Jakarta, 11 Maret 2020, peningkatan standar keamanan merupakan salah satu prioritas utama Gojek, sebuah superapp terdepan di Asia Tenggara ini. Melalui inisiatif #AmanBersamaGojek yang diluncurkan dua pekan lalu, dan bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional, Gojek mempertegas komitmennya dalam menghadirkan layanan transportasi daring paling aman melalui pilar teknologi, proteksi, dan edukasi. “Keamanan dan keselamatan adalah prioritas utama, khususnya bagi perempuan. Gojek dalam mewujudkan hal itu melakukan beberapa cara yakni melalui pilar teknologi, proteksi, dan edukasi,” ungkap Monita Moerdani, SVP Transport Marketing Gojek. Pilar teknologi adalah berupa teknologi Gojek SHIELD yang mampu memastikan keamanan dari sebelum memulai perjalanan, selama perjalanan, dan pada saat darurat dengan cara 1) penyamaran nomor telepon, 2) bagikan perjalanan dengan orang atau kerabat terdekat yang dipercaya, 3) tombol darurat yang terhubung dengan unit darurat 24 jam dan layanan ambulans. Pilar proteksi berupa sistem zona aman bersama Gojek. Zona Aman bersama Gojek merupakan ruang ramah perempuan yang memanfaatkan ratusan shelter atau titik jemput yang yang tersedia di berbagai lokasi. Zona Aman bersama Gojek memiliki fasilitas penerangan dan tempat duduk yang memadai untuk menunggu dan berlokasi di area keramaian yang dekat dengan titik transportasi publik serta dilengkapi materi edukasi publik untuk mensosialisasikan ruang publik aman bagi perempuan. Selain itu, sejak tahun 2019, Gojek telah melatih mitranya sebagai active bystander untuk melawan kekerasan seksual di ruang publik. Mitra Gojek didorong bersikap aktif untuk membantu jika mereka melihat ada pelecehan atau kejahatan yang terjadi terutama di tempat umum. Hal ini diapresiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KPPPA). “Sejak awal penandatanganan Nota Kesepahaman antara Gojek dan KPPPA di tahun 2019, kami mengapresiasi pendekatan Gojek yang lengkap dalam meningkatkan keamanan bagi perempuan, seperti menyediakan Zona Aman Bersama Gojek untuk perempuan menunggu serta menjadi mitra kami dalam mensosialisasikan pencegahan kekerasan seksual di ruang publik. Kami berharap langkah Gojek untuk terus berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan demi menciptakan budaya aman, dapat menginspirasi pelaku usaha lain,” jelas Indra Gunawan, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KPPPA. Lalu, masih di dalam pilar proteksi, Gojek membangun layanan Customer Care & Unit Darurat siaga 24 jam yang mengadopsi perspektif korban. Kemudian, Gojek menyediakan jaminan asuransi perjalanan untuk mitra dan pelanggan. Di pilar edukasi, Gojek berkolaborasi dengan pemerintah, organisasi internasional, dan LSM, seperti Kementerian KPPPA, Hollaback! Jakarta, serta LSM tingkat lokal seperti LBH Apik Kota Medan, LBH Manado, Rifka Annisa, Women Crisis Center Yogyakarta, serta Resister Indonesia Kota Malang untuk melakukan edukasi kepada masyarakat guna menciptakan ruang publik yang semakin ramah terhadap perempuan. “Di setiap ruang perempuan memiliki hak untuk merasa aman. Namun faktanya, rasa takut akan pelecehan dan kekerasan seksual, seringkali menghambat mobilitas dan membatasi akses perempuan dan anak perempuan di ruang publik. Infrastruktur publik yang berkualitas dan efisiensi dari layanan transportasi memainkan peran penting dalam memastikan transit yang aman bagi perempuan. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur harus berbasis gender dan dirancang dengan mempertimbangkan keamanan dan kebutuhan mobilitas perempuan,” ungkap Lily Puspasari, UN Women Indonesia. (Octania Wynn) Jakarta (4/3), Cakra Wikara Indonesia (CWI) mengadakan seminar tentang status agenda politik perempuan seusai Pemilu 2019 di Hotel Akmani. Diskusi yang didukung Kedutaan besar Kanada untuk Indonesia inimemperbincangkan dua persoalan mendasar tentang politik perempuan, yakni tentang representasi pasif dan representasi aktif perempuanDalam sambutannya, Anna Margret selaku ketua CWI menyatakan bahwa kedua persoalan tersebut bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dalam mempersoalkan politik perempuan. CWI melakukan kerja-kerja dalam upaya mendorong perubahan pada representasi pasif yaitu mendorong kehadiran perempuan secara kuantitatif, namun di saat yang bersamaan memastikan perempuan yang terpilih untuk mendorong agenda-agenda politik perempuan agar terjadi perubahan dalam tata kelola politik di Indonesia. Anna Margret menyatakan bahwa ada beberapa persoalan yang penting untuk diperbincangkan tentang politik perempuan, dinataranya persoalan krisis sumber rekrutmen caleg perempuan dan upaya mendorong peningkatan keterwakilan berbasis jumlah. “Saat ini dari total 575 anggota DPR-RI, kita memiliki 123 anggota legislatif perempuan di DPR-RI. Berdasarkan hasil pemilu 2019, CWI melihat bahwa ketika kita bicara soal kebijakan afirmatif, kita menghadapi persoalan mulai dari sebelum masa Pemilu, yaitu pada masa pencalonan. Tahap ini adalah tahap kritis sehingga menurut CWI, meskipun pemilu berikutnya masih di tahun 2024, penting agar mengkritisi persoalan ini sejak saat ini,” Ungkap Anna. Menurut Anna, penting agar kita mengingat filosofi di balik kebijakan afirmasi yaitu mendorong keterwakilan perempuan dan komitmen mendorong keterwakilan kelompok yang selama ini terpinggirkan dari berbagai proses inti pengambilan keputusan. “Dalam pemilu ada 3 momen kritis yaitu pencalonan, pada tahap ini perempuan sudah harus bertarung untuk mendapatkan nomor urut atas dan Dapil yang strategis, pada tahap berikutnya perempuan harus bertarung di tingkat perolehan suara dan di tahap ketiga perempuan harus berartung dalam perolehan kursi. Temuan CWI menunjukkan bahwa berbanding terbalik dengan tren pada laki-laki, jumlah perempuan terus merosot dari tahap pertama hingga tahap ketiga,” jelas Anna. Bagi Anna data tersebut menunjukkan pengalaman khas perempuan dan bahwa sistem Pemilu seperti besaran parliamentary threshold dan nomor urut berkontribusi pada minimnya representasi pasif perempuan. Minimnya caleg perempuan yang berada pada nomor urut satu menjadi salah satu penyebab rendahnya perolehan suara oleh anggota legislatif perempuan. Menurut Anna, selain menghadapi persoalan pada sistem pencalonan. Penting agar kita memikirkan strategi politik perempuan untuk tahun 2024. Namun yang paling genting untuk direspons saat ini adalah bagaimana kita mengawal agenda politik perempuan. “Saat ini kita telah memiliki sejumlah aleg perempuan yang terpilih. Dari sini kita perlu melihat bagaiamana agenda politik perempuan. Paling tidak ada sekitar 50 RUU yang masuk dalam prioritas Prolegnas 2020. Apa yang bisa kita lakukan dengan minimnya perempuan yang berada di kepemimpinan komisi?,” Ungkap Anna. Dalam diskusi tersebut, Maria Ulfah selaku Komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa kerja-kerja yang dilakukan oleh Komnas Perempuan berkaitan erat dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh para anggota legislatif di parlemen. “Salah satu agenda Komnas Perempuan adalah membangun konsesus nasional tentang pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan, untuk mencapai cita-cita terebut dibutuhkan kepemimpinan-kepemimpinan perempuan yang punya perspektif, solid dan bisa membawa perubahan bagi perempuan lewat regulasi,” tutur Maria. Maria mengatakan bahwa Komnas Perempuan telah melakukan pemetaan terhadap 50 RUU yang masuk Prolegnas 2020. Menurutnya ada 16 RUU yang beradampak terhadap strategis pada perempuan. Dalam kesempatan itu Maria menyatakan kekecewannya karena tidak masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dalam Prolegnas tahun 2020, padahal menurut Maria, RUU ini memiliki dampak strategis bagi perempuan. Menurut Maria RUU ini penting untuk disahkan sebab ada 9 jenis tindak pidana seksual yang tidak dikenal dalam UU lainnya yaitu pelecehan seksual, elsploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawainan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. “Kekerasan seksual membutuhkan regulasi hukum yang khusus sebab UU yang ada hanya mengatur pemidanaan. UU yang ada belum komprehensif mengatur pencegahan dan pemulihan komprehensif bagi korban. RUU PKS tidak berhenti pada soal pemidanaan tetapi juga tentang rehabilitasi pelaku, tukas Maria”. Meski berbagai persoalan kekerasan seksual telah disinggung juga dalam UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, KUHP, UU TPPO, namun menurut Maria masih diatur secara parsial. Komnas Perempuan bersama mitra-mitranya telah melakukan kajian hukum positif terhadap berbagai UU terkait kekerasan seksual dan menemukan bahwa persoalan kekerasan seksual yang dibahas pada tiap regulasi hukum tersebut tidaklah menyeluruh. Regulasi yang ada secara khusus misalnya bicara mengenai pelecehan seksual terhadap anak, atau perdagangan orang tetapi tidak mengenali jenis kekerasan seperti perbudakan seksual dll. Maria menjelaskan bahwa dalam perspektif hukum positif belum ada regulasi hukum di Indonesia yang mendedah dan mengenali isu kekerasan seksual secara mendalam seperti RUU ini. Maria menegaskan bahwa tingginya kasus dan terus meningkatnya angka kekerasan seksual menegaskan bahwa keberadaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangatlah dibutuhkan. Dalam kesempatan tersebut, Dian Kartika Sari, Aktivis perempuan juga membagi pengalamannya mengenai advokasi agenda politik perempuan. Menurut Dian, resistensi terhadap berbagai RUU terkait agenda perempuan memang kerap terjadi, ia memaparkan bahwa RUU PKDRT dan RUU TPPO pada masanya juga sempat menuai sejumlah penolakan. Strategi utama yang perlu dilakukan adalah menghadirkan suara korban dan tunjukkan fakta-fakta kekerasan seksual, karena seringkali sebuah tawaran kebijakan ditolak karena dipandang sebagai asumsi belaka. “Kita perlu menunjukkan pada publik bahwa persoalan kekerasan seksual adalah urusan kemanusiaan dan bukan urusan perempuan saja. Penting untuk membangun argumen bahwa korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan, melainkan bisa terjadi pada laki-laki, anak, orang tua dan siapa saja,” kata Dian. Dian menambahkan bahwa strategi lain yang tidak kalah pentingnya untuk mendorong pengesahan RUU PKS adalah membangun konsolidasi antara semua pihak, khususnya para anggota legislatif, baik itu perempuan maupun laki-laki. Senada dengan itu, Maria menyampaikan 5 rekomenasi dari Komnas Perempuan untuk memperkuat strategi pengesahan RUU PKS yaitu; pertama, penguatan agensi semua aktor dengan perspektif HAM berbasis gender, khususnya bagi para anggota legislatif. Kedua, meningkatkan ekosistem untuk akses dan kualitas layanan informasi, artinya perlu ada proses edukasi terbuka pada publik tentang bagaimana proses pembuatan regulasi. Ketiga, pengingkatan konsolidasi dan peran jaringan advokasi yaitu antara CSO, akademisi, dunia usaha, masyarakat adat dll. Keempat, penguatan kerangka hukum di tingkat nasional dan daerah. Maksudnya adalah penting untuk mengkonsolidasi pemerintah daerah untuk mendorong Perda, Pergub dan membentuk komunitas-komunitas lokal yang mencegah perkawinan anak sembari menunggu hadirnya regulasi di tingkat nasional. Kelima, penguatan sinergi lintas daerah, CSO, akademisi/ perguruan tinggi, lembaga keagamaan, adat, media, dan dunia usaha. (Abby Gina). Jumat, 6 Maret 2020, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020 di Mercure Hotel, Jakarta. Catatan tahunan merupakan dokumentasi berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara, lembaga layanan, maupun yang dilaporkan ke Komnas Perempuan setiap tahunnya. Dokumentasi kasus mulai rutin dilakukan Komnas Perempuan sejak tahun 2001. Merujuk pada CATAHU 2020, sepanjang tahun 2019 tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan di Indonesia, dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan. “Angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 12 tahun kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen,” ungkap Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan. Angka kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es, artinya ada banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap dan tidak dilaporkan oleh korban. Meskipun telah banyak laporan kasus kekerasan terhadap perempuan, Mariana mengungkapkan bahwa pencapaian keadilan atas kasus yang dilaporkan belum maksimal. Di ranah personal, CATAHU 2020, mencatat ada kenaikan angka kasus kekerasan terhadap anak perempuan sebesar 65% dari tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2019 tercatat ada 2.341 kasus, yang didominasi oleh kasus inses sebanyak 770 kasus. Menurut Mariana, banyaknya kasus inses terhadap anak perempuan menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak dalam situasi tidak aman bahkan dengan orang terdekat. Salah satu kasus inses yang ditangani langsung oleh Komnas Perempuan adalah perkosaan yang dilakukan seorang ayah kepada putrinya. “Kalau di bilang satu kamar adalah penyebab inses, kami menerima kasus ada seorang putri yang melaporkan bahwa ayahnya mendobrak kunci kamar anaknya untuk melakukan perbuatan keji,” jelas Mariana. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, Komnas Perempuan juga mencatat bentuk atau pola baru dari kekerasan terhadap perempuan yakni kekerasan berbasis gender online. Berdasarkan CATAHU 2020, angka kekerasan berbasis gender online ini terus meningkat, sepanjang tahun 2019 ada 281 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Kekerasan siber meningkat 300% dari tahun-tahun sebelumnya. Hasil temuan Komnas Perempuan, anak perempuan dan perempuan kerap kali menjadi korban penyebaran video dan foto porno dari pacar dan/atau orang terdekatnya. “Perempuan korban kekerasan berbasis gender online kerap alami reviktimisasi dengan dijerat UU ITE dan UU Pornografi,” tutur Retty Ratnawati (Komisioner Komnas Perempuan). Di ranah publik atau komunitas, CATAHU 2020 mencatat ada 3.062 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang mana 58% dari angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual di ranah publik juga termasuk kasus yang korbannya adalah perempuan disabilitas. Kemudian, di ranah negara, kasus-kasus yang dilaporkan ada 12 kasus, antara lain: kasus intimidasi jurnalis ketika liputan, pelanggaran hak administrasi kependudukan, kasus pinjaman online, tuduhan afiliasi dengan organisasi terlarang. “Kasus siber menyasar pada perempuan peminjam uang secara online. Intimidasi agar perempuan melakukan hubungan seksual atau pelunasan peminjaman,” jelas Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan). Dalam CATAHU 2020, tidak hanya mendokumentasikan data-data kuantitatif kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga data kualitatif. Sejalan dengan temuan data kuantitatif bahwa anak perempuan banyak yang menjadi korban kekerasan seksual, Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual umumnya terjadi di lingkungan pendidikan. Retty Ratnawati (Komisioner Komnas Perempuan) menjelaskan bahwa ada kecenderungn kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi pacaran paling tinggi SLTA baik korban maupun pelaku. Hal ini menunjukkan kurangnya pendidikan seksual komprehensif di sekolah-sekolah. Selain meningkatknya kasus kekerasan terhadap anak perempuan, CATAHU 2020 menemukan bahwa pelaku kekerasan juga adalah seorang anak yakni di bawah usia 18 tahun. “Data CATAHU dalam 3 tahun terakhir ada pelaku berusia anak kurang dari 18 tahun, bila dibagi dengan jumlah anak kurang 18 tahun di Indonesia, maka setiap satu juta anak, ada 7 orang anak berpeluang jadi pelaku. Artinya setiap hari ada 2 pelaku berusia kurang dari 18 tahun. Ini angka yang serius,” jelas Retty Ratnawati. Siti Aminah menjelaskan bahwa dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), CATAHU 2020 mencatat ada dua modus baru yakni pengantin pesanan dan TPPO daring. Kemudian, dalam kasus LDRT ada pola baru yang Komnas Perempuan sebut sebagai KDRT berlanjut, yakni korban kerap kali dikriminalisasi, dicemarkan nama baiknya, dan dituduh melanggar hukum. Dalam konflik sumber daya alam dan tata ruang, perempuan menjadi korban berlapis. Komnas Perempuan menemukan bahwa perempuan tidak hanya menjadi korban perampasan lahan tapi juga menjadi korban prostitusi, perkawinan anak, kawin kontrak, dan perdagangan orang. Komnas Perempuan dalam kajian kualitatifnya menemukan bahwa dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan pejabat publik ada impunitas. Lebih jauh, CATAHU 2020 juga mencatat ada serangan kepada perempuan pembela HAM berupa fitnah dan berita bohong yang bertujuan untuk merusak nama baik dan martabat perempuan pembela HAM sebagai perempuan. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |