Sabtu, 10 Desember 2016 lalu, Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) didukung oleh UN Women dan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), mengadakan Festival Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Let’s End Sexual Violence! di The Warehouse, Plaza Indonesia sebagai penutup peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Isu kekerasan seksual terhadap perempuan hingga saat ini masih menjadi salah satu masalah utama di Indonesia. Apalagi jika melihat berbagai kasus yang naik ke muka publik dan tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Acara ini sendiri terbagi menjadi empat sesi diskusi dengan tema yang berbeda-beda. Satu sesi diskusi yang cukup menarik perhatian adalah sesi diskusi mengenai isu perkawinan anak dalam upaya penghapusan kekerasan seksual. Diskusi ini menghadirkan Fadilla Dwianti Putri (Dila) dari UNICEF dan Kemas Achmad Mujoko (Jojo) dari Aliansi Remaja Independen (ARI) sebagai pembicara. Pembahasan mengenai perkawinan anak pada diskusi ini dimulai dengan pemutaran film dokumenter hasil produksi dan penelitian yang dilakukan oleh ARI. Film pendek tersebut membahas delapan kisah perkawinan anak di tiga kota di Pulau Jawa (DKI Jakarta, DIY Yogyakarta dan Jawa Timur). Film dokumenter ini menceritakan delapan perempuan yang melakukan pernikahan anak dalam bentuk wawancara dengan pelaku pernikahan anak. Film ini sendiri ingin melihat perspektif anak perempuan sebagai korban dalam pernikahan yang mereka jalani. Jojo menjelaskan bahwa latar belakang dibuatnya film dokumenter tersebut adalah karena ingin melihat bagaimana realitas perkawinan anak di lapangan. Film ini juga sebuah upaya yang dilakukan ARI dan Koalisi 18+ kala itu untuk mengajukan usulan kenaikan usia perkawinan menjadi minimal 18 tahun untuk anak perempuan (dalam undang-undang dikatakan usia minimal perkawinan adalah 16 tahun) kepada pemerintah. Meskipun pada akhirnya pemerintah tidak mengabulkan kenaikan usia perkawinan menjadi 18 tahun, film dokumenter ini berhasil menunjukkan realitas perkawinan anak yang sangat merugikan banyak pihak, terutama sang anak yang menjadi korban di dalam pernikahan itu sendiri. Kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan adalah tiga isu penting yang seringkali tidak diacuhkan oleh pemerintah ketika negara melegalkan pernikahan anak. Masalah kesehatan reproduksi adalah permasalahan utama yang menjadi perhatian ketika pernikahan anak terjadi. Banyak pelaku pernikahan anak yang tidak mengetahui informasi mengenai kesehatan reproduksi, termasuk akses terhadap hak-hak kesehatan reproduksi yang diberikan oleh pemerintah (seperti penyediaan alat kontrasepsi dan program KB). Pada isu pendidikan misalnya, banyak pelaku pernikahan anak yang putus sekolah setelah melakukan pernikahan, sehingga tidak melanjutkan pendidikannya. Pada kasus pernikahan anak yang disebabkan oleh Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), seringkali sekolah mengeluarkan siswa/siswinya karena kedapatan mengalami KTD atau pada kasus lain sang siswa/siswi merasa malu untuk melanjutkan pendidikannya karena mengalami KTD dan memilih untuk berhenti bersekolah. Untuk isu ketenagakerjaan, Jojo menceritakan bahwa ada pelaku pernikahan anak yang justru menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) setelah melakukan pernikahan. Jojo melihat ada kecenderungan bahwa seseorang yang terlibat dalam pernikahan anak adalah seorang korban, bukan pelaku. Hal ini dikarenakan adanya faktor kemiskinan dan terbatasnya akses terhadap pendidikan seks untuk anak. Ketika faktor kemiskinan atau kurangnya akses terhadap pendidikan seks mengakibatkan terjadinya KTD, seringkali pernikahan anak dijadikan solusi terhadap permasalahan tersebut. Namun Jojo tidak sependapat dengan solusi tersebut dan melihat bahwa pernikahan anak harus dihapuskan dan dicari solusi atas permasalahan yang timbul karena pernikahan anak. Hal ini menyiratkan bahwa pernikahan anak jauh lebih merugikan anak perempuan. Sejauh ini, ARI sudah melakukan beberapa upaya untuk penghapusan pernikahan anak di Indonesia. Diantaranya dengan melakukan integrasi pengawasan dari ARI, tokoh agama dan tokoh masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia yang mempunyai angka pernikahan yang tinggi seperti Nusa Tenggara Barat, Lombok Barat dan Sukabumi. Sementara itu Dila menyoroti adanya kontradiksi aturan hukum yang terjadi di Indonesia mengenai pernikahan anak. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebetulnya sudah bisa dijadikan alasan untuk menolak pernikahan anak karena dengan jelas menyebutkan bahwa usia 16 tahun masih dikategorikan sebagai anak. Namun, UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, mengizinkan pernikahan anak terjadi karena usia minimum untuk melakukan pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Hukum yang kontradiktif ini diperparah dengan tidak adanya batasan usia minimum untuk orang tua yang ingin menikahkan anaknya yang berumurdi bawah 16 atau 19 tahun. Orang tua bisa mengajukan izin pernikahan kepada pengadilan apabila mereka ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur, sekalipun anak mereka berumur 11 atau 12 tahun mereka tetap bisa melakukan pernikahan yang legal karena pengadilan dapat mengabulkan pernikahan tersebut. Dila juga menyebutkan berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan Koalisi 18+ di tiga kabupaten di Indonesia, pada tahun 2013-2015, terdapat 377 putusan pengadilan mengenai dispensasi pernikahan di bawah umur dan 97% putusannya mengabulkan pernikahan tersebut. Secara umum pernikahan anak juga menyebabkan anak perempuan lebih rentan mendapatkan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), serta 1,5 kali lebih rentan meninggal pada usia di bawah 28 tahun karena komplikasi pada saat melahirkan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2008-2015 menunjukkan bahwa prevalensi pernikahan anak di Indonesia berjumlah 25% yang berarti 1 dari 4 perempuan di Indonesia menikah di bawah umur 18 tahun. Data statistik BPS juga menyebutkan bahwa wilayah yang memiliki angka pernikahan tertinggi adalah Sulawesi Barat, diikuti Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. Dila menanggapi hasil penelitian yang dilakukan ARI mengenai pernikahan anak di kota Yogyakarta dan Jakarta yang sesungguhnya merupakan wilayah yang cukup rendah angka pernikahannya. Tetapi Dila menambahkan bahwa rendah bukan berarti tidak terjadi pernikahan anak di wilayah tersebut. Menurut Dila, ada dua pola kunci pernikahan anak di Indonesia yaitu menikah terlebih dahulu baru kemudian hamil dan hamil terlebih dahulu kemudian baru menikah. Namun, seringkali anak perempuan jarang dilibatkan sebagai penentu keputusan terhadap keputusan pernikahan tersebut termasuk memilih calon suami untuk dinikahinya. Dila menambahkan pernikahan pada anak perempuan seringkali terjadi karena sang anak tidak memiliki banyak pilihan untuk hidupnya. Semisal, lokasi sekolah jaraknya jauh dari rumah sehingga memakan banyak waktu, tenaga dan biaya hanya untuk bersekolah, karena itu orang tua memutuskan untuk menikahkan anaknya dibandingkan membiarkan mereka melanjutkan studinya hingga selesai. Sekalipun sang anak menolak untuk menikah, ia tidak memiliki pilihan lain. Hal lain yang menyebabkan anak perempuan lebih memilih menikah pada usia muda adalah karena kurangnya panutan di sekelilingnya yang bisa dijadikan contoh. Hal ini banyak terjadi di daerah semi-urban/rural yang hampir seluruh perempuan di wilayah tersebut menikah pada usia muda, sehingga sang anak merasa bahwa ia pun akan menikah pada usia muda pula. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menghapuskan pernikahan anak di Indonesia khususnya untuk menghindarkan anak perempuan terjebak dalam pernikahan anak. Pertama dengan advokasi hukum untuk menaikkan usia pernikahan menjadi minimal 18 tahun. Kedua, melibatkan anak perempuan terhadap setiap keputusan yang menyangkut dirinya, termasuk untuk masa depan dan pernikahannya. Ketiga, melibatkan komunitas untuk mengubah norma sosial tentang pernikahan anak, dan terakhir, memberdayakan anak perempuan yang telah terlanjur menjalani pernikahan untuk tetap memberikan akses pendidikan, menjadi mentor dan selalu memberikan dukungan kepadanya. Selain diskusi mengenai pernikahan anak, terkait upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan MaPPI FHUI dalam siaran persnya mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan dan penanganan yang tepat bagi korban dan pelaku kekerasan seksual, menjatuhkan pidana yang sesuai dengan harapan masyarakat, dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dengan beberapa catatan yaitu dengan memerhatikan perumusan non competent consent, unsur-unsur pemaksaan hubungan seksual, besaran ancaman pidana dan restitusi sebagaimana terdapat dalam buku yang diluncurkan MaPPI FHUI yaitu mengenai Reformasi pengaturan Tindak Pidana Perkosaan. (Naufaludin Ismail) Kamis, 8 Desember 2016, kuliah Kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan membincang mengenai “Perempuan dalam Mata Rantai Peredaran Narkotika: Perspektif Hukum Feminis”. Profesor Sulistyowati Irianto, guru besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia membuka kelas tersebut dengan mengungkapkan kegelisahannya mengenai situasi negara Indonesia. Ada permasalahan pada hukum kita. Berdasarkan penelitian yang pernah ia lakukan, Sulis menyatakan mayoritas kasus yang menjerat para penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) baik itu lapas laki-laki, perempuan dan anak adalah kasus narkotika, psikotropika dan obat terlarang (narkoba). Tahun ini, lapas di Semarang, 80% warga binaannya terjerat kasus narkoba, baik sebagai pemakai maupun pengedar. Hal ini menyebabkan lapas menjadi over-capacity. Ironisnya, salah seorang petinggi negara menyatakan bahwa solusi dari over-capacity adalah dengan memberikan remisi pada terpidana tindak pidana korupsi, padahal 80% penghuni lapas merupakan terpidana kasus narkoba. Jika melihat persentase tersebut bukankah yang seharusnya menjadi perhatian negara adalah kasus narkoba? Sulis menekankan pentingnya mempertanyakan bagaimana hukum memosisikan subjek yang rentan, khususnya perempuan di dalam kasus-kasus peredaran narkoba. Ada kebutuhan untuk membongkar bagaimana subjek dirugikan secara sistemik. Pada kasus Merry Utami dan Rani Andriani, dua orang terpidana yang divonis hukuman mati, terdapat pola yang sama yang membuat mereka terjebak dalam perdagangan narkoba . Karena itu dibutuhkan pendekatan hukum yang berperspektif perempuan untuk menjelaskan kompleksitas kasus hukum seperti pada kasus Merry Utami dan Rani Andriani. Pendekatan hukum berperspektif perempuan dikenal sebagai feminist jurisprudence atau feminist legal theory. Poin penting dari pendekatan ini adalah kritik terhadap sejarah dan menjadikan pengalaman perempuan sebagai stand-point. Sulis memaparkan bahwa hukum dibuat berdasarkan kacamata laki-laki, termasuk sejarah juga dibuat oleh laki-laki, karenanya tidak merekam kiprah perempuan dalam kontribusinya terhadap kehidupan bangsa. Sejarah terlalu sibuk dengan narasi-narasi besar, sehingga melupakan narasi-narasi keseharian, dalam hal ini adalah narasi perempuan. Pengabaian terhadap narasi perempuan juga terefleksi dalam berbagai perumusan hukum, yang berimpilkasi pada tidak terjaminnya keadilan bagi perempuan. Menurut Sulis pengalaman perempuan adalah hal yang penting disertakan untuk mengkritisi hukum. “Sejarah Indonesia misalnya, kita tidak diberi tahu mengenai sejarah perjuangan perempuan sebelum kemerdekaan yang sangat luar biasa. UUD 1945 pasal 27 tentang persamaan di muka hukum, bukanlah hal yang terberi melainkan lahir dari perjuangan gerakan perempuan. Hak pilih perempuan pada pemilu pertama di Indonesia juga merupakan hasil dari perjuangan gerakan perempuan Indonesia. Perempuan selalu ada dalam babak sejarah manapun, bahkan hingga saat ini. Gerakan perempuan selalu terintegrasi dalam gerakan masyarakat sipil”, ungkap Sulis. Ia melihat bahwa telah terjadi pendiaman terhadap sejarah perempuan. Lebih lanjut Sulis mengungkapkan metode hukum berperspektif feminis berangkat dari kisah-kisah perempuan. Feminist legal theory hadir sebagai respons atas temuan banyaknya instrumen hukum yang merugikan perempuan, secara khusus mendiskriminasi perempuan. Feminist legal theory juga menyadari bahwa sulit bagi perempuan untuk mendapatkan keadilan di dalam hukum. Sulis mengilustrasikan seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual harus menunjukkan bukti. Hal ini tentu tidak mudah bagi perempuan. Perjuangan untuk melakukan pembuktian kadang kala membutuhkan proses hukum yang begitu lama, tetapi hukuman yang diberikan pada pelaku hanya beberapa bulan. Tentu ini tidak memberikan keadilan bagi korban. Feminist legal theory dapat digunakan untuk menguji pasal-pasal yang dikenakan untuk menghukum perempuan. Ada dua tataran yang dikritisi oleh feminist legal theory yaitu tataran teks dan praktik. Pertanyaan dalam feminist legal theory yang digunakan sebagai tolok ukur untuk melihat bagaimana hukum secara desain merugikan perempuan meliputi (1) Bagaimana identitas dan imajinasi tentang perempuan, termasuk seksualitas, kapasitas, peranan dan nilai-nilai tentang perempuan diproyeksikan oleh hukum? (2) Apakah hukum merefleksikan realitas pengalaman perempuan? Perempuan yang mana? (3) Isu apa yang diatur oleh hukum? (4) Apakah hukum melindungi dan memberi keuntungan pada perempuan? (5) Apakah aspirasi dan perspektif perempuan diperhitungkan oleh hukum? Hukum harusnya memberikan keadilan bagi perempuan, namun dalam beberapa kasus instrumen hukum malah merugikan perempuan. Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Pornografi misalnya. Sulis mengatakan Undang-Undang Perkawinan adalah undang-undang yang paling dekat dengan perempuan namun ia juga merupakan undang-undang yang menjerat perempuan. Ada standar ganda di dalamnya. Begitu pula halnya dengan Undang-Undang Pornografi. Undang-Undang ini perlu ada demi menjaga anak-anak agar tidak terpapar konten pornografi, tetapi menjadi persoalan ketika pengalaman perempuan tidak terakomodir di dalam perumusan undang-undang tersebut. Maka yang terjadi adalah objektifikasi tubuh perempuan. Menurut Sulis kritik hukum feminis tidak berhenti pada kritik terhadp teks hukum tapi lebih jauh lagi melakukan kritik terhadap praktik hukum. Salah satu yang perlu dikritisi dan direkonstruksi adalah putusan hakim. Hal ini mengingat di Indonesia masih banyak hakim yang menempatkan dirinya sebagai corong undang-undang. Padahal terdapat kebutuhan untuk menjadikan putusan hakim sebagai sumber hukum yang penting. Sulis menjelaskan bahwa perkembangan hukum sangatlah lambat, sedangkan perkembangan masyarakat sangat cepat, sehingga penting bagi para hakim untuk membuat terobosan melalui putusannya. Berdasarkan penelitian kualitatif yang Sulis lakukan pada beberapa perempuan terpidana mati dalam kasus peredaran narkoba, terdapat relasi terselubung antara kurir narkoba (perempuan) dengan isu perdagangan orang. Menurutnya ada pola berulang dalam kasus kurir narkoba yang ditelitinya. Dalam pola tersebut selalu ada rekrutmen terhadap perempuan. Rekrutmen tidak dilakukan dengan opsi melainkan dengan pengelabuan. Biasanya, mereka (perempuan) dijanjikan pekerjaan, yaitu sebagai penjaga toko atau salon tapi nyatanya para perempuan ini dijebak dalam perdagangan narkoba. Ada pula model pengelabuan dengan menjadikan perempuan sebagai pacar ataupun istri. Setelah proses perekrutan terjadi, kemudian dilakukan proses migrasi, proses ini digunakan oleh sindikat untuk mengisolasi perempuan dari budayanya. Di tempat yang baru perempuan tidak dapat memahami bahasa asing, tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat setempat, sehingga ia tidak dapat meminta pertolongan. Perempuan dalam bisnis narkoba mengalami berbagai bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Kasus perempuan yang terjerat dalam perdagangan narkoba cross-cut dengan persoalan perdagangan perempuan. Sulis menyatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan terjebak dalam perdagangan manusia yang menjadikan mereka sebagai kurir narkoba. Pertama, motivasi untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Kedua, ketiadaan keberanian pada diri perempuan untuk menuntut penjelasan dari orang lain, sehingga ia mudah terjebak. Ketiga, keinginan memenuhi perannya sebagai pengasuh utama mendorongnya untuk mencari uang banyak dengan cara mudah. Keempat, kecenderungan perempuan untuk mudah percaya pada orang lain baik itu teman maupun pasangan. Pengabaian pada faktor-faktor tersebut tentu membuat hukum menjadi timpang. Perempuan dirugikan, hal ini diperparah dengan absennya sensitivitas gender pada para aparat penegak hukum dan berbagai ketidaktepatan dalam proses peradilan. Jika faktor-faktor tersebut dipertimbangkan, kasus Merry Utami tentunya tidak akan berujung pada putusan hukuman mati. Ketika faktor kerentanan perempuan diabaikan, maka hukum akan gagal memberikan keadilan bagi perempuan, Merry Utami contohnya. Ia adalah korban dari sistem yang tidak mengakomodir pengalaman perempuan sebagai pertimbangan yang berujung pada hukuman mati. (Abby Gina) Sabtu, 3 Desember 2016, Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Pusat Studi Wanita Universitas Sumatra Utara (USU) menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 91 Status Perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Engineering & Matematika). Pendidikan publik yang diselenggarakan di Gedung Pusat Penelitian USU menghadirkan Ir. Seri Maulina, M.Si., Ph.D. (Dekan Fakultas Teknik USU), Ambarwati, ST (Guru SMKN 1 Jepara), Andi Misbahul Pratiwi, ST (Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai pembicara dan dimoderatori oleh Anita Dhewy (Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan). Acara ini dihadiri oleh sekitar 60 orang peserta yang terdiri atas dosen, mahasiswa, siswa SMK, aktivis perempuan di Sumatra Utara. Dalam sambutannya Dr. Nurbani selaku Ketua Pusat Studi Wanita (PSW) USU menyampaikan bahwa rendahnya persentase penguasaan perempuan terhadap sains dan teknologi memperlihatkan betapa tajamnya ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki khususnya dalam hal akses dan penguasaan teknologi dan sains. Beberapa hasil penelitian dan statistik juga menunjukkan bahwa laki-laki memegang kendali dalam sains dan teknologi. Di sisi lain budaya dan lingkungan membiasakan anak perempuan sejak kecil telah jauh dari akses dan penguasaan terhadap sains dan teknologi. Akibatnya remaja perempuan maupun perempuan dewasa belajar bahwa teknologi dan sains adalah area milik laki-laki. Ditambah pula adanya stereotip yang menganggap bahwa perempuan tidak mampu memahami sains dan teknologi. Hal tersebut tentu sangat merugikan perempuan salah satunya dalam hal kesempatan lapangan pekerjaan yang pada saat ini semakin menuntut penguasaan sains dan teknologi. Karena itu menurut Nurbani sangat mendesak untuk memberikan pencerahan kepada publik akan pentingnya penguasaan terhadap sains dan teknologi bagi perempuan. Mengingat kemampuan untuk menguasai sains dan teknologi berpotensi menjadi instrumen yang akan mendorong terwujudnya kesetaraan gender. Setelah itu acara disambung dengan sambutan dari Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum yang dibacakan oleh Anita Dhewy. Dalam sambutannya Dewi Candraningrum menyebutkan bahwa setidaknya 90% pekerjaan sekarang membutuhkan keterampilan ICT (Information Communication and Technology). The Commission on the Status of Women (2011, 2014) dan 20 tahun perjalanan Beijing Platform for Action (2015) merekomendasikan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mengadvokasi rendahnya perempuan dan remaja perempuan dalam ICT dan STI. Maka dari itu dibutuhkan investasi dan jalan akses untuk diberikan pada anak-anak dan remaja perempuan untuk menutup jurang penguasaannya. Dalam sektor formal, hanya 10% perempuan berada dalam sektor STI. Ini amat kecil sekali dan merugikan perempuan secara global. Salah satu cara untuk mereduksi gap tersebut adalah mengadvokasi sekolah-sekolah kejuruan untuk membuka peluang lebih banyak pada anak dan remaja perempuan. Data Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menarasikan bahwa di Indonesia setidaknya ada 6.800 SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).STEM di Indonesia, selain diperkenalkan di sekolah tingkat dasar, menengah dan universitas; secara khusus ada di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Dalam film dokumenter GIZ berjudul Indonesian Women in Science and Technology perihal sosialisasi SMK bagi anak perempuan menarasikan bahwa siswi di SMK yang berbasis STEM (Teknik Pendingin & Tata Udara; Pemesinan; Teknik Kendara Ringan) hanya 2% dibandingkan siswa laki-laki yang hampir 98% untuk kelas X, XI, XII dan XIII, menurut data PDSP Kemdikbud tahun 2015. Defisit anak perempuan dalam SMK dengan basis STEM menegaskan kembali disparitas gender secara nasional. Promosi dan langkah afirmatif untuk memperkenalkan ini pada anak dan remaja perempuan amat penting untuk menutup disparitas ini. Dewi menjelaskan bahwa Pendidikan Publik JP91 kali ini akan membedah pelbagai matra atas gap perempuan dalam ICT, STI, dan STEM. Ia juga mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan keterlibatannya yang luar biasa kepada seluruh pihak yang telah hadir dan mendukung acara ini. Usai pembacaan sambutan dari Pemred Jurnal Perempuan, acara dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter produksi GIZ. Film dokumenter tersebut mendokumentasikan aktivitas siswa perempuan yang menempuh pendidikan di bidang STEMsebagai role-model serta memuat testimoni dari guru pengajar sebagai motivasi bagi perempuan untuk masuk dalam bidang STEM. Dalam film dokumenter tersebut terlihat bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan STEM sangat minim di SMK. Di bidang teknik kendarangan ringan dan teknik pendingin udara perempuan sangat sedikit. Dokumentasi tersebut sangat penting disosialisasikan untuk menarik minat perempuan di bidang STEM. Setelah pemutaran film dokumenter acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Anita Dhewy sebagai moderator. Anita memperkenalkan profil para pembicara kemudian mempersilakan Seri Maulina memberikan paparan yang pertama. Seri Maulina menyebutkan bahwa ada perempuan hebat Indonesia yang telah menorehkan prestasi di bidang STEM dengan menduduki jabatan penting di perusahaan ternama, yaitu Betti Alisjahbana adalah perempuan pertama yang menjadi pimpinan perusahaan IBM di kawasan Asia Pasifik, Karen Agustiawan perempuan pertama yang pernah memimpin PT Pertamina, dan Audist Subekti yang kini memimpin departemen teknis perusahaan 3M Indonesia dan juga Leader Technical Champion untuk Indonesian Chapter Woman Leader Forum. Beliau memiliki keahlian di bidang keselamatan untuk industri perminyakan dan gas.Prestasi yang tersebut menurut Dekan Fakultas Teknik USU ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk berkontribusi besar dalam pengembangan sains dan teknologi. Kemampuan mereka tidak perlu diragukan lagi karena telah mendapat pengakuan bahkan untuk tingkat internasional. Meskipun demikian Seri Maulina mengakui bahwa perempuan masih minim yang menempuh pendidikan di bidang STEM. Ia menyebutkan secara keseluruhan Fakultas Teknik USU memiliki jumlah mashasiswa dengan komposisi 28,93% perempuan dan 71,07% laki-laki dalam kurun waktu 10 tahun (2007-2016).Namun jika dilihat untuk masing-masing program studi (Prodi) yang diikuti, terdapat tiga program studi dimana jumlah perempuan jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu di Prodi Teknik Sipil, Teknik Mesin, dan Teknik Elektro. Persentase jumlah mahasiswi di Teknik Mesin adalah yang terendah yaitu rata-rata hanya 1,98% dengan persentase maksimal 6,67% pada tahun 2013. Namun untuk prodi lain seperti Teknik Industri dan Teknik Kimia, perbedaannya tidaklah begitu signifikan dengan persentase jumlah mahasiswi pada kedua prodi adalah 40,96% dan 44,03%. Sedangkan di prodi Arsitektur dan Teknik Lingkungan, persentase jumlah mahasiswinya adalah sedikit lebih tinggi dibanding jumlah mahasiswa yakni masing-masing 53,14% dan 56,44%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat bidang-bidang tertentu di bagian ilmu teknik yang lebih diminati ataupun terasa lebih soft untuk perempuan. Menurutnya perempuan memiliki potensi besar untuk menguasai bidang STEM. “Dukungan penuh dari keluarga sangat berperan besar untuk mendukung kiprah perempuan dalam pengembangan STEM”, ungkapnya. Setelah paparan dari Seri Maulina, diskusi dilanjutkan dengan paparan dari Ambarwati, Guru SMKN 1 Jepara di Jurusan Nautika Kapal. Ambar mengungkapkan bahwa di SMKN 1 Jepara sangat sedikit perempuan yang menempuh pendidikan STEM. Di Jurusan Nautika Kapal sama sekali tidak ada siswa perempuan, baru pada tahun 2016 ini ia mendapat informasi bahwa ada perempuan yang mau mendaftar di Jurusan tersebut. Hal yang sama juga terjadi di jurusan Teknik Kendaran Ringan, 0% perempuan. Menurutnya banyak faktor yang menyebabkan perempun memiliki jarak dengan bidang STEM. Ia menjelaskan bahwa pembedaan pengasuhan antara anak laki-laki dan anak perempuan sejak kecil menjadi salah satu faktornya. Anak perempuan sejak kecil telah dibiasakan diberikan mainan boneka dan anak laki-laki diberikan mainan robot. “Sejak kecil kita sudah memberikan pembedaan terhadap anak laki-laki dan perempuan, sejak kecil mereka dididik untuk mengenal bahwa teknik adalah dunia anak laki-laki, itu juga yang terjadi pada kita semua hari ini”, ungkap Ambar. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa keputusan anak dalam memilih jurusan di SMK sangat dipengaruhi besar oleh dukungan orang tua kemudian guru dan teman-teman. Ini menunjukkan bahwa untuk mendorong perempuan dalam pendidikan STEM semua harus terlibat bukan hanya guru namun orang tua juga penting. Kemudian paparan dari pembicara ketiga, Andi Misbahul Pratiwi yang menulis tentang perempuan programmer dalam karier dan pendidikan dengan pendekatan teknofeminisme dalam JP 91 Status Perempuan dalam STEM. Andi memulai paparannya dengan menjelaskan bahwa ada diskursus tentang teknologi pada gerakan perempuan. Feminis Liberal berpendapat bahwa rendahnya partisipasi perempuan dalam sains dan teknologi bisa diselesaikan dengan memberikan akses pendidikan yang sama bagi perempuan. Namun menurut Andi Feminis Liberal tidak merumuskan secara lebih luas apakah atau bagaimana teknologi dan institusi teknologi dapat direkonstruksi untuk mengakomodir perempuan. Kemudian menurut Andi terdapat juga pandangan yang berbeda mengenai teknologi dari Feminis Sosialis yang berfokus pada persoalan teknologi dan mesin produksi. Feminis sosialis beranggapan bahwa teknologi produksi membawa dampak negatif untuk pekerja perempuan dan ini menjadi awal mula bagaimana perempuan anti terhadap teknologi. Teknologi industri didesain untuk laki-laki dan didefinisikan maskulin. Dengan demikian memang ada jarak yang dibangun sejak lama antara perempuan dan teknologi. Andi menjelaskan mengenai kondep teknofeminisme yang juga ada di dalam tulisannya, teknofeminisme beranggapan bahwa teknologi adalah sesuatu yang netral gender sehingga penting bagi perempuan juga menguasai teknologi. “Minimnya partisipasi perempuan dalam teknologi akan berdampak bagi ekonomi perempuan, karena hampir 90% pekerjaan memerlukan skill teknologi”, ungkap Andi. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa hanya ada 48 perempuan pemenang Nobel sejak 1901, ini sangat sedikit sekali menurutnya. Andi menjelaskan bahwa untuk menarik perempuan ke dalam pendidikan khususnya pendidikan teknologi diperlukan dorongan dari guru dan keluarga serta partisipas laki-laki sehingga kesetaraan gender bisa terwujud. Menurutnya anak perempuan yang masuk dalam jurusan STEM di SMK seringkali mendapatkan stigma perempuan tomboy dan stereotip negatif, hal inilah yang menurut Andi perlu dibongkar. “Membongkar mitos tentang teknologi perlu dilakukan sehingga perempuan juga dapat mengakses pendidikan teknologi tanpa diberikan stereotip”, tutur Andi. Pendidikan Publik JP 91 ini sangat menarik sekali karena banyak siswi SMK di Medan yang hadir. Para peserta juga aktif mengajukan pertanyaan. Anita Dhewy selaku moderator memberikan 3 sesi pertanyaan karena peserta sangat antusias tentang isu perempuan dan STEM khususnya dalam konteks Sumatra Utara. Setelah itu Anita Dhewy memberikan kesempatan Dani Sofina Sibuea, perempuan satu-satunya di level manajerial PT Bintang Cosmos Indonesia, agen pemegang merek (APM) Mercedes Benz, untuk menanggapi beberapa respons dari peserta mewakili dari pihak swasta. Dani menjelaskan bahwa informasi yang didapatkan oleh masyarakat sangat kurang. Ia mengungkapkan bahwa perusahaan sangat membutuhkan tenaga terampil perempuan di bidang STEM. “Dengan hadirnya perempuan di perusahaan akan menambah ide dan inovasi baru serta membantu dalam problem solving”, ungkapnya. Menurutnya peluang kerja bagi perempuan di bidang STEM sangat banyak dan perusahan sangat membutuhkan tenaga terampil perempuan. Ia menambahkan bahwa penting bagi Indonesia untuk melibatkan perempuan dalam segala bidang termasuk bidang STEM karena Indonesia memiliki jumlah penduduk perempuan yang lebih besar daripada laki-laki—yang merupakan bonus demografi—sehingga pemberdayaan ekonomi perempuan akan berdampak pada peningkatan ekonomi negara. Setelah sesi diskusi dan tanya jawab, Anita Dhewy sebagai moderator memberikan kesimpulan singkat terkait diskusi. Pertama, ia menyebutkan bahwa pembongkaran terhadap mitos teknologi yang maskulin penting dilakukan untuk menarik partisipasi perempuan dalam bidang STEM. Kedua, dukungan dari orang tua sangat penting bagi anak untuk menempuh pendidikan di bidang STEM. Ketiga, sosialisasi pentingnya perempuan masuk dalam bidang STEM perlu melibatkan banyak pihak, pemerintah, swasta serta institusi pendidikan dan perlu diperkenalkan sejak tingkat SMP.Setelah itu, Anita Dhewy menutup diskusi dan dilanjutkan dengan foto bersama. (Andi Misbahul Pratiwi & Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |