Dalam rangka memperingati hari perempuan internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya, Komunitas Mahasiswa Filsafat (KOMAFIL) Universitas Indonesia dan Jurnal Perempuan menyelenggarakan diskusi publik dengan tema membongkar maskulinitas filsafat dan ilmu pengetahuan melalui perspektif feminis (26/3). Dalam kegiatan ini, Prof. Dr. Gadis Arivia, dosen sosiologi gender Montgomery Collage, Maryland – Amerika Serikat, yang juga adalah pendiri Yayasan Jurnal Perempuan memberikan kuliah.
Human Rights Watch (HRW) meluncurkan sebuah laporan yang berjudul “Aku Ingin Lari Jauh: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia” (18/03). Laporan setebal 130 halaman, berjudul “’Aku Ingin Lari Jauh’: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia,” mendokumentasikan bagaimana berbagai peraturan pemerintah mewajibkan anak perempuan dan perempuan untuk mengenakan jilbab, busana Muslim yang menutupi kepala, leher, dan dada. Peraturan-peraturan tersebut diterapkan di lingkungan sekolah negeri, lingkungan PNS dan kantor-kantor pemerintah. Laporan ini juga mengangkat kasus-kasus diskriminasi yang dialami oleh pelajar perempuan dan guru di berbagai wilayah di Indonesia. Sekolah Pascasarjana UGM mengadakan Seminar Great Thinker dengan tema “Seyla Benhabib dan Pandangannya tentang Posisi Politik Gerakan Perempuan” (18/03). Kegiatan tersebut dilakukan secara daring dan diikuti 140 peserta. Hilda Ismail, mewakili Dekan Pascasarjana UGM membuka acara Seminar Great Thinker. Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2021, Komunitas Mahasiswa Filsafat (Komafil) bekerja sama dengan Jurnal Perempuan, menyelenggarakan sebuah diskusi publik dengan tema “Membongkar Hegemoni Maskulin: Gerakan Perlawanan Perempuan dalam Seni” (12/03). Diskusi yang diadakan daring ini menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu: Syarif Maulana S.IP, MI.Kom (Inisiator “Kelas Isolasi”), Aprina Murwanti PhD, S.D (Dosen Pendidikan Seni Rupa UNJ/ Pekerja Seni Profesional), dan Ikhaputri Widiantini, M.Si (Dosen Program Studi Ilmu Filsafat – Universitas Indonesia). Sebagai pembuka diskusi, Syarif Maulana memaparkan berbagai aliran dalam seni, khususnya yang berkembang di Eropa. Syarif Maulana menjelaskan perdebatan antara seni yang berwatak borjuis yang kemudian dikritik oleh seni aliran realisme sosial yang memberikan agenda perubahan dalam karya seni. Syarif Maulana menjelaskan beberapa praktik seni yang digunakan untuk membongkar konsumerisme di dalam kapitalisme. Mengutip Linda Nochlin, Syarif Maulana menjelaskan untuk terjun dalam dunia seni seorang perempuan membutuhkan individualitas yang memberontak terhadap masyarakat dan menolak peran gender yang dilekatkan kepada perempuan, seperti menjadi istri atau ibu. Sehingga peminggiran perempuan di dalam seni bukan disebabkan oleh hormon atau kondisi biologis perempuan, melainkan akibat dari institusi dan sistim pendidikan yang ada. Narasumber kedua, Apriani Murwanti mengangkat bahwa perbedaan karakter figur perempuan yang diproduksi oleh laki-laki dan perempuan menggambarkan praktik maskulinitas dalam seni di Indonesia. Menurut Apriani Murwanti, perupa laki-laki, dengan contoh karya lukisan, cenderung menggambarkan figur perempuan dari kacamata laki-laki dengan tubuh yang cantik sebagaimana gambaran cantik yang berkembang di dalam masyarakat. Ia memberi contoh bagaimana Basuki Abdullah menggambarkan Nyi Roro Kidul sebagai sosok yang cantik dan berkuasa. Sementara perupa perempuan, menurut Apriani Murwanti, menampilkan sosok perempuan yang lebih beragam dan ditampilkan berdampingan dengan alam. Karya-karya perupa perempuan pasca tahun 2000 menampilkan pesan-pesan yang lebih ekspresif. Apriani menceritakan bagaimana karya seni perupa perempuan sempat dilarang menampilkan simbol ‘lingga-yoni’ yang merupakan simbol kelamin laki-laki dan perempuan. Contoh ekspresi dalam karya perupa perempuan lainnya adalah ‘Butter Dance’, karya Melati Suryodarmo, berupa sebuah tarian di atas lantai yang dilapisi mentega. Karya ini menggambarkan kekuatan perempuan dalam menghadapi kejatuhan. Dalam penutup presentasinya Aprina Murwanti mengingatkan bahwa dimensi kesetaraan gender tidak cukup dilihat dari perupa atau pekerja seni, tetapi juga rantai produksi di dalam produksi seni, seperti kurator, pendidik, jurnalis, dan sponsor. Situasi hari ini, menurut Aprina Murwanti cukup berpihak kepada perempuan, namun masih perlu didukung oleh berbagai aktor dalam rantai produksi seni tersebut. Ikhaputri Widiantini dalam diskusi memaparkan presentasi yang berjudul ‘Abjeksi Tubuh Horor Perempuan Seni dan Suara Perempuan’. Ikhaputri menyatakan bahwa studi feminisme menjadi penting sebab memberi perhatian terhadap peminggiran perempuan dalam seni dan filsafat. Konsep estetika dalam seni, khususnya seni tinggi, tidak memberikan ruang bagi ‘everyday asthetic’, seni hanya menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang ‘indah’. Menurut Ikhaputri, sebagai respons terhadap peminggiran pengalaman perempuan dalam seni, feminisme post-modern kemudian berusaha mempengaruhi proses kreasi seni dengan mengangkat pengalaman perempuan yang personal dengan mengangkat “tubuh yang mengerikan”. Menurut Ikhaputri, pengalaman personal perempuan yang ditampilkan dalam seni kerap dianggap sebagai sebuah abjek yang menghasilkan perasaan horor. Misalnya gambaran perempuan sebagai kuntilanak, peristiwa menstruasi, yang secara estetis dianggap horor atau menjijikan. Abjek menjadi pemahaman penting dalam teori seni dan feminisme, sebab kehadiran abjek adalah subversi/perlawanan terhadap pemaknaan yang telah dianggap tetap dan stabil. Dalam feminisme, seni abjek menyuarakan suara dan pengalaman yang didiamkan dan disembunyikan dari masyarakat. Ikhaputri mempercontohkan kisah ‘Si Manis Jembatan Ancol’ sebagai perwujudan seni abjek. Kisah ini dianggap sebagai sosok yang horor, padahal kisah ini sesungguhnya menggambarkan pengalaman kekerasan seksual terhadap perempuan. Ikhaputri menggunakan pemikiran Julia Kristeva untuk menjelaskan konsep ‘abject’ sebagai proses estetis. Rasa rasa jijik (disgust) terhadap tubuh dan pengalaman perempuan merupakan pengalaman estetis yang positif, sebab emosi yang ditimbulkan oleh karya seni sebagai bagian dari pemahaman dan apresiasi. Abject kemudian mengubah pengalaman audiens terhadap ambiguitas pengalaman perempuan di dalam karya seni. Menutup presentasinya Ikhaputri menjelaskan bahwa ambiguitas pengalaman perempuan yang diangkat dalam karya seni akan memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru terhadap peniadaan (void) terhadap pengalaman perempuan. Seni menjadi penting bagi feminisme karena merupakan jembatan interaksi bagi perempuan yang bersuara lewat karya. (ANS) Rabu (10/3/21), Chevening Indonesia & Timor Leste mengadakan webinar #BeALeader yang mengangkat topik “Mencapai Kesetaraan Gender Melalui Pendidikan. Kegiatan yang diadakan dalam rangka Hari Perempuan Internasional ini menghadirkan alumni program beasiswa Chevening yang berbagi pengalaman dan tantangan yang mereka hadapi terkait peran pendidikan yang berkontribusi pada kesetaraan gender. “Kekuatan pendidikan mampu mengubah kehidupan (the power education will transfer life)”, demikian disampaikan Miranda Thomas, Direktur Sekretariat Chevening di London. Hal tersebut juga diakui para narasumber yang bergerak di bidang yang selama ini masih didominasi laki-laki. “Seperti diketahui, bidang jurnalisme masih sangat male dominated, sarat stereotip terhadap perempuan dan masih sering ditemukan pandangan yang bias gender terhadap perempuan”, ujar Citra Dyah Prastuti, Pemimpin Redaksi Kantor Berita Radio 68 (KBR68). Citra alumni Chevening yang lulus dari School of Oriental Studies – University of London, mengungkapkan pengalamannya dalam mengelola stasiun berita di mana kepemimpinan perempuan masih sering diragukan, keputusannya dipertanyakan, dianggap emosional. Sementara itu, Livia Istania Iskandar, alumni Chevening yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berpendapat bahwa perempuan harus bekerja tiga kali lebih keras untuk berada dalam posisi strategis sebagai pemimpin. Menurutnya, ada kualitas-kualitas stereotip yang dilekatkan hanya terhadap perempuan, misalnya perempuan yang asertif cenderung dianggap agresif. Menurut Livia, pendidikan merupakan cara dalam menembus hambatan tersebut. Karenanya, menurut Livia, perempuan harus memiliki cita-cita dan mengetahui apa yang ingin dilakukan. Menurut Livia, sebagai pemimpin, perempuan bisa mengembangkan kebijakan yang pro-perempuan, yang dapat mendukung perempuan lain untuk terus berkarir. Ia menyebutkan contoh yang paling sederhana adalah penyediaan ruang laktasi atau ruang penitipan anak bagi perempuan berkeluarga yang juga bekerja. Narasumber lainnya adalah Sukma Violetta, seorang komisioner dari Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sukma menjelaskan bahwa meskipun ketentuan-ketentuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah menjamin kesetaraan, namun implementasinya masih belum sesuai dan masih terdapat banyak hambatan. Ia mencontohkan dalam ketentuan poligami, yang diketahui masyarakat secara umum adalah hanya memerlukan ijin istri pertama sebagai prasyarat. Namun menurutnya, yang tepat adalah butuh ijin pengadilan, dan hal ini sering diabaikan para pelaku poligami. Ketiga narasumber yang merupakan alumni Chevening ini menceritakan bahwa kesempatan untuk menikmati pendidikan tinggi telah memberikan bekal yang berguna mereka sebagai perempuan untuk berkembang di dalam berbagai bidang yang masih timpang gender, seperti hukum dan jurnalisme. (Dewi Komalasari) Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional (8/3), L’oreal Paris, Komnas Perempuan dan Hollaback Jakarta mengadakan konferensi publik dengan tema “Stand Up untuk Bersama Melawan Pelecehan Seksual Di Ruang Publik”. Manashi Guha, General Manager L’oreal Indonesia mengatakan bahwa dalam 50 tahun terakhir Loreal Indonesia mendorong berbagai tantangan yang menghambat kemajuan perempuan dengan seruan “Kita begitu berharga”, untuk mendorong penghargaan atas diri. Berdasarkan survei yang dilakukan Loreal Paris di Indonesia dengan IPOS terhadap 1500 responden, diketahui bahwa pelecehan seksual di ruang publik adalah isu utama yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia. Loreal Paris di Indonesia, Komnas Perempuan, dan Hollaback Jakarta bekerja sama melakukan kampanye untuk mendorong masyarakat untuk stand up (berdiri dan bertindak) mengintervensi pelecehan seksual di ruang publik. Risa Ariyani Kori - UNFPA Gender Spesialis, mengapresiasi kampanye yang dilakukan oleh L’oreal Paris, sebab kegiatan ini adalah juga bagian perjuangan UNFPA. Menurut Risa, di tahun 2016, UNFPA melakukan survei untuk melihat prevalensi kekerasan seksual dan menemukan 1 dari 3 perempuan pernah mengalami pelecehan seksual. Risa menjelaskan bahwa pelecehan seksual adalah bagian dari kekerasan basis gender (KBG). Melalui tema Hari Perempuan Internasional tahun 2021, Woman for Leadership, maka menjadi penting untuk memberdayakan perempuan agar mampu bangkit dan berbuat untuk merespons pelecehan seksual dan berbagai KBG lainnya. Andy Yentriyani - Ketua Komnas Perempuan (KP), pelecehan seksual adalah pengalaman sehari-hari perempuan dan hampir terjadi di semua lini kehidupannya. Berdasarkan data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan yang baru saja diluncurkan, ditemukan bahwa intensitas kekerasan seksual di masa pandemi meningkat, khususnya kekerasan yang terjadi di ranah online dan di ranah publik. Andy menuturkan bahwa kekerasan seksual di ruang publik adalah hal yang sangat menakutkan dan melanggar HAM perempuan. Namun ungkapnya, sangat memprihatinkan bahwa hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur persoalan tersebut. Padahal, menurut Andy, karena ketiadaan payung hukum ini korban menjadi enggan dan takut untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami. Inilah alasan mengapa RUU Pencegahan Kekerasan Seksual perlu segera diundangkan. Maria Adina - Brand General Manager L’oreal Indonesia, menyatakan bahwa Stand Up adalah tema kampanye dari Loreal Indonesia. Menurut dia target kegiatan ini adalah agar 1 juta orang di dunia dilatih untuk mampu melakukan perlawanan yang aman ketika berhadapan dengan kekerasan seksual. Berdasarkan survei yang dilakukan L’oreal Paris bersama IPOS diketahui bahwa 82% perempuan Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Sementara 51% saksi pelecehan seksual tidak melakukan intervensi saat melihat kekerasan terjadi karena merasa tidak memiliki informasi yang cukup tentang apa itu pelecehan seksual dan apa yang dapat dilakukan untuk meresponsnya (91% responden). Oleh sebab itu L’oreal Indonesia merasa penting untuk memberikan intervensi melalui edukasi dan pelatihan bagi masyarakat luas. Dalam program kampanye ini Loreal Paris berharap agar korban dan saksi dapat stand-up mengintervensi kekerasan seksual di ruang publik. Maria mengajak kita semua untuk mengikuti pelatihan melawan pelecehan di ruang publik di www.standup-indonesia.com Anindya Restuviani, Co-Directir Hollaback, menyambung paparan Maria menyatakan program pelatihan yang dilakukan oleh Loreal, Komnas Perempuan dan Hollaback Jakarta ini penting untuk menolak normalisasi pelecehan seksual di ruang publik. Menurut Andindya, isu ini masih sering dipandang sebagai persoalan yang remeh, padahal pelecehan seksual berdampak besar pada kesejahteraan hidup perempuan di Indonesia. Salah satu dampak normalisasi pelecehan seksual di ruang publik berkurangnya partisipasi perempuan di ruang publik. Dengan metode pelatihan 5D yang dapat ditemukan pada modul pelatihan mandiri yang tersedia laman www.standup-indonesia.com semua orang diharapkan mampu mengintervensi pelecehan seksual diruang publik. 5D adalah cara saksi membantu korban pelecehan di ruang publik yaitu dialihkan, dilaporkan, dokumentasikan, ditegur, dan ditenangkan. Bersamaan dengan peluncuran kampanye ini, L'Oréal Paris juga memperkenalkan Spokesperson barunya, Cinta Laura yang juga terpilih sebagai Duta Anti-Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Dalam kesempatan tersebut Cinta menyatakan bahwa payung hukum untuk merespons kekerasan seksual di ruang publik penting untuk memberikan aman dan nyaman bagi perempuan di ruang publik. Menurut Cinta, normalisasi pelecehan seksual di masyarakat terjadi karena korban dan saksi tidak mengetahui apa yang harus dilakukan saat mengalami atau melihat pelecehan seksual. Pelatihan dan edukasi terhadap masyarakat seperti yang dilakukan oleh L’oreal menjadi penting agar korban dan saksi tahu apa yang harus dilakukan untuk mengintervensi pelecehan seksual yang terjadi di hadapan kita. Bahkan menurut Cinta, edukasi dan pelatihan semacam ini juga perlu dilakukan di sekolah sejak dini agar pemahaman soal kekerasan seksual dapat terinternalisasi dengan baik. Melalui kegiatan kampanye ini Loreal Paris berharap agar kampanye melawan pelecehan seksual di ruang publik dapat diperkuat dan diperluas. Bekerja sama dengan Komnas Perempuan dan Hollaback Jakarta menarget 100.000 orang untuk mengikuti pelatihan intervensi pelecehan seksual di ruang publik. (Abby Gina) Jumat (5/3/21). Sebagai agenda rutin tahunan, menjelang perayaan Hari Perempuan Internasional 8 Maret, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU), sebuah laporan tahunan tentang kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh berbagai lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah di hampir semua provinsi di Indonesia. Acara peluncuran ini diadakan melalui medium Zoom dan disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube. Mengangkat tajuk “Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19”, CATAHU 2021 memuat kompilasi data kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020, yang dilaporkan ke berbagai lembaga layanan bagi perempuan korban dan juga institusi penegak hukum. Penyusunan CATAHU telah dilakukan Komnas Perempuan sejak tahun 2001. Menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, laporan ini tidak hanya menjadi rujukan naik turunnya angka kasus kekerasan terhadap perempuan, tetapi diharapkan dapat menjadi sebuah rujukan untuk mengembangkan pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan dan penanganan bagi korban untuk memperoleh hak-hak mereka atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. “Penting untuk dipahami bahwa data yang disajikan dalam CATAHU hingga saat ini masih berupa indikasi dari puncak gunung es persoalan kekerasan terhadap perempuan. Data yang terhimpun adalah terbatas pada kasus di mana korban melapor, dan juga pada jumlah dan daya lembaga yang turut serta di dalam upaya kompilasi ini. Maka ketika jumlah data meningkat bukan berarti jumlah kasus kekerasan pada tahun sebelumnya lebih sedikit, melainkan jumlah korban yang berani untuk melaporkan kasusnya menjadi lebih banyak dan akses mereka untuk melaporkan juga lebih luas”, demikian disampaikan Andy Yentriyani dalam sambutannya. CATAHU 2021 mencatat sejumlah 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2020. Jumlah kasus yang tercatat ini berkurang secara signifikan jika dibandingkan dengan CATAHU 2020 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Menurut Andy, menurunnya jumlah kasus dalam CATAHU 2021 lebih merefleksikan kapasitas pendokumentasian daripada kondisi nyata kekerasan yang terjadi. Menurut Andy, sekitar 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Jumlah pengaduan ke Komnas Perempuan pada tahun 2020 meningkat drastis sebesar 60%, yaitu dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020. Peningkatan jumlah pengaduan juga dimungkinkan karena bentuk penerimaan laporan secara online. Bertambahnya jumlah pengaduan ke Komnas Perempuan juga menunjukkan kerentanan terjadinya kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi Covid-19. Namun secara keseluruhan jumlah kasus dilaporkan berkurang karena kuesioner yang dikembalikan menurun hanya sekitar 50 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu, sebagian besar kuesioner yang dikembalikan berasal dari lembaga yang berlokasi di Pulau Jawa dengan dukungan infrastruktur yang relatif lebih memadai. Oleh karena itu, salah satu rekomendasi Komnas Perempuan kepada Presiden RI dalam CATAHU 2021 adalah mendorong penguatan kapasitas Kementerian/Lembaga dan organisasi layanan bagi perempuan korban dalam pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mengembangkan sistem big data untuk perencanaan pembangunan nasional. Selain itu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan peningkatan alokasi dana APBN untuk layanan dan pemulihan korban, seperti operasional lembaga layanan, konseling psikologis, visum, bantuan hukum, tindakan medis lanjutan, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang berperspektif korban. Selain mencatat kompilasi jumlah kasus kekerasan, CATAHU 2021 juga mengungkapkan beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian seperti meningkatnya angka dispensasi kawin, sebagaimana yang terungkap dari rekap perkara yang diputus oleh Peradilan Agama seluruh Indonesia. Dispensasi kawin adalah pengecualian ijin kawin yang diberikan pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum berusia 19 (sembilan belas) tahun untuk melangsungkan perkawinan. Angka dispensasi kawin sepanjang tahun 2020 tercatat sebanyak 64.211, melesat tiga kali lipat dibandingkan tahun 2021 yaitu sebanyak 23.126. Angka ini bahkan melonjak 500% lebih banyak dibandingkan angka dispensasi kawin pada tahun 2018. Lonjakan perkara dispensasi kawin sepanjang tahun 2020 merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan, mengingat legalitas perkawinan anak telah dibatasi oleh UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Berbagai bentuk beserta data jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020 dalam CATAHU 2021 dapat diunduh melalui situs komnasperempuan.go.id. CATAHU 2021 juga memuat rekomendasi yang ditujukan kepada berbagai lembaga tinggi negara mulai dari DPR RI, Presiden RI, kementerian koordinator, berbagai kementerian Lain, lembaga penegakan hukum, lembaga nasional HAM, dan lembaga non struktural lainnya, lembaga internasional, lembaga donor, dan kelompok bisnis. (Dewi Komalasari) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |