Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa
Warta Feminis

Pandemi, Kerentanan Berlapis bagi Perempuan dan RUU PKS

21/12/2020

 
Picture

​​Jumat (18/12), INFID mengadakan webinar dengan topik “Women’s Rights are Human Rights: Meninjau Kembali Urgensi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual”. Webinar yang merupakan bagian dari Festival HAM 2020 ini menghadirkan Mariana Amiruddin (Wakil Ketua Komnas Perempuan), Tatat (INFID) dan Rika Rosvianti (pendiri perEMPUan). Salah seorang anggota DPR yang sedianya menjadi narasumber tidak kunjung hadir hingga acara usai.

Pandemi yang tengah melanda saat ini bagai jebakan yang nyata-nyata meningkatkan kerentanan berlapis bagi perempuan. Penanganan pandemi yang mensyaratkan warga untuk tetap berada di rumah memerangkap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga bersama pelaku; berada di luar rumah pun tak mengurangi risiko menjadi korban karena kekerasan terhadap perempuan juga kerap terjadi di ruang publik; memindahkan aktivitas melalui daring pun berisiko menjadi korban kekerasan berbasis gender secara online (KBGO).

Komnas Perempuan kembali menegaskan terjadinya peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi. Mariana menyampaikan menurut data terkini sampai dengan Oktober 2020 telah terhimpun 1.458  kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Dari jumlah tersebut, terdapat 378 kekerasan fisik dan 483 kasus kekerasan seksual. Di ranah komunitas, dari data yang terhimpun sebanyak 56,8% atau 405 kasus yang dilaporkan merupakan kasus kekerasan seksual. Sementara itu di ranah siber, sampai dengan Oktober 2020 telah terlapor sebanyak 659 aduan kasus kekerasan berbasis gender di ranah siber, yang meningkat 200% dibandingkan dengan jumlah aduan pada tahun sebelumnya (2019) sebanyak 281 kasus. 

“Sepanjang tahun 2016 hingga 2019, dari catahu yang dihimpun Komnas Perempuan, terdapat 55.273 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke lembaga layanan baik yang dikelola masyarakat, di bawah pemerintah maupun aduan ke kepolisian. Dari jumlah tersebut, sebanyak 21.841 merupakan kasus kekerasan seksual, dimana 8.964 merupakan kasus perkosaan. Dari jumlah laporan yang diadukan tersebut, kurang dari 30% kasus yang kemudian diproses secara hukum” ujar Mariana. 

Minimnya proses hukum untuk kasus kekerasan seksual, menurut Mariana, menunjukkan aspek substansi hukum yang ada tidak mengenal sejumlah tindak kekerasan seksual dan hanya mencakup definisi yang terbatas. “Aturan pembuktian yang membebani korban dan budaya menyalahkan korban serta terbatasnya daya dukung pemulihan korban juga menjadi kendala utama”, Mariana menambahkan.

Sejalan dengan hal tersebut, Rika menyampaikan bahwa meskipun sudah terdapat seperangkat peraturan perundang-undangan yang selama ini menjadi rujukan untuk kasus kekerasan seksual seperti UU PKDRT, UU PTPPO dan UU Perlindungan Anak namun kesemuanya memiliki cakupan perlindungan yang terbatas. Perempuan dengan identitas berusia di atas 18 tahun yang tidak terikat dalam perkawinan tercatat dan / atau bukan korban tindak pidana perdagangan orang, yang menjadi korban kekerasan seksual masih belum terlindungi aturan hukum. KUHP yang ada menurut Rika mengandung kelemahan dan keterbatasan untuk penanganan kasus kekerasan seksual.

Tidak mengherankan jika kemudian bermunculan korban yang menceritakan kasus kekerasan seksual yang dialaminya melalui media sosial sebagai upaya terakhir dalam mencari keadilan. Fenomena yang dikenal dengan istilah “spill-case call out” ini menurut Rika, bukan tanpa konsekuensi. “Spill case call out ini berpotensi menimbulkan kerentanan lain seperti misalnya korban bisa terkena ancaman UU ITE karena dianggap mencemarkan nama baik pelaku”, ujar Rika. 

Konsekuensi lain, ungkap Rika,  adalah memunculkan apa yang disebut “online redemption” dimana pelaku memohon maaf atas perbuatannya tersebut. “Online redemption dianggap cukup sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku, padahal hal tersebut tidak membantu korban dan hanya sekedar memulihkan nama baik  pelaku semata”, ungkap Rika. 

Lebih lanjut Mariana juga memaparkan bahwa ketiadaan dan tertundanya prioritas payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual adalah suatu tindakan pengabaian dan melanggar hak konstitusi perempuan sebagai warga negara yang dijamin Undang-undang. Apabila kelalaian, pengabaian, pelanggaran baik yang disengaja maupun tidak, terus dilakukan, maka negara dapat dikatakan telah bertindak inkonstitusional, tidak menjamin kemerdekaan bagi perempuan sebagai warga negara untuk jauh dari rasa takut dan diskriminasi.

Di sisi lain, Rika menyesalkan bahwa kampanye mendorong pengesahan RUU PKS yang dilakukan selama ini melalui pendekatan humanis terbukti belum berhasil menggugah empati para pembuat kebijakan terhadap korban. Menurutnya, strategi lain dengan pendekatan perilaku rasional yang mengedepankan insentif dari adanya UU PKS barangkali akan lebih mengena di hati para pembuat kebijakan. “Mewujudkan UU PKS bukanlah hal yang sulit. Catahu yang diluncurkan setiap tahun merupakan bentuk peringatan tidak tertanganinya pemenuhan rasa keadilan, perlindungan dan pemulihan korban”, tegas Mariana. (Dewi Komalasari)

Kajian Komnas Perempuan tentang Dampak Kebijakan PSBB terhadap Hak Konstitusional Perempuan

11/12/2020

 
Picture
Kamis, 10 Desember 2020, sebagai bagian dari rangkaian kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Komnas Perempuan meluncurkan hasil kajian mereka mengenai implementasi kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan dampaknya terhadap hak konstitusional perempuan.  Dalam kata sambutannya, Andy Yentriyani - Ketua Komnas Perempuan bahwa diseminasi kajian ini merupakan bagian dari pemenuhan HAM Perempuan. Menurut Andy pandemi Covid-19 memberikan dampak tidak proporsional bagi perempuan dan kelompok marginal lainnya. Menurut Andy, kajian ini penting karena menjadikan pengalaman konkret perempuan sebagai basis rekomendasi Komnas Perempuan kepada pemerintah. Di dalam hasil kajian ini disajikan berbagai persoalan yang dihadapi perempuan selama pandemi, dan juga bentuk-bentuk resiliensi kelompok perempuan merespons situasi sulit.  
 
Di dalam acara peluncuran ini, Allaster Cox - Kuasa Usaha Kedutaan Besar Australia, turut memberikan pidato pembukaan. Cox menyatakan bahwa dampak Covid-19 tidak bersifat netral gender. Cox menjelaskan bahwa pandemi ini memberikan dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan, misalnya perempuan menjadi lebih rentan tertular Covid-19 karena kerja-kerja mereka terkait perawatan; meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan semasa pandemi dalam  kondisi PSBB.  Dalam bidang sosial, ekonomi dan keamanan pun dampak Covid-19 dirasakan lebih buruk oleh perempuan dan anak perempuan. Sebelum Covid-19 terjadi, menurut Cox, ketidakadilan gender telah terjadi. Namun pandemi ini memperburuk ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat.
 
Slamet Soedarsono - Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Bappenas, memberikan pidato kunci. Dalam pidatonya Soedarsono memberikan apresiasi terhadap kerja Komnas Perempuan untuk menghasilkan kajian ini. Menurut Soedarsono, paparan  data dalam kajian ini penting untuk mendorong hadirnya kebijakan-kebijakan berbasis bukti dan pengalaman baik  yang telah ada. Soedarsono menjelaskan bahwa pemerintah telah menerbitkan sejumlah kebijakan, protokol, dan  layanan guna memastikan terpenuhinya HAM Perempuan dan Anak perempuan.  Menurutnya, Pengarusutamaan Gender penting dan telah  diaplikasikan untuk meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia.
 
Dalam Peluncuran Hasil Kajian Implementasi Kebijakan PSBB tersebut, Maria Ulfah- Komisioner Komnas Perempuan, dan Dati Fatimah - Konsultan AIPJ2; memaparkan temuan-temuan kunci dari Kajian Implementasi Kebijakan PSBB serta Dampaknya Pada Hak Konstitusional Perempuan. Maria menyebutkan temuan praktik-praktik baik yang telah dilakukan oleh kementerian dan lembaga untuk perlindungan perempuan, kelompok rentan dan kelompok marginal. Namun ia menekankan pentingnya memastikan bahwa di masa mendatang seluruh kebijakan terkait Covid-19 akan menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional perempuan seperti:  hak bebas dari diskriminasi dalam kaitannya terhadap kekerasan basis gender dan beban ganda; hak atas layanan kesehatan; hak atas pelayanan jaminan sosial; hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak; hak komunikasi; serta hak atas rasa aman.
 
Maria menunjukkan sejumlah tantangan utama yang dihadapi perempuan semasa pandemi, baik di bidang ekonomi, hak kesehatan reproduksi, keamanan dan akses terhadap jaminan sosial. Dalam aspek ekonomi, guncangan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi berimplikasi pada kesempatan kerja perempuan, meningkatnya risiko PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) bagi perempuan, penurunan kesejahteraan pekerja perempuan, dan penurunan produktivitas kerja perempuan (yang disebabkan oleh beban ganda). Dalam kaitannya dengan hak reproduksi, menurut Maria, persoalan utama yang hadir di permukaan di antaranya adalah: sulitnya akses perempuan terhadap layanan kontrasepsi, kehamilan tidak dikehendaki, dan peningkatan perkawinan anak. Sedangkan dalam kaitannya dengan hak konstitusional mengenai akses jaminan sosial, kajian ini menemukan tantangan perempuan dan kelompok marginal, seperti trans-puan dan difabel, dalam mengakses program jaminan sosial.
 
Dati Fatimah memaparkan sejumlah resiliensi perempuan di masa pandemi Covid-19, seperti aksi kolektif yang dilakukan perempuan di berbagai wilayah. Narasi resilensi menggarisbawahi 4 temuan resiliensi yaitu; aksi kolektif dari lembaga pengada layanan di masa pandemi di Palu dan Ambon yang berstrategi mengombinasikan layanan luring dan daring dalam menangani kasus korban kekerasan;  ekonomi berbagi di masa pandemi yang dilakukan oleh kelompok EMPU, gerakan ini membangun bisnis berkeadilan (wira usaha sosial) yang memberdayakan komunitas pamong jamu dan komunitas fesyen; gerakan dapur umum yang memberikan makanan bagi kelompok  informal sebagai kelompok yang sangat terdampak Covid-19; dan yang terakhir gerakan organisasi keagamaan dan lintas iman yang menumbuhkan dan mempraktikkan solidaritas tidak hanya bagi umat tetapi solidaritas bagi kemanusiaan.
 
Peluncuran dan diseminasi hasil kajian Komnas Perempuan ini bermuara pada rekomendasi jangka pendek, menengah dan jangka panjang untuk merespons pandemi Covid-19 secara lebih holistik dan integratif. Rekomendasi jangka pendek kajian ini adalah desakan kepada negara untuk meredam dampak dengan skema afirmasi. Sedangkan untuk rekomendasi jangka menengah, Komnas Perempuan menghimbau negara untuk mengembangkan kapasitas adaptasi dalam transisi ke pemulihan pandemi yang menekankan sumber daya komunitas. Dalam tahapan transisi pemulihan ini perlu dipastikan bahwa perempuan dan kelompok marginal dapat mengakses berbagai kebijakan, program dan layanan publik.  Terakhir, untuk rekomendasi jangka panjang, Komnas Perempuan meminta agar program pemulihan Covid-19, aspek-aspek transformasi yang berkeadilan terlaksana. Yaitu, upaya untuk mendorong perubahan relasi kuasa. (Abby Gina)

    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa