Titiek Kartika Hendrastiti: Perempuan Sumba Melawan Tambang dan Memperjuangkan Kedaulatan Pangan29/3/2019
Dalam acara Peluncuran JP100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia yang diselenggarakan pada 27 Maret 2018 di Hotel JS Luwansa-Jakarta, Titiek Kartika Hendrastiti (Dosen FISIP Universitas Bengkulu & Penulis JP100) memamparkan hasil risetnya yang berjudul “Tutur Perempuan Komunitas Anti Tambang di Sumba: Sebuah Narasi Gerakan Subaltern untuk Kedaulatan Pangan”. Kawasan tambang emas di perbukitan Paleti Alira, Desa Praikaroku Jingga, Kecamatan Umbu Ratu Nggay, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur dipilih Titiek Kartika sebagai lokasi penelitian. Perbukitan yang memancarkan sinar saat bulan purnama, atau biasa dikenal sebagai bukit emas, merupakan wilayah konflik antara masyarakat setempat dengan korporasi tambang. Perlawanan kontra tambang ini dilakukan oleh seluruh kelompok masyarakat, termasuk kelompok perempuan, dimana peran kelompok perempuan tidak hanya sekadar menguatkan semangat untuk melindungi warisan leluhur dan lingkungan, tetapi juga merumuskan identitas atas pembebasan tubuh serta spiritnya. Bertujuan untuk menganalisis makna tutur komunitas anti tambang emas pada desa tersebut, Titiek Kartika menggunakan metode etnografi feminis pascakolonial dengan pisau analisis feminis pascakolonial. “Metode ini dapat mengungkapkan banyak hal, mulai dari adanya kelas yang berbeda, yakni hamba dan bangsawan, hubungan kedua kelas tersebut, kekerasan seksual, dan permasalahan kesehatan reproduksi. Tulisan dalam JP100 dikhususkan mengenai kedaulatan pangan”, tutur Titiek Kartika. Lebih jauh, Titiek megungkapkan bahwa ada keterkaitan antara tambang dan kedaulatan pangan. Ia menjelaskan bahwa keberadaan korporasi tambang di desa tersebut telah mengakibatkan kemerosotan bahan pangan lokal. Hal tersebut membuka peluang bagi pasokan pangan lain untuk memenuhi pasar dan permintaan lokal. Akibatnya keluarga yang biasa berswadaya pangan, kini bergantung pada pasokan pangan pendatang. “Pasar tidak berjalan di daerah tersebut, namun beberapa masyarakat membuka warung. Saya bertanya mengenai kapan adanya warung-warung ini, jawabannya sejak tahun 2016 dan 2017, yang berarti sejak mereka mendapat kesulitan dari aktivitas tambang", tutur Titiek Kartika. Kemudian, hasil penelitian Titiek menunjukkan bahwa ada inisiatif lokal untuk merebut ruang kelola sumber daya alam. “Mereka tidak pernah menamakan diri sebagai gerakan, namun menggunakan kata-kata ‘protes’ atau ‘melawan’ yang dimulai atas pemikiran kritis perempuan”, jelas Titiek Kartika. Perlawanan ini dimulai atas pemikiran kritis perempuan atau ‘mama-mama’ yang menyadari bahwa korporasi tambang kian memakan ruang kehidupan, juga kesadaran bahwa uang yang dihasilkan dengan bekerja di korporat tidak setimpal dengan kerugian sumber daya alam yang mereka miliki. Titiek menjelaskan bahwa perasaan akan situasi terpinggir dan juga tertindas menjadi alasan penguat lain bagi perubahan inisiasi lokal gerakan perempuan. Menurut Titiek, ada beberapa kasus yang menjadi pertimbangan, diantaranya kesadaran akan keberadaan korporasi tambang yang tidak membawa dampak terhadap kehidupan masyarakatnya dimana akses layanan masyarakat seperti klinik dan sekolah tetap sulit. “Perlahan, gerakan perempuan lokal ini menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya lebih dari sekadar mengusir korporasi tambang, namun juga mewujudkan transformasi”, jelas Titiek. Lebih jauh Titiek menganalisa bahwa rumusan identitas masyarakat desa tersebut mirip sekali dengan apa yang disebut kelompok subaltern (Spivak 2008), yakni komunitas yang secara geografi tersembunyi, berkelas semu, “bisu” atau tidak punya akses ruang bersuara, teropresi dari kekuasaan ekonomi sosial dan politik, terlupakan dari ruang publik, dan kelompok yang tidak berkelindan dengan diskursus besar gerakan perempuan untuk isu kritis. “Yang dimaksud semu ialah, meskipun terdapat dua kelas dalam struktur masyarakat, yakni bangsawan dan hamba, namun keduanya kurang bisa menunjukkan kelas tersebut”, jelas Titiek. Dalam proses penelitian, Titiek menemukan hal menarik lainnya terkait gerakan subaltern perempuan anti tambang, yaitu saat perempuan atau ‘mama’ bangsawan turut mengundang para hambanya dalam Forum Group Discussion (FGD), tidak ada keraguan para hamba untuk berbicara di depan tuannya, bahkan mereka tidak takut untuk berdebat. Titiek menjelaskan bahwa penelitiannya menemukan adanya proses tutur gerakan perempuan yang menjadi HerStory, adanya kesadaran sebagai subyek, adanya framing insiasi lokal, pengoraganisasian, dan gerakan, adanya interkoneksi dengan kekuatan masyarakat sipil lain, kesadaran sebagai agen kemandirian pangan, hingga produksi ruang untuk memperluas akses, publik, dan kesejahteraan. Bagi Titiek pengetahuan dan pengalaman perempuan tersebut telah berkontribusi terhadap pembentukan identitas baru bagi gerakan perempuan di Indonesia. (Nadya Nariswari Nayadheyu) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |