang mengarah pada penempatan isu kekerasan seksual sebagai persoalan susila/kesopanan dan dalam kerangka moralitas. Berbagai situasi tersebut menurut Samsidar menunjukkan bahwa gagasan adanya UU khusus yang mengatur tentang kekerasan seksual perlu menjadi prioritas. Samsidar mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menawarkan terobosan sekaligus berpihak pada korban. Hal ini dapat dilihat antara lain dari ruang lingkup yang diatur yang mencakup pemahaman bahwa pertama penghapusan kekerasan seksual melipui pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban serta penindakan pelaku. Kedua penghapusan kekerasan merupakan kewajiban negara dan ketiga kewajiban negara diselenggarakan dengan melibatkan keluarga, komunitas, organisasi masyarakat dan korporasi. Sementara terkait alat bukti Samsidar menyatakan bahwa keterangan seorang saksi korban harus dianggap cukup untuk membuktikan terjadinya peristiwa kekerasan yang didakwakan terhadap terdakwa apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |