"Menjaga ekologi bukan hanya untuk manusia saja, tapi ekologi juga ada hewan-hewan dan bumi itu sendiri“, tutur Mama Aleta Baun saat memulai kelas Kajian Filsafat dan Feminisme VIII yang mengangkat tema ekofeminisme pada Jumat, 22 September 2017 di kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Mama Aleta Baun adalah perempuan pejuang lingkungan dari Mollo, namanya mulai dikenal sejak ia secara konsisten dan gigih memimpin aksi tolak tambang untuk menyelamatkan kawasan Gunung Mutis, Timor Tengah Selatan. Ia mendapatkan penghargaan Goldman Environmental Prize tahun 2013 dan Yap Thiam Hien Award 2016 atas jasanya dan kegigihannya memperjuangkan lingkungan hidup. Bagi Mama Aleta manusia harus memikirkan keselamatan ekologi karena keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup bergantung pada keberlangsungan ekologi. Mama Aleta memiliki keyakinan bahwa Tuhan telah membagi alam secara adil, ada yang bisa dimanfaatkan manusia ada yang memang menjadi milik alam. “Tuhan sudah membagi alam, ayam hutan, kuskus, monyet adalah milik alam, sedangkan apa yang kita pelihara sudah dibagi menjadi milik manusia”, tutur Aleta Baun. Maka menurutnya manusia tidak boleh serakah mengambil apa yang menjadi milik alam. “Ketika tambang marmer masuk, pemerintah mengatakan bahwa tambang itu adalah pembangunan, banyak juga peneliti yang mengatakan bahwa tidak akan ada dampak apa-apa ketika tambang masuk”, ungkap Mama Aleta. Padahal menurutnya batu yang berpori itu menyimpan banyak air, “Ketika hujan, air jatuh dari langit ke pepohonan di hutan, lalu mengalir ke dahan kayu, kemudian jatuh ke bebatuan dan air tersimpan di sana sehingga masyarakat tidak kekeringan”, jelas Mama Aleta. Lebih jauh ia juga menceritakan tentang perjuangan perempuan Kendeng yang menolak pabrik semen. Menurutnya karena Pegunungan Kendeng maka pertanian alami masyarakat bisa tetap berjalan, namun jika Pegunungan Kendeng di tambang maka akan memengaruhi kehidupan masyarakat di sana juga. “Air dari gunung membawa humus tanah ke pertanian, maka tanah akan tetap subur”, tutur Mama Aleta. Bagi masyarakat Mollo, alam adalah kesatuan hidup yang tidak bisa terpisahkan satu sama lain, jika satu bagian dari alam dicerabut maka tidak ada keseimbangan lagi. “Gunung adalah tulang, tanah adalah daging, air adalah darah, hutan adalah rambut”, tegas Mama Aleta. Menyoal pembangunan, Mama Aleta menjelaskan bahwa masyarakat tidak anti terhadap pembangunan, menurutnya kita juga butuh pembangunan dan tidak boleh mengunci diri, namun pertanyaan selanjutnya yang dilontarkan mama Aleta adalah: pembangunan seperti apa? Apakah pembangunan yang merusak keberlangsungan hidup alam dan manusia? Baginya pengetahuan yang kita dapat selama ini adalah dari alam, sehingga jika alam rusak maka ada pengetahuan yang hilang terutama pengetahuan perempuan—yang selama ini dekat dengan alam—seperti menenun, meracik obat-obatan dari hutan, dll. Kerusakan alam sangat berdampak langsung bagi perempuan yang selama ini dibebani dengan kerja-kerja domestik seperti mengambil air, menyiapkan pangan dan pakaian. Mama Aleta dan masyarakat adat di Mollo yang ikut menolak tambang berkeyakinan bahwa di dunia ini ada tiga hal yang harus dihormati yaitu Tuhan, leluhur dan alam. Oleh karena itu dalam setiap perjuangannya mereka selalu memulai dengan ritual adat yang ditujukan pada Tuhan, leluhur dan alam. Masyarakat adat di Mollo memiliki prinsip bahwa mereka akan menjual apa yang bisa mereka buat seperti tenun dan obat-obatan, sedangkan tanah, gunung, batu tidak bisa mereka buat/ciptakan, maka mereka tidak akan menjualnya. “Bumi yang sekarang kita tinggali bukan milik kita, kita hanya meneruskan apa yang telah dijaga oleh leluhur kita, nantinya kita pun akan kembali pada bumi, maka kita harus merawat bumi yang telah menyusui kita, memberikan kehidupan, dan kesejahteraan”, tutur Mama Aleta. Bagi Mama Aleta tanggung jawab merawat bumi adalah tanggung jawab bersama, laki-laki menemukan rumah dan perempuan menemukan tenun untuk membungkus tubuh, keduanya memiliki kontribusi yang sama besarnya bagi keberlangsungan hidup. (Andi Misbahul Pratiwi) Jumat, 15 September 2017, pertemuan pertama kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) VIII yang mengambil tema Menyoal Feminisme dimulai. Diampu oleh Dr. Gadis Arivia, ia membawakan topik yang cukup menarik pada malam itu dengan membahas posisi ekofeminisme di dalam teori feminisme. Gadis memulai kelas dengan pemaparan awal berupa teori lingkungan arus utama untuk mengetahui letak ekofeminisme di dalam kerangka besar teori lingkungan. Untuk memulai diskursus mengenai teori lingkungan, ada 3 hal yang harus diperhatikan untuk memahami bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk memahami etika lingkungan. Pertama, ada sebuah pertimbangan moral bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran mempunyai tanggung jawab moral terhadap yang nonmanusia (termasuk alam, hewan, dsb). Kedua, alam harus dianggap sebagai subjek yang memiliki rasionalitas, bahasa dan jiwanya sendiri agar kita bisa memahami alam sebagai sebuah subjek, bukan objek. Ketiga, ada nilai intrinsik dan ekstrinsik pada alam sehingga kita bisa memahami alam sebagai sebuah subjek karena alam secara langsung memberikan pengaruh yang besar terhadap hidup kita. Gadis kemudian mulai menjelaskan tentang teori-teori lingkungan arus utama sebagai pintu masuk kita untuk memahami ekofeminisme. Mengutip Karen J. Warren, Gadis menjelaskan bahwa ada empat kategorisasi arus utama teori lingkungan yang selama ini menjadi perdebatan di dunia akademis. Paradigma yang pertama adalah paradigma House yang berarti hanya sedikit tanggung jawab moral manusia pada nonmanusia dengan kata lain poros paradigma ini masih antroposentris. Salah satu tokoh pemikirnya adalah Garett Hardin dengan teori “Lifeboat Ethics”, yang berarti seperti sekoci penyelamat dalam artian urusi diri masing-masing terlebih dahulu. Paradigma yang kedua adalah paradigma Reformist yang mengartikulasikan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk sebagian nonmanusia. Salah satu teori dalam paradigma ini dikemukakan oleh Peter Singer, melalui bukunya yang berjudul Animal Liberation yang mengatakan ketika kita mengetahui ada makhluk lain yang bisa merasakan rasa sakit, maka secara moral ia patut diakui keberadaannya. Paradigma yang ketiga adalah paradigma Mixed Reform and Radical yang meluaskan batasan kepentingan moral pada tanah, air, binatang, dsb, dengan mengedepankan integritas, stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Aldo Leopold dianggap sebagai salah satu tokoh yang menganut paradigma ini. Sekalipun paradigma ini sudah lebih maju dibandingkan paradigma House atau Reformist, nuansa antroposentris masih ada pada paradigma ini karena masih menganggap perlindungan spesies lain akan memberikan kebermanfaatan untuk manusia juga pada akhirnya. Paradigma yang keempat adalah paradigma Radical dengan sub alirannya yaitu Deep Ecology, Bioregionalism, Social and Political Ecology dan Ekofeminisme. Pertanyaan mengapa ekofeminisme diletakkan di dalam paradigma radikal sebenarnya bisa dijawab oleh enam konsep dasar di dalam ekofeminisme yaitu pertama, kehidupan sebagai yang aktif, interaktif, prokreatif, relasional, kontekstual. Kedua, alam harus keluar dari keterjebakan moral antroposentris. Ketiga, alam selalu hadir dalam kondisi manusia. Keempat, hubungan nonhierarkis antara alam dan manusia. Kelima, hubungan nondominasi karena hierarki adalah konstruksi sosial. Keenam, otherness sebagai yang setara. Enam konsep dasar ini menurut Gadis yang membuat ekofeminisme menjadi berbeda dengan teori lingkungan arus utama lainnya, sekalipun nantinya tetap ada perdebatan mengenai ekofeminisme dan ekofeminin. Gadis menjelaskan bahwa ekofeminisme sendiri dimulai oleh seorang perempuan bernama Françoise d’Eaubonne pada tahun 1974 yang menyatakan bahwa ada keterkaitan antara alam dan perempuan. Pertanyaan yang kerap kali muncul adalah apakah dengan menghubungkan perempuan dengan alam adalah sebuah penindasan atau pemberdayaan? Mendeskripsikan penderitaan atau menganalisis mengapa penindasan terjadi? Gadis kemudian menerangkan bahwa apabila kita terjebak pada konsep bahwa perempuan sama dengan alam dari sisi feminitasnya saja seperti perempuan bisa melahirkan sama dengan alam yang memberikan kehidupan (Ibu bumi) atau bibir perempuan sama merahnya dengan buah delima dan contoh-contoh lain yang mengasosiasikan perempuan dengan keindahan alam, maka itu bukanlah ekofeminisme melainkan ekofeminin dan jelas itu adalah penindasan terhadap perempuan. Gadis kemudian menambahkan bahwa menurut Warren, posisi ekofeminisme adalah dengan melihat keterkaitan perempuan dengan alam dari sudut pandang yang sama yaitu penindasannya, bukan sisi feminitas perempuan yang sebelumnya telah dijelaskan. Women other and other nature dijadikan konsep utama untuk melihat perjuangan perempuan yang membela alam. Ketika melihat perempuan yang membela alam, bukan lantas iya sepaham dengan paradigma ekofeminisme. Ekofeminin sendiri hanya terbatas membuat alam atau ekologi menjadi feminin dengan mengasosiasikan sisi-sisi feminin yang pada umumnya ada pada perempuan padahal sebagaimana kita pahami bersama, sisi feminin yang dilekatkan pada perempuan adalah konstruksi sosial. Gadis menuturkan bahwa ekofeminisme bukan hanya melihat penindasan yang terjadi pada perempuan dan alam saja, melainkan penindasan yang terjadi pada subjek liyan lainnya seperti kelompok LGBT, kelompok agama minoritas, dan etnis minoritas lainnya. Menurut Gadis, ekofeminisme bukan ekofeminin karena ekofeminisme tidak hanya menghubungkan perempuan dengan alam, tetapi nenentang ism of domination seperti rasisme, kelasisme, heteroseksisme, ableism, ageism, kolonialisme, dsb. Pemahaman yang dikaitkan dengan penindasan, subordinasi, dominasi terhadap perempuan. Untuk menguji sebuah gagasan atau gerakan perempuan itu benar-benar feminisme atau bukan cukup mudah. Misalnya pada kasus ibu-ibu Kendeng vs. PT. Semen Indonesia, bukan status ibu-ibunya yang kita lihat, melainkan apakah yang diperjuangkan oleh mereka benar-benar bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang telah hilang karena alam dan lingkungan hidup mereka dirusak oleh korporasi sehingga perempuan-perempuan di sana mengalami gangguan kesehatan reproduksi misalnya. Pada akhirnya, ekofeminisme adalah sebuah gagasan dan gerakan yang percaya bahwa feminisme mempunyai peluang untuk menghentikan dominasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi pada alam dengan menganggap bahwa alam bukanlah entitas liyan yang tidak penting untuk diperjuangkan kelestariannya. (Naufaludin Ismail) Yayasan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Lampung menyelenggarakan Pendidikan Publik Jurnal Perempuan edisi 94 dengan tema Pekerja Rumah Tangga Domestik dan Migran pada Jumat, 29 Agustus 2017 di Gedung Rektorat Universitas Lampung. Kegiatan tersebut dihadiri oleh sekitar 140 peserta dari kalangan akademisi, mahasiswa, LSM, pegawai pemerintahan dan media. Dr. Yusnani Hasyimzum, dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut. Ia menyoroti persoalan sistem hukum Indonesia dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap PRT (Pekerja Rumah Tangga). Yusnani mengungkapkan meskipun 14 tahun telah berlalu tapi hingga sekarang RUU Perlindungan PRT belum juga disahkan. Menurutnya kehadiran UU Perlindungan PRT amat dibutuhkan dalam upaya memberikan definisi sekaligus sebagai bentuk pengakuan bahwa PRT adalah pekerja. Sehingga menjadi penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT karena jika tidak, PRT akan selalu berada pada posisi yang rentan terhadap diskriminasi, berbagai tindak kekerasan dan bahkan terjerat dalam sebuah sistem perbudakan modern. Yusnani melihat bahwa para PRT mengerjakan berbagai pekerjaan domestik yang sangat penting. Kerja-kerja mereka mendukung kerja para majikan namun ironisnya hak-hak mereka sebagai seorang pekerja sering tidak diperhatikan. Sejumlah persoalan seperti jam kerja yang tidak menentu, kerja melebihi waktu kerja para pekerja pada umumnya, ketidakjelasan waktu cuti, kerja lembur yang tidak berbayar, dan berbagai tindak kekerasan adalah kondisi-kondisi yang sering ditemui dalam profesi PRT. Menurut data Pusat Penelitian dan Pengembangan Informasi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Provinsi Lampung merupakan penyumbang PRT terbesar ke-4 pada tahun 2016. Oleh karena itu, persoalan PRT seharusnya menjadi perhatian bersama, khususnya oleh Pemerintah Daerah Lampung. Yusnani melihat bahwa mayoritas PRT adalah perempuan dan tidak sedikit di antara mereka adalah PRTA (Pekerja Rumah Tangga Anak). Baginya PRTA sangatlah rentan, karena tidak jarang mereka bekerja pada situasi kerja yang tidak layak. Yusnani memaparkan bahwa pelanggaran hak yang paling umum menimpa PRT adalah dalam soal upah. Sering kali PRT dibayar dengan upah yang tidak layak. Salah satu pihak yang bertanggung jawab akan persoalan ini adalah yayasan penyalur. Ia menyatakan sering kali yayasan penyalur PRT tidak membuat kontrak kerja yang jelas dan tidak ada keseragaman antar kontrak kerja, sehingga hak dan kewajiban PRT dan majikan menjadi berbeda antara satu yayasan dengan yayasan lain. Hal ini sesungguhnya disebabkan tidak adanya aturan yang jelas yang dapat dijadikan acuan dan bersifat mengikat. Perlu ada kesamaan tujuan bahwa kontrak kerja harus menjunjung keadilan dan kesetaraan. Di sisi lain, kesadaran PRT mengenai hak-hak mereka juga perlu ditingkatkan, agar mereka menyadari saat hak-hak mereka dilanggar oleh majikan dan tidak menerimanya sebagai sebuah kewajaran. Yusnani berpendapat dalam upaya memenuhi dan menjamin hak-hak PRT ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, para stakeholder harus saling bersinergi untuk menegakkan hukum atau aturan-aturan terkait hak-hak pekerja. Kementerian Ketenagakerjaan dan Aparat Penegak Hukum harus saling bekerja sama bila terjadi pelanggaran hak PRT. Kedua, harus ada UU Perlindungan PRT yang menjamin sebuah kepastian hukum. Artinya sebuah aturan yang jelas dan tidak mengandung bias. Selain itu penting juga agar substansi dari sebuah UU dipahami oleh majikan dan juga PRT. Ketiga, penting untuk mengubah persepsi masyarakat tentang kerja PRT. Budaya mengeksploitasi PRT harus dihapuskan. Dibutuhkan masyarakat yang sensitif atas pemenuhan hak-hak PRT. (Abby Gina) “Salah satu ciri khas yang menarik dari relasi antara majikan dan PRT adalah relasi sosial yang dibangun bukan relasi pekerjaan”, tutur Ida Ruwaida Noor Penulis JP 94 pada acara Pendidikan Publik dan Peluncuran JP 94 Pekerja Rumah Tangga Domestik dan Migran di Gedung Rektorat Universitas Lampung (29/08/2017). Ida Ruwaida Noor yang merupakan Dosen Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia ini menjadi salah satu pembicara dalam acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan dan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Dalam acara ini Ida memaparkan beberapa temuan penting dari hasil studi lapangan yang ia lakukan di 3 wilayah yaitu Makassar, Surabaya dan Bandung—hasil kerja sama Pusat Kajian Sosiologi UI dengan International Labour Organization (ILO). Ia menjelaskan bahwa sering kali relasi yang dibangun antara majikan dan PRT adalah relasi kekeluargaan sehingga apa yang dikerjakan PRT tidak dianggap sebagai aktivitas bekerja, misalnya beban dan waktu kerja yang tak berbatas. Menurut Ida relasi antara majikan dan PRT perlu dikaji karena berkaitan dengan upaya untuk mendorong lahirnya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang semangatnya adalah untuk pemenuhan hak-hak PRT sebagai pekerja. Garis penting studi yang dilakukan Ida Ruwaida adalah untuk menumbuhkan kesadaran publik, majikan menjadi salah satu stakeholders yang disasar. Ida menjelaskan bahwa ada 3 aktor utama yaitu PRT, negara dan majikan, sehingga relasi majikan dengan PRT juga penting untuk diangkat guna menumbuhkan kesadaran publik yang diasumsikan dapat mendorong negara untuk mewujudkan UU Perlindungan PRT. “Memberikan pengetahuan dan kesadaran tentang hak-hak PRT kepada majikan penting karena tanpa kesadaran dari mereka situasi kerja layak tidak mungkin terwujud”, tutur Ida. Selanjutnya Ida menjelaskan secara umum kondisi yang dihadapi PRT Indonesia saat ini yang belum mendapatkan situasi kerja layak, masih mengalami kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, kekerasan seksual dan diskriminasi hukum. Misalnya PRT korban kekerasan seksual ketika diperiksa oleh Polisi malah disalahkan, dianggap perempuan nakal dan sebagainya. Hal-hal seperti ini yang sebetulnya sedang diperjuangkan. “UU Perlindungan PRT bukan hanya melindungi PRT tapi juga majikan”, tegas Ida. Lebih jauh Ida menjelaskan bahwa Intervensi struktural melalui advokasi kebijakan yang dilakukan teman-teman aktivis selama ini mengalami hambatan berupa isu kultural atau budaya, yaitu masih banyak anggapan bahwa PRT adalah pembantu, bukan sebagai pekerja, dan dianggap pekerjaan yang tidak membutuhkan kompetensi. Ida menjelaskan bahwa faktor sistem kepribadian juga menjadi tantangan, ia tidak memungkiri bahwa PRT yang bekerja asal-asalan itu memang ada, tapi menurutnya kita tidak bisa menggenaralisasi perihal itu. Bahkan ketika misalnya UU Perlindungan PRT ini berhasil diwujudkan maka teman-teman PRT harus siap karena sudah dianggap sebagai pekerja, maka di dalam dunia kerja ada usaha untuk meningkatkan kompetensi. Perubahan sistem kepribadian ini diharapkan dapat mengubah sistem kebudayaan tadi, jadi relasi yang dibangun adalah relasi pemberi kerja dan pekerja, relasi yang setara dan berkeadilan. “Seringkali kita bilang bahwa TKW yang dikirim ke Arab Saudi itu sebagai bentuk perbudakan, padahal yang kita lakukan di dalam rumah sendiri adalah hal yang sama, dengan tidak memenuhi hak-hak PRT sebagai pekerja maka itu adalah bentuk perbudakan”, jelas Ida. Temuan penting dari studi Ida Ruwaida yang berjudul “Kondisi Kerja Layak bagi PRT di Mata Majikan: Hasil Studi di Makassar, Surabaya, dan Bandung” dalam JP 94 antara lain, 1) PRT sebagian besar adalah perempuan muda dalam rentang usia 18-20 tahun dan untuk Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) 15-17 tahun; 2) Ibu muda biasanya mempekerjakan PRT live-in (tinggal di rumah majikan) dengan alasan untuk menjaga sekaligus menjadi teman untuk anaknya; 3) Rata-rata pendidikan PRT adalah Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP); 4) Sebagian majikan menganggap PRT sebagai pekerja, mereka mengakui kerja-kerja PRT namun jika ditanya mengenai hak-hak pekerja seperti kontrak kerja, gaji minimum, jaminan kesehatan dan jam kerja, sebagian besar majikan tidak setuju dan tidak melakukan kontrak kerja tertulis. Dari temuan tersebut Ida mengungkapkan bahwa profesi PRT sangat bias gender dan kelas, dengan demikian sangat rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Hal lain yang juga penting adalah, temuan bahwa sebagian majikan masih menerapkan double standart pada PRT, di satu sisi PRT dianggap sebagai pekerja, tapi dalam hal pemenuhan hak-hak sebagai pekerja, majikan cenderung memilih-milih. Alasannya juga bervariasi, ada yang mengatakan bahwa PRT bukan pekerjaan yang membutuhkan keahlian jadi tidak perlu ada kontrak kerja, jam kerja tidak perlu dibatasi dan jenis pekerjaan tidak perlu dinegosiasi, mereka menganggap bahwa pekerjaan domestik bisa dilakukan perempuan dengan mudah. “Isu asuransi dan jaminan kesehatan juga menjadi tanda tanya besar, tidak banyak majikan yang mendaftarkan BPJS untuk PRT”, tutur Ida. Lebih jauh menurutnya jika ada persoalan kekerasan yang terjadi antara majikan dan PRT, maka PRT tidak bisa melaporkan persoalan tersebut ke Dinas Tenaga Kerja karena PRT belum masuk dalam defisini pekerja, bukan wilayah Disnakertras untuk menyelesaikannya. Persoalan lain seperti hak untuk berserikat juga menjadi salah satu yang diperjuangkan. “Ada kecenderungan majikan tidak konsisten, double standart, yaitu mengakui PRT sebagai pekerja namun memperlakukan PRT berbeda dengan pekerja lainya, mulai dari beban kerja, jam kerja, kualifikasi bekerja, itu yang membedakan kondisi PRT dengan pekerja lainnya”, ungkap Ida. Sehingga menurutnya pemupukan pengetahuan dan kesadaran bagi majikan juga harus berjalan beriringan dengan advokasi di level struktural. (Andi Misbahul Pratiwi) Sebanyak 472 orang perempuan dari berbagai kabupaten/kota di Lampung bekerja di provinsi lain terutama Batam sepanjang Januari-Juni 2017. Mereka bekerja di sektor informal, seperti pekerja rumah tangga, penjaga toko dan babysitter. Sementara itu, terdapat 3.876 perempuan dari berbagai wilayah di Provinsi Lampung yang bekerja di luar negeri khususnya di sektor nonformal sepanjang Januari-Juni 2017. Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Taiwan yakni sebanyak 2.055 perempuan diikuti Hongkong sebanyak 900 perempuan dan Singapura sebanyak 497 perempuan. Sektor nonformal meliputi pekerja rumah tangga dan babysitter. Sedang pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri di sektor formal yakni di pabrik, jumlahnya relatif sedikit yaitu 410 orang. Data-data ini dipaparkan oleh Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri pada Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja, Nurhanisda ketika menjadi pembicara dalam acara Pendidikan Publik dan Peluncuran JP94 Pekerja Rumah Tangga Domestik dan Migran yang diselenggarakan Yayasan Jurnal Perempuan bersama Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Selasa (29/8) di Gedung Rektorat Universitas Lampung. Nurhanisda menambahkan bahwa Dinas Tenaga Kerja mewajibkan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga (LPPRT) untuk menyampaikan laporan atas penempatan dan perekrutan tenaga kerja yang dilakukan baik untuk dalam provinsi, antar provinsi maupun luar negeri sebagai bentuk kontrol pemerintah. Lebih lanjut Nurhanisda mengungkapkan seseorang disebut pekerja jika ia mendaftarkan diri sebagai pekerja dan memiliki kartu kuning, dan dari segi umur minimal 18 tahun. Nurhanisda menjelaskan hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur PRT atau pekerja sektor informal dalam negeri, berbeda dengan pekerja sektor formal dan pekerja sektor informal luar negeri, yang sudah diatur lewat peraturan hukum yang jelas dan mendetail. Menurutnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 2 tahun 2015 tentang Perlindungan PRT belum berjalan. Ia mengapresiasi langkah yang dilakukan Damar, LSM yang bekerja untuk isu PRT, yang mengajukan usulan Peraturan Walikota (Perwali) tentang Perlindungan PRT. Mengingat jumlah PRT sebagian besar ada di daerah kota atau di Bandar Lampung, maka disarankan oleh Kepala Dinas agar perwali dimulai dari wilayah Bandar Lampung. (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |