Persepsi masyarakat terhadap homoseksual bukan pada orientasi seksualnya, tetapi seperti kaum Nabi Luth. Homoseksual bukan sodom. Orang heteroseksual bisa melakukan sodomi. Isu ini ada sepanjang sejarah manusia, termasuk dalam sejarah islam. Homoseksual adalah orientasi seksual , kehendak seksual. Bukan hanya urusan tubuh, namun ketertarikan sesama jenis. Istilah homoseksual ada di dalam Al-Qur’an. Demikian penuturan K.H. Husein Muhammad dari Institut Studi Islam Fahmina Cirebon, anggota komisioner Komnas Perempuan (2007-2014) dalam diskusi publik “Membedah tabu perempuan seksualitas non-mainstream dalam perspektif agama” yang dihelat Talita Kum, Program Studi S2 Sosiologi Pascasarjana UNS Sebelas Maret, Himasos dan didukung oleh HIVOS, Kamis (23/4/2015). Acara yang berlangsung di aula FISIP UNS Sebelas Maret dipenuhi hampir seluruh kapasitas gedung, setelah sebelumnya panitia sempat mendapat ancaman pembubaran acara oleh Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS). Reny Kistiyanti, direktur eksekutif Talita Kum Solo menjelaskan tentang sejarah terbentuknya komunitas yang didirikannya bersama teman-teman pada tahun 2009. Talita Kum adalah organisasi perempuan muda yang memiliki keberpihakan terhadap pencegahan dan pembelaan terhadap perempuan, terutama perempuan dengan seksualitas non-mainstream atau Lesbian, Biseksual, Transgender (LBT). Reny juga memaparkan tentang Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, And Body atau disebut dengan SOGIEB. Mengutip Deklarasi PBB tentang Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, tahun 1983, “Kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk kekerasan berbasis gender yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan kepada perempuan secara fisik, seksual, atau psikologi, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan, secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi.” Sementara itu Pdt. Hendri Wijayatsih dosen dan Ketua Pusat Studi Theologi Feminis Universitas Kristen Duta Wacana menyatakan bahwa tidak ada teologi yang “mandek”. Teologi harus terus berubah. “Ke-kristen-an ikut andil dalam mendiskriminasi orang dengan orientasi seksual berbeda”, jelasnya sambil menyitir Alkitab Kejadian 1:27. Senada dengan Husein Muhammmad, Hendri Wijayatsih mengatakan hal yang sama bahwa homoseksual, orang dengan orientasi seksual berbeda bukanlah suatu penyakit. “Kita mengenal Dorce sebagai transgender. Jika ada pernyataan dari peserta diskusi bahwa perlu reorientasi pada orang dengan orientasi seksual berbeda, apa yang diorientasi? Saya sependapat bahwa orang yang melakukan kejahatanlah yang memerlukan orientasi”, jawab Hendri Wijayatsih dalam sesi diskusi. Diskusi ini juga menyinggung tentang homoseksual dan kaitannya dengan orientasi seksual yang berbeda, apakah itu sebagai kodrat, terberi (given) atau sebuah konstruksi sosial. Satu per satu para narasumber menjawab pertanyaan dari peserta diskusi tentang kasus seorang homoseksual, bahwa tidak ada standar, patron, ukuran yang pasti untuk menentukan apakah seseorang dengan orientasi seksual berbeda itu given atau bukan. Namun penekanan ada pada proses kemanusiaan yang paling penting yaitu mencari jati diri atau penerimaan. Sedangkan tindakan justifikasi, menghukum, dan stigma negatif tanpa paham adalah sesat, karena kita harus memahami persoalan terlebih dahulu. Menutup diskusi publik yang dimoderatori oleh Rahayu Purwaningsih, para pembicara sepakat bahwa untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan seksual non-mainstream adalah membangun jaringan dan menghadapi konseling secara bersama-sama dengan cara memahami, tekun mendengarkan korban stigmatisasi. (Astuti Parengkuh) Latar Belakang, Kemiskinan dan KDRT
Pada Jumat malam (17/4/2015) bertempat di Jl. Mawar 221 Badran Surakarta diselenggarakan pemutaran dan diskusi film R.A Kartini yang dibintangi Yenny Rahman besutan sutradara Sjumandjaja dan diproduksi tahun 1984. Acara yang diselenggarakan oleh Sinemain dan Jejer Wadon ini dihadiri oleh puluhan aktivis dan mahasiswa. Vera Kartika Giantari, narasumber diskusi mengatakan bahwa Kartini mampu mengungkapkan, mengejawantahkan apa yang menjadi keinginannya dan di usia 12 tahun sudah mulai bergerak. “Kartini secara lahir adalah genuine alami. Kartini bekerja bukan untuk mencari pangkat dan kedudukan”, tutur Vera Kartika Giantari. Sedangkan dalam sesi diskusi Haryati Panca Putri mengatakan bahwa Kartini memiliki kepedulian terhadap ketidakadilan dan kaum marginal. Proses perlawanannya terhadap budaya dan etika digambarkan dalam satu adegan ketika dia mengetahui suaminya dipijit oleh ketiga garwa selir, sampai kemudian ada tekanan psikologis. “Kartini menyampaikan kritikan dengan sangat etis. Dia memiliki jiwa pemberontak, tetapi masih pada jalur sebagai perempuan Jawa”, ujar Haryati Panca Putri. Dini, seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyatakan kesamaan pendapat bahwa Kartini adalah genuine. Sesuatu yang muncul darinya membuatnya bergerak. “Hal itu berbanding terbalik dengan keadaan saya sebagai mahasiswa. Saya hari ini berpikir besok saya akan bisa melakukan apa kepada masyarakat. Kita dijauhkan dari masyarakat apalagi kampus saya tidak ada Kuliah Kerja Nyata (KKN). Artinya hari ini pemikiran mahasiswa adaptif. Zaman sekarang dengan dulu berbeda karena media sedikit cuma dengan mata telinga. Media sekarang banyak dan kita terlalu reaktif”, ungkap Dini. Dia menambahkan bahwa di zaman dulu Kartini memperjuangkan bagaimana rakyat berjuang di ruang formal. Peserta diskusi lain Indah Darmastuti membuat perbandingan dengan novel roman yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Jejak Langkah dan Gadis Pantai, “Di film ini ditekankan bahwa Kartini menikah karena tindakan politis. Bahkan di Jejak Langkah disebut Minke susah mencari taksi untuk di sewa karena pernikahan Kartini banyak memerlukan sewa mobil”, jelas Indah. Dan yang perlu dicatat menurutnya adalah Kartini menafikan kultur stelsel dan feodalisme. Dewi Candraningrum memberi kalimat penegasan sebagai penutup diskusi bahwa dilihat dari kekinian perempuan pintar itu penting. Perempuan harus pintar dalam segi apapun. Dalam teori Leadership The Winner of Love, banyak sekali perempuan memenangkan cinta sesungguhnya. Pemimpin perempuan dianggap berbahaya, karena kalau dia cinta rakyatnya maka dia lebih ditakuti. Kedua, perempuan secara ginekologi sosial pantai utara Jawa: Rembang dan Jepara sekarang ini ada Sukinah. Ini membuktikan bahwa kepemimpinan itu kuat. “Belum pernah Sukinah kita kenal sampai kasus pegunungan Kendeng merebak. Inilah secara genetik dan psikologi perempuan sanggup menyandang The Winner of Love”, pungkas Dewi Candraningrum. (Astuti Parengkuh) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |