![]() Jokowi telah melakukan peningkatan representasi deskripitif perempuan di kabinet. Hal ini berbanding terbalik dengan representasi perempuan di legislatif yang mengalami penurunan. Karena itu kita patut bangga atas hal tersebut, demikian pernyataan Nur Iman Subono, pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia sekaligus Dewan Redaksi Jurnal Perempuan dalam acara Focus Group Discussion bertema ”Perempuan dalam Kabinet” yang diselenggarakan Jurnal Perempuan pada Rabu (29/10) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Sementara untuk tahap selanjutnya terkait kinerja, belum dapat dilihat saat ini. Menurut Nur Iman Subono yang akrab disapa Boni, ada tiga hal yang dapat kita jadikan tolok ukur. Pertama, atittude politik yang perlu ditunjukkan para pejabat publik, mereka harus siap menjadi sorotan dan siap menunjukkan sikap sebagai pejabat publik untuk menjadi teladan. Kedua policy, kita dapat mengukur kebijakan yang dibuat ramah gender ataukah tidak. Ketiga adalah legitimasi, dukungan terhadap kebijakan yang diambil akan tergantung pada kualitas kebijakan tersebut. Boni berharap ketiga poin ini menjadi parameter untuk melihat kinerja Kabinet Kerja Jokowi 6 bulan kedepan. Lebih lanjut Boni berpendapat setidaknya ada tiga nama perempuan yang menjadi penting dalam kabinet Jokowi yakni Retno Marsudi, Yohana Yambise dan Susi Pudjiastuti. Menurutnya, kita bisa menaruh harapan yang tinggi pada ketiga sosok tersebut. (Andi Misbahul Pratiwi dan Lola Loveita)
0 Comments
![]() Jokowi adalah presiden yang tidak memusingkan cara berpakaian orang-orang di dalam kabinetnya, terutama perempuan. Hal itu terlihat saat pelantikan. Jokowi seperti melawan protokol istana negara yang sudah ada selama berpuluh-puluh tahun. Ia seperti melanggar aturan tentang bagaimana seharusnya berpakaian di istana negara terutama bagi perempuan. Pernyataan ini diungkapkan BJD Gayatri, peneliti sekaligus aktivis, dalam Focus Group Discussion tentang ”Perempuan dalam Kabinet” yang dihelat Jurnal Perempuan pada Rabu (29/10) di kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Menurutnya, disadari atau tidak, hal ini merupakan perbedaan besar. Jokowi tidak mengontrol tubuh perempuan. Sehingga bisa diprediksi ke depan Ia tidak akan pusing apakah perempuan harus memakai rok atau kebaya di dalam acara formal. Jauh lebih penting bagi Jokowi untuk mengontrol hasil kinerja para menteri. Selain itu Gayatri juga menyoroti keputusan Jokowi memilih menteri yang tidak lulus SMA, terlebih lagi perempuan. Menurutnya ini merupakan hal yang luar biasa dan mempertegas gagasan Ivan Illich bahwa pengetahuan tidak semata-mata dapat dicapai dari universitas atau dapat dikatakan dari menara gading. Ia menilai hal ini sebagai terobosan dari pemerintahan Jokowi. (Andi Misbahul Pratiwi dan Lola Lovieta) ![]() Jika para feminis gelombang pertama, seperti feminis liberal, radikal dan marxis-sosialis mencari akar masalah ketertindasan perempuan pada aspek di luar diri perempuan, seperti aspek politik, hukum, struktur budaya dan struktur ekonomi, maka feminis gelombang kedua lebih melihat akar persoalan pada aspek di dalam diri perempuan. Feminisme psikoanalisis mencari akar persoalan ketertindasan perempuan lewat psike, terutama cara berpikir perempuan, demikian pernyataan Gadis Arivia, pengajar Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia sekaligus Pendiri Jurnal Perempuan saat menyampaikan materi di Kelas Dasar Feminisme yang diselenggarakan Jurnal Perempuan, Kamis (30/10) di Casakhasa Garden Bistro. Gadis menambahkan Psikoanalisis dalam arahan feminis menolak determinisme biologis Freud. Dorothy Dinnerstein dan Nancy Chodorow adalah dua dari sejumlah feminis psikoanalisis yang mengkritik gagasan Freud. Keduanya lebih memfokuskan analisisnya pada tahapan pra-oedipal dari perkembangan seksual manusia dan bukan pada tahapan oedipal seperti halnya Freud. Karena pengasuhan oleh perempuan dipandang sebagai akar ketertindasan, maka dual parenting atau pengasuhan ganda menjadi solusi yang ditawarkan keduanya. (Anita Dhewy dan Ratih Prasasti) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2023
Categories |