Kemiskinan merupakan salah satu penyebab perkawinan anak. Anak perempuan perdesaan dari keluarga miskin yang tidak mendapat pendidikan kesehatan reproduksi, rentan menjadi korban perkawinan anak dan melahirkan anak stunting. Perkawinan anak merupakan faktor utama penyebab angka bayi stunting di Indonesia masih tinggi. Persoalan stunting dan perkawinan anak ini menjadi fokus kajian organisasi-organisasi perempuan di Indonesia, salah satunya Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). YKP sebagai organisasi non-profit yang fokus pada isu kesehatan reproduksi perempuan melihat permasalahan stunting sebagai dampak dari perkawinan anak yang harus disoroti. Melalui acara Local Meeting: Stunting Sebagai Dampak Perkawinan Anak yang diadakan pada hari Senin, 7 Januari 2019, YKP mengajak organisasi masyarakat yang peduli pada isu perempuan untuk mendiskusikan permasalahan stunting. Pada acara tersebut hadir Dr. Ir. Subandi, M.Sc (Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan) dan Iing Mursalin (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia) sebagai narasumber, dan Zumrotin K. Susilo (Aktivis Perempuan) sebagai moderator. Subandi dalam paparannya menjelaskan bahwa stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kurangnya gizi dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun (1000 hari pertama kehidupan). Ia menyebutkan, berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, 1 dari 3 bayi di bawah usia dua tahun (baduta) dan bayi di bawah usia lima tahun (balita) menderita stunting. Menurutnya, stunting merupakan masalah besar yang dapat menghambat produktivitas negara di beberapa aspek, seperti aspek kesehatan, pertumbuhan penduduk, dan ekonomi. Dalam aspek kesehatan, Subandi menjelaskan, bahwa anak-anak yang menderita stunting akan mengalami gagal tumbuh seperti berat saat lahir rendah, kecil, pendek, dan kurus. Selain itu anak dengan stunting juga akan mengalami hambatan perkembangan kognitif dan motorik. “Pada usia dewasa anak dengan stunting akan mengalami gangguan metabolisme seperti risiko penyakit diabetes, obesitas, strok, dan penyakit jantung”, jelas Subandi. Sedangkan dampak stunting bagi pertumbuhan penduduk tidak langsung terjadi dalam jangka pendek melainkan jangka panjang. Subandi menjelaskan bahwa Balita dengan stunting menurunkan produktivitas sumber daya manusia ketika berada pada usia produktif. Akibat hal tersebut, menurut Subandi, bonus demografi tidak termanfaatkan dengan baik dan akan berdampak pada perekonomian Negara. Subandi menyampaikan berdasarkan data Bank Dunia, dampak stunting berpotensi memberikan kerugian ekonomi sekitar 2% hingga 3% dari GDP setiap tahunnya. Solusi yang ditawarkan Subandi untuk mengakhiri dan mencegah stunting ialah dengan mengakhiri perkawinan anak. Kemudian, Iing Mursalin memaparkan tentang respons masyarakat mengenai stunting. “Masyarakat kita lebih waswas ketika dijelaskan bahwa stunting itu berpengaruh pada pertumbuhan otak dan produktivitas anak”, ujar Iing. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh tim TNP2K pada tahun 2014, 75% responden masih meyakini bahwa persoalan gizi merupakan tanggung jawab perempuan. Sedangkan responden laki-laki melihat bahwa mereka tidak perlu terlibat dalam urusan gizi keluarga. Iing juga menyampaikan hasil utama Riskesdas tahun 2018 terkait status gizi baduta dan balita, prevalensi baduta stunting mengalami penurunan dari 32,8% pada tahun 2013 menjadi 29,9% pada tahun 2018. Sedangkan prevalensi balita stunting menurun dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30,8% pada tahun 2018. Meski demikian, tantangan percepatan penurunan stunting masih cukup besar karena data menunjukkan bahwa proporsi berat badan lahir rendah dan panjang badan lahir kurang dari 48 cm mengalami kenaikan. Kedua narasumber menyampaikan bahwa pencegahan stunting tercakup dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Subandi menyampaikan bahwa perkawinan anak sebagai penyebab stunting perlu dihentikan. Dalam kesempatan tersebut, Subandi menyampaikan usaha pemerintah dalam menghentikan perkawinan anak yakni dengan melakukan penguatan kerangka hukum dan kelembagaaan terkait isu perkawinan anak. Usaha tersebut dilakukan dengan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan terkait perkawinan anak, penguatan kapasitas dan wewenang peradilan agama untuk dapat menolak dispensasi perkawinan usia anak walau telah ada izin orang tua, memasukkan materi mengenai kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, serta risiko perkawinan anak dalam kurikulum pendidikan nasional sesuai dengan tingkatan pendidikan. Dari aspek pendidikan, perlu adanya peningkatan akses dan kualitas pendidikan bagi perempuan melalui program wajib belajar 12 tahun. (Bella Sandiata) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |