Jumat (26/9) bertempat di Hotel Millenium, Jakarta, Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) FISIP UI bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KPPPA) meluncurkan buku Kerja Untuk Rakyat: Profil Anggota DPR dan DPD RI 2014-2019. Buku hasil riset dari para peneliti PUSKAPOL FISIP UI tersebut merupakan buku panduan yang berisi informasi lengkap bagi para anggota DPR dan DPD RI sebelum memulai tugasnya menjalankan amanah rakyat. Dalam pidato sambutannya Menteri PPPA Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan buku panduan tersebut berguna untuk menetapkan komitmen dan menyuarakan kepentingan rakyat agar dapat memberanikan diri untuk menyuarakan haknya. Lebih lanjut Linda mengatakan peningkatan peran perempuan di ranah politik penting dilakukan terlebih terjadi penurunan jumlah anggota perempuan DPD 2014-2019 sebesar tiga persen dan anggota perempuan DPR RI sebesar satu persen. Acara peluncuran buku dan pemaparan hasil riset ini juga diisi dengan diskusi yang menghadirkan beberapa anggota DPR dan DPD terpilih dari sejumlah daerah di Indonesia seperti Mercy Chriesty Barends dari PDIP (Maluku), Erna Suryani (Demokrat, Kalimantan Barat), Denty Eka Widi Pratiwi (PKP, Jawa Tengah) dan Eni Sumarni anggota DPD (Sumedang). (Meganakita D.J.) Arus media yang menonjolkan aspek fisik dalam pemberitaan memengaruhi cara media dalam mengangkat isu perempuan, baik untuk kasus-kasus kejahatan yang dilakukan perempuan, kasus perkosaan, maupun pemberitaan tentang pekerja seks komersil (PSK). Dalam kasus korupsi misalnya, pemberitaan media hendaknya berfokus pada kasus kejahatan yang dilakukan oleh perempuan koruptor dan bukan pada aspek fisik dari perempuan tersebut. Begitu juga dalam kasus perkosaan, pemberitaan media hendaknya tidak menjadikan perempuan sebagai korban untuk yang kedua kali. Pernyataan ini disampaikan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum dalam Workshop Jurnalis Televisi yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pusat. Workshop bertema “Televisi dan Peliputan Keberagaman” yang diikuti oleh 17 Jurnalis dari berbagai media ini salah satunya bertujuan untuk menghidupkan kesadaran dan praktik jurnalisme damai dalam konteks keberagaman di Indonesia. Lebih lanjut Dewi mengatakan untuk itu seorang jurnalis memiliki tugas untuk menjadi kritis. Hal mendasar yang harus dimiliki seorang jurnalis adalah memiliki sensitivitas dan sensitivitas ini bersumber dari pengetahuan. Selain itu jurnalis juga harus memiliki matra atau dimensi gender, ras/etnis dan kelas. Hal lain yang dapat dilakukan jurnalis adalah lewat linguistic games (camera’s angle) yakni menggunakan bahasa untuk menyampaikan misi keadilan, dengan memilih kata-kata yang tidak bias dan seksis, misalnya kata serangan seksual untuk mengganti kata perkosaan dan penetrasi, sehingga nada kejahatan dapat ditangkap pemirsa. Dengan demikian pemberitaan media menjadi adil gender dan nir diskriminasi. (Anita Dhewy) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (PUSKAPOL UI) menggelar seminar sekaligus peluncuran buku Profil Anggota DPR dan DPD RI 2014-2019 yang diadakan pada Jumat (26/9) di Hotel Millenium, Jakarta. Dalam acara ini dipaparkan terjadinya penurunan angka partisipasi perempuan sebagai anggota legislatif baik DPR maupun DPD pada periode 5 tahun mendatang dibandingkan dengan tahun 2009. Hasil penelitian PUSKAPOL UI yang dipresentasikan oleh Mia Novitasari dan Julia Ikasarana memperlihatkan bahwa dibandingkan dengan pemilu tahun 2009, keterwakilan perempuan dalam DPR RI menurun dari angka 18% menjadi 17% dan DPD RI dari 28,80% menjadi 25,80%. Hal tersebut sangat disayangkan, apalagi terdapat empat provinsi yang tidak memiliki keterwakilan perempuan sama sekali di DPR maupun DPD. Empat provinsi tersebut adalah DI Aceh, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat. Dalam sambutannya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar mengatakan jika kita hendak meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka perempuan harus diberdayakan dalam berbagai sektor, terutama sektor politik, karena dengan politiklah perempuan bisa bersuara dan turut membuat kebijakan yang menentukan kemajuan bangsa dan negara kelak. Dalam sesi diskusi, salah satu anggota DPR RI terpilih asal Kalimantan Barat, Erna Suryani mengatakan bahwa modal sosial dan ekonomi adalah batu pengganjal bagi calon legislatif perempuan, motivasinya untuk mencalonkan diri sebagai DPR adalah untuk mengegolkan Undang-undang khusus untuk membangun daerah perbatasan, tidak hanya membangun daerah asalnya Kalimantan Barat yang menjadi salah satu provinsi perbatasan tapi juga 10 provinsi perbatasan lainnya. Hal ini sulit terlaksana apabila ia tidak bekerjasama dengan beberapa aktivis dari LSM-LSM setempat yang mendukungnya. Hal yang sama terjadi pada Mercy calon legislatif terpilih dari partai PDIP daerah pilihan Maluku, kesulitan meraih suara terkendala oleh pulau-pulau yang butuh dijangkau tetapi ia tidak memiliki dana yang cukup, hingga ia dan tim suksesnya harus memutar otak menggunakan strategi, mengumpulkan para pelajar dan aktivis di Maluku untuk menyebar brosur kecil untuk mempromosikan dirinya. Linda Gumelar menjelaskan empat hal yang menyebabkan turunnya presentase keterwakilan perempuan di legislatif yaitu: (1) menurut UU No. 8/2012 tentang Pemilu, keharusan minimal kuota 30% untuk calon legislatif perempuan hanya terbatas pada calon, bukan kuota kepada anggota legislatif itu sendiri, (2) calon legislatif perempuan mencapai angka 37,5% tetapi calon-calon legislatif tersebut tidak ditaruh pada “nomor jadi” sehingga walaupun kuota terpenuhi para calon legislatif perempuan ini hanya menempati nomor-nomor besar yang kecil kemungkinannya ia terpilih, (3) pemilih belum menyadari betapa pentingnya keterwakilan perempuan di legislatif, (4) para calon legislatif perempuan ini memiliki modal sosial dan ekonomi yang minim. (Nadya Karima) Bertempat di Gedung Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, Kamis (24/09/2014) Program Studi Kajian Budaya dan Media bekerjasama dengan Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan diskusi buku Body Memories. Pembicara dalam diskusi tersebut adalah Suzie Handajani dari Prodi Kajian Budaya dan Media-Sekolah Pasca Sarjana UGM dan Arianti Ina Restiani Hunga Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender-UKSW sekaligus Ketua Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) Jateng. Hadir juga dalam diskusi tersebut beberapa SJP di wilayah Yogyakarta. Pemred Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum turut memberikan pengantar dalam diskusi yang dimoderatori oleh Ch. Budiman. Dewi yang juga menjadi editor buku menuturkan bahwa buku Body Memories ditujukan untuk special reader, oleh karena itu buku tersebut dicetak terbatas yaitu hanya 200 eksemplar. Menurut Dewi, Body Memories ditulis juga salah satunya untuk menyambut Sustainable Development Goals pada tahun 2015, yang sebelumnya merupakan Milenium Development Goals. Ina Hunga sebagai pembicara pertama yang juga salah satu kontributor dalam buku Body Memories membuka diskusi dengan presentasi mengenai paper dalam buku tersebut. Paper dengan judul “Protecting Women’s Domestic Area & Environment: Study on Eco-friendly Batik” menawarkan bagaimana paham ekofeminisme bisa dilihat sebagai fakta empiris sehari-hari. Ina menemukan kesamaan pola dominasi antara manusia terhadap alam dengan dominasi industri batik—yang biasa diidentikkan dengan laki-laki—atas rumah-rumah perempuan. Melalui tulisannya dia menjelaskan kehidupan perempuan pembatik yang biasa bekerja dengan putting out system. Batik diproduksi di dalam rumah-rumah sebagai produk dari perempuan yang seharusnya memberikan keuntungan bagi perempuan, namun ternyata justru berkebalikan. Ina memberikan fakta-fakta mengenai mirisnya produksi batik rumahan. Putting out system yang ada dalam industri batik dirasa memberikan banyak kerugian bagi perempuan. Perempuan pembatik yang berada pada rantai paling bawah industri batik hanya diberikan upah sekitar 30% per-kain. Tuturnya lagi, para perempuan pembatik juga tidak mempunyai identitas. Konsumen hanya mengenal batik jadi yang sudah dijahit menjadi pakaian, lalu diberi label dengan merek bergengsi dan dipajang di pasar maupun di toko-toko. Tetapi mereka tidak pernah mengenal siapa yang bekerja di balik kain-kain tersebut. Selain itu, proses produksi yang dilakukan di rumah-rumah juga menghilangkan pemaknaan rumah bagi perempuan dan anak-anak. Rumah yang dulunya dijadikan tempat beristirahat dan bermain, kini dipenuhi oleh alat dan bahan untuk membuat batik. Tidak jarang bahan-bahan kimia yang digunakan sebagai pewarna batik ditemukan berdekatan dengan peralatan rumah tangga, seperti peralatan makan. Alhasil, perempuan pembatik dan keluarganyalah yang harus menanggung bahaya dan risiko pencemaran limbah hasil produksi batik. Oleh karena itu, menurutnya diperlukan strategi perempuan untuk melindungi rumah dan keluarganya. Suzie Handajani sebagai pembicara kedua dalam diskusi mengawali pembicaraan dengan kembali pada pemahaman atas gender. Dia bercerita, dahulu kata gender sering diidentikkan dengan emansipasi. Padahal, menurutnya kata emansipasi berasal dari bahasa inggris yaitu emancipate yang berarti “membebaskan budak”. Lalu muncul lagi istilah “kesetaraan gender”, sampai akhirnya “keadilan gender”. Mengenai ekofeminisme, Suzie memberikan pendapat bahwa ekofeminisme berbeda dengan paham feminisme lain, yaitu perempuan berafiliasi dengan alam. Namun menurutnya lagi, ekofeminisme juga mempunyai tugas berat yang dalam istilah beliau jangan kepleset menjadi essensialist. Mengenai komentarnya terhadap Body Memories, Suzie mengungkapkan pendapatnya bila buku tersebut terbagi atas tiga bagian. Yaitu mengenai pemberdayaan mitos-mitos mengenai perempuan, support atau tidaknya agama terhadap tafsir-tafsir ekologis hubungannya dengan perempuan, serta aplikasi di lapangan. Di akhir pembicaraan, Suzie memberikan ungkapan yang menarik yaitu apabila keadilan gender sudah selesai, mungkin ekofeminis akan digantikan dengan ekohumanis. Di tengah sesi diskusi, muncul pertanyaan dan tanggapan yang diajukan oleh peserta diantaranya tanggapan mengenai istilah ekofeminisme sebagai bahasa akademis, yang mungkin istilah tersebut tidak dimengerti oleh sebagian perempuan diluar kalangan akademisi. Pembicara dan beberapa peserta salah satunya Ratna Novianti yang juga menjadi kontributor buku dan juga SJP mengungkapkan pendapatnya. Sementara Ina Hunga mengemukakan bahwa istilah ekofeminisme memang bahasa akademis, namun kita (para akademisi) bukan hadir untuk menggurui para perempuan, karena mereka sudah mempunyai pengetahuan-pengetahuannya sendiri. Di akhir diskusi, Dewi Candraningrum menutup diskusi dengan pendapatnya bahwa buku Body Memories hadir bukan berasal dari abstraksi atau awang-awang. Namun Body Memories sampai kepada para pembaca untuk mendokumentasikan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan. (Indriyani Sugiharto) Filsafat dan Arogansi, itulah judul kuliah umum yang diselenggarakan oleh Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia hari Kamis (18/9) yang bertempat di Auditorium Gedung I FIB UI. Dengan pembicara Rocky Gerung, dosen Filsafat FIB UI dan dimoderatori oleh Gadis Arivia, dosen Filsafat FIB UI sekaligus Pendiri Jurnal Perempuan, kuliah umum ini berusaha mencari kaitan antara wilayah filsafat dan wilayah arogansi. Rocky Gerung mengatakan bahwa filsafat tidak mungkin arogan. Sejak awal filsafat merupakan pertengkaran pikiran dengan alat dialektika dan logika. Eksploitasi dari arogansi di dalam wilayah filsafat akan menyebabkan pikiran terhenti. Filsafat yang dibicarakan di sini bukan filsafat sebagai bidang studi. Filsafat adalah intervensi manusia terhadap establishment. Musuh bebuyutan filsafat adalah finalitas. Proposisi utama filsafat adalah menghubungkan kontrafinalitas sebagai upaya membuka percakapan rasional dan sosial. Misalnya dalam hal local wisdom yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menikmati rasionalitas karena watak perempuan adalah emosionalitas. Pikiran seperti itu kemudian dibakukan melalui code of conduct di dalam masyarakat tradisional. Arogansi yang dipelihara seolah-olah dipelihara oleh kode-kode kebudayaan yang di dalamnya tersimpan relasi kuasa. Di situlah filsafat berfungsi untuk menginterupsi. Arogansi yang dibicarakan bukan tentang watak, namun adalah kekurangan pikiran yang diasuransikan pada kekuasaan. Lebih lanjut Rocky mengatakan salah satu hal yang menyuburkan arogansi adalah conspiracy of silence. Hal itu juga ditemukan di universitas. Ukuran bagi universitas adalah memproduksi gelar sebanyak-banyaknya, bukan memproduksi pikiran. Di situlah kesalahan desain akademis kita dan filsafat menyediakan diri sebagai melting pot. Filsafat merupakan upaya sadar untuk menginterupsi arogansi ilmu pengetahuan. Pada akhirnya, selama kultur arogansi bekerja sama dengan kultur diam, maka pikiran tidak mungkin berkembang. Gadis Arivia melanjutkan pembicaraan dengan memunculkan Hannah Arendt yang pada tahun 1973 membunyikan teori serupa. Alasan terjadinya pembunuhan oleh Nazi secara besar-besaran adalah karena lack of thinking. Adanya aktivitas berpikir yang macet. Menghubungkan arogansi dan filsafat masuk kepada hal yang penting sekali, yaitu arrogance of judgment. Persoalan arogansi kemudian masuk ke wilayah etis. Kultur diam membuat kita jadi malas berpikir dan malas mengkritik. Menjadi irresponsible. (Lola Loveita) Berangkat dari kesadaran akan pentingnya kebudayaan dalam membentuk manusia Indonesia yang berkarakter dan beradab, dan fakta bahwa posisi kebudayaan dalam kelembagaan pemerintah hingga saat ini masih menjadi subordinat, sejumlah budayawan, seniman, cendekiawan dan tokoh adat mendesak dibentuknya sebuah kementerian baru, Kementerian Kebudayaan. Dalam pertemuan yang dihelat di Galeri Cemara 6, Jakarta pada Minggu (7/9), Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Putu Rudana mengatakan impian atas lahirnya Kementerian Kebudayaan yang mandiri di Republik ini sebenarnya bukan hal baru, bahkan sudah diperjuangkan sejak Indonesia merdeka. Pada Kongres Kebudayaan pertama tahun 1948 usulan pembentukan kementerian kebudayaan disuarakan. Namun usul tersebut tidak juga ditanggapi, sehingga pada Kongres Kebudayaan tahun 1951, 1954, 1957, 1960, 1991, 2003, 2008 dan terakhir 2013, usul itu kembali disampaikan. Dan saat ini ketika presiden terpilih Jokowi sedang dalam proses menyusun kabinet, usul ini kembali diangkat agar pembentukan Kementerian Kebudayaan dapat terwujud. Lebih lanjut Dewan Pakar AMI dan Pemerhati kebudayaan Nunus Supardi mengatakan meskipun telah digagas sejak lama, namun keberadaan Kementerian Kebudayaan belum juga terealisasi, ini dikarenakan pertama kebudayaan belum dihayati oleh para pengambil keputusan, baik di tingkat nasional maupun daerah dan diranah eksekutif maupun legislatif. Kebudayaan hanya dipahami sebatas kesenian saja. Dan kedua para budayawan belum memperjuangkan isu tersebut secara serius. Menurutnya, jangan-jangan kita (budayawan) belum benar-benar memperjuangkan hasil kongres. Nunus menambahkan usulan pembentukan Kementerian Kebudayaan pasti akan memunculkan pro dan kontra, akan tetapi menurutnya Pembukaan UUD 1945 dan pasal 32 telah menegaskan bahwa bidang kebudayaan mempunyai peran penting dalam proses membangun karakter bangsa. Di sisi lain, amanat Pembukaan UUD 1945 dan pasal 32 tersebut belum dapat berjalan secara optimum karena kelembagaan kebudayaan di pemerintahan berulang kali mengalami ganti posisi dang anti pasangan. Selain itu pasal 28C UUD 1945 juga mengamanatkan agar pemerintah meningkatkan peran dalam memenuhi hak setiap orang untuk mengembangkan diri di bidang kebudayaan. Selain itu menurutnya Indonesia lahir dari kesepakatan para pendiri bangsa yang berasal dari berbagai etnik, budaya dan agama, serta memiliki lebih dari 500 suku bangsa dan lebih dari 700 bahasa daerah sehingga diperlukan suatu pola pengasuhan kesepakatan berkelanjutan melalui pendekatan budaya. Lebih jauh Nunus mengatakan bahwa posisi kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak hanya dilihat dari sisi kebudayaan sebagai produk tetapi juga sebagai proses yang berkelanjutan. Karena itu dalam pertemuan di Galeri Cemara 6 Minggu (8/9) yang merupakan kelanjutan dari pertemuan di Museum Sumpah Pemuda pada Rabu (3/9) lalu, sejumlah tokoh dan individu atas nama perseorangan, komunitas dan lembaga kebudayaan dari berbagai macam bidang dan profesi antara lain Herawati Diah, Mooryati Sudibyo, Pia Alisjahbana, Sasmiyarsi Sasmoyo, dan lain-lain, sepakat untuk menyampaikan Pernyataan Kebudayaan sebagai berikut: (1) bahwa setelah 69 tahun Indonesia merdeka sudah saatnya bidang kebudayaan mendapatkan pengukuhan untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam berperan membangun bangsa yang memiliki kepribadian Indonesia yang kokoh; (2) bahwa untuk mewujudkan peran tersebut dalam kabinet 2014-2019 dan seterusnya, bidang kebudayaan mendapatkan prioritas untuk menjadi sebuah kementerian yang mandiri, sehingga bidang kebudayaan berada dalam posisi yang stabil dan dapat berperan secara optimum; (3) bahwa untuk mewujudkan amanat UUD 1945, diperlukan payung hukum (UU) yang mengatur lebih lanjut tentang perlindungan keanekaragaman budaya, peran, posisi dan pengurusan bidang kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (Anita Dhewy) Berangkat dari kesadaran bahwa Jurnal Perempuan (JP) lahir dari kalangan kampus dengan pendiri dan pengelola program adalah pengajar dan aktivis feminis, maka di usia ke-18 tahun, JP memiliki Duta Kampus. Duta Kampus JP mewakili rumah pengetahuan feminis Yayasan Jurnal Perempuan. Duta adalah mereka yang sensitif terhadap ketidakadilan, ketaksetaraan, dan praktik-praktik ketidakadilan berbasis gender. Duta Kampus JP memiliki beberapa perangkat empati, yaitu sensitif terhadap seksisme, misoginisme, pelecehan-pelecehan, dan tindak-tindak bias dalam lingkungan kampus. Dalam aktivitasnya Duta Kampus aktif menyebarkan cinta pengetahuan tentang feminisme melalui terbitan Jurnal Perempuan serta mengadakan kegiatan-kegiatan di kampus-kampus bersama Jurnal Perempuan. JP mengharapkan Duta Kampus aktif menularkan pengetahuan feminisme sehingga dapat menciptakan masa depan yang lebih baik untuk Indonesia. Selamat kepada para Duta Kampus, teruslah merawat kesetaraan dan keadilan di kampus dan di luar kampus. Berikut ini profil para Duta Kampus Jurnal Perempuan: Fotografer: Hasan Ramadhan, Elwi Gito dan Rainer Farabi
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |