Mibnasah Rukamah Koordinator Lapang Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) wilayah Sukabumi menjadi salah satu narasumber dalam acara diskusi “Akhiri Pernikahan Anak” yang digagas oleh Jurnal Perempuan dengan dukungan Kedutaan Kanada dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2016 di restoran Amigos Kemang, Jakarta Selatan. Mibnah—begitu biasanya ia dipanggil—menjelaskan bahwa banyaknya praktik pernikahan anak di daerah pedesaan khususnya dikarenakan masih banyaknya pandangan masyarakat yang menganggap bahwa menikah harus disegerakan jika sudah ada calon pasangandan jika perempuan menikah di usia lebih dari 25 tahun akan menjatuhkan martabat keluarga. Menurutnya selain motif agama dan sosial, pernikahan di usia dini juga dipicu oleh faktor ekonomi masyarakat dan pendidikan rendah sehingga menjadi alasan untuk menikahkan anak sebagai jalan untuk keluar dari kemiskinan dan mengurangi beban keluarga. Hal ini juga diperparah dengan perputaran ekonomi dan peluang lapangan pekerjaan di daerah pedesaan yang minim. Selain alasan-alasan di atas terdapat juga alasan menikah karena pergaulan bebas sehingga anak-anak remaja telah melakukan hubungan seksual sebelum ada ikatan pernikahan. Kemudian banyak yang beranggapan bahwa bahwa anak harus menurut kepada orang tua termasuk dalam urusan memilih pasangan dan menikah, sehingga hak anak untuk memilih jodohnya tidak ada. Mibnah mengungkapkan bahwa banyak dampak buruk akibat pernikahan di usia dini yaitu salah satunya adalah dampak psikologis. “Pada usia anak yang seharusnya masih bermain dan mengenyam pendidikan namun ia harus dibebani oleh urusan rumah tangga yang banyak, sehingga ini bisa jadi pemicu perceraian bagi pasangan muda”, jelas Mibnah. Perceraian lebih kerap terjadi karena kontrol terhadap diri masih kurang. Kemudian ia juga menyebutkan beberapa kasus pernikahan anak biasanya dilakukan secara nikah siri atau nikah secara agama saja dan tidak dicatatkan di KUA. Hal ini menurut Mibnah membuat perempuan dan anaknya menjadi rentan terhadap kekerasan dan rentan untuk tidak dipenuhi haknya sebagai istri dan anak. Ia juga menemukan bahwa banyak anak-anak yang lahir tidak memiliki akta kelahiran karena orang tua mereka tidak memiliki surat nikah. "Mereka yang sudah menikah di usia dini perlu didampingi dan diberikan pelatihan agar tahu dan mampu untuk mengurus anak-anak mereka terutama perihal administrasi hukum", jelas Mibnah. Perempuan yang telah lama berkecimpung di organisasi Pekka ini juga menjelaskan beberapa upaya yang telah dilakukan Pekka untuk melindungi hak-hak perempuan serta usaha-usaha pemberdayaan perempuan kepala keluarga. Beberapa agenda yang telah dilakukan Pekka diantaranya: 1) mengadakan pelatihan paralegal Pekka untuk tokoh perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparat desa, 2) menyediakan informasi dalam bentuk buku saku, leaflet, poster, buletin dan video, 3) memberikan pendampingan terhadap kasus yang dihadapi anggota Pekka dan masyarakat sekitarnya, 4) memfasilitasi proses sidang isbat nikah, pencatatan buku nikah dan akta kelahiran dan masih banyak lagi ungkapnya. Dengan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi akar rumput diharapkan dapat menekan tingginya angka pernikahan anak dan juga memberi wawasan atas pentingnya hak-hak kesehatan reproduksi perempuan serta hal-hal administratif yang perlu diurus untuk kepentingan pemenuhan hak pendidikan bagi anak-anak nantinya. (Andi Misbahul Pratiwi) Selasa 8 Maret 2016, Jurnal Perempuan dengan dukungan Kedutaan Kanada merayakan Hari Perempuan Internasional (HPI) di restoran Amigos, Jl. Kemang Selatan I, Jakarta Selatan. Pada Hari Perempuan Internasional—yang dirayakan pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya--Jurnal Perempuan menyerukan #AkhiriPernikahanAnak. Isu pernikahan anak menjadi sangat penting karena merupakan masalah yang tak kunjung selesai dan berkorelasi terhadap tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)—yang merupakan kegagalan Indonesia dalam MDGs. Persoalan pernikahan anak harus dihadapi bersama melibatkan berbagai pihak yang peduli. Jurnal Perempuan mengkaji isu ini secara akademis yang didokumentasikan dalam JP 88 “Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan”. Acara perayaan HPI yang dihadiri oleh lebih dari 150 peserta ini berlangsung meriah dengan acara diskusi, pentas seni, pemutaran video dan pameran foto—yang merupakan dokumentasi sejarah pergerakan perempuan Indonesia dan juga hasil perjalanan panjang Jurnal Perempuan selama hampir 20 tahun. Perayaan ini dimulai pukul 15.30 WIB dan dibuka oleh Anita Dhewy selaku pembawa acara dengan menjelaskan pengantar tentang HPI dan aktivisme Jurnal Perempuan dalam penerbitan serta perjuangan kesetaraan di Indonesia. “Hari Perempuan Internasional adalah sebuah hari yang didedikasikan untuk merayakan keberhasilan pencapaian perempuan dalam berbagai bidang sekaligus menjadi penanda perjuangan perempuan untuk meraih kesetaraan dan keadilan”, jelas Anita. Setelah itu acara dilanjutkan dengan sambutan dari pendiri Yayasan Jurnal Perempuan (YJP), Gadis Arivia. Dalam sambutannya Gadis Arivia mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung terselenggaranya acara ini yaitu Kedutaan Kanada dan Ford Foundation. Kemudian pendiri Yayasan Jurnal Perempuan ini juga menyapa dan berterima kasih kepada para pembicara dan tamu undangan dari berbagai daerah yang telah hadir salah satunya dari Indramayu dan Papua Barat. “Hari Perempuan Internasional dirayakan setiap satu tahun sekali, setidaknya dalam satu tahun sekali itu kita dapat mengingat perjuang perempuan-perempuan hebat di seluruh dunia yang telah berkontribusi banyak dan tanpa mereka kita tidak akan berada di sini, kita harus menjadi dan melahirkan perempuan-perempuan hebat yang nanti di masa depan akan menjadi tonggak bangsa ini”, tutur Gadis Arivia. Setelah memberikan sambutan Gadis Arivia mengundang H.E Donald Bobiash (Duta Besar Kanada untuk Indonesia) untuk memberikan sambutannya. H.E Donald Bobiash mengungkapkan bahwa Kedutaan Kanada mendukung kegiatan yang mempromosikan hak-hak perempuan dan berterima kasih kepada tamu undangan yang telah hadir dalam perayaan ini. “Pemerintahan Kanada berkomitmen untuk memajukan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, salah satu tindakan Perdana Menteri adalah menunjuk 15 orang menteri laki-laki dan 15 orang menteri perempuan, 50% kuota kabinet kerja untuk perempuan”, jelas H.E Donald Bobiash. Setelah sambutan dari Duta Besar Kanada, acara dilanjutkan dengan menyayikan lagu “Indonesia Pusaka” oleh seluruh peserta diiringi dengan resital piano Marusya Nainggolan. Kemudian acara perayaan Hari Perempuan Internasional ini masuk dalam sesi diskusi yang dipandu oleh Dewi Candraningrum, Pemred Jurnal Perempuan, selaku moderator diskusi. Diskusi ini menghadirkan Zumrotin K. Soesilo (Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan dan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) sejak 2014, Kanya Eka Santi (Sekretaris Ditjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial), Mibnasah Rukamah (Koordinator Perempuan Kepala Keluarga wilayah Sukabumi). “Pada tahun 2014 hati kita dilukai oleh kasus pedophilia terduga Raja Solo, Jurnal Perempuan 88 kami persembahkan untuk kita semua, khusus dilukis menyamari korban terduga Raja Solo. Menjelang usia 17 tahun ia diperkosa, sehingga seorang anak melahirkan bayi. Saya kira tidak ada yang bisa merampas hati kita sejauh ini selain apa yang terjadi pada anak-anak kita”, tutur Dewi. Setelah itu Dewi menyilakan Zumrotin K. Soesilo untuk menjelaskan dan berbagi pengalaman di lapangan karena beliau merupakan salah satu perempuan hebat yang berani mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi perihal usia pernikahan yang perlu dinaikkan. Zumrotin K. Soesilo menjelaskan bahwa perjuangan untuk menaikkan usia pernikahan perempuan sudah dimulai dari wilayah akar rumput, dari daerah-daerah. Ia membagi kisahnya ketika melakukan pelatihan di daerah, “Ketika saya akan memberikan pelatihan-pelatihan, saya meminta Pemda setempat untuk membuat MoU, perjanjian untuk kemudian tahap selanjutnya harus ada APBD yang disalurkan ke masyarakat perihal advokasi kesehatan reproduksi perempuan dan perihal pernikahan anak. Saya ingin pemerintah juga punya komitmen atas ini”, papar Zumrotin. Ia juga menyesalkan keputusan MK yang tidak mengabulkan permohonan untuk menaikkan usia pernikahan bagi perempuan, karena sudah jelas undang-undang kita ini masih banyak yang saling tumpang tindih satu sama lain. Namun Zumrotin tetap optimis bahwa meskipun judical review tersebut ditolak masih ada jalan lain yaitu mendorong pemerintah daerah untuk mengeluarkan Perda larangan pernikahan anak, seperti yang dilakukan Bupati Gunung Kidul. “Bonus demografi kita akan menjadi bencana jika kita tidak bisa mengakhiri pernikahan anak. Pernikahan anak menyebabkan kemiskinan, ketertinggalan pendidikan serta ancaman bagi kesehatan reproduksi perempuan”, jelas Zumrotin. Paparan selanjutnya disampaikan oleh Kanya Eka Santi, Sekretaris Ditjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI. Ia mengungkapkan secara jelas bahwa UU Pernikahan Indonesia bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. “Kehamilan di usia remaja memiliki risiko lebih tinggi sehingga berpotensi besar menyumbang AKI”, tutur Santi. Di akhir paparanya ia mengungkapkan bahwa untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia kita perlu mengurangi angka pernikahan anak, “Salah satu program Kementerian Sosial adalah good parenting untuk menekan angka pernikahan anak”, jelas Santi. Sebelum masuk ke paparan dari pembicara selanjutnya, Dewi Candraningrum menyilakan Eka Budianta untuk membacakan puisi, para peserta turut hanyut dalam kegetiran puisi Eka Budianta. Setelah itu acara dilanjutkan dengan paparan dari Mibnasah Rukamah (Koordinator Perempuan Kepala Keluarga wilayah Sukabumi). Mibnah—begitu biasanya ia dipanggil—menjelaskan bahwa pernikahan anak bukan hanya berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan saja namun juga pada psikologis perempuan tersebut, karena belum siap secara mental untuk mengurus anak. “Seharusnya mereka punya waktu untuk bermain dan mengenyam pendidikan tinggi”, tutur Mibnah. Kemudian ia juga menyebutkan beberapa kasus pernikahan anak biasanya dilakukan secara nikah siri atau nikah secara agama saja dan tidak dicatatkan di KUA. Hal ini menurutnya membuat perempuan dan anaknya menjadi rentan terhadap kekerasan dan rentan untuk tidak dipenuhi haknya sebagai istri dan anak. Ia juga menemukan bahwa banyak anak-anak yang lahir tidak memiliki akta kelahiran karena orang tua mereka tidak memiliki surat nikah. Setelah paparan dari pembicara selesai, Dewi Candraningrum selaku moderator menyilakan Marusya Nainggolan menampilkan resital piano sebelum acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Seluruh peserta menikmati resital piano yang indah dari Marusya yang merupakan mantan Direktur Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Setelah selesai Dewi menyilakan tamu undangan untuk memberikan pertanyaan maupun tanggapan atas isu pernikahan anak yang baru saja dibahas oleh para pembicara. Setelah sesi tanya jawab acara dilanjutkan dengan pembacaan Cerpen oleh Dewi Nova Wahyuni yang merupakan salah satu Cerpenis feminis Indonesia, Dewi Nova membawakan Cerpen “Bulan Dicuri Bapak” dengan iringan akustik. Pembacaan Cerpen oleh Dewi Nova membuat suasana syahdu dan seluruh peserta hening. Acara diskusi berlangsung interaktif karena peserta turut menyumbang pemikiran, pengalaman dan keluh kesah perihal pernikahan anak di Indonesia. Diskusi ini juga amat meriah karena selingan pembacaan puisi, resital piano dan pembacaan Cerpen yang menarik. Sementara acara diskusi selesai, Helene Viau (Konselor Politik dan Hubungan Masyarakat Kedutaan Kanada untuk Indonesia) menjelaskan secara singkat mengenai program Girls Not Bride dan menampilkan slide kisah anak-anak di dunia yang menikah di usia anak dan terjerat dalam rantai kemiskinan. Waktu menujukkan pukul 18.00 WIB, Anita Dhewy selaku pembawa acara menyilakan para tamu undangan untuk menikamati makan malam yang telah disediakan dan kembali ke tempat masing-masing untuk menyaksikan pemutaran video #AkhiriPernikahanAnak produksi Jurnal Perempuan. Sementara acara makan malam berlangsung, staf ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), Silviana membacakan pidato Menteri Yohana Yembise sebagai closing statement. “Pemerintah harus bekerja bersama-sama dengan masyarakat untuk mengakhiri pernikahan anak yang berdampak pada pemiskinan yang berantai”, tutur Silviana. Setelah seluruh rangkaian acara yang dimulai dari sambutan, diskusi hingga closing statement acara perayaan terus dilanjutkan dengan pentas seni yaitu: 1) penampilan Simponi (Sindikat Musik Penghuni Bumi) yang lagu-lagunya merupakan kritik sosial terhadap banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan, 2) pembacaan puisi oleh Olin Monteiro untuk para korban perkosaan dan kekerasan seksual, 3) pembacaan puisi oleh Ikhaputri yang didedikasikan untuk anak-anak perempuan Indonesia, 4) resital piano Marusya Nainggolan, 5) hiburan musik oleh Play Back Band. Perayaan ini berlangsung meriah dan peserta masih banyak yang bertahan hingga penghujung acara. Selamat Hari Perempuan Internasional! (Andi Misbahul Pratiwi) Mengutip data yang dikeluarkan Unicef Indonesia pada 2015, Kanya Eka Santi, Sekretaris Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial mengungkapkan bahwa satu dari enam perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Ini berarti terdapat 340.000 perempuan di bawah umur yang menikah tiap tahunnya dan sebanyak 50.000 dari jumlah tersebut menikah sebelum berumur 15 tahun. Mereka yang menikah pada usia muda ini hampir semuanya terpaksa berhenti dari sekolah. Data-data ini dikemukakan Kanya Eka Santi ketika menjadi pembicara dalam Diskusi Akhiri Pernikahan Anak yang digelar dalam rangka Perayaan Hari Perempuan Internasional oleh Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Kedutaan Kanada pada Selasa (8/3) di Kemang, Jakarta. Lebih lanjut Kanya mengungkapkan, ironisnya Undang-Undang Perkawinan No 1/1974 pasal 7 ayat 1 masih mengizinkan anak perempuan menikah pada usia 16 tahun (sementara usia minimum menikah untuk laki-laki adalah 19 tahun) bahkan pada ayat kedua memungkinkan lebih muda dari 16 tahun dengan hanya meminta persetujuan pejabat setempat. Sementara di sisi lain Undang-Undang Perlindungan Anak melarang perkawinan usia anak. Pasal 1 menyatakan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Oleh karena itu menurut Kanya pernikahan anak harus dihentikan karena memiliki dampak buruk terhadap kesehatan anak perempuan. Hal ini mengingat kehamilan pada usia remaja berisiko tiga hingga tujuh kali lipat terhadap kematian ibu dibandingkan kehamilan pada rentang usia 20-35 tahun. Kanya menjelaskan data secara global menunjukkan komplikasi kehamilan adalah penyebab kematian terbesar kedua untuk remaja perempuan usia 15-19 tahun.selain itu bayi yang dilahirkan oleh ibu berusia remaja memiliki risiko 50% lebih tinggi untuk meninggal di saat lahir. Singkatnya, kehamilan pada usia remaja memiliki dampak negatif terhadap tumbuh kembang remaja tersebut dan janin yang dikandungnya. Kanya juga mengatakan bahwa perkawinan pada usia anak berkontribusi pada pelestarian rantai kemiskinan khususnya pada perempuan. Berdasarkan data World Bank, Perempuan yang menikah pada usia anak dan terputus pendidikannya akan semakin terpuruk baik pada aspek modal sosial (kecakapan hidup, pendidikan, kesehatan termasuk kesehatan reproduksi), kepemilikan aset, dan jejaring sosial. Karena itu menurut Kanya Kementerian Sosial membangun sistem kepedulian dan kesadaran yang berkelanjutan di seluruh lapisan masyakarat (caring community). Selain itu Kemensos juga menjalankan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) untuk penguatan keluarga, berupa (1) Program Good Parenting, penguatan kemampuan keluarga dalam mengasuh anak, memenuhi hak anak dan bertanggung jawab penuh terhadap masa depan anak serta (2) Temu Penguatan Anak dan Keluarga yang memberikan muatan tentang perkawinan anak , dampak dan upaya pencegahannya, pemberian asistesi keluarga secara psikososial , ekonomis dan spiritual. Kemensos juga berupaya untuk membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang pencegahan perkawinan anak. (Anita Dhewy) Zumrotin K. Susilo: Pernikahan Anak Rampas Hak Anak Perempuan atas Pendidikan dan Kesehatan10/3/2016
Dalam acara Diskusi Akhiri Pernikahan Anak yang diadakan oleh Jurnal Perempuan dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional (08/03/2016), Zumrotin K. Soesilo menyampaikan materi mengenai pengalamannya selaku aktivis sekaligus ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Zumrotin mengatakan bahwa dahulu aborsi dilarang dengan alasan apapun namun sekarang aborsi diizinkan dengan alasan kesehatan ibu dan anak. Namun berdasarkan pengalaman di lapangan YKP mendapati kenyataan bahwa banyak perempuan yang diperkosa kemudian mengalami trauma dan setelahnya hamil seringkali melihat kehadiran janin sebagai pengingat dari tragedi yang mereka alami. Para perempuan yang menjadi korban ini seringkali tidak siap secara psikologis untuk membesarkan anak. Oleh karena itu Zumrotin berpendapat bahwa izin melakukan aborsi seharusnya juga mempertimbangkan hal ini. Zumrotin menceritakan bahwa ia terbiasa memberikan pendidikan terkait ekspresi seksual bagi anak-anak di berbagai kabupaten. Menurut Zumrotin, ekspresi seksual yang ia ajarkan bukan berkaitan dengan aktivitas seksual melainkan mengenai bagaimana seorang manusia berinteraksi dan menunjukkan kasih sayang atau afeksi pada pasangannya dengan tepat. Ekspresi seksual yang tepat dapat memberikan dampak positif pada pribadi manusia. Seringkali pandangan atau penafsiran agama yang tidak tepat menjadi salah satu faktor pendorong pernikahan anak. Terdapat pandangan bahwa ketika perempuan sudah mengalami menstruasi, ia sudah pantas untuk dinikahkan. Pandangan keliru lainnya adalah pernikahan dini merupakan jalan untuk mengurangi angka perzinaan. Bagi Zumrotin, pandangan-pandangan ini keliru karena tidak ada korelasi antara usia pernikahan dengan perzinaan. Berapapun usia seseorang, kemungkinan bagi manusia untuk melakukan perzinaan sama besarnya. Zumrotin menyatakan bahwa pernikahan anak memberi dampak yang luar biasa buruk terutama pada perempuan. Pernikahan anak merampas hak anak perempuan atas pendidikan dan kesehatan. Jika kondisi ini dibiarkan terus berlangsung maka tentu saja tidak akan berdampak baik bagi pembangunan bangsa dan negara karena anak perempuan, sama halnya dengan anak laki-laki, memiliki potensi dan kemampuan yang sama besarnya sebagai generasi penerus bangsa. (Johanna Poerba) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |