Korban terbanyak dari tragedi Mei ’98 adalah kaum perempuan. Dibentuknya Komnas Perempuan merupakan upaya untuk menghapuskan kekerasan yang terjadi pada perempuan, demikian pernyataan Ketua Sub Komisi Pemulihan Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, dalam Seminar bertajuk “Membangun Mekanisme Pelaporan Korban Kekerasan Seksual” di di Auditorium Gedung X FIB Universitas Indonesia pada (26/11). Meskipun deklarasi HAM universal sudah ada namun secara spesifik dan sistematis perempuan mengalami kekerasan berbasis gender. Forum Pengadaan Layanan di dalam Komnas Perempuan bertugas membantu penanganan kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan. Seringkali negara memfokuskan diri pada hukuman bagi pelaku dan mengabaikan pemulihan korban. Di sinilah Komnas Perempuan turut membantu memulihkan kondisi psikologis korban. Menurut Nurherwati, kekerasan seksual kerap kali mendapatkan penyangkalan dari sosial. Jika korban tidak berani muncul dan hukum tidak dapat membuktikan tidak berarti faktanya tidak ada. Diperlukan adanya perspektif HAM dan gender untuk memahami posisi perempuan di dalam masyarakat. Jika pisau analisis tidak digunakan dengan benar maka stigma pada korban akan muncul. Pisau itu digunakan untuk membedakan korban dan pelaku. Pembelaan pada korban ada pada pisau analisis yang seringkali luput oleh para penegak hukum. Nurherwati menambahkan prinsip penanganan korban pelecehan seksual di Komnas Perempuan berbasis pada korban. Di sini para konselor menjadi pendengar dan diharapkan berempati dan berpihak pada korban. Tanpa rasa keberpihakan, korban akan takut bercerita dan cenderung menyalahkan dirinya. Maka yang diperlukan bagi pendamping korban pelecehan adalah perspektif dalam menganalisis kasus. Perspektif sangat penting untuk mengasah kemampuan dalam menyusun kronologi peristiwa yang sesuai dengan fakta. Selain menjadi pendengar, pendamping melakukan intervensi kritis. Misalnya di dalam kasus korban pelecehan atau kekerasan yang merasa menjadi pihak yang patut disalahkan. Pandangan ini harus dihilangkan dari korban. Setelah intervensi, pendamping kemudian membantu menyusun strategi dalam menempuh jalur hukum. Dalam seminar ini dijelaskan beberapa karakteristik mengenai kekerasan seksual. Salah satunya adalah pelaku seringkali merasa bahwa tindakannya dapat dibenarkan dikarenakan alasan “suka sama suka”. Hal itu menguatkan keragu-raguan korban bahwa ia telah mengalami pelecehan dan kekerasan. Nurherwati memberikan beberapa tips penanganan spesifik yang dapat dilakukan oleh para pendamping seperti memberikan informasi kepada korban tentang hak atas tubuh, penguatan bagi korban yang merasa bersalah dan pentingnya peran keluarga sebagai bagian utama dari perlindungan bagi korban. (Johanna Poerba dan Lola Loveita) Agni Malagina: Sistem Perlindungan dan Pengaduan Kekerasan Seksual di Kampus Harus Diperkuat28/11/2014
Sebagai salah satu pembicara di seminar “Membangun Mekanisme Pelaporan Korban Kekerasan Seksual” yang digelar Program Studi Filsafat Universitas Indonesia bekerjasama dengan Komunitas perEMPUan pada (26/11), Agni Malagina, perwakilan BKM (Badan Konseling Mahasiswa) FIB UI menyampaikan penjelasan mengenai latar belakang dibentuknya BKM. “Kasus pelecehan seksual yang terjadi beberapa waktu silam terhadap salah satu mahasiswi FIB UI menjadi pengingat untuk kita bahwa sudah seharusnya sistem perlindungan semacam ini dibangun di FIB UI,” paparnya. Sistem perlindungan ini penting untuk menjadi tempat pengaduan bagi mahasiswa/i yang mengalami diskriminasi, termasuk kekerasan verbal, diskriminasi akademis, kasus pelecehan hingga kasus kekerasan seksual. Lebih lanjut Agni menjelaskan unit konseling ini akan didirikan pada semester mendatang karena adanya berbagai kendala yang dihadapi dari mulai prasarana maupun menemukan tenaga konselor yang kompeten. Untuk proses pendampingan, unit konseling akan bekerja sama dengan berbagai lembaga terkait seperti Komnas Perempuan. Bersamaan dengan hal itu sedang disiapkan sistem pengaduan mahasiswa yang diharapkan dapat memotong tahap-tahap birokrasi yang rumit. Mahasiswa hanya perlu membuat janji dengan konselor atau melaporkan ke wakil dekan. Seringkali mahasiswa kesulitan atau tidak berani untuk mengadu karena takut atau malu. Dalam hal ini pihak FIB UI turut membuat pelatihan peer conselor sebagai pendamping dari pihak mahasiswa. Mereka dianggap lebih dekat dan memahami kehidupan mahasiswa. Di samping itu juga dibutuhkan payung hukum yang lebih spesifik untuk menjadi acuan dalam menangani kasus pelecehan dan kekerasan seksual. (Johanna Poerba dan Lola Loveita) Program Studi Filsafat Universitas Indonesia bekerjasama dengan Komunitas perEMPUan menyelenggarakan seminar yang bertajuk "Membangun Mekanisme Pelaporan Korban Kekerasan Seksual". Seminar ini diselenggarakan dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan dilangsungkan pada tanggal 26 November 2014 di Auditorium Gedung X FIB UI. Sebagai pembuka acara, Dosen Filsafat FIB UI, Saras Dewi menyatakan bahwa tugas penting kampus yang terabaikan salah satunya adalah menciptakan situasi yang aman bagi tubuh perempuan untuk menimba ilmu di kampus. Saras Dewi selaku pengajar mengaku kerap kali menerima laporan pelecehan dan kekerasan seksual namun tidak dapat berbuat apa-apa karena korban tidak ingin memperkarakan hal tersebut. Menurut Saras seringkali penguakkan kasus kekerasan seksual menemui kesulitan karena tidak mudah bagi korban untuk berbicara. Minimnya pengetahuan mengenai kekerasan seksual menjadi salah satu alasan. Di samping itu hukum masih terbata-bata dalam melindungi hak tubuh perempuan untuk bebas dari tekanan. Hadirnya Badan Konseling Mahasiswa di kampus menjadi upaya untuk menjadikan kampus tempat yang aman bagi pelajar dan pengajar. (Johanna Poerba dan Lola Loveita) Arianti Ina Restiani Hunga sebagai Ketua Sahabat Jurnal Perempuan Jawa Tengah (SJP Jateng) dan juga Ketua Pusat Penelitian Studi Gender (PPSG) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) mengatakan pentingnya memberikan pendidikan kritis bagi korban dan keluarga korban kekerasan seksual. Hal ini diungkapkan dalam Bedah Kasus Perdagangan Anak yang dihelat oleh Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (JPPAS), YAPHI, ATMA, YKPS, TALITA KUM, SJP Jateng, PPSG-UKSW dan Jejer Wadon di Yayasan Krida Paramita Solo, Selasa (25/11/2014). Acara rangkaian Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) menghadirkan narasumber dari Kepolisian Sukoharjo dan Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) terkait dengan kasus perdagangan anak yang terjadi di Sukoharjo yang diduga melibatkan Hangabehi Raja Solo. “Agar pelaku kekerasan seksual terkena aspek hukum karena ini kejahatan kemanusiaan dan bukan yang lain. PR bagi kita adalah agar bayi yang dikandungnya mendapat perlindungan. Bagaimana akses kepada korban? Supaya kita tahu apa saja kebutuhan korban. Langkah lain yang dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan kritis kepada korban dan keluarga korban ,”tutur Ina Hunga. Sementara itu Suparno Kabid PU Polres Sukoharjo menyatakan bahwa kasus perdagangan anak di Sukoharjo telah sampai ke Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Masalah kasus ini posisinya sudah jelas dan penyidikan selesai pada Selasa 18 November 2014, sudah P21 dan saat ini berkas di Jaksa Penyidik Umum. Tinggal menunggu sidang. Pasal yang dikenakan adalah tentang perdagangan manusia dan perlindungan anak. Dasarnya adalah laporan polisi pada 21 Juli 2014. Kejadian perkara pada Selasa 18 Maret 2014 pukul 16.00,” ujar Suparno. Denny Septiviant dari KPK2BGA menyatakan bahwa korban adalah anak-anak jadi yang digunakan adalah UU Perlindungan Anak. Denny menekankan terkait problem luarnya apakah korban mendapat layanan-layanan non legal, termasuk dengan anak yang dikandungnya. Dan apakah perlu diadvokasi karena itu adalah hak korban. Denny juga menyoroti peran Pos Pelayanan Terpadu (PPT) setempat. “Yang disoroti adalah peran PPT setempat. Undang-Undang memberi mandat terbesar terhadap pusat layanan terpadu. Dalam hal ini fungsi belum terlihat karena korban langsung didampingi oleh kuasa pendamping korban. PPT terkait juga dengan kehamilan terhadap akses layanan medis, ternyata belum terakses”. Seorang peserta diskusi Dunung dari ATMA mempertanyakan bahwa tim dari JPPS melakukan investigasi dari beberapa kronologi yang disampaikan kuasa pendamping korban berbeda dengan realitas di lapangan. Dunung juga menyatakan bahwa terduga pelaku kekerasan seksual yakni Hangabehi sampai saat ini belum sebagai terlapor. Pertanyaan yang langsung dijawab oleh Suparno bahwa pihaknya telah berusaha mendatangi Hangabehi di Keraton namun Hangabehi jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit. “Kami mendatangi Hangabehi untuk mencari keterangan terkait sebagai saksi,”jelas Suparno. Pihaknya sendiri mengakui bahwa kasus perdagangan manusia ini memberi peluang pengembangan. Vera Giantari, aktivis perempuan Solo mempertanyakan tentang pemahaman polisi atas kasus ini, apakah benar-benar Hangabehi tidak bisa dimintai keterangan. “Kita percaya bahwa di internasional konvenan bahwa anak tetap menjadi korban. Yang kita pertanyakan adalah bagaimana kepolisian ini melakukan penangangan kasus ini dengan tepat?” tutur Vera. Pernyataan kepolisian yang mengungkapkan bahwa kasus perdagangan anak di Sukoharjo ini bisa dikembangkan memberi angin segar. Kris, salah seorang peserta dari Pusat Studi Wanita Universitas Slamet Riyadi Surakarta menyatakan bahwa krisis ini adalah masalah besar. Bisa sebagai titik pijak tentang nilai budaya yang berkembang di Solo terkait bagaimana kendali kekuasaan? Kasus dilokalisir tidak hanya lewat politik untuk mengubah masyarakat. “Jika kepolisian mengatakan ini sesuatu yang tidak bisa diubah. Media jangan melokalisir bahwa ini hanya kasus atas korban. Ini persoalan bukan hanya kekerasan yang dilakukan oleh si A dan si B. Kita bisa lewat partai sebagai pengambil keputusan dari situ akses bisa masuk legislasi,”tuturnya. Senada dengan hal itu Ina Hunga juga memberi peluang tentang payung kebijakan oleh walikota atau bupati berupa Surat Keputusan (SK), “Karena di setiap daerah sebagai penanggung jawab tertinggi adalah walikota atau bupati,” ujarnya. Dewi Candraningrum (Pemimpin Redaksi JP) menekankan bahwa pertemuan bedah kasus dimaksudkan untuk sebuah tindakan koordinasi. “Kita sudah meratifikasi Hak Anak dan Pelindungan Perempuan. Kasus Raja Solo adalah masalah kita. Kalau kita punya perspektif pada korban, apakah ada keberpihakan kepada korban? Bagaimana korban malah diarahkan kepada media. Bahkan sebenarnya inisial korban pun tidak boleh disebut. Ada PSW se-Jawa Tengah dan kasus Hangabehi adalah kasus kedua yang terungkap. Jadi dibutuhkan sensitivitas,” pungkas Dewi Candraningrum. (Astuti Parengkuh) Alunan tembang kelompok kerja budaya Benang Merah mengawali pembukaan acara bedah buku Mendidik Pemimpin dan Negarawan: Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Plato, dari Yunani Antik Hingga Indonesia yang diselenggarakan di Balai Soedjatmoko Solo (11/11). Benang Merah menyajikan lirik kritik sosial dengan apik mulai dari lagu pertama “Negara tak Pernah Hadir”, “Sosok Sederhana” dan ditutup dengan sempurna oleh alunan lagu “Ku Benci Kain Putihmu”. Sebagian besar lirik lagu secara lugas menyuarakan berbagai kritik persoalan yang hadir di masyarakat seperti kemiskinan, konflik sosial dan kondisi rusaknya alam. Acara bedah buku menghadirkan pembicara yakni penulis buku Dr. A. Setyo Wibowo dan FX. Haryanto Cahyadi, serta narasumber pembedah yakni Dr. Dewi Candraningrum. Acara malam itu dimoderatori oleh St. Tri Guntur Narwaya, M.Si. Sekitar kurang lebih tiga jam, pemikiran dan gagasan Platon yang konon dianggap “menakutkan” mampu dipaparkan dengan runtut dan apik oleh ketiga pembicara. A. Setyo Wibowo sebagai penulis menjabarkan poin intuisi dan gagasan Platon terutama mengenai pendidikan, keutamaan manusia dan juga bagaimana ideal kepemimpinan yang ditawarkan Platon. Bagaimana karakter dan tahapan untuk membentuk sosok pemimpin dijabarkan dengan contoh-contoh yang reflektif oleh Setyo Wibowo. Menurut Setyo, proses pendidikan yang digagas oleh Platon adalah sebuah proses pembudayaan yang harus melalui sebuah fase tahapan tertentu. Pencapaian keutamaan kepemimpinan adalah ketika seseorang mampu menyeimbangkan daya-daya optimal yang ada dalam jiwa manusia. Lebih jauh pendidikan bukanlah persoalan mentransfer ilmu dari pendidik ke anak didik semata, melainkan sebuah pembalikan (conversion) yang mampu memberi landasan visi yang kokoh bagi anak didik. Capaian utama tentu membayangkan akan tercipta pribadi-pribadi manusia yang ideal. Pendidikan untuk pemimpin tidak diberikan bagi semua orang, akan tetapi diberikan kepada manusia dengan landasan bakat alamiah tertentu. Hanya pribadi-pribadi tertentu yang mampu mengoptimalkan bakat-bakat itu yang akan bisa menjadi seorang pemimpin. Terdapat beberapa hal yang diungkapkan Setyo dalam melihat karakter pemimpin, Pertama, bakat alamiah manusia. Bakat alamiah ini seperti keberanian atas keberpihakan, pemarah atas ketertindasan, kecerdasan, daya ingat bagus dan tekun dalam menghadapi masalah sampai tuntas. Kedua, adanya kurikulum atau metode yang tepat untuk membangun ruang berpikir anak didik. Kurikulum dan lingkungan (epistemik) yang tepat mampu meningkatkan kecerdasan calon pemimpin menjadi baik. Pendidikan ini pun dijabarkan dalam beberapa hal. Pendidikan pra-rasional untuk membangun sensibilitas ataupun pendidikan karakter. Hal ini bisa dimulai dari keluarga, biasanya dilakukan melalui musik, puisi, sastra, seni. Pendidikan Gymnastic (fisik), bukan berarti membentuk anak menjadi atlet, melainkan bertujuan agar anak didik terlatih untuk mengenali dan membentuk jiwanya. Setyo Wibowo mengungkapkan bahwa sebelum mengenali orang lain kita harus mampu mengenali diri sendiri. Pendidikan teoritik dan pengasahan intelektualitas dilakukan setelah bangunan pendidikan pra-rasional dan gymnastic dilampaui. Anak didik kemudian diajak untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan suatu masalah. Sementara FX Hariyanto Cahyadi memberi tambahan penjelasan yang lebih masuk pada pendasaran filosofis dan teoritik atas apa yang ditawarkan oleh Platon yang hidup jauh pada empat abad sebelum masehi. Gagasan tentang filsuf sebagai negarawan ataupun juga gagasan konsep Paideia yang dikembangkan Platon tentu tidaklah datang dari langit. Gagasan Platon pada konteksnya lahir dari dialektika dan permenungan yang panjang terutama pada berbagai upaya pembaharuan berhadapan dengan beberapa mainstream pandangan yang kokoh dan berkembang saat itu seperti gagasan Paideia Homeros dan juga Paideia kaum Sofis. Sebagai sebuah nilai, konsep bagaimana kepemimpinan ideal tentu juga sudah dikembangkan oleh dua mainstream gagasan tersebut. Tak untuk mengubah dan menggantikan keseluruhan, Platon memberikan tawaran yang lebih kokoh mengenai apa yang perlu untuk membentuk kepemimpian Kalokagathos versi pandangan Platon. Cita-cita yang sangat luar biasa yang mampu dielaborasi oleh Platon adalah menunjukkan betapa kekuatan nalar rasio—yang disebutnya sebagai Episteme-Arete yakni sebuah formasi logistikon demi pengetahuan kebijaksanaan—adalah prinsip keutamaan yang mendasar. Sebagai pembedah dan penanggap, Dewi Candraningrum lebih menempatkan diri beserta catatan dia sebagai sebuah tafsir kepada tulisan seorang ‘ayah’. Dalam makalah berjudul “Menafsir Ayah”, poin menarik yang mampu dia bedah adalah kecurigaan sekaligus catatan kritis atas kuasa akal (nalar) dan beberapa dimensi narasi agung yang dibawanya. Apa yang ingin dikaitkan antara gagasan besar buku tentang Platon ini dengan kejadian-kejadian yang riil bisa ditangkap adalah bahwa pada proses historisnya berbagai pengagungan nalar dan pemusatan pada nalar manusia yang khas dikembangkan dalam positivisme ilmu-ilmu alam pada kenyataannya membentuk proses yang disebutkan sebagai peliyanan. Narasi agung akan kekuatan akal di satu sisi jika tidak hati-hati mampu melahirkan apa yang disebut sebagai liyan (the other). Catatan unik dan menarik yang lain adalah penolakan Dewi terhadap penggunaan binatang sebagai metafora ataupun alegori dalam menunjukkan posisi-posisi nilai ideal tertentu. Bagi Dewi, kecenderungan semacam ini sebenarnya telah merendahkan bagian dari keagungan makhluk bumi yang sejatinya mempunyai peran dan nilai yang berharga bagi apa yang disebut sebagai kosmos bumi. Penjarakkan dengan makhluk bumi lain sebenarnya bisa ditangkap sebagai gejala penguasaan akan alam yang bisa berujung pada berbagai sistem kerusakan alam hingga hari ini. “Tidak ada yang salah dengan binatang, kenapa seringkali ia harus dipakai sebagai metafora tentang berbagai hal yang tidak baik seperti umpatan dan makian” ungkapnya. Membawa perspektif feminis untuk menangkap pesan dari buku Platon memang tidaklah pekerjaan yang mudah. Namun yang menjadi poin penting menurut Dewi adalah bahwa apapun ilmu yang ada harus diorientasikan pada upaya membangun relasi kemanusian yang adil dan tidak diskriminatif. Tantangan terberat ke depan dalam mandat bagi ilmu menurutnya adalah bagaimana bisa mengendalikan agar bumi tidak lagi semakin menuju kerusakan dan kemusnahan. Ilmu yang tidak bertendensi untuk melahirkan liyan adalah pengembangan yang ingin dicari. Tren yang berkembang bagi ilmu-ilmu kemanusiaan ke depan adalah tak lagi hanya sekadar mengetahui dan juga memahami tetapi sekaligus sebagai cara untuk bisa merasakan. Menurutnya tugas penting seperti yang dilakukan oleh ilmu-ilmu kritis adalah mampu membongkar selubung dan kepentingan pengetahuan yang mempunyai kecenderungan untuk dominatif dan diskriminatif. Pada sesi tanya jawab, muncul berbagai tanggapan menarik dari para peserta yang hadir, terutama pada poin nilai apa yang didapat dari gagasan Platon terhadap kondisi riil bangsa Indonesia hari ini. Pertanyaan penting yang muncul adalah menyangkut pandangan Platon tentang persoalan pendidikan, demokrasi dan juga kepemimpinan. Memang sebagian besar yang hadir bukanlah mereka yang spesifik menekuni filsafat Platon, sehingga bisa dimaklumi bahwa pertanyaan yang dimunculkan lebih banyak pada persoalan konsep-konsep umumnya menyangkut relevansinya dengan kondisi-kondisi kekinian. Beberapa penjelasan tambahan yang diberikan baik oleh Setyo Wibowo, Dewi Candraningrum ataupun Haryanto Cahyadi memberikan cakrawala baru atas bacaan tentang Platon. Di ujung akhir bahkan Haryanto Cahyadi memberi penekanan yang cukup mendalam bahwa maksud dari pembacaan Platon ini tidak bisa semata ditangkap secara anakronistik melainkan spirit dan pesan nilainya yang barangkali sama bisa ditemukan dalam berbagai gagasan yang berkembang di Indonesia. Tentu ini tugas bersama-sama dan saling menguatkan diantara para pecinta pengetahuan baik yang lebih memilih untuk mengembangkan gagasan-gagasan yang lahir secara khas di Indonesia maupun mereka yang tekun mendalaminya sampai pada berbagai gagasan yang hidup dan berkembang dari berbagai zaman dan berbagai tempat. Secara keseluruhan acara diskusi bedah buku berjalan dengan lancar dan menarik hingga pukul 22.30 WIB. Tri Guntur Narwaya sebagai pemandu acara dalam kata penutupnya memberikan catatan tambahan bahwa ruang diskusi dan kebertemuan untuk berbagai pengetahuan adalah sarana berharga untuk membangun tradisi epistemik berpikir yang kuat dan sehat. Ruang publik diskusi adalah cara kita bisa menyapa yang berbeda dan mempertemukan berbagai khasanah keilmuan yang bisa jadi masih bertebaran. Tugas masing-masing intelektual dan juga seluruh warga masyarakat pencinta pengetahuan untuk mentradisikan ruang-ruang berharga semacam ini. Pada titik itulah sekaligus para pencinta pengetahuan bisa memberi sumbangsih yang konkret dan langsung bagi kehidupan. (Winanti Praptiningsih) Ruang kuliah BA 209 Program Pascasarjana Sosiologi Universitas Gadjah Mada pada Jumat (07/11) terlihat tidak seperti biasanya. Pagi itu di Program Studi yang dikepalai oleh Prof. Heru Nugroho berlangsung kuliah tentang Politik Representasi dengan pendekatan feminisme. Peserta kuliah dengan materi “Politics of Representatation: Women and Nature” diisi oleh 18 mahasiswa Pasca Sosiologi UGM dan 5 peserta sit-in dari fakultas lain, bahkan ada juga yang datang dari Solo. Pemateri dalam kuliah ini adalah Dr. Phil Dewi Candraningrum yang juga merupakan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan. Kuliah terbagi menjadi dua sesi, sesi pertama yaitu pendalaman teori sedangkan sesi berikutnya membicarakan konteks di Indonesia. Keyworks: structure, agency, free will, representation. Sesi pertama dibuka dengan membaca buku Media and Cultural Studies: Keyworks dengan editor Meenakshi Gigi Durham dan Douglas M. Kellner. Peserta kuliah kemudian dibagi menjadi empat kelompok untuk mendiskusikan dan mempresentasikan beberapa kata kunci yaitu structure, agency, free will dan representation. Kelompok pertama yang mendiskusikan mengenai structure berpendapat bahwa structure tidak hanya dipahami secara materialistik saja, namun gender, kelas juga termasuk didalamnya. Dewi menambahkan, adanya perbedaan pada structure tradisional dan modern. Pola relasi yang dibangun dalam structure tradisional adalah gift sedangkan pada structure modern adalah profession. Penanda utamanya diantaranya ras, etnik, gender, kelas, dst. Agency sebagai kata kunci yang dipresentasikan oleh kelompok kedua, dimaknai salah satunya sebagai agen-agen perubahan, baik oleh individu atau kelompok. Namun, terdapat pendapat dari peserta bila agency baik sebagai agen perubahan tidak akan bisa netral, dalam artian akan selalu punya kepentingan-kepentingan. Semisal NGO (Non-Government Organization) yang datang ke wilayah bencana, sering memaksakan masyarakat untuk mengikuti kehendak NGO tersebut. Dewi menambahkan contoh kasus yang ada di Merapi. Structure masyarakat yang ada di sana bisa dia ketahui melalui narasai-narasi yang dia dengarkan lewat penduduk merapi yang jaraknya kurang lebih 5km dari puncak gunung. Masyarakat menganggap Merapi sebagai ibu. Oleh karena itu letusan merapi tidak dianggap sebagai bencana, namun berkah atas kesuburan yang akan diperoleh mendatang. NGO yang datang memberikan terminologi baru mengenai bencana dan penanganannya sesuai dengan ilmu-ilmu sains yang tidak berlaku bagi masyarakat. Diskusi mengenai free will atau kehendak bebas, menjadi topik yang menarik karena sebagian peserta menganggap free will sebagai suatu yang tidak ada atau tidak mungkin, sedangkan sebagian lainnya masih memercayai free will ada pada diri. Yang berpendapat bila free will tidak mungkin dimiliki oleh manusia, dikarenakan banyaknya faktor dari luar yang memengaruhi seseorang dalam membuat suatu keputusan. Dimisalkan, seseorang yang hendak makan tidak cukup hanya dengan makan supaya kenyang. Namun seseorang merasa membutuhkan rasa, yang kemudian dikapitalisasi menjadi berbagai produk seperti Mc.D, KFC, dst. Kehendak bebas seseorang untuk memakan burger Mc.D dipengaruhi oleh media yang gencar mengiklankan burger yang besar sehingga membuat kita ingin membeli dan memakannya. Sebagian lagi memercayai adanya free will dalam diri manusia bila dia mampu melepaskan diri dalam struktur atau sistem yang ada/dibentuk oleh masyarakat. Dalam diskusi mengenai kata kunci terakhir, Dewi beranggapan bahwa politik representasi tidak terlepas dari persoalan gender, ras, etnik, dst. Kaitannya dengan paradigma modern, dia mengungkapkan representasi akan menjadi problem karena modernisme menganggap kebenaran hanyalah satu. Berbeda dengan post-strukturalis yang menganggap kebenaran adalah banyak. Yang dianggap cantik tidak hanya yang putih, berambut lurus, namun bisa yang keriting, mancung, pesek, tinggi, pendek. Tidak ada batasan dan pendefinisian. Perempuan, Alam dan Budaya Visual Dalam sesi kedua Dewi kembali mengajak peserta untuk mendiskusikan dua topik dengan konteks Indonesia. Yang pertama diambil dari salah satu artikel dalam buku Body Memories terbitan Yayasan Jurnal Perempuan, berjudul “Save the Earth From Home: Women in Green Comercial Discourse in Indonesia” yang ditulis Dr. Phil. Ratna Noviani, pengajar Program Studi Kajian Budaya dan Media, Pascasarjana, UGM yang juga sekaligus Sahabat Jurnal Perempuan. Sedangkan tulisan kedua diambil dari Jurnal Perempuan No. 78, oleh Dr. Phil. Dewi Candraningrum berjudul “Provokasi dan Seksualisasi Perempuan dalam Budaya Visual: Cyberfeminisme dan Klik-Aktivisme”. Dalam tulisan Ratna Noviani, dia menjelaskan sosok perempuan yang digunakan dalam model iklan untuk sebuah produk ramah lingkungan. Dalam hal ini terdapat pertanyaan apakah produk yang mengaku ramah lingkungan tersebut menggunakan sosok perempuan dalam iklannya karena perempuan dirasa dekat dengan alam seperti ungkapan para ekofeminis, atau karena perempuan yang sering dianggap sebagai konsumen utama. Menurut salah seorang peserta ada pesan yaitu, pembajakan amanat ekologi dalam iklan produk ramah lingkungan. Ada maksud terselubung dalam suatu eco-advertisement yaitu agar konsumen membeli produk tersebut, bukan pesan konservasi. Dewi menambahkan, manusia tidak lagi memberikan penghargaan kepada bumi sebagai makhluk hidup, yang kemudian menyebabkan berubahnya struktur masyarakat. Hal itulah yang membuat kapitalisme tumbuh untuk menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru. Mengenai perempuan dan budaya visual, peserta berpendapat bahwa perempuan dalam beberapa iklan yang ada di Indonesia menggambarkan eksploitasi tubuh perempuan yang hanya berpindah dari rumah ke ranah publik/media. Pada akhir sesi kuliah, Dewi juga menambahkan contoh kasus perempuan yang terlibat dalam kasus korupsi, baik saksi maupun tersangka. Masih banyak media yang justru menempatkan seksualitas sebagai fokus utama, bukan korupsi. Menurutnya, dalam struktur berpikir masyarakat kita tidak ada perempuan jahat. Oleh karena itu dalam tagline berita perempuan dalam kasus korupsi menggunakan istilah janda genit, medusa, dst. (Indriyani Sugiharto) Berangkat dari kegetiran atas kekosongan wacana perempuan dalam narasi besar Islam, mendorong Neng Dara Affiah Komisioner Komnas Perempuan untuk menuliskannya dalam disertasi. Pengakuan ini membuka diskusi bertema “Feminisasi atas Islam: Gerakan-gerakan Islam Perempuan Progresif di Indonesia” yang digelar Komunitas Jaringan Islam Liberal di Teater Utan Kayu, Jakarta pada Rabu (29/10). Malam itu, diskusi yang merupakan agenda rutin ini mengupas disertasi Neng Dara Affiah yang berjudul “Gerakan Perempuan Muslim Progresif di Indonesia sebagai Gerakan Sosial Baru: Studi Kasus Organisasi-Organisasi di Jawa tahun 1990-2010” dengan pembicara Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum dan penulis disertasi Neng Dara. Lebih lanjut Neng menjelaskan penelitian yang ia lakukan lebih banyak menjabarkan gerakan perempuan dengan wacana konstruksionisme, meskipun dalam porsi tertentu juga menjabarkan wacana gerakan dengan pola esensialisme. Hasil penelitiannya memperlihatkan terdapat persamaan gerakan perempuan muslim progresif di era Orde Baru (1990-1998) dan di era Reformasi (1998-2010), yakni (1) para aktor gerakan di tahun 1998-2010 hampir secara keseluruhan memiliki keterkaitan dengan aktor dan organisasi gerakan di tahun 1990-1998. Ini artinya wacana dan gerakan kritis yang dibangun sesungguhnya memiliki dampak. Dan (2) ulama dan sarjana pria mempunyai peran sangat penting dan memiliki kontribusi signifikan dalam gerakan perempuan muslim di Era Orde Baru maupun di Era Reformasi. Neng juga berharap disertasinya dapat mengisi kekosongan bagaimana perempuan berkontribusi dalam gerakan dan perubahan sosial. Sementara Dewi Candraningrum malam itu mengupas disertasi yang ditulis Neng yang juga merupakan perluasan dari tesisnya dengan pendekatan filsafat bahasa. Menurutnya kajian Neng berada dalam pendekatan modernitas yang memuja kategorisasi, klasifikasi dan sistematisasi. Modernitas sendiri mencari kehendak atas kebenaran dengan menempatkan rasio sebagai yang utama. Sehingga pengetahuan perempuan tidak disebut sebagai pengetahuan. Pemikiran modern terus-menerus mengusir perempuan. Karena itu menurut Dewi kebahagian yang kita dapat dari disertasi Neng adalah merawat pengetahuan perempuan. (Anita Dhewy) Solo 1 November 2014—Himpunan Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Surakarta (HIMASOS UNS) menyelenggarakan seminar nasional dengan pembicara Pemimpin Redaksi (Pemred) Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum dan Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender (PPSG) Universitas Kristen Satya Wacana Arianti Ina Restiani Hunga. Seminar nasional bertajuk “Ekofeminisme: Narasi Iman, Mitos, Air, dan Tanah” yang diadakan di AULA FISIP UNS berhasil menarik perhatian baik dosen maupun mahasiswa, ini dapat dilihat dari banyaknya peserta yang datang, yang mencapai sekitar 400 peserta dan berlangsung meriah. Pembicara dengan gayanya yang santai menyampaikan materi dengan mudah dipahami. Dalam waktu relatif singkat, Dewi Candraningrum mampu membungkus materi dan menyajikannya dengan apik. Suasana seminar yang santai namun tetap serius ini berhasil menumbuhkan pemahaman dan kesadaran akan lingkungan. Kesadaran akan perikehidupan alam yang telah sakit. Sakit karena tangan-tangan serakah manusia. Dalam paparannya Dewi menjelaskan bahwa ekofeminisme merupakan sebuah kritik kepada tujuan kebenaran yang tidak mengindahkan tujuan akan kehidupan. Kapitalisme yang perlahan membunuh alam pada akhirnya akan kembali merugikan manusia. Perilaku-perilaku jahat manusia merupakan tabungan akan kehancuran. Alam bukanlah sekadar alat untuk mencapai kebutuhan manusia. Manusia modern sekarang tak lagi mengindahkan bagaimana telah sakit dan sekaratnya bumi yang ditinggalinya. Ekofeminisme mengajak kita untuk kembali dekat pada alam, bukan menjauhinya dan hanya menganggapnya sekadar alat pencapai kebahagiaan. Dewi memberikan banyak contoh begitu banyak dosa yang kita perbuat setiap hari kepada alam. Kita lupa, dosa kepada alam juga adalah dosa kepada diri sendiri, alam yang rusak, perlahan juga akan merusak diri kita dari dalam, perlahan namun pasti. Sudah seharusnya, mulai saat ini juga, kita harus mencintai alam, memperlakukannya dengan etika dan cinta, mempertimbangkan nilai-nilai cinta alam dalam setiap langkah yang kita tapakkan. Budaya memperlakukan alam sebagai sahabat adalah arus utama dalam setiap kegiatan pembangunan yang seharusnya dipahami oleh semua kalangan. Sebagai penutup seminar, kembali Dewi mengajak agar kita sebagai manusia beradab haruslah sadar, alam bukanlah alat. Alam adalah sahabat yang selayaknya mendapat perlakuan penuh cinta dan penghargaan. Sudah saatnya kita bergerak, kembali mendekatkan diri kepada alam, kepada lingkungan yang memberi kita kehidupan. Bumi hanya satu, dia cukup untuk manusia, tapi tidak untuk keserakahannya. Mari kembali mendekatkan diri kepada bumi, memperlakukannya dengan cinta sepenuh hati. (Galuh Pancawati) Pada Focus Group Discussion yang diselenggarakan Jurnal Perempuan pada Rabu (29/10) di kantor Yayasan Jurnal Perempuan dengan mengangkat tema “Perempuan dalam Kabinet”, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia sekaligus Dewan Redaksi Jurnal Perempuan Manneke Budiman saat ditanya pendapatnya terkait status perempuan di Kabinet Kerja yang dibentuk Jokowi baru-baru ini menyatakan jumlah yang banyak namun tidak didukung oleh SDM yang sesuai tidak akan lebih efektif ketimbang jumlah menteri perempuan yang sedikit namun berkualitas. Ia berharap kedelapan menteri perempuan di kabinet Jokowi tidak akan membiarkan diri menjadi sasaran tembak oposan, namun justru menjadi tameng bagi setiap tembakan ke presiden. Manneke memberikan tanggapan positif terhadap beberapa sosok menteri perempuan yaitu Retno L.P. Marsudi dan Susi Pudjiastuti yang dipandang fenomenal. Menurutnya kedua sosok ini akan berperan besar dalam menentukan apakah Jokowi dapat berlanjut ke periode kedua. Ia juga mengapresiasi perubahan pertama yang dilakukan Susi selaku Menteri Kelautan dan Perikanan dengan mengubah jam kerja lebih awal. Secara keseluruhan, Manneke menilai bahwa para menteri sepertinya dapat bekerja dengan baik tanpa rasa takut akan kritik karena melihat pada sosok Jokowi yang terbuka pada kritik dan dapat menangani permasalahan tanpa banyak bicara. (Johanna Poerba) Dalam Focus Group Discussion yang digelar Jurnal Perempuan dengan tema “Perempuan dalam Kabinet”, pada Rabu (29/10) di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, Sekretaris Departemen Luar Negeri DPP Partai Demokrat Imelda Sari menyampaikan pandangan yang positif sehubungan dengan kenaikan jumlah perempuan dalam kabinet. Terdapat delapan orang menteri perempuan dalam Kabinet Kerja, sementara pada periode sebelumnya, hanya terdapat empat menteri perempuan yang duduk dalam pemerintahan. Diantara delapan orang menteri perempuan ini, Imelda menyoroti seorang menteri perempuan yang berlatar belakang pengusaha yaitu Susi Pudjiastuti. Salah satunya perihal attitude. Menurut Imelda, sikap yang harus ditampilkan oleh Susi selaku menteri seharusnya berbeda dengan apa yang ia tampilkan semasa ia menjadi seorang pengusaha. Alasannya bagaimanapun juga para menteri ini adalah juga ibu dari seorang anak yaitu negara Indonesia. Lebih lanjut Imelda mengatakan hal berat terkait birokrasi adalah persoalan anggaran dan perubahan struktur. Untuk itu Ia berharap ke depan kedelapan menteri perempuan tersebut dapat melakukan tugas mereka dengan lebih cepat, terutama terkait penganggaran yang memakan waktu cukup lama untuk disusun, agar permasalahan yang sudah menumpuk dapat segera diatasi. (Johanna Poerba) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |