Fenomena hoax tidak dapat dielakkan seiring berkembangnya teknologi dan penggunaan media sosial oleh hampir seluruh elemen masyarakat. Disadari atau tidak, hadirnya fenomena hoax telah melemahkan kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis dan melakukan pengecekan ulang atas fakta dan kebenaran yang sesungguhnya terjadi. Hoax merupakan turunan dari post-truth yang berusaha untuk memuaskan apa yang diyakini oleh masyarakat. Post-truth sendiri menurut J.A. Liorente adalah iklim sosial politik dimana objektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi/hasrat memihak pada keyakinan meski fakta memperlihatkan hal yang berbeda. Dalam era post-truth, keyakinan pribadi memiliki kekuatan yang lebih besar dibanding logika dan fakta. Post-truth berkembang pesat di masyarakat informasi yang mengalami ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap politik. Apa yang terjadi dalam post-truth adalah relativisasi kebenaran dengan objektivitas data, dramatisasi pesan jauh lebih penting daripada isi pesan itu sendiri. Dalam era post-truth, narasi selalu mengalami kemenangan mutlak terhadap data atas fakta yang ada, maka sangat perlu dilakukan fact-checking atau pemeriksaan terhadap suatu fakta. Penjelasan singkat di atas mengenai post-truth merupakan materi yang disampaikan oleh Dr. Haryatmoko, pengajar Universitas Sanata Dharma dan Universitas Indonesia, kepada peserta Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) di kantor Jurnal Perempuan, Kamis (22/3). Lebih lanjut Haryatmoko menyampaikan bahwa jurnalisme memiliki peran penting untuk melawan post-truth, yakni jurnalisme baru yang berfokus pada verifikasi data serta melakukan pemeriksaan data secara sistematik. Jurnalisme dan etika komunikasi, menurut Haryatmoko, harus bekerja sama untuk mengedepankan cerita yang benar dan sesuai fakta yang mampu mengendalikan sentimentalisme serta menundukkan insting buruk agar nalar lebih dihargai daripada emosi yang kasar. Materi yang disampaikan oleh Dr. Haryatmoko dengan judul “Era Post-Truth: Hoax, Disinformasi, dan Emosi Sosial” merupakan bagian dari program Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan. Program KAFFE ke-10 kali ini mengangkat tema “Post-Truth” dengan menghadirkan Dr. Haryatmoko, Rocky Gerung, dan Atnike Sigiro sebagai pengajar. (Bella Sandiata) Berbicara tentang perkembangan ekonomi makro berarti berbicara soal partisipasi warga negara khususnya partisipasi perempuan, karena status perempuan sebagai ibu rumah tangga (IRT) sering menjadi kendala dalam pengakuan profesionalitas pekerjaan mereka. Hal ini dibenarkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro. Ia menyatakan bahwa perempuan lebih banyak aktif di rumah, untuk itu kita perlu mendorong perempuan dalam meningkatkan partisipasi mereka pada dunia kerja. Di sisi lain kita juga perlu mengakui bahwa akses perempuan sebagai pekerja masih minim. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan progender guna mendukung perempuan untuk meningkatkan keaktifan di bidang pekerjaan. Bambang memaparkan pendekatan yang digunakan Bappenas yang meliputi perluasan lapangan pekerjaan, equal employment opportunity, kemudahan akses peran ganda atau pengadaan child care dan kebebasan finansial. Pendekatan ini bertujuan untuk mendorong keaktifan perempuan dalam dunia pekerjaan. Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise menyoroti ekonomi antara perempuan dan laki-laki yang cukup tinggi. Ia menyatakan jumlah perempuan kurang lebih 126 juta, terhitung tidak terlampau jauh dari jumlah laki-laki. Menurut Yohana jumlah perempuan adalah aset bagi negara untuk lebih bisa mengembangkan perekonomian. Yohana mengakui bahwa budaya patriarki yang melekat sering kali membuat laki-laki menganggap perempuan tidak memiliki kualitas yang berarti. Oleh karena itu, perlu ada pembekalan pada perempuan, salah satunya dengan memajukan industri rumahan, karena industri rumahan sering digarap oleh perempuan. Di pihak lain, Ketua Umum Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI), Aria Indrawati yang hadir sebagai pembicara menyatakan bahwa pemerintah harus memberi perhatian lebih kepada perempuan disabilitas. Menurutnya, ketika kita berbicara perempuan yang secara sosial tersubordinasi sebenarnya perempuan disabilitas mengalami tekanan dua kali lebih berat. Untuk mendorong perempuan dengan disabilitas berkarya atau bekerja perlu ada akses yang terbuka bagi mereka. Akan tetapi, pemerintah juga perlu memulai dengan beberapa cara sederhana seperti pengakuan terhadap disabilitas sebagai bentuk keberagaman manusia dan bukan sebagai manusia yang tidak normal. Pernyataan ketiga pembicara disampaikan dalam diskusi tentang “Mengurangi Kemiskinan Perempuan Menuju Ekonomi Indonesia yang Kuat dan Berkeadilan” yang diadakan oleh Partai Demokrat pada Senin (19/3) dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional. (Iqraa Runi) Kamis, 8 Maret 2018, Yayasan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 96 Feminisme dan Cinta sekaligus Perayaan Hari Perempuan Internasional 2018 dengan dukungan Kedutaan Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste dan Ford Foundation di Gedung Dewi Sartika, UNJ. Acara ini merupakan rangkaian Perayaan Hari Perempuan Internasional 2018 Jurnal Perempuan—yang sebelumnya telah diselenggarakan pada tanggal 1 Maret di Universitas Hasanuddin Makassar. Pada pendidikan Publik acara ini, panitia menghadirkan Robertus Robet (Dosen Sosiologi UNJ) sebagai salah satu pembicara. Robet memaparkan perihal cinta dalam perspektif sosiologi yang feminis. Robet mengawali paparannya dengan menjelaskan tiga jenis cinta dalam tradisi Yunani Klasik yaitu eros, phillia dan agape. “Eros adalah cinta yang berbasis pada ego, ia diarahkan pada orang lain, namun diperuntukkan bagi kepuasaan diri, philia adalah cinta persahabatan, cinta yang tumbuh dari relasi antar manusia satu sama lain, agape adalah wujud cinta yang paling tinggi, cinta yang hanya memberi tanpa berharap kembali”, tutur Robet. Robet menjelaskan bahwa cinta adalah gejala yang bersifat universal namun dialami secara partikular, artinya semua orang mengalami cinta namun pengalaman cinta setiap orang bersifat singular, khusus. “Cinta menjadi umum karena dialami banyak orang, tapi bagi orang yang mengalami cinta, itulah keunikan cinta, ia universal sekaligus partikular”, tutur Robet. Lebih jauh Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta ini menjelaskan pemikiran Freud tentang cinta yaitu sebagai insting libidinal dan menghasilkan daya kreasi kehidupan. Ada dua jenis daya dorong dalam hidup manusia yaitu eros dan panatos. Cinta berada dalam eros, daya dorong kehidupan yang memungkinkan manusia mengkreasikan diri sehingga dengan demikian ia melihat kebersamaannya dengan orang lain sebagai kesatuan. Sedangkan panatos adalah kehendak untuk mati yang terwujud dalam berbagai bentuk seperti kekerasan, kengerian, horor, agresi dan lainnya. Robet menjelaskan bahwa hidup manusia adalah getaran antara eros dan panatos, antara cinta dan kematian. “Cinta memiliki insting libidinal namun ia juga memiliki fungsi kreasi kehidupan”, ungkap Robet. Merujuk pada pemikiran Jacques Lacan, Robet menjelaskan bahwa ada gejala lain dari cinta yaitu narsistik, yang artinya individu mencintai dirinya dalam diri orang lain. Maka cinta dalam definisi Lacan adalah lambang miss recognition karena menunjukkan bahwa ada lackness dalam diri individu yang harus ditutupinya dengan orang lain, dengan orang yang dicintainya. “Itulah mengapa cinta dalam relasi romantik identik denganjatuh hati, patah hati, galau, gelisah, resah, bunuh diri, putus cinta, bahkan untuk cinta kita sebut jatuh cinta, maka cinta ada peristiwa kejatuhan eksistensial bukan kebebasan eksistensial" jelas Robet. Menurutnya dalam definisi Lacan yang demikian, individu yang sedang mengalami cinta adalah individu yang sedang menjadikan orang yang dicintainya sebagai objek pengharapan rasa dan pada saat itulah mekanisme lackness being bekerja. Lebih jauh, Robet menjelaskan bahwa menurut Lacan cinta bisa hadir sebagai cinta yang narsistik jika ia muncul dalam bahasa. Cinta yang awalnya fantasi imajiner tidak cukup sehingga cinta perlu masuk dalam registrasi bahasa. “Cinta tumbuh dalam rezim bahasa, tanpa rezim bahasa tak mungkin ada cinta”, tutur Robet. Menurut Robet, Freud dan Lacan tidak mampu menjelaskan jenis “cinta yang lain” yang berasal dari kebaikan, yaitu cinta di mana individu rela mengorbankan diri tanpa keinginan dan hasrat diri. Untuk menjawab hal tersebut, Robet kemudian menjelaskan pemikiran Julia Kristeva tentang tubuh ibu (maternal body) yang tidak pernah disebut Freud dan Lacan. Julia Kristeva mengajukan satu konsep yaitu abjeksi sebagai syarat individu menjadi “individu”. Abjeksi adalah ketika individu (seorang anak) melihat tubuhnya terpisah dari tubuh ibu, maka abjeksi adalah syarat otonomi diri. Menurut Robet dari pemikiran Kristeva ada nuansa baru yang hadir yaitu peran tubuh ibu dalam pembentukan individu. Namun menurut Robet Kristeva luput menjelaskan muasal individu mengenal cinta. Robet menyimpulkan bahwa abjeksi hanya mungkin terjadi apabila ada kehendak dari ibu—yang tak pernah disebut dalam psikoanalisa Freud, Lacan, dan Kristeva. “Individu hanya bisa menjadi individu, anak akan menjadi anak, apabila ada kehendak ibu untuk memelihara kehidupan, will to live, cinta primordial agape berasal dari sini”, tutur Robet. Sehingga menurutnya pada mulanya adalah cinta ibu. “Cinta hanya mungkin disebut sebagai cinta apabila didahului secara primordial dengan kehendak hidup dari tubuh ibu, abjeksi menendang dari tubuh ibu hanya mungkin terjadi apabila ada kehendak hidup, yang pertama-tama menendang bukanlah si bayi, yang menendang kita keluar sebagai subjek adalah maternal body”, tutup Robet. (Andi Misbahul Pratiwi) Bertepatan dengan hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) didukung oleh Kedutaan Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste dan Ford Foundation mengadakan Pendidikan Publik JP 96 Feminisme dan Cinta pada Kamis, 8 Maret 2018. Pada acara yang bertempat di Gedung Dewi Sartika Universitas Negeri Jakarta ini panitia menghadirkan Rocky Gerung, Pengajar Kajian Filsafat dan Feminisme Jurnal Perempuan sebagai pembicara dalam kuliah umum berjudul “Cinta dan Politik”. Sementara itu, dalam sesi diskusi dengan tema “Feminisme dan Cinta” dalam rangka Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 96 panitia menghadirkan empat narasumber, yakni, Sri Nurherwati, S.H. (Komisioner Komnas Perempuan), Dr. Robertus Robet (Dosen Sosiologi FIS Universitas Negeri Jakarta), Naufaludin Ismail, S.Hum. (Penulis JP 96 dan Redaksi Jurnal Perempuan), dan Kartika Jahja (Musisi dan Aktivis Kesetaraan Gender) sebagai pembicara, dipandu oleh Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Rocky Gerung membuka kuliah umum tentang “Cinta dan Politik” dengan menyampaikan bahwa cinta dan politik tumbuh dari energi yang sama, yaitu menghasilkan keadilan. Namun, dua hal tersebut hari-hari ini dirasa kurang bergairah dalam dunia kampus. Akhir-akhir ini ekspresi cinta dan politik seperti terpenjara, padahal dua-duanya adalah narasi utama dalam kampus yakni keadilan dalam cinta dan keadilan dalam politik. Mengapa cinta dan politik kekurangan gairah dalam kehidupan kampus belakangan ini? Hal ini dikarenakan ada suatu moral besar yang mengatur cara kita menyampaikan rasa sayang. Moral besar itu menurut Rocky Gerung merupakan moral yang dibuat di langit, bukan hasil kesetaraan kampus. Demikian juga dalam politik, terdapat moral besar yang mengatur kita hingga kita harus memiliki sopan santun dalam berpolitik. Suasana bangsa kita saat ini kebanyakan jalan tol namun kekurangan jalan pikiran, hal ini sangat berbahaya bagi sebuah bangsa yang ingin mempercepat demokrasi. Menurut Rocky, terlalu banyak kecemasan dalam kehidupan kita baik dalam bercinta maupun berpolitik, banyak kekhawatiran yang dialami karena kontrol logika laki-laki yang telah ada sejak lama. Logos spermatikos menempatkan perempuan ada pada posisi pasif yang tidak perlu melakukan apa-apa, hanya menunggu untuk diisi saja. Peradaban ini dikendalikan oleh logos spermatikos, hanya ada satu ovum yang dapat dibuahi oleh karena itu harus banyak sperma yang disebarkan. Penyebaran tersebut yang menurut Rocky menghasilkan penindasan dan diskriminasi. Lebih lanjut Rocky menyampaikan bahwa kekerasan terhadap perempuan bekerja dengan logos spermatikos, dan ini luput dari perhatian universitas. Hal ini disebabkan oleh lambannya perkembangan feminisme dalam dunia kampus. Terdapat anggapan bahwa kampus tidak boleh mengajarkan hal-hal yang membahayakan moral. Akan tetapi kondisi tersebut tidak lagi berlaku karena feminisme saat ini berada di puncak ilmu pengetahuan. Feminisme yang dulu dianggap berbahaya justru sekarang dianggap sebagai pengetahuan baru yang memungkinkan untuk mengatur kembali konsep keadilan. “Feminisme yang dulunya unspeakable kini menjadi unstoppable,” ujar Rocky. Mengenai politik, Rocky menyoroti Pemilu 2019 yang akan datang. Ia mengemukakan pendapat yang berkembang bahwa alternatif yang ditawarkan terlalu ekstrem yakni hanya ada dua pasangan calon di republik ini. Masyarakat merasa bahwa dalam keadaan seperti itu, sulit untuk menciptakan kreativitas dan ide-ide baru. Sementara itu, di media lain terdapat diskursus tentang calon tunggal. Ada upaya untuk menyodorkan konsep baru yakni dengan dalil efisiensi sebaiknya pemilu ke depan ditumpukan pada teori calon tunggal. Jadi, jika di awal ada dua blok, maka dua blok tersebut akan dijadikan satu, itu diskursus yang ada di publik saat ini. Namun, hingga saat ini kita belum mendengar universitas membicarakan hal tersebut. Menurut Rocky, universitas harus melakukan filter terhadap arogansi kekuasaan, jangan sampai arogansi kekuasaan menutup semua kemungkinan untuk menambahkan IQ nasional, jangan sampai politik menutup peluang untuk menambah kecerdasan universitas. Dalam tema tersebutlah Rocky mengaitkan antara cinta dan politik, cinta dan politik memiliki kesamaan yakni mengarah pada kesetaraan dan keadilan. Cinta dan politik tumbuh juga dalam kompetisi, orang tidak akan menikmati cinta dan politik tanpa ada kompetisi, dua-duanya tumbuh dalam kecemburuan yang masuk akal. Menurut Rocky, baik dalam bercinta dan berpolitik kita harus menumbuhkan kecemburuan dalam porsi yang masuk akal. Rocky menganjurkan untuk memperbanyak cinta dan memperbanyak politik, menurutnya pecinta yang baik akan menjadi politisi yang beretika demikian pula sebaliknya. Lebih lanjut Rocky mengatakan bahwa kita dapat tersesat dalam perjalanan cinta dan politik, tapi yang penting adalah keinginan kita untuk menempuh cinta dan politik dengan satu tujuan bersama yaitu menyempurnakan kebebasan dan menghasilkan keadilan. “Jadi teman-teman selagi masih muda perbanyak energi kita, perbanyak energi politik, hanya dengan itu kita bisa menambahkan akal sehat dan memungkinkan kita untuk tumbuh dalam kebebasan,” tutur Rocky Gerung di akhir pemaparan kuliah umum. (Bella Sandiata) Pada hari Kamis, 8 Maret 2018, Jurnal Perempuan menyelenggarakan acara Pendidikan Publik JP 96 Feminisme dan Cinta sekaligus Perayaan Hari Perempuan Internasional 2018 di Universitas Negeri Jakarta. Acara dibuka dengan sambutan oleh Wakil Rektor Universitas Negeri Jakarta Prof. Dr. Muchlis R. Luddin, M.Si., Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro, M.Sc., dan Perwakilan dari Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste, Geoffrey Dean. Dalam acara ini pengajar KAFFE Jurnal Perempuan, Rocky Gerung memberikan kuliah umum dengan tema “Cinta dan Politik”. Sementara itu, diskusi dengan tema “Feminisme dan Cinta” dalam rangka Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 96 menghadirkan empat narasumber, yakni, Sri Nurherwati, S.H. (Komisioner Komnas Perempuan), Dr. Robertus Robet (Dosen Sosiologi FIS Universitas Negeri Jakarta), Naufaludin Ismail, S.Hum. (Penulis JP 96 dan Redaksi Jurnal Perempuan), dan Kartika Jahja (Musisi dan Aktivis Kesetaraan Gender) sebagai pembicara, dipandu oleh Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Dalam sesi diskusi mengenai Feminisme dan Cinta, Sri Nurherwati memaparkan materi dengan judul “Upaya Pencegahan, Penanganan dan Pemulihan Kekerasan dalam Pacaran di tengah Kekosongan Hukum” yang berisi kondisi dan situasi faktual mengenai isu kekerasan dalam pacaran. Sri Nurherwati mengungkapkan berdasarkan laporan yang diterima pengada layanan, sepanjang tahun 2017 angka kekerasan terhadap istri masih menduduki peringkat pertama dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan dalam pacaran berada di posisi ketiga setelah kekerasan terhadap anak di posisi kedua. Bentuk kekerasan yang paling tinggi dalam Kekerasan Dalam Pacaran adalah bentuk kekerasan fisik dan sosial, namun negara melihatnya sebagai permasalahan moral. Kekerasan dalam pacaran seringkali berawal dari politisasi cinta yang ada dalam relasi pacaran, perempuan yang telah dikonstruksi untuk berada di posisi memberi seringkali direspon oleh pasangannya yang menggunakan politik kekuasaan. Dalam kasusnya, sangat sulit ketika terjadi benturan dalam politik cinta itu, terjadi kekerasan yang tidak dapat ditangani oleh polisi karena tidak ada satu pasal pun dalam KUHP yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Kategorisasi masalah kekerasan dalam pacaran dimasukkan pada pasal persetubuhan, ini yang dimasukkan dalam perluasan makna zina dalam revisi KUHP karena negara melihat masalah kekerasan dari sudut pandang moral. Ada yang “tidak nyambung” antara korban politik cinta atas relasi kuasa yang mengalami kekerasan dengan negara menggunakan kacamata moralitas. Dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2018, pelaku kekerasan seksual di ranah personal adalah pacar. Sri Nurherwati menyampaikan bahwa sebanyak 85% kekerasan dalam pacaran dapat berlanjut pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam pacaran dan kekerasan dalam rumah tangga merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan yang hingga saat ini masih belum dapat diselesaikan secara hukum. Masih terdapat kekosongan hukum dalam upaya perlindungan hukum pada korban-korban kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, masih terdapat pertentangan antara Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Perkawinan dianggap dapat menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual dan juga kekerasan dalam pacaran, namun kenyataannya perkawinan merupakan lingkup yang tidak dapat terlepas dari kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Sri Nurherwati, filosofi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak digunakan sebagai pedoman dalam implementasi. Menurut perempuan yang akrab dipanggil Nurher ini, kekosongan hukum dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran dan juga kekerasan dalam rumah tangga dapat diisi dengan pencegahan yang harus diketahui dan dilakukan oleh setiap pihak—tidak hanya oleh perempuan. Persoalan kekosongan hukum adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Meski beberapa hakim telah melakukan terobosan hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dalam relasi personal, pola pikir dan paradigma yang masih menganggap perempuan sebagai subordinat tidak dapat dipungkiri masih banyak dimiliki oleh masyarakat kita. Nurher mengatakan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan dengan bersama-sama mengubah pola pikir dan paradigma terhadap kekerasan dalam relasi personal. Selain pencegahan, pola penanganan dalam relasi kekerasan personal juga harus memiliki perspektif keadilan yang berpihak kepada korban. Pemulihan yang terpadu bagi korban juga harus menjadi hal yang diperhatikan oleh pemerintah sebagai salah satu hak korban yang harus dipenuhi pada kasus kekerasan terhadap perempuan dalam relasi personal. “Pemerintah harus memastikan penyelenggaraan pemulihan terhadap korban itu sendiri,” tutur Sri Nurherwati di akhir pemaparannya. (Bella Sandiata) Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional Kamis, tanggal 8 Maret 2018 Jurnal Perempuan mengadakan acara Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 96 Feminisme dan Cinta. Di tengah ramainya pembahasan mengenai cinta yang sering dikaitkan dengan pernikahan, Jurnal Perempuan memfokuskan bahasannya tentang cinta dalam perspektif feminisme. Naufaludin Ismail, Penulis Jurnal Perempuan 96 yang hadir sebagai pembicara memaparkan penelitiannya yang berjudul “Relasi Patriarki, Subordinasi dan Glorifikasi Pernikahan: Dilema Perempuan Lintas Generasi dalam Menjalani dan Memaknai Cinta”. Penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam kepada enam narasumber lintas generasi dari usia 20 hingga 50 tahun, dengan profesi dan status yang berbeda-beda. Bagi Naufal saat ini masyarakat terlalu mengglorifikasi pernikahan atau sering memahami bahwa pernikahan adalah puncak dari rasa cinta seseorang. Oleh karena itu, menurut Naufal perlu ada kajian mendalam tentang cinta. Naufal menyatakan bahwa pembahasan cinta diawali pada masa Yunani kuno dengan pembagian definisi cinta menjadi tujuh, yaitu eros (cinta yang disertai hasrat dan berahi), philia (cinta terhadap sahabat), storge (cinta terhadap keluarga), agape (cinta tanpa batas dan mementingkan diri sendiri, seperti cinta kepada Tuhan), ludus (cinta yang lebih menekankan pada bersuka cita), pragma (cinta yang menekankan pada perhitungan pragmatis) dan philautia (cinta pada diri sendiri). Kemudian, pada abad pertengahan definisi cinta berubah yaitu cinta dimaknai sebagai bentuk relasi dengan Tuhan. Adanya perubahan ini pun dipengaruhi oleh ajaran gereja Katolik yang berjaya di masanya. Perubahan definisi cinta pada era modern dipengaruhi oleh pemikiran Jean Jacques Rousseau yaitu Romantisisme, dimana semua orang merayakan rasionalitas dan kasih sayang. Berbeda jauh dengan era modern, posmodern mendefinisikan cinta dengan perayaan kebebasan dan perbedaan termasuk dengan hubungan poliamori yang berbeda dari definisi mainstream. Naufal menjelaskan tentunya feminis memiliki definisinya sendiri mengenai makna cinta. Pemikir feminis juga memiliki perdebatan dalam mendefinisikan cinta, karena beberapa menyatakan cinta adalah bentuk pembebasan dan beberapa merasa sebagai pengekangan. Mengacu pada pengalaman keenam narasumber, “Mereka merasa kesulitan dalam relasi yang mengandung subordinasi karena hubungan menjadi tidak setara dan perempuan tersubordinasi. Hal ini dibenarkan oleh Simone de Beauvoir” tutur Naufal. Naufal menjelaskan bahwa sebenarnya pengalaman cinta tiap orang berbeda, begitu pun pengalaman cinta seorang feminis. Semua menyatakan bahwa cinta seharusnya setara dan tidak mengekang. Sayangnya, banyak relasi yang justru memunculkan subordinasi. Relasi tersebut yang disebut sebagai relasi patriarki dimana seseorang harus subordinat dari pasangannya. Naufal juga menegaskan bahwa para narasumber memaknai pernikahan sebagai hal yang tidak terlalu penting, melainkan pernikahan hanya dilakukan untuk kepentingan administratif semata. Oleh sebab itu, bagi mereka pernikahan bukanlah sesuatu yang identik dengan cinta. Pemikiran bell hooks yang diangkat oleh Naufal lewat penelitiannya memperlihatkan bahwa cinta adalah akar dari pengakuan, kepedulian, tanggung jawab, komitmen dan pengetahuan, sehingga melalui cinta sebenarnya kita dapat menghentikan dominasi. Sementara pemahaman bell hooks tentang institusi keluarga atau pernikahan adalah memercayai adanya keluarga yang setara dengan menanggalkan relasi patriarki terlebih dahulu. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa sebenarnya feminis bukan anti terhadap pernikahan dan institusi keluarga. Akan tetapi, feminisme menentang keras nilai atau relasi patriarki yang bersembunyi di baliknya. (Iqraa Runi) Rabu, 7 Maret 2018, bertempat di Kantor Komnas Perempuan Menteng, Jakarta Pusat, Komnas Perempuan mengadakan acara Peluncuran CATAHU 2018. CATAHU (Catatan Tahunan) merupakan gambaran atas kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan di Indonesia. CATAHU sudah dilakukan sejak tahun 2001. Akan tetapi, setiap tahun jumlah kekerasan seksual cenderung meningkat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia tidak memiliki ruang aman yang cukup untuk perempuan. CATAHU 2018 memperlihatkan kenaikan jumlah kekerasan seksual yang cukup signifikan. Tahun 2018 CATAHU Komnas Perempuan mencatat setidaknya 348.446 kekerasan dialami oleh perempuan. Pengelompokan jenis kekerasan dibagi menjadi 3 kelompok, pertama kekerasan di ranah personal atau privat, kedua kekerasan publik atau komunitas dan terakhir kekerasan di ranah negara atau kekerasan yang dilakukan oleh aparatur negara. Di ranah personal, kekerasan terhadap istri menduduki peringkat tertinggi yaitu sebanyak 5.167 dari 9.609 kasus, diikuti kekerasan terhadap anak sebanyak 2.227 kasus, kemudian kekerasan dalam pacaran sebanyak 1.873 kasus, dan sisanya sebanyak 342 adalah kasus kekerasan yang dialami oleh Pekerja Rumah Tangga. Kekerasan di lingkup personal terbilang meningkat setiap tahun, terutama kekerasan terhadap istri yang setiap tahun berada pada posisi pertama. Akan tetapi, fakta mengerikan kita jumpai ketika melihat data pelaku. Tahun 2018 CATAHU menunjukkan bahwa kasus inses adalah kasus yang mencuat dengan jumlah 1.210 dari 2.979 kasus kekerasan seksual dalam lingkup personal. Kekerasan ini notabene dilakukan oleh ayah kandung dengan total 425 kasus dan diikuti oleh paman sebanyak 322 kasus. Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan, “Kekerasan seksual dengan bentuk inses paling banyak dilaporkan ke LSM dan mungkin tidak mengherankan jika kekerasan di ranah personal dilakukan oleh kekasih, tetapi data juga menunjukkan bahwa kekerasan berbentuk inses dilakukan oleh ayah kandung.” Selanjutnya, untuk kekerasan di ranah publik atau komunitas tercatat setidaknya ada 3.528 kasus yang dilaporkan yang notabene dilakukan oleh teman dan tetangga. Yang terakhir adalah kekerasan di ranah negara terdapat 247 kasus. Bentuk dan pola kekerasan seksual semakin berkembang setiap tahunnya. Tahun ini Komnas Perempuan memberi perhatian pada kasus kekerasan siber atau kekerasan berbasis media yang memojokkan perempuan dengan gambar atau video yang tersebar luas. Tidak jarang foto atau video dijadikan bahan untuk mengancam sampai akhirnya terjadi penyebaran di media sosial. Thaufiek Zulbahary, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan, “Kekerasan terhadap perempuan semakin meluas, tetapi penanganan kekerasan terhadap perempuan sangatlah lamban. Ruang aman perempuan tergerus dimana pun baik di kendaraan, di dunia nyata, di media sosial, di luar negeri yang dialami oleh buruh migran dan dimanapun.” Thaufiek menegaskan bahwa kekerasan berbasis media sosial bukan hanya berbentuk penyebaran gambar yang dilakukan perorangan, tetapi juga bisa dilakukan oleh komunitas seperti yang dilakukan oleh ayopoligami.com dan nikahsirri.com yang bisa dimaknai sebagai prostitusi berkedok agama. Belum terselesaikannya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan yang terjadi di dunia nyata, dan kemudian merambah di dunia maya, membuat perempuan tidak memiliki ruang aman sama sekali. Meningkatnya jumlah kekerasan seksual yang dilaporkan dan semakin berkembangnya pola dan bentuk kekerasan seksual, maka menjadi tugas kita semua untuk tetap mengawal dan mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Iqraa Runi) Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional (HPI) 2018, Solidaritas Perempuan menyelenggarakan acara “Temu Perempuan untuk Kedaulatan Pangan: Mendorong Agenda Politik Perempuan untuk Kedaulatan Pangan” selama tiga hari, 6-8 Maret 2018 di Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta Selatan. Solidaritas Perempuan menginisiasi acara ini sebagai ruang untuk menguatkan, menyuarakan, menyusun strategi perlawanan bersama perempuan-perempuan yang berjuang untuk kedaulatan pangan. Salah satu diskusi yang diselenggarakan pada 6 Maret 2018 berjudul “Peran Penting Perempuan dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Upaya Negara dalam Perlindungan Perempuan”. Diskusi tersebut memperbincangkan soal Pengaurusutamaan Gender (PUG) dalam kebijakan pertanian. Kementerian Pertanian yang memiliki tugas untuk mempertahankan kedaulatan pangan dan menyejahterakan kehidupan petani nampaknya telah menyiapkan strategi yang cukup komprehensif dalam menangani gender gap yang ada di sektor pertanian. PUG sebagai sebuah strategi diharapkan dapat menyelesaikan gender gap dengan memerhatikan pengalaman, aspirasi dan kebutuhan laki-laki dan perempuan yang berbeda. Namun faktanya, hingga kini kerja-kerja perempuan di sektor pertanian belum dianggap sebagai kerja produksi, perempuan petani kerap kali dianggap sebagai ibu rumah tangga atau istri petani saja, bukan sebagai petani. Masih adanya konstruksi gender dan pembagian kerja seksual dalam masyarakat juga berdampak pada pengakuan dan definisi kerja perempuan petani, sehingga mereka sulit untuk diakui sebagai petani, sulit mendapatkan akses bantuan, dan sulit bergabung dalam serikat atau organisasi tani. Puspa Dhewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan yang hadir sebagai pembicara mengungkapkan bahwa penting untuk menciptakan kedaulatan perempuan dan pangan sebab kepentingan perempuan sering dicederai oleh proyek investasi asing yang dianggap lebih menguntungkan dan menyumbangkan banyak pemasukan bagi negara. Lebih jauh, Puspa menegaskan bahwa pemerintah harusnya memberi ruang untuk perempuan petani agar mampu mengembangkan diri dalam pertanian. Sebab peran strategis perempuan dalam ketersediaan pangan kerap kali tidak disadari oleh pemerintah dan itu yang menyebabkan tidak tersedianya akses untuk perempuan petani. Meskipun telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyejahterakan petani dengan perspektif PUG, namun banyak perempuan petani yang hadir di dalam forum ini merasa masih mengalami persoalan yang berlapis. Para perempuan petani mengungkapkan beberapa persoalan yang dihadapi mereka di dalam forum ini, antara lain konflik sumber daya alam, rekognisi status perempuan petani, dan pemakasaan jenis tanaman tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah belum menyelesaikan permasalahan berbasis gender yang ada pada ranah pertanian. Saur Tumiur Situmorang, Komisioner Komnas Perempuan juga menjelaskan bahwa ancaman pangan bagi perempuan bukan hanya menyerang indentitas mereka sebagai petani, nelayan atau pekerja lingkungan. Tetapi, ancaman itu juga menyerang para perempuan yang memperjuangkan tanah mereka, seperti Kartini Kendeng dan perempuan di Poso. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengakui status perempuan petani bukan hanya memosisikan perempuan dalam ruang-ruang domestik. (Iqraa Runi) Kamis, 8 Maret 2018, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta mengadakan Pendidikan Publik JP 96 Feminisme dan Cinta. Pada perayaan yang didukung oleh Kedutaan Kanada dan Ford Foundation tersebut Jurnal Perempuan menggelar diskusi panel yang menampilkan empat orang pembicara. Dalam kesempatan itu, Kartika Jahja seorang musisi dan aktivis kesetaraan gender memaparkan materi tentang cinta dalam perspektif kultur pop yang bias gender. Kartika memulai penjelasannya dengan mengangkat pengalaman masa kecilnya. Di usia 10 tahun, Kartika menyatakan cintanya pada seorang anak laki-laki. Menurutnya setelah menyatakan perasaannya ia dimusuhi oleh teman-teman perempuannya karena “tidak sepantasnya” perempuan menyatakan cinta pada laki-laki. Idealnya, seorang perempuan menunggu pernyataan cinta dari laki-laki. Kartika menyatakan, “Dalam cinta, perempuan harus dikejar, ditembak, diapeli, ditraktir, diantar jemput, dilindungi, dilamar, diboyong, dinikahi, diimami dan dimadu.” Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki ekspektasi agar dalam relasi cinta dan seksual perempuan berperan sebagai objek yang pasif dan bila perempuan bertindak sebagai subjek ia dilabeli secara negatif, dipandang nista dan dianggap telah melanggar tabu. Menurut Kartika budaya pop telah memengaruhi cara kita memaknai cinta. Musik, film, siaran televisi, dan media sosial secara terus-menerus menjejalkan narasi cinta yang heteronormatif. Kultur pop tidak memberikan tempat bagi cinta yang nonheteroseksual. Budaya pop, khususnya film cenderung menunjukkan perempuan sebagai makhluk yang pasif dan tidak berdaya. Hal ini dibuktikan dengan gagasan-gagasan utama dari film-film romantis yang menekankan pada hal-hal seperti: bagaimana seorang laki-laki berjuang untuk seorang perempuan; bagaimana perempuan kehilangan dirinya demi mendapatkan cinta laki-laki; dan gagasan tentang pernikahan sebagai tujuan akhir perempuan dalam upaya mencapai hidup bahagia. Bagi Kartika budaya pop selalu menginternalisasikan bahwa menikah adalah kodrat perempuan. Kartika menunjukkan bahwa budaya pop mengomersialkan cinta. Logika periklanan mendikotomi kebutuhan laki-laki dan perempuan. Ketika pasar menargetkan perempuan sebagai konsumen sebuah produk maka tema utama dari sebuah iklan adalah cinta yang direlasikan dengan cinta romantis. Sementara itu, ketika target konsumen adalah laki-laki maka hal-hal yang berkaitan dengan seks akan dijadikan tema utama. Budaya pop berupaya menjual produk-produknya dengan mengedarkan gagasan hiperfeminisasi perempuan. Iklan-iklan menyuburkan anggapan bahwa kebahagiaan perempuan adalah ketika ia memiliki pasangan, karena ketika memiliki pasangan atau memiliki relasi cinta romantis barulah perempuan menjadi sesuatu yang berharga. Menurut Kartika media sosial meletakkan perempuan dalam posisi yang tidak diuntungkan dalam relasi cinta romantis. Hari-hari ini setidaknya ada beberapa gagasan yang memojokkan perempuan yaitu demonisasi perempuan yang menolak cinta laki-laki yang menyukainya, menyudutkan pihak perempuan dalam relasi perselingkuhan secara tidak seimbang dengan melabelinya sebagai pelakor (perebut laki orang), mengolok-olok dan merendahkan perempuan yang tidak berpasangan (jomblo shaming) dan juga glorifikasi pernikahan di usia muda. Kartika mengatakan budaya pop mendefinisikan cinta sebagai relasi antara laki-laki dan perempuan di mana perempuan adalah objek dan laki-laki adalah subjek. Cinta telah dijadikan komoditas ketika produk dipasarkan dengan menjual fantasi tentang relasi cinta romantis sebagai puncak kebahagiaan perempuan. Bagi Kartika budaya pop telah mereduksi makna dan tujuan keberadaan perempuan. Kartika terus menekankan bahwa relasi cinta romantis seperti pacaran dan pernikahan bukan tujuan akhir perempuan. Bahwa derajat perempuan tidak ditentukan dengan ada tidaknya pasangan. Kartika menutup pemaparannya dengan manyatakan, “Apapun definisimu, cintai dirimu sendiri terdahulu dan terutama, if it hurts, it’s not love". (Abby Gina) Untuk merayakan Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret, Jurnal Perempuan mengadakan serangkaian acara mulai dari kuliah umum, diskusi, pertunjukan seni hingga pameran yang diisi sejumlah organisasi yang bekerja untuk isu perempuan dan kemanusiaan. Acara yang merupakan kolaborasi bersama Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Unversitas Negeri Jakarta ini diikuti sekitar 500 peserta dari berbagai kalangan. Dalam sambutannya Wakil Rektor UNJ Muchlis R Luddin mengatakan diskusi diharapkan dapat menyumbangkan gagasan-gagasan yang dapat mencerdaskan peserta. Sementara itu, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro ketika menyampaikan sambutan menjelaskan perbedaan antara Hari Ibu dan Hari Perempuan Internasional dan alasan kedua hari tersebut perlu dirayakan. Atnike mengutarakan Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember merupakan momen ketika gerakan perempuan Indonesia menemukan jati dirinya. Pada 22 Desember 1928 perempuan Indonesia menemukan satu makna kebangsaan, nasionalisme dan anti penjajahan kolonial dalam Kongres Perempuan. Atnike melanjutkan, sementara Hari Perempuan Internasional adalah hari ketika perempuan di seluruh dunia menemukan identitas politiknya. Hari Perempuan Internasional dikenal ketika perempuan-perempuan pada masa Perang Dunia Pertama menolak keberlangsungan perang dan berdemonstrasi untuk mendesak perdamaian dan hak-hak untuk mendapatkan kehidupan dan kesejahteraan dengan menggunakan istilah bread and peace. Kemudian sejarah itu diperingati dari tahun ke tahun hingga hari ini. Untuk itu menurut Atnike tidak ada salahnya merayakan kedua hari perempuan tersebut. “Yang pertama kita merayakan Hari Ibu sebagai hari perempuan Indonesia, sementara Hari Perempuan Internasional adalah hari bagi perempuan di seluruh dunia untuk menyatakan kebebasan, perjuangan dan aspirasi kita,” tuturnya. Atnike menambahkan Hari Perempuan Internasional kerap diperingati bukan hanya sebagai sarana perjuangan tetapi juga untuk mencatat keberhasilan yang telah dicapai oleh perempuan di seluruh dunia. Lebih lanjut Atnike mengatakan ketika Jurnal Perempuan memilih edisi Feminisme dan Cinta, isu ini menurutnya tepat dalam konteks Hari Perempuan Internasional karena cinta adalah salah satu konsep yang diterima di seluruh dunia, dalam berbagai kebudayaan, bangsa, kelas, etnis, agama dan sebagainya. Semua orang mengenal cinta dalam berbagai aspirasi dan nilai-nilai yang dipercaya atau diyakini. Atnike menjelaskan bahwa dari perspektif feminisme cinta dalam praktiknya kerap mengalami degradasi, baik itu sekadar menjadi komoditas industri komersial untuk menjual tubuh, maupun sebagai sesuatu yang mendominasi yang kemudian melahirkan kekerasan. Kaum feminis memandangnya sebagai cinta yang menindas, cinta yang tidak setara. Untuk itulah menurut Atnike, Jurnal Perempuan mengangkat isu feminisme dan cinta agar kita bisa membedah konsep cinta yang lebih positif. Meskipun dalam praktiknya cinta kerap disalahgunakan sebagai alat dominasi, tetapi kaum feminis juga melihat bahwa cinta dimungkinkan menjadi sarana yang membebaskan. Atnike mengutip seorang feminis bernama bell hooks yang mengatakan bahwa cinta yang membebaskan itu mungkin tetapi bagi kaum perempuan untuk mencari makna cinta maka pertama-tama kita harus mencintai dan mengenali diri kita sebagai perempuan. Oleh karena itu, diskusi hari itu (8/3/2018) diharapkan menjadi ruang untuk mendiskusikan cinta secara kritis dan menemukan cinta yang membebaskan. Cinta tak terbatas hanya pada cinta yang romantis, tetapi juga cinta pada kemanusiaan, cinta pada keadilan dan cinta pada kesetaraan. Sementara itu, Chargé d’Affaires Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste Geoffrey Dean dalam sambutannya mengutarakan bahwa tema Hari Perempuan Internasional di Kanada tahun ini adalah My feminism, yang diinspirasi oleh peran feminsime dalam membawa perubahan di Kanada dan negara-negara lain di dunia. Dean mengungkapkan feminisme adalah tentang kesetaraan, kesetaraan bagi perempuan, laki-laki, dan semua orang dengan berbagai identitas gender. Mencapai kesetaraan gender berarti bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk meraih potensi mereka secara penuh. Dean juga menyampaikan bahwa Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau merupakan seorang feminis sekaligus duta He For She. Menurutnya fakta ini sangat penting karena memajukan hak-hak perempuan dan anak perempuan bukanlah urusan perempuan dan anak-anak perempuan saja. Sebaliknya, ini adalah urusan semua orang. Untuk itu ia mengajak semua orang untuk bertindak sebagai pejuang kesetaraan gender. Dean menambahkan ketika perempuan dan anak-anak perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk berhasil, mereka dapat menjadi pembawa perubahan yang sangat kuat, menggerakkan pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan kerja sama, dan meningkatkan kualitas hidup bagi keluarga dan masyarakat. Lebih jauh Dean menjelaskan Kanada berkomitmen terhadap pendekatan feminis sejati dan mendukung pemberdayaan perempuan dan anak-anak perempuan secara ekonomi, politik dan sosial dan menempatkan kesetaraan gender sebagai sebuah prioritas demi kebaikan semua orang. Untuk itulah menurutnya Kanada memiliki kabinet yang seimbang secara gender, 50% perempuan, 50% laki-laki untuk memastikan pembuatan keputusan yang lebih baik. Lebih lanjut Dean mengatakan dirinya merasa sangat senang berbicara di dalam ruangan yang dipenuhi oleh anak muda, karena mereka adalah pemimpin hari ini dan masa depan. Ia berharap mereka menjadi generasi terakhir yang menghadapi ketidaksetaraan gender. Dean juga mengingatkan bahwa kita sering menjumpai kekerasan berbasis gender di sekeliling kita, dalam bentuk lelucon seksis, dalam bahasa yang kita gunakan, dalam media massa yang merendahkan perempuan. Ia menambahkan kita semua mempunyai peran untuk mematahkan stereotip, mendobrak tabu, dan mengubah perilaku yang mendiskriminasi perempuan dan anak perempuan. Untuk itu Dean mengajak semua peserta untuk berani bersuara, untuk mengupayakan kesetaraan bagi semua orang. “Ini adalah saatnya bagi siapa saja, laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, semua anggota masyarakat untuk berpikir dan bertindak sebagai pejuang gender,” tutur Dean mengakhiri sambutannya. Usai sambutan, acara yang didukung oleh Kedutaan Kanada dan Ford Foundation ini dilanjutkan dengan kuliah umum tentang Cinta dan Politik oleh Rocky Gerung, pengajar Kajian Filsafat dan Feminisme Jurnal Perempuan. Setelah itu diskusi dengan tema Feminisme dan Cinta digelar dengan menghadirkan empat pembicara yakni Robertus Robet, Dosen Sosiologi FIS UNJ, Sri Nurherwati, Komisioner Komnas Perempuan, Kartika Jahja, musisi dan aktivis kesetaraan gender dan Naufaludin Ismail, penulis JP96 dengan dipandu oleh Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, Anita Dhewy. Usai diskusi acara yang berlangsung di Gedung Dewi Sartika UNJ ini diisi dengan pentas seni yang menghadirkan bintang tamu SIMPONI Band yang dikenal sebagai grup musik yang aktif mengampayekan isu perempuan, lingkungan dan anti korupsi. Acara juga dimeriahkan oleh penampilan Paduan Suara Kajian Gender Universitas Indonesia. Sejumlah organisasi seperti Help Nona, Perempuan Peduli, Akara Perempuan, Perutpuan, Kojigema Institute, dan LBH Masyarakat turut membuka stan untuk memperkenalkan organisasi mereka kepada publik. (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |