Pada peluncuran JP100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia di Jakarta (27/3), Samsidar mewakili Forum Pengada Layanan (FPL), memaparkan hasil risetnya, yaitu penilaian terhadap Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 16 provinsi di Indonesia. Risetnya diterbitkan di JP100 dengan judul “Keterpaduan Layanan yang Memberdayakan: Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi”. Dalam pemaparannya, Samsidar menjelaskan bahwa lahirnya P2TP2A merupakan inisiatif dan perpaduan antara gerakan perempuan dan pemerintah yang bertujuan untuk menyikapi kekerasan terhadap perempuan. Pada tahun 2002 terbit surat keputusan bersama tiga menteri (Meneg PPPA, Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan) dan Kapolri tentang Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, yang merupakan awal mula pengukuhan komitmen pemerintah tentang penanganan yang komprehensif dan terintegrasi bagi perempuan korban. Samsidar menjelaskan bahwa dampak kekerasan terhadap perempuan tidaklah tunggal melainkan berlapis, mulai dari fisik, psikologis, sosial, budaya hingga ekonomi. Sehingga menurutnya perempuan korban kekerasan tidak bisa ditangani oleh satu pihak atau hanya menyasar pada salah satu aspek dampak yang dialami. “Berlapisnya dampak yang dialami korban, bukan saja menuntut penanganan dan pemenuhan hak korban yang tidak tunggal, tetapi membutuhkan keterpaduan antara satu penanganan dengan penanganan lainnya”, jelas Samsidar. Fakta tersebutlah yang mendorong munculnya konsep layanan yang terpadu. Lebih jauh, Samsidar menjelaskan bahwa pendekatan layanan terpadu ini bukanlah konsep satu atap atau satu lembaga. Menurutnya konsep keterpaduan layanan adalah upaya menyediakan kesempatan dan ruang bagi korban kekerasan agar dapat menerima layanan yang utuh. “Pilot project saat itu melalui One Stop Crisis Center di RSCM, kemudian ada Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di Rumah Sakit Bhayangkara Jawa Timur. Kalangan masyarakat sipil memakai nama Women Crisis Center (WCC)”, jelas Samsidar. Samsidar menceritakan bahwa karya Dolorosa berjudul “Avante” yang digunakan sebagai sampul JP edisi 100 merupakan hadiah dari Dolorosa untuk donasi gerakan perempuan. Pda waktu itu Komnas Perempuan menggagas “Karya untuk Kawan”, yaitu program donasi dari perupa untuk keberlanjutan gerakan—yang merupakan cikal bakal program Pundi Perempuan. Dana yang terkumpul kemudian disalurkan untuk membiayai WCC di daerah agar dapat tetap hidup dan membantu perempuan korban. Menyoal kelembagaan dan sumber daya P2TP2A, Samsidar menjelaskan bahwa pada mulanya ada personil dari masyarakat sipil yang melakukan kerja-kerja layanan di P2TP2A, hal ini dikarenakan model P2TP2A yang dikembangkan merupakan inisiatif dan perpaduan kerja pemerintah dan masyarakat sipil. Namun setelah adanya Peraturan Meneg PPPA No. 4 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan UPTD, dimana P2TP2A berada di bawah Dinas atau Badan Pemberdayaan Perempuan ada perubahan teknis kelembagaan dan sumber daya. Samsidar menyatakan kekhawatirannya terhadap formalisasi kelembagaan P2TP2A yang dapat menjadi upaya penyeragaman terhadap P2TP2A, yang pada gilirannya berpotensi memengaruhi kualitas layanan terhadap korban. Lebih jauh, Samsidar menjelaskan bahwa formalitas kelembagaan P2TP2A tersebut cenderung menghambat munculnya inisiatif-inisiatif yang berasal dari masyarakat, dikarenakan rumitnya persyaratan formal dan kebutuhan sumber daya yang besar--padahal inisiatif masyarakat sipil sangat membantu dalam upaya penanganan korban kekerasan. Selain itu, menurutnya penyelenggaraan layanan oleh P2TP2A juga akan problematik karena tidak semua pegawai (PNS atau ASN) yang ditugaskan di UPTD tersebut memiliki kualitas dan pengetahuan terkait kerja-kerja lembaga layanan. Standar Pelayanan Minimal (SPM) penanganan korban KTP (Kekerasan terhadap Perempuan) yang dikeluarkan oleh KPPPA akan sulit dipenuhi jika fungsi layanan hanya diadakan oleh UPTD. Samsidar juga menyatakan bahwa layanan dalam bentuk UPTD berpotensi menghilangkan kontribusi masyarakat. Terkait hasil temuan dari riset penilaian atau assessment yang dilakukannya, Samsidar berefleksi bahwa P2TP2A sebagai lembaga layanan perlu melihat kembali filosofi, misi dan tujuannya. Samsidar sendiri menjelaskan bahwa dirinya memaknai P2TP2A sebagai mekanisme pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan. Sehingga dalam melihat P2TP2A, jangan dilihat lembaganya secara an sich, tetapi juga fungsinya. Dari riset penilaiannya tersebut, ia juga menemukan bahwa P2TP2A yang kuat adalah yang berjejaring dengan masyarakat sipil. Demi mewujudkan layanan yang memberdayakan korban, Samsidar menekankan perlunya membongkar perspektif mengenai KTP itu sendiri. “Layanan korban yang baik perlu merujuk pada Resolusi PBB No. 1325 dan Rekomendasi Umum CEDAW No. 30, yang dimungkinkan jika keberadaan layanan oleh masyarakat sipil didukung oleh negara, dan bukan diambil alih”, tutur Samsidar. Menurut Samsidar, keberadaan lembaga layanan yang digagas oleh masyarakat perlu dipastikan mendapat dukungan negara karena menjadi mata rantai layanan pemenuhan hak sehingga terbangunnya budaya dan gerakan dukungan bagi pemenuhan hak korban yang lebih luas. Samsidar berharap, pola kemitraan antara pemerintah dan masyarakat terus berjalan, yang memungkinkan negara tetap mendukung keberlanjutan lembaga layanan masyarakat dan tetap terjaga independensinya sebagai penyeimbang. Sementara P2TP2A (apapun namanya) memainkan peran koordinasi, mendukung peningkatan kapasitas-kapabalitas, monitoring dan penyediaan regulasi dan sumber daya. “Keterpaduan layanan bukan disikapi dengan menempatkan layanan dalam satu atap tetapi memastikan seluruh mata rantai layanan (jejaring layanan) memiliki kapasitas dalam menjalankan layanan dan korban terjamin pemenuhan hak-haknya”, simpulnya. (Dewi Komalasari) Rabu (27/3) dalam Peluncuran JP100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia, Anita Dhewy (Pemred Jurnal Perempuan) memaparkan hasil risetnya yang berjudul “Kebaruan Politik dan Hukum Sebagai Sumbangan Gerakan Perempuan dalam Advokasi Kebijakan Afirmatif Pemilu dan UU PKDRT”. Riset tersebut berfokus pada gerakan perempuan dalam melakukan advokasi kebijakan dan juga sebagai refleksi pemikiran dan gerakan perempuan. Pada pemaparannya, Anita menjelaskan bahwa gerakan perempuan menggunakan strategi yang berbeda-beda dalam penerapan advokasi keterwakilan perempuan melalui kebijakan afirmatif Pemilu. Hal ini disebabkan oleh beragam konteks permasalahan yang dihadapi dalam setiap periode Pemilu. Ia menceritakan bahwa setelah reformasi 1998, gerakan perempuan belum bisa memasukkan kebijakan terkait kepentingan perempuan yaitu pada Pemilu tahun 1999. Lebih jauh Anita menjelaskan bahwa minimnya jumlah perempuan di Parlemen dan momentum reformasi, menjadi faktor pendorong gerakan perempuan dalam memperjuangkan kebijakan afirmatif Pemilu. “Hal ini kemudian menyadarkan aktivis perempuan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen perlu ditingkatkan, karena hadirnya perempuan di parlemen dapat berimplikasi pada lahirnya kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan perempuan”, jelas Anita. Kemudian, Anita menjelaskan bahwa selain adanya kesadaran akan pentingnya politik representasi, gerakan perempuan dalam advokasi kebijakan juga didukung oleh gerakan perempuan yang berasal dari kalangan akademisi. Salah satu bentuk dukungan perempuan akademisi ialah melakukan kajian-kajian komprasi terhadap sistem Pemilu dan sistem politik Indonesia dan negara-negara lain. Kajian-kajian tersebut kemudian menghasilkan dua alternatif terhadap sistem keterwakilan yang akan diadopsi. Pertama, sistem keterwakilan berdasarkan reserved sit atau jatah kursi. Kedua, sistem keterwakilan berdasarkan candidacy atau pencalonan. Namun, sistem reserved seat dipandang kurang sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, sehingga gerakan perempuan mendorong sistem keterwakilan pencalonan. Dalam paparannya, Anita menjelaskan tentang proses dan kemajuan advokasi kebijakan afirmatif Pemilu yaitu di pada rentang tahun 2003 hingga 2014. Pertama, gerakan perempuan berhasil memasukkan sistem kandisasi dalam UU Pemilu Pasal 65 No. 13 Tahun 2003--yang menyebutkan bahwa Partai politik dapat menyalonkan anggota DPR di Provinsi, Kabupaten Kota, dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan sekitar 30 persen. Hal ini menghasilkan peningkatan jumlah perempuan di DPR dari dari 8,8 % menjadi 11,32% pada pemilu 2004. Namun demikian, saaat dilakukan evaluasi terungkap bahwa UU Pemilu Pasal 65 tersebut masih belum efektif berlaku dan tidak ada sanksi bagi partai yang tidak memenuhi kuota perempuan yang telah ditetapkan. Kedua, proses dan kemajuan advokasi ialah di tahun 2007 menjelang pemilu tahun 2009, gerakan perempuan mengupayakan hadirnya sistem zipper, yaitu urutan pencalonan yang selang antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, pada akhirnya ada kesepakatan penomoran bahwa setiap dari tiga calon laki-laki terdapat satu calon perempuan. Sistem ini pun berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan dari 11,32% menjadi 17,82% di Pemilu 2009. Ketiga, menuju ke Pemilu 2014, gerakan perempuan melihat bahwa tidak perlu ada perubahan terkait dengan sistem Pemilu, melainkan perlu mendorong keterwakilan perempuan dalam UU Partai Politik, dengan lebih memperhatikan apakah setiap pengurus partai politik sudah menerapkan kebijakan afirmatif dan sistem 30% perempuan dalam partai politik. Lebih jauh, menurut Anita, proses dan kemajuan advokasi kebijakan afirmatif Pemilu berangkat dari gagasan bahwa politik representasi dibutuhkan karena diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan perempuan, bukan hanya sekadar ukurang angka maupun jumlah. “Keberadaan perempuan di lembaga-lembaga politik pengambil kebijakan itu menjadi hal penting untuk melakukan perubahan, karena diharapkan kehadiran mereka tidak hanya ada saja secara statistik atau angka, tapi juga memberikan warna dan perubahan. Itu pentingnya mereka yang ada dalam posisi-posisi pengambil kebijakan memiliki perspektif perempuan”, ungkap Anita Dhewy. Kemudian Anita menjelaskan gagasan, proses dan kemajuan advokasi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). “Gagasan tentang UU PKDRT sudah hadir sejak tahun 1997 melalui data-data yang dikumpulkan oleh LBH APIK yang mencatat adanya peningkatan kasus-kasus kekerasan terhadap istri dan momen reformasi semakin membentuk kesadaran masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan memang nyata terjadi”, jelas Anita. Menurut Anita, data dan berbagai hasil kajian tentang kekerasan terhadap perempuan mendorong gerakan perempuan memperjuangkan UU PKDRT. Advokasi payung hukum pidana yang spesifik ini juga tidak terlepas dari kolaborasi dan dukungan antar organisasi perempuan sehingga membentuk kekuatan yang besar. Anita menjelaskan bahwa salah satrategi yang digunakan ialah membentuk sebuah forum parlemen yang kemudian menjadi penghubung antara gerakan perempuan dengan anggota DPR Komisi 7 yang menangani RUU ini. “Dalam upaya mendorong pemerintah untuk mengesahkan UU PKDRT, gerakan perempuan juga melakukan gerakan massa seribu payung. Presiden Megawati pun akhirnya mengeluarkan Amanat Presiden terkait RUU PKDRT, sehingga bisa diproses dan UU PKDRT bisa disahkan”, jelas Anita. Menurut Anita, selama ini selalu ada pemisahan antara publik dan privat sehingga gerakan perempuan berupaya merumuskan agenda politik perempuan yang membongkar pemisahan tersebut melalui UU PKDRT. “Kebijakan itu hanya mengatur urusan-urusan di ranah publik, sementara persoalan-persoalan yang terjadi di ranah privat itu tidak dianggap urusan negara. Tetapi dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, maka seharusnya negara ikut hadir dan memberi perlindungan pada perempuan”, tegas Anita Dhewy. Anita Dhewy menutup pemaparannya dengan pernyataan yang reflektif bahwa advokasi kebijakan tidak hanya membawa isu terkait identitas sebagai perempuan, tetapi identitas perempuan dari berbagai latar belakang yang termarginalkan secara politik dan yang mengalami kekerasan. (Rahel Narda Chaterine) Titiek Kartika Hendrastiti: Perempuan Sumba Melawan Tambang dan Memperjuangkan Kedaulatan Pangan29/3/2019
Dalam acara Peluncuran JP100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia yang diselenggarakan pada 27 Maret 2018 di Hotel JS Luwansa-Jakarta, Titiek Kartika Hendrastiti (Dosen FISIP Universitas Bengkulu & Penulis JP100) memamparkan hasil risetnya yang berjudul “Tutur Perempuan Komunitas Anti Tambang di Sumba: Sebuah Narasi Gerakan Subaltern untuk Kedaulatan Pangan”. Kawasan tambang emas di perbukitan Paleti Alira, Desa Praikaroku Jingga, Kecamatan Umbu Ratu Nggay, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur dipilih Titiek Kartika sebagai lokasi penelitian. Perbukitan yang memancarkan sinar saat bulan purnama, atau biasa dikenal sebagai bukit emas, merupakan wilayah konflik antara masyarakat setempat dengan korporasi tambang. Perlawanan kontra tambang ini dilakukan oleh seluruh kelompok masyarakat, termasuk kelompok perempuan, dimana peran kelompok perempuan tidak hanya sekadar menguatkan semangat untuk melindungi warisan leluhur dan lingkungan, tetapi juga merumuskan identitas atas pembebasan tubuh serta spiritnya. Bertujuan untuk menganalisis makna tutur komunitas anti tambang emas pada desa tersebut, Titiek Kartika menggunakan metode etnografi feminis pascakolonial dengan pisau analisis feminis pascakolonial. “Metode ini dapat mengungkapkan banyak hal, mulai dari adanya kelas yang berbeda, yakni hamba dan bangsawan, hubungan kedua kelas tersebut, kekerasan seksual, dan permasalahan kesehatan reproduksi. Tulisan dalam JP100 dikhususkan mengenai kedaulatan pangan”, tutur Titiek Kartika. Lebih jauh, Titiek megungkapkan bahwa ada keterkaitan antara tambang dan kedaulatan pangan. Ia menjelaskan bahwa keberadaan korporasi tambang di desa tersebut telah mengakibatkan kemerosotan bahan pangan lokal. Hal tersebut membuka peluang bagi pasokan pangan lain untuk memenuhi pasar dan permintaan lokal. Akibatnya keluarga yang biasa berswadaya pangan, kini bergantung pada pasokan pangan pendatang. “Pasar tidak berjalan di daerah tersebut, namun beberapa masyarakat membuka warung. Saya bertanya mengenai kapan adanya warung-warung ini, jawabannya sejak tahun 2016 dan 2017, yang berarti sejak mereka mendapat kesulitan dari aktivitas tambang", tutur Titiek Kartika. Kemudian, hasil penelitian Titiek menunjukkan bahwa ada inisiatif lokal untuk merebut ruang kelola sumber daya alam. “Mereka tidak pernah menamakan diri sebagai gerakan, namun menggunakan kata-kata ‘protes’ atau ‘melawan’ yang dimulai atas pemikiran kritis perempuan”, jelas Titiek Kartika. Perlawanan ini dimulai atas pemikiran kritis perempuan atau ‘mama-mama’ yang menyadari bahwa korporasi tambang kian memakan ruang kehidupan, juga kesadaran bahwa uang yang dihasilkan dengan bekerja di korporat tidak setimpal dengan kerugian sumber daya alam yang mereka miliki. Titiek menjelaskan bahwa perasaan akan situasi terpinggir dan juga tertindas menjadi alasan penguat lain bagi perubahan inisiasi lokal gerakan perempuan. Menurut Titiek, ada beberapa kasus yang menjadi pertimbangan, diantaranya kesadaran akan keberadaan korporasi tambang yang tidak membawa dampak terhadap kehidupan masyarakatnya dimana akses layanan masyarakat seperti klinik dan sekolah tetap sulit. “Perlahan, gerakan perempuan lokal ini menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya lebih dari sekadar mengusir korporasi tambang, namun juga mewujudkan transformasi”, jelas Titiek. Lebih jauh Titiek menganalisa bahwa rumusan identitas masyarakat desa tersebut mirip sekali dengan apa yang disebut kelompok subaltern (Spivak 2008), yakni komunitas yang secara geografi tersembunyi, berkelas semu, “bisu” atau tidak punya akses ruang bersuara, teropresi dari kekuasaan ekonomi sosial dan politik, terlupakan dari ruang publik, dan kelompok yang tidak berkelindan dengan diskursus besar gerakan perempuan untuk isu kritis. “Yang dimaksud semu ialah, meskipun terdapat dua kelas dalam struktur masyarakat, yakni bangsawan dan hamba, namun keduanya kurang bisa menunjukkan kelas tersebut”, jelas Titiek. Dalam proses penelitian, Titiek menemukan hal menarik lainnya terkait gerakan subaltern perempuan anti tambang, yaitu saat perempuan atau ‘mama’ bangsawan turut mengundang para hambanya dalam Forum Group Discussion (FGD), tidak ada keraguan para hamba untuk berbicara di depan tuannya, bahkan mereka tidak takut untuk berdebat. Titiek menjelaskan bahwa penelitiannya menemukan adanya proses tutur gerakan perempuan yang menjadi HerStory, adanya kesadaran sebagai subyek, adanya framing insiasi lokal, pengoraganisasian, dan gerakan, adanya interkoneksi dengan kekuatan masyarakat sipil lain, kesadaran sebagai agen kemandirian pangan, hingga produksi ruang untuk memperluas akses, publik, dan kesejahteraan. Bagi Titiek pengetahuan dan pengalaman perempuan tersebut telah berkontribusi terhadap pembentukan identitas baru bagi gerakan perempuan di Indonesia. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Rabu (6/3) bertempat di Hotel Bidakara, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (Catahu) 2019. Setiap tahun Komnas Perempuan memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh di tanggal 8 Maret dengan meluncurkan Catahu. Tahun ini Catahu diluncurkan dengan judul “Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara” sebagai dokumentasi berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga pengadalayanan. Dalam acara tersebut Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan) menyebutkan bahwa di tahun 2019 ada kenaikan 14% kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu sejumlah 406.178 kasus. Data tersebut dihimpun dari tiga sumber yakni Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Agama (PA), lembaga layanan mitra komnas perempuan, dan Unit Pelayanan Rujukan (UPR). Mariana menjelaskan bahwa pada Catahu 2019 ditemukan fakta baru tentang kekerasan terhadap perempuan yakni perkosaan dalam pernikahan (marital rape), incest, kekerasan dalam pacaran (KDP), cybercrime, dan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas. Kendati beberapa darinya adalah jenis kasus lama, namun jenisnya semakin beragam. Sementara itu Adriana Venny (Komisioner Komnas Perempuan) menyampaikan bahwa dalam Catahu Komnas Perempuan memetakan jenis-jenis kekerasan seksual yang dilaporkan oleh korban yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, pemaksaan melakukan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Berdasarkan pengaduan korban banyak kasus yang terjadi di luar nalar kemanusiaan juga, misalnya tentang penelanjangan perempuan di bandara atas nama keamanan dan ancaman mengedarkan video porno (revenge porn). Yuniyanti Chuzaifah (Wakil Ketua Komnas Perempuan) menyatakan bahwa saat ini Komnas Perempuan dikejutkan dengan fakta meningkatnya kasus kekerasan di ranah personal. Komnas Perempuan mencatat setidaknya terdapat 9637 kasus yang dilaporkan dengan jenis kekerasan yang menonjol adalah kekerasan fisik sebanyak 3927 kasus. Yuniyanti menyayangkan bahwa selama ini kasus kekerasan berakhir pada perceraian tanpa tindakan lanjut yang mendukung hak korban. Selain itu, Yuniyanti mengingatkan bahwa negara perlu terlibat langsung dalam kasus femisida atau kasus pembunuhan perempuan dengan alasan misoginis. Menurutnya, negara juga perlu bergerak cepat dalam menangani perlindungan korban pasca melaporkan. “Kita dikejutkan dengan kasus seorang dokter yang dibunuh suaminya, padahal ia sudah mengadukan kasus kekerasan yang terjadi sebelumnya, ini menjadi catatan bagi pemerintah bahwa korban membutuhkan perlindungan pasca pengaduan”, tutur Yuniyanti. Thaufiek Zulbahary (Komisioner Komnas Perempuan) menyatakan bahwa pemerintah perlu mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera karena pengesahan tersebut merupakan wujud komitmen negara. Komnas Perempuan juga memberikan rekomendasi kepada semua elemen negara untuk menciptakan situasi kondusif mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak korban. (Iqraa Runi) Jumat (1/3) bertempat di LBH Jakarta, Komite International Women’s Day (IWD) Indonesia mengadakan konferensi pers. Komite IWD yang terdiri dari berbagai organisasi kemasyarakatan di Indonesia tersebut berinisiatif mengadakan aksi #GerakBersama untuk menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok rentan. Acara akan diadakan pada tanggal 8 Maret 2019 bertepatan dengan International Women’s Day/Hari Perempuan Internasional (HPI), tema yang diusung ialah “Panggung Politik Perempuan Independen”. Di tengah maraknya kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan terhadap perempuan di berbagai lini, komite IWD akan mengajukan tuntutan di berbagai bidang yakni ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, media dan teknologi, hukum dan kebijakan, ruang hidup dan agraria, kekerasan seksual, dan persoalan identitas dan ekspresi. Komite IWD berupaya mengemas tuntutan sejalan dengan momentum politik elektoral Pemilihan Presiden (Pilpres), dan Pemilingan Anggota Legislatif (Pileg) di level nasional dan daerah. Sehingga, isu perempuan dapat masuk menjadi salah satu agenda politik. Dalam konferensi pers tersebut ada Riska (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) yang menjadi salah satu pembicara menyatakan bahwa negara harus menaruh perhatian yang serius pada persoalan kesehatan reproduksi. Menurutnya selama ini, pemerintah tidak benar-benar serius dalam memberi akses layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi bagi perempuan dan anak. Ia mencontohkan, dalam kasus kehamilan tidak diinginkan perempuan tidak memiliki otoritas tubuhnya sendiri, perempuan harus meminta izin pasangannya terlebih dahulu sebelum melakukan aborsi. Riska juga menjelaskan bahwa kebijakan kontrasepsi memiliki problem tersendiri karena hanya bisa diakses oleh perempuan yang memiliki status “menikah”. “Kontrasepsi tidak diperbolehkan jika seorang perempuan belum menikah, apabila kita lihat maka seorang perempuan usia 10 tahun diperbolehkan mengakses kontrasepsi dengan catatan jika sudah menikah dan perempuan usia 70 tahun sekalipun tidak diperbolehkan mengakses kontrasepsi jika berstatus belum menikah”, pungkas Riska. Permasalahan ini menurutnya tidak menyelesaikan hak kesehatan reproduksi perempuan sekaligus melanggengkan pernikahan anak secara bersamaan. Sementara itu Naomi (Aliansi Jurnalis Independen) yang juga hadir sebagai pembicara menyatakan bahwa media perlu meningkatkan kualitas pemberitaan terhadap perempuan, khususnya dalam penyebutan identitas perempuan korban kekerasan seksual. Pada sejumlah pemberitaan media elektronik, tubuh dan seksualitas perempuan sering dijadikan komoditas, sehingga kerap kali perempuan menjadi korban kembali (reviktimisasi). Misalnya pemberitaan tentang korban kekerasan seksual disajikan dalam bentuk berita yang bias dan seksis. “Jurnalis perlu melindungi indentitas korban, karena itu adalah salah satu kode etik jurnalistik” tutur Naomi. Prili (Lembaga Bantuan Hukum Jakarta) menyatakan bahwa saat ini marak kasus peraturan daerah diskriminatif terhadap permepuan dan kaum minoritas lainnya. Sedangkan kebijakan yang pro perempuan seperti Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) justru tidak disahkan. “Persoalan tentang kebijakan diskriminatif sangatlah kompleks, bisa jadi permasalahan tersebut terjadi karena struktur hukum di Indonesia melanggengkan hal tersebut” tutur Prili. Selain itu, pejabat publik yang tidak memiliki perspektif gender dan keberpihakan menjadi salah satu hambatan pengalaman perempuan tidak dapat diakomodasi dalam kebijakan publik. “Isu perempuan sangatlah krusial, tetapi dalam debat calon presiden (capres) persoalan perempuan sama sekali tidak diangkat, bisa diartikan bahwa kepentingan perempuan tidak masuk dalam agenda politik mereka” tutur Prili. Komite IWD berupaya mengajukan tuntutan sesuai dengan permasalahan perempuan dan kaum minoritas di Indonesia. Pada tanggal 8 Maret 2019 Komite IWD akan mengemukakan tuntutannya kepada pemerintah. (Iqraa Runi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |