Kesenian apapun bentuk perannya mampu menyelesaikan makna. Keterlibatan Dewi Candraningrum dalam seni rupa adalah kebetulan. Tidak ada aturan “saklek” seseorang untuk berkesenian, jika bisa dikatakan 1persen adalah konsistensi dan 99 persen ada dalam banyak pendidikan, persoalannya berbeda ketika kita menoleh pada peran Dewi Candraningrum, Hal itu yang menjadi perhatian perupa Solo Saifuddin Hafiz. “Satu sisi dia adalah seorang ibu, dan satu sisi dia seorang pelaku. Dari lelaku dia mendapat pengalaman ide yang merupakan bukti empiris. Keterlibatan Dewi sebagai aktivis adalah sumber gagasan”, tutur perupa yang juga dikenal sebagai aktivis saat menjadi pembicara dalam diskusi dalam acara “Artist Talk” Womb Document Dewi Candranigrum. Acara yang dipandu oleh Shinta Maharani dihadiri sekitar 50 peserta terdiri dari akademisi, perupa, aktivis dan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta berlangsung pada Selasa (24/3/2015) di Sangkring Art Space, Bantul Yogyakarta. Saifuddin Hafiz juga menambahkan jika dirinya lebih cenderung memerhatiakan kepada esensi karya. “Ibaratkan seperti Wiji Thukul dalam karya-karyanya, karya Dewi berupa kegelisahan dan kemarahan. Contoh penggambaran tokoh Gerwani dalam lukisannya bukan sebentuk perjuangan, tetapi apa yang ada dibalik guratan-guratan. Ini adalah catatan hidup” jelas Saifuddin Hafiz. BJD Gayatri, seorang feminis yang juga menjadi pembicara menganalisis tentang warna yang dipilih dalam lukisan-lukisan Dewi Candraningrum. “Warna-warna yang saya lihat identik dengan sifat extrovert dan warna menggambarkan emosi. Lukisan bisa juga dipakai sebagai terapi. Saya melihat bagaimana Dewi bisa meraba survivor terhadap perasaan yang dialaminya. Lihatlah, mereka tidak simetris. Warna ‘blontang-blonteng’ adalah ekspresi yang galak, marah tetapi kosong. Bukan sekadar sapuan, ada kadar emosi yang bisa saya tangkap melalui warna. Dan apa yang direkam oleh Dewi adalah keberpihakan”, ujarnya. Aktivis yang pernah menjadi kurator di Biennale tahun 1996 itu juga mengatakan bahwa karya-karya yang dipamerkan sejak 13 Maret lalu 2015 semacam retropeksi atas diri Dewi Candraningrum. Ratna Noviani (Dosen UGM dan Dewan Etik AJI) menjelaskan bahwa lukisan Dewi menarasikan tentang subyek-subyek perempuan yang selama ini tidak berada dalam "space of representation", sebagai (P)erempuan. Subyek-subyek yang ada di margin narasi "the master" selama ini berada di ruang "space off" (pinggiran). Perempuan yang berada dalam "space of representation" adalah "the Woman" --dengan W besar, yang merupakan subyek ideal yang diimajinasikan & menjadi fantasi laki-laki. Dalam lukisannya, Dewi bisa "moving back and forth", mencoba melihat di "space of representation" tersebut. Hal ini membantu melihat bagaimana perempuan diposisikan dalam wacana dominan, tetapi juga perempuan dalam wacana pinggiran untuk melihat dan mendengar suara-suara yang ada di "space off". Untuk kemudian membawa suara mereka ke dalam ruang representasi. Dewi Candraningrum menanggapi bahwa dirinya sudah lama terjun dalam narasi verbal, sedang pada narasi visual baru saja dilakukan sejak Juli 2012. “Jika sedang melukis, karena anak saya autis mendekat itu artinya takdir melukis saya selesai. Saya tidak ingin memiliki kesanggupan untuk bertanggung jawab secara akademik. Ketika saya sedang menulis maka saya pesimis. Berbeda ketika bertemu dengan korban maka ada perasaan riang dan ini tanggung jawab estetika. Ketika saya hanya menulis itu saya kurang bertanggung jawab”, ungkap Dewi. Guntur, seorang peserta diskusi memberi pernyataan bahwa lukisan-lukisan yang dipamerkan adalah perjalanan Dewi Candraningrum untuk keluar dari ‘penjara’. “Dewi sangat detail. Dan ini bagian dari katarsis, ungkapan yang tak tertuang dalam narasi verbal”. Putu Sutawijaya, pemilik Sangkring Art yang aktif mengikuti acara diskusi hingga selesai dan turut menanggapi bagaimana karya-karya Dewi Candraningrum bisa lolos dari perhitungannya dan bagaimana kurator Kris Budiman ‘menemukan’ Dewi Candraningrum. Dia mengatakan bahwa ruangan pameran yang sudah ada sejak 8 tahun lalu pernah diapresiasi oleh majalah TIME. Menurutnya justru media lokal tidak pernah menganggap. Pihaknya pernah menyediakan fasilitas diskusi yang bisa dikatakan sebagai kantong-kantong kebudayaan, namun kini surut. “Saya suka karena berbagi ruang”, ujar perupa yang karya-karyanya pernah dipamerkan diberbagai kota di Indonesia. (Astuti Parengkuh) Selasa, 24 Maret 2015 ruangan pameran lukisan “Dokumen Rahim” tidak seperti biasanya. Sekitar kurang lebih 40 orang berkumpul dari berbagai kalangan mulai dari perupa, akademisi maupun mahasiswa. Kehadiran mereka tidak lain adalah untuk menghadiri acara Artist talk yang merupakan rangkaian dari pameran lukisan Dewi Candraningrum yang bertajuk “Dokumen Rahim”. Acara yang dimulai pukul 19.30 tersebut dimoderatori oleh Shinta Maharani dari divisi Gender AJI. Sementara itu terdapat tiga pengulas dalam acara ini yaitu BJD Gayatri seorang feminis yang juga pernah mengajar di Institut Kesenian Jakarta, perupa dari Solo yaitu Saifuddin Hafiz dan Dr. Phil Ratna Noviani dari FISIPOL UGM. Saifudin Hafiz sebagai pengulas pertama mengungkapkan bahwa bila kita bica mengenai seni rupa, kita bicara akan tanggung jawab. Menurutnya, ada harapan-harapan yang ingin dicapai dalam karya-karya Dewi yang dipamerkan, salah satunya yaitu kebebasan. Dewi yang sering mengungkapkan bahwa kecintaannya pada dunia melukis merupakan sebuah kebetulan, namun sesungguhnya tidak ada aturan tertentu untuk menjadi seorang perupa. Yang menjadi ketertarikannya adalah sosok Dewi sebagai seniman juga menempatkan dirinya sebagai pelaku. Melalui lelakunya dia menemukan ide-ide, pengalaman dan keterlibatan dalam isu-isu perempuan yang menjadikan karya-karya luar biasa ini. Sementara itu, BJD Gayatri sebagai pengulas kedua tertarik bagaimana Dewi menemukan warna-warna. Dia mengungkapkan bahwa perkembangan warna pada lukisan-lukisan Dewi sungguh diluar dugaan. Dia sangat berani memainkan warna, sehingga muncul emosi-emosi dari pilihan warna dalam lukisannya. Bila Dewi Candraningrum mengatakan baru-baru saja ia mulai belajar melukis, lain dengan cerita Dr. Phil Ratna Novianti yang juga sahabat Dewi ketika menempuh S3 di Jerman. Menurut Ratna, dari dulu Dewi sudah senang “corat-coret” diatas kertas dan menghasilkan gambar-gambar. Mengenai karya-karya Dewi, Ratna berpendapat bahwa Dewi ingin menggunakan lukisan-lukisannya untuk bicara. Terlihat pada subjek-subjek yang dihadirkan dalam lukisan-lukisan Dewi, yaitu mereka-mereka yang disisihkan dan jarang terrepresentasikan semisal Widji Thukul, anak-anak perempuan di Zambia juga para penyintas kasus perkosaan. Namun ungkapan berbeda datang dari salah seorang peserta dalam sesi diskusi. Menurutnya memang benar bahwa subjek-subjek yang dimunculkan adalah mereka yang tersisih, namun ada juga beberapa tokoh-tokoh besar yang dihadirkan seperti lukisan Mother Teresa, Jesus, dll. Wiwin, salah satu peserta memberikan tangapannya bahwa lukisan bertema After the Rape adalah lukisan yang paling menonjol dari lukisan lainnya. Dia mengagumi bagaimana Dewi melukiskan wajah para penyintas dengan karnival warna namun dengan tatapan mata yang kosong, dalam dan terluka. Ditemani kacang, pisang rebus dan serabi solo, selama diskusi berlangsung banyak peserta yang bertanya atau hanya mengungkapkan pendapatnya. Pada akhirnya sesi ditutup pada pukul 22.00. (Indriyani Sugiharto) Dalam acara Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-X, salah satu acara rutin Yayasan Jurnal Perempuan, pada tanggal 21 Maret 2015 di rumah Prof. Mayling Oey-Gardiner, Sapariah Saturi dari Mongabay Indonesia menyampaikan bahwa pada awalnya ia hanya melihat keterkaitan antara perempuan dan tradisi melalui acara-acara adat yang umumnya sarat akan kemeriahan. Tetapi ketika ia turun langsung ke lapangan dan memelajari lebih jauh, ia akhirnya mengetahui bahwa keadaan perempuan dalam kungkungan adat tidaklah sebaik yang terlihat. Pada kenyataannya, kondisi perempuan yang terpinggirkan ini sudah berlangsung lama. Menurut Sapariah, hal ini dapat terlihat terutama pada masa Orde Baru. Pemerintah yang merumuskan kebijakan tanpa memikirkan rakyat kecil, terutama perempuan, membuat undang-undang pertambangan dan semacamnya yang telah merampas alam dari perempuan. Perempuan ditekan. Bukan hanya dari dalam melainkan juga dari luar. Ketika alam dirampas dan “dibersihkan” oleh para pembuat kebijakan, perempuan dirampas dari penghidupan mereka dan tradisi mereka karena pada dasarnya “ruh” perempuan berada dalam hutan, sungai, dan pada seluruh elemen bumi. Ketika pemerintah memberikan ganti rugi, penggantian tersebut tidak selalu bersifat adil. Lahan pemukiman penduduk bisa diberikan tetapi lahan yang subur untuk bertani dan berladang tidak bisa tergantikan. Tidak dapat hidup di sektor agraris lagi, para perempuan yang menanggung beban ganda akibat digusurnya lahan pertanian mereka, harus beralih pekerjaan menjadi tenaga buruh di pabrik. Di samping kisah-kisah memilukan antara tradisi, alam, dan perempuan, terdapat juga kisah-kisah heroik yang tidak boleh kita lupakan. Perjuangan para perempuan dari masyarakat adat seperti kasus Mama Aletta yang berjuang bersama perempuan desa untuk melawan perusahaan tambang Pegunungan Molo, Nusa Tenggara Timur. Perjuangan itu berbuah hasil yang baik. Oleh karena itu perempuan pun harus berdaya memerjuangkan posisi mereka di tengah tradisi dan alam. (Johanna G.S.D. Poerba) “Ketika kita membicarakan tentang perempuan di wilayah Asia Tenggara, maka kita dapat melihat bahwa mereka tidak mendapatkan banyak akses pada berbagai bidang seperti kesehatan, ekonomi, dan politik. terutama dalam bidang politik, perempuan kurang memiliki kesempatan atau kekuasaan yang sama” Demikianlah kalimat pembuka dari Prof. Patrick Ziegenhain, Dosen di Goethe-Frankfurt University ketika menjadi pemateri dalam Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-X di kediaman Prof. Mayling Oey-Gardiner, Sabtu 21 Maret 2015. Menurut Ziegenhain, Negara-negara di Asia Tenggara memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup banyak seperti bahasa, budaya, tradisi, ekonomi, politik, dan sebagainya. Sebagai contoh, ia menekankan perbedaan pada negara-negara di Asia Tenggara yang sudah lebih maju seperti Singapura dan Filipina dengan negara-negara yang masih berkembang seperti Myanmar dan Indonesia. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari data-data mengenai tingkat partisipasi politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. World Economic Forum mencatat berdasarkan partisipasi ekonomi perempuan, Filipina terletak pada posisi yang sangat baik yaitu pada peringkat ke-9, Singapura disisi lain tercatat pada posisi nomor 60 sekian dan Indonesia pada nomor ke-108. Di Filipina komposisi jumlah perempuan dan laki-laki di bidang ekonomi pun sudah dapat dikatakan hampir seimbang. Kemudian dari bidang pendidikan, rata-rata penduduk negara-negara maju di Asia Tenggara telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi sedangkan di negara berkembang masih ada penduduk yang hanya merupakan lulusan dari sekolah menengah (dan tidak mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi) dalam jumlah besar. Mengenai angka kelahiran anak, keluarga negara berkembang cenderung memiliki anak yang lebih banyak dibandingkan negara maju. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa perbedaan antara Filipina dan Indonesia tentunya sangat jauh dalam ekonomi, politik, maupun pemberdayaan perempuan. Kedepannya, Ziegenhain menyarankan agar pemerintah lebih memerhatikan peran perempuan dalam upaya peningkatan ekonomi. Begitu juga dalam hukum, baik itu perumusan kebijakan ataupun pribadi-pribadi para penegak hukum, serta perlu dilakukan pendekatan hukum pada perempuan dan isu-isu gender di Indonesia. Terakhir, pemerintah dan masyarakat juga harus sama-sama berupaya mengurangi (sebisa mungkin hingga menghilangkan) desakan dari ajaran agama yang bersifat diskriminatif gender. (Johanna G.S.D. Poerba) Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-X pada hari Sabtu, 21 Maret 2015 dengan tema bertema “Tradisi, Adat dan Politik Kesetaraan” diselenggarakan di rumah kediaman Prof. Mayling Oey-Gardiner. Acara gathering ini mengangkat diskusi menarik tentang praktik budaya, tradisi, dan adat. Dalam diskusi ini Jurnal Perempuan mengundang Prof. Patrick Ziegenhain dari Goethe-Frankfurt University dan Sapariah Saturi dari Mongabay Indonesia sebagai pembicara dan Dewi Cadarningrum sebagai moderator. Gathering kali ini sangat spesial karena turut hadir Toeti Heraty salah satu pendiri Jurnal Perempuan dan Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Periode 2004-2009, Linda Amalia Sari. Gathering ini dibuka oleh Deedee Achriani selaku pemimpin perusahaan Jurnal Perempuan. Deedee menyampaikan bahwa Ini merupakan kesempatan bagi Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) untuk saling berkenalan dan saling bertukar informasi seputar permasalahan gender di Indonesia khususnya seputar tema dalam gathering ini yaitu “Tradisi, Adat dan Politik Kesetaraan”. Kemudian Ima selaku kordinator SJP juga menyampaikan bahwa gathering ini dimaksudkan untuk silaturahmi antar SJP sehingga dapat membentuk jejaring yang kuat . Setelah itu Prof. Mayling Oey memberikan sambutan sekaligus sharing tentang pengalaman hidupnya. Beliau mengatakan bahwa tradisi dibangun oleh laki-laki dan tidak pernah ramah terhadap perempuan sehingga kerap kali perempuan terkurung dalam tradisi yang sangat patriarki. Dalam kesempatan yang baik ini Toeti Heraty juga memberikan beberapa pandangannya mengenai konsep kesetaraan. “Fanatisme terhadap kesetaraan pasti mengalami pasang surut dalam hidup” tuturnya. Sehingga menurutnya perlu ada formulasi untuk menanggulangi transisi pandangan mengenai konsep kesetaraan. Acara gathering ini terus berjalan dengan hangat. Dewi Candraingrum selaku moderator mempersilakan Patrick Ziegenhain untuk menyampaikan materinya mengenai “Politik Perempuan Asia Tenggara: Tantangan & Masa Depan”. Dalam materinya Patrick menjelaskan bahwa status perempuan di Asia Tenggara menduduki angka yang sangat variatif. Filipina yang memiliki komposisi jumlah perempuan dan laki-laki di bidang ekonomi hampir seimbang dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia. Perempuan Indonesia masih memiliki permasalahan di bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan, untuk itu perlu dilakukan pendekatan hukum pada isu-isu gender di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat juga harus berupaya mengurangi desakan dari ajaran agama, hukum adat dan tradisi yang bersifat diskriminatif gender. Kemudian Dewi mempersilakan pembicara kedua yaitu Sapariah Saturi untuk menyampaikan materinya yang berkaitan dengan kesetaraan perempuan adat. Sapariah mengatakan bahwa perempuan adat mulai menjadi pemimpin adat sebagai bentuk perjuangan untuk mempertahankan tanah, lingkungan dan kearifan lokal mereka. Acara ini berlangsung santai namun tetap fokus pada materi yang akan didiskusikan. Banyak diantara SJP yang mengajukan pertanyaan, pandangan dan pengalamanya mengenai ketidakadilan yang mereka temukan dalam ranah birokrasi, kelompok sosial maupun individu. Linda Gumelar juga turut mengisi ruang diskusi ini dengan sharing pengalamannya sebagai Menteri PPPA. diberbagai kesempatan dalam forum diskusi dewi juga memberikan review Jurnal Perempuan edisi 84 sebagai bentuk usaha merawat pengetahuan perempuan, terakhir Dewi mengutip dari Julia Kristeva bahwa ketika kita mencintai maka kita ada. (Andi Misbahul Pratiwi) Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-X pada hari Sabtu, 21 Maret 2015 dengan tema “Tradisi, Adat dan Politik Kesetaraan” diselenggarakan di rumah kediaman Prof. Mayling Oey-Gardiner. Acara Gathering kali ini akan mengangkat diskusi tentang praktik budaya, tradisi, dan adat. Dalam diskusi ini Jurnal Perempuan mengundang Prof. Patrick Ziegenhain dari Goethe-Frankfurt University dan Sapariah Saturi dari Mongabay Indonesia. Pada Gathering ini turut hadir Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Periode 2004-2009, Linda Amalia Sari. Linda membuka pembicaraanya dengan menyampaikan bahwa sejarah telah membuktikan kehebatan perempuan Indonesia. “Perempuan Indonesia terlahir sebagai pejuang, kemerdekaan ini juga diraih oleh perempuan” tuturnya. Dengan demikian menurutnya kita telah bersama-sama untuk berjuang. Linda menjelaskan bahwa diskriminasi yang dialami oleh saudara-saudara kita adalah persoalan yang sangat rumit. Permasalahan tersebut perlu diselesaikan secara menyeluruh di semua lini. Bagi Linda, kegiatan-kegiatan yang dibuat oleh LSM, organisasi dan para pemerhati perempuan merupakan kekuatan untuk mengentaskan diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia telah memiliki payung hukum yang jelas untuk persoalan diskriminasi ini yaitu UU dan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Selain itu ada INPRES No. 9 Th. 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan yang bisa menjadi sumber kekuatan kita untuk dapat mengentaskan persoalan ketidaksetaraan pembangunan secara inklusif. Dalam INPRES No.9 Th. 2000 ada peraturan anggaran yang responsif gender. Perjuangan perempuan tidak akan mudah tanpa adanya payung hukum yang jelas. Di samping itu upaya pemberdayaan perempuan harus terus dilakukan oleh semua kementerian dan lembaga yang sudah di advokasi. “Kesulitannya adalah jumlah ahli gender Indonesia yang masih sedikit, yaitu tidak lebih dari 60 orang” Linda melanjutkan. Menurutnya itu adalah jumlah yang sangat sedikit untuk membicarakan persoalan penduduk yang sebanyak ini. Universitas harus membuka ruang untuk pendidikan dan penelitian gender. Linda juga menyetujui adanya perubahan mindset masyarakat terkait pemahaman gender, bukan dengan cara yang kontroversi, tetapi memberikan pemahaman dengan bahasa yang lebih mudah diterima dan menarik. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah data. Penguatan data juga hal yang harus dilakukan. Data adalah amunisi yang baik untuk memperjuangkan keadilan untuk perempuan. Terkait hal itu, Linda menambahkan bahwa pemerintah harus memfasilitasi masyarakat adat agar implementasi kesetaraan dapat dirasakan oleh semua masyarakat termasuk perempuan ada. Jumlah LSM harus ditambahkan agar dapat menjadi ujung tombak langkah-langkah perjuangan perempuan di daerah. Masyarakat adat juga harus diberikan pemahaman tentang perubahan sikap dan mindset dengan tetap mempertahankan kearifan lokal mereka. Menurut Linda, secara nyata perlu dibuatkan modul yang jelas untuk menghindari adanya benturan. Semua itu harus kita upayakan agar anak perempuan dan laki-laki kita tidak lagi mengalami diskriminasi. (Lola Loveita) Pameran lukisan rupa Dewi Candraningrum yang menampilkan 128 Lukisan serta Sketsa resmi dibuka oleh Saras Dewi pada 13 Maret 2015 pukul 20.00 WIB. Pameran ini berlangsung selama 13 Hari di Sangkring Art Project, Bantul. Dalam acara pembukaan turut hadir Kris Budiman, Putu Sutawijaya, Yuniyanti Chuzaifah, Naomi Srikandi, dan Joko Pinurbo. Acara Pembukaan Pameran Lukisan ini diawali dengan welcoming speech oleh Putu Sutawijaya selaku pemilik sekaligus pengelola Sangkring Art Space. Kemudian Kris Budiman sebagai Kurator memberikan sambutan dalam acara pembukaan ini. Setelah itu Joko Pinurbo membacakan tiga Puisi yang berjudul “Minggu Pagi”, “Mei” dan “Anak Seorang Perempuan”. Kemudian disambung oleh Toto Suryo Nuggroho dengan Puisinya yang berjudul “Surat Pulang”. Acara Pembukaan Pameran Lukisan yang bertema Dokumen Rahim berlangsung sangat intim. Pemutaran film yang digarap oleh Espees Pictures dengan judul “Mom and Me” telah mengambil perhatian pengunjung. Film “Mom and Me” adalah sebuah film dokumenter Dewi Candraningrum dengan anaknya Ivan Ufuq Isfahan yang menggambarkan sebuah kedekatan sangat hangat antara seorang Ibu dan Anak (yang dihantarkan oleh Fanny Chotimah). Setelah film dokumenter selesai diputar acara dilanjutkan dengan penampilan dari Naomi Srikandi (putri almarhum Rendra) yang sangat menghibur dan filosofis. Saras Dewi dalam sambutannya menyampaikan bahwa Dokumen Rahim adalah sebuah akta keindahan yang digambarkan oleh Dewi Candraningrum dengan penuh cinta, penuh kasih, dan penuh getir. Dokumen rahim adalah sebuah pengalaman yang bercampur dalam warna-warna yang tak teratur dan buramnya arang. Seperti hal nya rahim bumi, rahim perempuan juga sering kali diinjak-injak oleh tubuh patriarki. Kepercayaan bahwa rahim bumi telah menghasilkan kehidupan, emas, dan cinta begitu juga dengan rahim perempuan bahkan rahim laki-laki yang digambarkan secara metafor oleh Dewi Candraningrum dalam senggama warna-warna yang indah. Dokumen Rahim dibuat dengan penuh suka cita dan cinta . Dokumen Rahim adalah kumpulan 128 Lukisan dan Sketsa Arang dan Dewi Candraningrum memberikan 14 wajah yang indah. Wajah-wajah tersebut bagi Dewi Candraningrum adalah sebuah perjalanan panjang cinta-nya dengan anak, dengan laki-laki, dengan tubuh. Dokumen Rahim memilih narasi Kemben Jawa, Rahim Raksasi, Daughters From Zambia, Sketsa Tubuh Ekologi, Sketsa Wiji Tukul, Plight of Gerwani, Senggama, Black Dance, River of Hair, dan Monalisa, Girl with Pearl Earrings, Frida Kahlo yang merupakan Serial Arang, Kemudian wajah yang berjudul After The Rape, Lelaki Rahim, Sidang Susila dan Bitches merupakan percumbuan warna-warna yang melahirkan keindahan dari rahim. (Andi Misbahul Pratiwi) Audiensi Komnas Perempuan dengan Wali Kota Surakarta: Setujui Memorialisasi Tragedi Mei 199816/3/2015
Pada tahun 2013 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama Pemerintah Kota Surakarta dan jejaring masyarakat sipil telah mengupayalan kegiatan mendukung pemulihan korban Tragedi Mei 1998 melalui memorialisasi. Sejumlah aktifitas telah berjalan pada peringatan Mei 2013, salah satunya penerbitan buku Kumpulan Puisi Merawat Ingatan Rahim Tragedi Mei 1998. Ada beberapa hal yang perlu ditinjau lagi secara bersama terkait pemugaran, pembangunan dan perawatan makam korban Tragedi Mei 98 di TPU Purwoloyo, serta mengintegrasikan Tragedi Mei 1998 dalam agenda peristiwa bersejarah kota Surakarta dan mengembangkan program dukungan terhadap keluarga korban serta mendorong dialog bersama dari seluruh elemen masyarakat. Bertempat di rumah dinas Loji Gandrung pada Jumat (13/3/2015) Komnas Perempuan yang diketuai oleh Yuniyanti Chuzaifah bersama dua anggota lainnya, Indriyati Suparno dan Soraya Ramli melakukan audiensi dengan wali kota Surakarta, FX. Hadi Rudyatmo. Audiensi juga melibatkan unsur masyarakat sipil yakni dari komunitas Jejer Wadon yang para anggotanya adalah aktivis lintas lembaga yang menyuarakan tentang isu-isu perempuan dan HAM. Perwakilan dari elemen pemangku kebijakan turut hadir tiga Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yakni Etty Retnowati kepala Dinas Dikpora, Hasta Gunawan kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan serta Nuning Sri Sulistyaningsih dari Bapermas. “Kami dari Komnas Perempuan melihat wilayah-wilayah yang keliatannya responsif untuk kerja sama. Komnas perempuan mendorong sebuah kegiatan atau bagaimana negara hadir dalam peristiwa Tragedi Mei 1998, agar generasi muda dan anak-anak kita itu mengetahui bahwa peristiwa itu ada sehingga tragedi tersebut tidak terulang lagi” tutur Yuniyanti Chuzaifah. Penjelasan Yuniyanti dipaparkan bersamaan dengan gambaran kegiatan yang telah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta pada tahun 2014 lalu. “Seperti yang terjadi di Jakarta, yakni makam massal Pondok Rangon, ada penanda dan dibuatkan prasasti, seperti marka di beberapa titik sebagai tanda bahwa ada makam massal korban Tragedi Mei 1998 di depan gerbang, lalu di titik 500m-1km menjelang tempat pemakaman. Juga prasasti berupa tangan berkain putih yang memegang jarum. Sekarang yang masuk proses adalah desain prasasti tulisan yang ditandatangani oleh Ahok, bahwa di tempat itu telah dimakamkan korban Tragedi Mei 1998,” Soraya Ramli menjelaskan. Setelah mendengar penjelasan tentang rencana tindak lanjut memorialisasi, FX. Hadi Rudyatmo kemudian mengatakan bahwa pihaknya siap melakukan pembangunan monumen peringatan di pemakaman TPU Purwoloyo. “Tujuannya untuk memperingati bahwa hal ini pernah terjadi dan menjadi pelajaran bagi kita supaya tidak mengulanginya lagi. Ini pekerjaan mudah yang bisa segera kita lakukan. Dulu saya mengertinya itu membuat maket yang akan dipajang di Balai Kota. Kalau hanya prasasti, dan hanya perlu satu saja di TPU Purwoloyo, maka bisa dibuat empat titik atau delapan titik di slup (cakar ayam) saja sebagai penanda. Saya minta surat permohonannya segera dikirim” jawab FX. Hadi Rudyatmo. Menanggapi data jumlah korban Tragedi Mei 98 di Surakarta, FX. Hadi Rudyatmo sangat yakin jika perhitungan 23 orang adalah mendekati kebenaran, meskipun dirinya tidak menolak kemungkinan ada makam lain selain TPU Purwoloyo. “Jika jumlahnya lebih dari puluhan itu tidak mungkin, karena saya pelaku langsung Tragedi Mei 1998” jelas Rudy. Mengenai rencana Napak Reformasi, FX. Hadi Rudyatmo mengatakan bahwa jika telah ada proses dan bentuk prasasti, maka pendidikan sejarah untuk bahan ajar bisa masuk lewat hal tersebut. “Nanti kita bisa membawa anak-anak sekolah dan mengingatkan bahwa pernah ada peristiwa Tragedi Mei 1998” lanjut Rudy. (Astuti Parengkuh) Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya (JPPAS) yang diketuai oleh Haryati Panca Putri bersama 9 anggota lainnya pada Senin (9/3/2015) beraudiensi dengan Ipda Suparno, Kabag Operasi Reskrim Kepolisian Resort Sukoharjo mewakili Kasatserse Iptu Fran D. Kembaren yang berhalangan hadir. Terkait dengan kasus trafficking dan kekerasan seksual yang indikasi tersangkanya adalah Raja Solo (PB XIII Hangabehi), audiensi bertujuan untuk mencari tahu sejauh mana kasus yang dilaporkan pada 2 Desember 2014 oleh ayah korban, Suwarsono (41) dan dikenai pasal persetubuhan anak di bawah umur tersebut tertangani oleh Polres Sukoharjo. Iptu Suparno menyambut baik kedatangan rombongan dan menjelaskan bahwa kepolisian memiliki respon yang baik dan beritikad akan mengembangkan kasus ini. Dirinya juga menjelaskan bahwa kasus yang sebelumnya melibatkan tersangka lain sudah pada putusan hukum yakni 3 tahun subsider 6 bulan atau denda 10 juta. Terhukum sebagai perantara atas kasus trafficking tersebut. Haryati Panca Putri mempertanyakan tentang pemberitaan media, di antaranya dari The Jakarta Globe, bahwa ada pencabutan pelaporan pada kasus Raja Solo. Pertanyaan yang langsung dijawab oleh Ipda Suparno bahwa sampai saat ini kasus tersebut tetap berlangsung. Haryati Panca Putri juga menyampaikan bahwa telah ada dukungan dari Kombespol Irawati Sudarsono yang juga anggota Komnas Perempuan agar kasus ini terus berjalan. Salah satu anggota JPPAS Endang Listiyani menyampaikan bahwa pihaknya pada Desember 2014 bersama dengan Komnas Perempuan juga beraudiensi dengan Polres Sukoharjo dan waktu itu mendapat respon yang baik dan ada itikad baik dari Polres bahwa pihaknya akan mengembangkan kasus tersebut. Ipda Suparno menjelaskan bahwa kendala yang dihadapi dalam kasus ini adalah tidak adanya saksi. Sedangkan saksi korban, menurut penyelidikan oleh salah seorang anggota Polres Sukoharjo belum memiliki kepastian jawaban siapa pelaku sesungguhnya saat diinterogasi. Kalau perkara sudah jelas dan sudah bisa disidik, maka kami akan melanjutkan ke tingkat penyidikan. Apalagi beberapa kali kami telah mendatangi terlapor untuk kami mintai keterangan namun terlapor sedang sakit dan hal itu dibuktikan dengan surat keterangan dokter,ujar Ipda Suparno. Menanggapi tentang keterangan saksi korban, Elizabeth Yulianti Raharjo memberikan pernyataan apakah sebaiknya keterangan saksi korban di persidangan sebelumnya bisa dijadikan alat bukti. Elizabeth Yulianti Raharjo turut mendampingi saksi korban saat persidangan dengan tersangka WT. Di penghujung pertemuan, Haryati Panca Putri menyerahkan selembar kain berupa dukungan terhadap Polres Sukoharjo dengan ratusan tanda tangan untuk menuntaskan kasus kekerasan seksual yang melibatkan Raja Solo. Dukungan digalang pada malam keprihatinan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional oleh JPPAS di Bundaran Gladag pada Jumat 6 Maret 2015. (Astuti Parengkuh) Sylvia Walby dalam bukunya Teorisasi Patriarki terbitan Jalasutra, Yogyakarta (2014), mencoba memberikan tafsir baru terhadap kesetaraan gender dalam ruang publik. Sylvia menemukan kesalahan analisis kesetaraan gender yang selama ini diperjuangkan yang disebabkan oleh perspektif tradisional yang masih mereka gunakan sebagai pisau analisis utama. Kesalahan tersebut oleh Sylvia disinyalir sebagai absennya analisis yang lebih luas terhadap struktur sosial yang terus mengalami perubahan. Sylvia menemukan bahwa eksploitasi terhadap perempuan tidak hanya terjadi di dalam ruang privat atau salah satu objek di mana perempuan bertindak dan berpartisipasi di dalamnya, melainkan juga di ruang publik. Sebuah ruang di mana relasi antar struktur saling berkaitan sehingga menimbulkan penindasan terhadap perempuan yang lebih luas. Perspektif tersebut adalah feminisme radikal, feminisme Marxis, liberalisme dan teori sistem-ganda. Keempat perspektif tersebut oleh Sylvia dinilai sangat kaku karena membatasi analisisnya. Misalnya dalam perspektif feminisme radikal yang mengatakan bahwa laki-laki adalah kelompok yang mendominasi perempuan sebagai sebuah kelompok dan sebagai kelompok utama yang memperoleh keuntungan dari eksploitasi terhadap perempuan. Sistem dominasi ini, dinamai patriarki, tidak diturunkan dari sistem ketidaksetaraan sosial lainnya; seperti sistem ini bukan produk kapitalisme. Hubungan antara patriarki dengan ketidaksetaraan kelas dan rasisme dibahas dengan pendekatan yang berbeda-beda oleh berbagai penulis feminisme radikal (hal: 4). Permasalahan utama dalam feminisme radikal dalam menganalisis ketidaksetaraan gender adalah, hanya terfokus pada esensialisme, pada reduksionisme biologis, dan pada kecenderungan universal palsu yang tidak dapat memahami perubahan historis atau menjelasakan secara memadai atas perbedaan perempuan berdasarkan suku dan kelas. Penjelasan lainnya, yakni feminisme Marxis, Liberalisme dan teori sistem-ganda juga menemukan permasalahan utama. Fokus yang teramat sempit pada kapitalisme (feminsme marxis), absennya penjelasan tentang struktur sosial secara keseluruhan dari ketidaksetaraan gender memunculkan berbagai penjelasan yang kurang memadai (liberalisme), dan sebagaimana dikatakan Young (1981) adalah tidak ada kemungkinan para penulis teori sistem ganda dalam mempertahankan dualitas kapitalisme dan patriaki. Dari Patriarki Privat ke Publik Meskipun terdapat kekurangan analisis dalam empat perspektif di atas, oleh Sylvia Walby juga dikatakan sebagai sebuah hasil analisis yang luar biasa sebagai upaya peningkatan partisipasi perempuan. Dari sinilah, bentuk perlawanan perempuan terhadap penindasan yang dilakukan oleh kelompok laki-laki mulai tumbuh dalam kesadaran perempuan. Sehingga kelompok perempuan mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki, yang pada awalnya akses dalam ruang privat (keluarga), sekarang perempuan bisa berpartisipasi dalam ruan publik yang lebih luas. Tetapi sebagaimana Sylvia mengatakan bahwa terdapatnya akses dan hak bagi perempuan di ruang publik juga menambah masalah baru bagi perempuan. Perempuan dihadapakan pada sebuah penindasan yang lebih luas lagi, yakni sebuah struktur sosial patriarkis. Di dalam ruang publik yang diisi oleh perempuan ternyata tidak lepas dari penindasan terhadap perempuan. Terutama adalah struktur kapitalis yang mapan, yang memiliki relasi kuat dengan bentuk patriarki. Kesenjangan sosial bagi perempuan adalah ketika industri kapitalisme memiliki kepentingan mengerahkan dan mengeksploitasi buruh perempuan, yang jelas lebih murah daripada laki-laki karena struktur patriarki. Di sisi lain, terdapat resistensi oleh strategi patriarki yang berusaha memelihara eksploitasi perempuan di rumah tangga (hal: 278) Bentuk pertama industrialisasi kapitalis memandang perekrutan perempuan yang sukses ke pabrik-pabrik ketimbang laki-laki, perekrutan perempuan di bidang admistratif negara serta lainnya, semisal seksualitas, yang lebih banyak diisi oleh perempuan ketimbang laki-laki tetapi jutru menguntungkan laki-laki dapat dilihat dari berbagai bentuk undang-undang yang menjadikan laki-laki spesial daripada perempuan. Di sisi yang lain semakin majunya mesin teknologi juga mampu menyingkirkan perempuan dari keterampilan yang dimilikinya. Patriarki publik juga tidak semata-mata menyingkirkan patriarki privat, terutama yang terjadi terhadap perempuan. Laki-laki di dalam ruang publik tidak melepaskan secara utuh bagi perempuan untuk silang bakat maupun keterampilan. Maka dari itu, ruang privat yang patriarki yang terjadi dalam ruang publik adalah cara bagaimana laki-laki mempertahankan dominasinya terhadap perempuan melalui bentuk undang-undang atau penempatan perempuan di bidang pekerjaannya yang patriarkis. Impilkasi dari keadaan tersebut membuat ketegangan antara kapital dan patriarki atas eksploitasi pekerja perempuan. Meskipun di sisi lain, perempuan dalam ruang publik mendapatkan posisi atau upah dari pekerjaannya, tetapi perempuan juga mengalami eksploitasi yang diakibatkan oleh strategi patriarki. Jika kita amati, analisis Sylvia tentang penindasan kapitalisme terhadap perempuan masih menemukan kemiripan dengan analisis yang dilakukan perspektif Marxis, yakni analisis ketidaksetaraan yang disebabkan oleh pertentangan produksi industri dan upah pekerja perempuan. Tetapi oleh Sylvia, ketidaksetaraan yang diakibatkan oleh nilai produksi dan upah pekerja adalah model tradisional yang mengakibatkan ketidaksetaraan bagi perempuan. Sylvia menambahkan, bahwa ketidaksetaraan gender dalam industri kapitalis dalam masyarakat kontemporer menemukan bentuk baru, semisal dengan adanya iklan dalam masyarakat kapitalis yang menmpatkan perempuan sebagai objek komoditas dari hal tersebut. Jadi, perempuan tidak hanya semata ditindas karena ketimpangan antara nilai produksi dan upah, melainkan dijadikan sebagai lokomotif kapitalis untuk menarik untung sebesar-besarnya yang merugikan perempuan. Inilah yang menjadi catatan penting bagi perspektif terdahulu yang mengklaim kemajuan bagi perempuan dalam mendapatkan akses dan hak sama dengan laki-laki di ruang publik. Tetapi di sisi lain melupakan, bahwa relasi patriarki dengan kapitalisme sangat mendukung adanya eksploitasi terhadap perempuan dalam ruang publik. Karya Sylvia Walby tentang ketidaksetaraan gender dalam ruang publik setidaknya memberikan pencerahan bagi kaum perempuan khususnya, dan para penulis gender untuk lebih memahami dan menganilisis ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan dalam masyarakat kontemporer. Tidak hanya strukur kapitalis dan patriarkis, melainkan juga relasi antara patriarki dengan ras, suku, kelas, budaya dan wacana sehingga menimbulkan ketidaksetaraan gender terhadap perempuan. Termasuk juga dalam masyarakat Indonesia, meskipun perempuan dalam hak politik, mendapatkan akses yang lebar dan luas, tetapi di sisi yang lain juga menghadapai struktur sosial dalam bentuk patriarki. Di sisi lain, akses perempuan dalam politik tidak diiringi dengan unsur anti rasialisme atau kesukuan. Dalam hal ini kita bisa ambil contoh, bagaimana kaum perempuan yang berada di kota atau berpendidikan tinggi yang mendapatkan akses tersebut, sementara mereka yang berada dalam desa dan tidak berpendidikan tinggi masih mengalami eksploitasi. (Ahmad Riyadi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |