Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) bersama Asian-Pacific Resource and Research Centre for Women (ARROW) dan organisasi-organisasi mitranya mengutuk hukuman tahanan enam bulan kepada seorang anak perempuan berusia 15 tahun di Indonesia yang melakukan aborsi, atas kehamilan akibat diperkosa berkali-kali oleh kakak laki-lakinya[1]. Pembatasan aborsi dalam hukum di Indonesia hanya memperbolehkan tindakan aborasi untuk menyelamatkan hidup sang ibu atau jika kehamilan terjadi akibat perkosaan atau inses, namun hanya sebelum usia enam minggu kehamilan[2]. Anak perempuan berusia 15 tahun tersebut tidak hanya mengalami trauma atas kekerasan seksual yang diakibatkan oleh anggota keluarganya, tetapi juga harus menghadapi sakit akibat tindakan aborsi ilegal dan tidak aman atas kehamilannya, karena tindakan aborsi tersebut dilakukan lewat dari batas usia kandungan enam minggu, sebagai batas waktu tindakan aborsi yang legal akibat perkosaan atau inses menurut hukum Indonesia. Perhitungan enam minggu masa kehamilan dihitung mulai dari masa periode haid terakhir atau last menstrual period (LMP), hanya melewati satu periode haid – yang pada bagi sebagian besar perempuan dan anak perempuan adalah periode waktu yang terlalu singkat untuk mendeteksi kehamilan.
Anak perempuan tersebut bukanlah pelaku kejahatan. Namun, ia adalah salah satu dari banyak perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia yang harus menghadapi hukuman penjara karena mengakses hak reproduksi mereka. Penelitian secara konsisten memperlihatkan bahwa pelarangan atau pembatasan aborsi tidak mengurangi praktik aborsi. Justru, hal tersebut berdampak pada prosedur keamanan aborsi [3], yang mengakibatkan tingginya angka mortalitas dan morbiditas. Menurut Kementerian Kesehatan Indonesia, aborsi menyumbang 30% hingga 50% dari total angka kematian ibu [4]. Terbatasnya kerangka hukum yang didasari oleh argumen moral dan agama [5] juga meresap ke dalam kondisi mental masyarakat yang memperbesar jarring-jaring stigma terhadap tindakan aborsi, yang mengakibatkan kesulitan bagi perempuan dan khususnya anak perempuan untuk mengakses informasi dan layanan aborsi, bahkan ketika aborsi itu secara hukum diperbolehkan [6]. Remaja perempuan lebih rentan mengalami pelecehan seksual, kehamilan tak diinginkan, infeksi menular seksual hingga HIV yang disebabkan oleh kekerasan seksual, akibat tidak tersedianya pendidikan seksualitas yang komprehensif. Remaja perempuan sering kali tidak menyadari hak-hak mereka dan tidak mampu bernegosiasi dalam keluarga dan komunitas mereka, serta sulit untuk mendapat pengakuan dari atas kekerasan yang dialaminya. Dalam situasi khusus yang dihadapi oleh sang remaja perempuan ini, ia harus menanggung beban sebagai sebagai penyintas perkosaan, dan penyintas kasus inses. Kehamilan sebagai akibat dari perkosaan terhadap dirinya memperparah kerentan dirinya. Dalam situasi ini, layanan aborsi harus dilihat sebagai terapi atas situasi anak perempuan tersebut. Anak-anak membutuhkan perlindungan, bukan pemenjaraan. #SafeAbortionNOW #LindungiAborsiSekarang Didukung oleh:
Catatan Akhir: [1]https://www.news.com.au/world/asia/indonesian-teenager-raped-by-her-brother-jailed-for-abortion/news-story/79b303a9281c72459aaed36a7e6d6e16 [2] Fanny Tanuwijaya, Abortion on Law and Moral Perspectives in Indonesia, Journal of Law, Policy and Globalization, (2014), Vol. 28, ISSN 2224-3259 [3] Camila Gianella-Malca and Liv Tonnessen, Health effects of criminalisation of abortion, Conference Paper, GLOBVAC Conference 2015 [4] http://asap-asia.org/pdf/Indonesia_Abortion_Booklet_Update.pdf [5] Ibid. [6] Cockrill K, Herold S, Blanchard K, Grossman D, Upadyay U, Baum S. Addressing abortion stigma through service delivery: A white paper, 2015, Ibis Reproductive Health Jumat (27/7) Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan atau MAMPU mengadakan acara Brown Bag Lunch Discussion dengan teman "Memahami Disabilitas, dengan Pengalaman Sensitivitas, Orientasi dan Mobilitas". Acara ini bertujuan untuk mengupayakan adanya simulasi sensitivitas, orientasi dan mobilitas yang dipromosikan oleh rekan-rekan dari Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN). Pembicara dalam diskusi ini ialah Chandra Sugarda (Gender, Disability and Social Inclusion Specialist). Chandra Sugarda mengungkapkan bahwa fasilitas bagi penyandang disabilitas banyak yang belum memenuhi syarat, "bisa kita temukan pada beberapa titik guiding block atau tanda penunjuk jalan bagi tuna netra belum memenuhi standar keselamatan", tuturnya. Tak hanya itu, menurutnya masyarakat atau pengguna jalan juga belum mengetahui fungsi dari guiding block yang tersebar di trotoar di Jakarta. Sehingga, tidak heran jika kita sering menemukan guiding block yang justru dijadikan tempat parkir. Chandra menambahkan bahwa tim pembuat penunjuk jalan kaum tuna netra bisa jadi tidak memiliki pengetahuan yang cukup atas tanda yang terdapat pada penunjuk arah dan hal ini memungkinkan tidak terpenuhinya standar keselamatan. Chandra Sugarda menjelaskan bahwa kaum disabilitas bukan hanya mengalami diskriminasi karena fasilitas yang ada tidak memenuhi standar keselamatan, tetapi juga mengalami kekerasan seksual khususnya perempuan dengan disabilitas. Hal ini diperparah dengan adanya anggapan publik dan stigma bahwa perempuan disabilitas tidak cakap hukum sehingga kesaksiannya kerap kali diabaikan. Selain itu, negara dan aparat penegak hukum pun belum memberikan layanan hukum yang ramah disabilitas secara maksimal. Dalam kasus seperti itu, perempuan disabilitas mengalami kesulitan pada saat memberikan kesaksian. Lebih jauh, pelecehan atau bahkan kekerasan seksual yang dialami perempuan disabilitas dianggap wajar oleh masyarakat karena ada label yang diberikan secara sepihak oleh masyarakat atas perempuan disabilitas sebagai aseksual dan hiperseksual. "Perlu diingat bahwa perempuan disabilitas bukan hanya mengalami kekerasan seksual tetapi juga kekerasan psikis, fisik dan ekonomi", tutur Chandra. Meskipun terdapat banyak sekali hal yang belum memenuhi standar kelayakan bagi kaum disabilitas, pergeseran makna atau pemahaman negara atas kaum disabilitas mulai maju. Seperti halnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menekankan landasannya pada hak asasi manusia, menempatkan disabilitas sebagai konstruksi sosial, dan menjadikan disabilitas sebagai urusan seluruh jajaran pemerintahan yang bersifat multi-sektoral. Hal ini tentu berbeda dan merupakan kemajuan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang masih dilandaskan pada perspektif rasa belas kasihan, menempatkan disabilitas sebagai masalah dari individu yang bersangkutan, dan menjadikan disabilitas sebagai urusan kementerian sosial saja. Meskipun demikian, implikasi dari kebijakan tersebut belumlah terlihat ada kemajuan secara substansi, nyatanya fasilitas umum bagi disabilitas hanyalah formalitas, stigma masih hidup di masyarakat dan perlindungan hukum bagi disabilitas, khususnya perempuan disabilitas yang rentan terhadap kekerasan seksual belum dihadirkan secara maksimal. (Iqraa Runi)
AICHR merupakan badan HAM ASEAN yang memiliki tanggung jawab untuk memajukan dan mendorong penegakan HAM di kawasan ASEAN. Setiap negara anggota ASEAN wajib untuk menunjuk seorang wakil dari negaranya untuk menjadi anggota AICHR. Acara yang dibuka oleh Jose Tavares tersebut, dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama membahas mengenai perkembangan HAM di tingkat Internasional dan Regional yang disampaikan oleh Achsanul Habib, dan presentasi dari perwakilan Indonesia untuk AICHR periode 2016-2018, Dr. Dinna Wisnu. Dalam pemaparan singkatnya, Achsanul Habib menyampaikan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah dalam isu HAM di tingkat Internasional dan Regional. Ia memandang pentingnya keikutsertaan para ahli HAM Indonesia dalam lembaga-lembaga HAM di tingkat regional maupun internasional. Selain itu, Habib juga menyoroti pentingnya kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat sipil terkait isu HAM, serta pentingnya memperkenalkan isu HAM pada pelaku bisnis agar para pelaku bisnis dapat menerapkan nilai-nilai HAM dalam praktik bisnis mereka. Wakil Indonesia untuk AICHR, Dr. Dinna Wisnu, pada kesempatan tersebut memaparkan kinerjanya selama menjadi wakil AICHR melalui presentasi berjudul "Upaya Pemajuan dan Perlindungan HAM oleh AICHR serta Langkah Mendatang". Dinna Wisnu membuka presentasinya dengan menyampaikan bahwa Indonesia harus menjadi yang terdepan dalam segala sektor di tingkat ASEAN. Ia menjelaskan bahwa hak asasi manusia merupakan salah satu isu strategis lintas sektor di ASEAN. Beberapa perkembangan, dobrakan baru, serta tantangan yang dialami oleh AICHR periode 2016-2018 juga dipaparkan oleh Dinna Wisnu. Selama tiga tahun menjadi wakil AICHR, Wisnu fokus melakukan kegiatan sosialisasi serta konsultasi terkait isu HAM baik di tingkat nasional dan regional, baik bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat sipil. Mitra-mitra di Indonesia yang dijangkau oleh AICHR dalam proses pengerjaan isu-isu HAM di Indonesia dan tingkat ASEAN antara lain organisasi-organisasi sosial/Lembaga Swadaya Masyarakat, media, serta Universitas-universitas sebagai think tank. Di awal pekerjaannya sebagai wakil AICHR dari Indonesia, Wisnu melihat bahwa belum semua kementerian memahami pentingnya HAM dan fungsi keberadaan AICHR. Pada tahun 2016 AICHR Indonesia banyak melakukan konsultasi lintas kementerian untuk memperkuat pemahaman tentang HAM. Pada tahun 2017, pada tingkat nasional, AICHR Indonesia menaruh fokus kerjanya pada isu perdagangan orang (trafficking)dan disabilitas. Salah satu kegiatan penting AICHR pada tahun 2018 yang disebutkan oleh Wisnu adalah sebuah konsultasi mengenai Managing Freedom of Expressionyang diselenggarakan di kota Medan. Lebih lanjut Wisnu menyampaikan beberapa pendekatan yang telah dilakukan olehnya sebagai wakil AICHR yang perlu dilanjutkan oleh wakil AICHR dari Indonesia untuk periode selanjutnya adalah antara lain: (1) Pelibatan masyarakat sipil dan pihak-pihak yang bekerja di luar bidang HAM ke dalam kegiatan AICHR; (2) Praktik-praktik terbaik seperti kunjungan, pelatihan HAM untuk Pemuda, dan proyek percontohan untuk memeriksa implementasi; (3) Melakukan pendekatan lintas sektoral dan pendekatan isu lintas sektoral. Wisnu menutup presentasinya dengan menyampaikan tantangan yang dialaminya selama menjadi wakil AICHR untuk Indonesia antara lain adalah persoalan teknis, salah satunya adalah permasalahan pemotongan anggaran untuk isu HAM yang juga dialami oleh negara-negara ASEAN lainnya. Pada sesi kedua acara sekaligus penutup acara, M. Chandra W. Yudha, melakukan sosialisasi mengenai proses pemilihan wakil Indonesia untuk AICHR periode 2019-2021. Ia menyampaikan beberapa persyaratan terkait pemilihan wakil Indonesia untuk AICHR, dan mengajak elemen masyarakat yang memiliki perhatian khusus serta menguasai isu HAM untuk mendaftarkan dirinya dan mengikuti seleksi pemilihan wakil Indonesia untuk AICHR. (Bella Sandiata) Latar Belakang Anugerah Saparinah Sadli merupakan penghargaan dua tahunan yang bertujuan untuk memberikan inspirasi kepada masyarakat dan generasi penerus untuk terus bekerja demi terciptanya keadilan jender di Indonesia. Anugerah ini terinspirasi oleh sosok Saparinah Sadli, seorang perempuan, akademisi yang kemudian menjadi pegiat keadilan jender yang gigih, tekun, dan konsisten, dalam berbagai aktivitas yang dilakukannya baik di bidang penelitian, pendidikan serta advokasi dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Anugerah Saparinah Sadli pertama kali diberikan kepada Maria Ulfah Anshor pada tahun 2004 untuk perempuan yang aktif dalam memperjuangkan hak reproduksi perempuan. Pada tahun 2007, Anugerah Saparinah Sadli diberikan sekaligus kepada dua aktivis perempuan Aleta Ba’un, yang memperjuangkan hak-hak masyarakat yang ditindas perusahaan tambang di Nusa Tenggara Timur, dan Mutmainah Korona untuk perjuangannya dalam advokasi Peraturan Daerah yang peka-jender di Sulawesi Tengah. Nani Zulminarni, menerima Anugerah Saparinah Sadli pada tahun 2010 atas kiprahnya mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan kepala keluarga melalui organisasi PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga). Pada tahun 2012, Anugerah Saparinah Sadli diberikan kepada aktivis perdamaian Baihajar Tualeka yang secara gigih dan konsisten menggalang kegiatan untuk memelihara perdamaian antar kelompok beragama di Ambon, Maluku. Selanjutnya tahun 2014 penerima Anugerah Saparinah Sadli 2014 adalah Asnaini, kepala desa perempuan pertama di Desa Pegasing Aceh Tengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraan warganya dari mulai mendatangkan listrik ke desanya, menghidupkan kembali posyandu dengan fasilitas serta bidan tetap, megusahakan kas desa serta penyuluhan kopi untuk meningkatkan pendapatan desa. Terakhir di tahun 2016 penerima Anugerah Saparinah Sadli adalah Sri Wahyuningsih, guru perempuan perintis Paguyuban Guru Peduli Kesehatan Reproduksi (PGP Kespro) yang berkomitmen bersama kelompok guru sekolah dan pesantren di Kabupaten Bondowoso, bekerjasama dan mensosialisasikan pentingnya upaya untuk mencegah perkawinan usia anak di Kabupaten Bondowoso. Tema Anugerah Saparinah Sadli 2018 Tahun 2018 ini, Anugerah Saparinah Sadli memilih tema Keteladanan Pemimpin Perempuan Dalam Kebinekaan Masyarakat Indonesia. Tema ini dipilih karena pentingnya peran kepemimpinan dan keteladanan Perempuan dalam kehidupan kebinekaan masyarakat Indonesia baik di tingkat lokal maupun nasional, di berbagai sektor termasuk kesehatan, pendidikan, sosial, budaya dan infrastruktur desa yang sangat berarti bagi kelompok masyarakat marginal dan miskin. Selain itu capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) terutama yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan anak sangat ditentukan oleh peran pemimpin komunitas dan penyelenggara publik di tingkat local hingga nasional. Tema ini juga terinspirasi dari rekam jejak, keteladanan dan kepemimpinan Perempuan di tengah bangkitnya kesadaran keberagaman masyarakat Indonesia dan upaya-upaya meredam konflik berbasis agama, budaya, politik identitas dan lainnya di masyarakat. Kami ingin menyoroti peran perempuan-perempuan gigih yang berkiprah dalam komunitas Indonesia yang majemuk dengan menunjukan kepemimpinannya di komunitas atau penyelenggara kebijakan publik di tingkat lokal atau nasional, dengan memberikan penghargaan atas dedikasi dan capaian mereka serta untuk meningkatkan pemahaman publik akan pentingnya kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan keteladanan Pemimpin Perempuan dalam menjaga kebinekaan masyarakat Indonesia. Proses Nominasi Anugerah Saparinah Sadli 2018 Kami mengundang kalangan media, organisasi masyarakat sipil, profesional, akademisi, swasta, lembaga dan Pemerintah untuk membantu menominasikan calon-calon pemenang Anugerah Saparinah Sadli 2018. Calon pemenang dapat dinominasikan oleh individu, kelompok individu, organisasi atau lembaga langsung ke Panitia Anugerah Saparinah Sadli 2018. Kriteria Umum Penerima Saparinah Sadli Award:
Kriteria Khusus untuk Anugerah Saparinah Sadli 2018 : Pemberian Anugerah Saparinah Sadli tahun ini akan bertemakan Keteladanan Pimpinan Perempuan Dalam Kebinekaan Masyarakat Indonesia. Untuk itu syarat-syarat khusus Calon Penerima Anugerah Saparinah Sadli 2018 adalah:
Proses Nominasi
Formulir dan data pendukung diterima Panitia Anugerah Saparinah Sadli 2018 selambat-lambatnya pada tanggal 31 Juli 2018 melalui email kepada: [email protected] Untuk informasi lebih lanjut harap menghubungi: Rita Serena Kolibonso melalui email: [email protected]
Jumat (13/7) berlokasi di lantai tiga Gedung Institute for Advancement of Science Technology and Humanity (IASTH) Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, Program Studi Kajian Gender bekerja sama dengan Pusat Studi Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia, menggelar peluncuran dan diskusi buku berjudul “Seksualitas di Indonesia: Politik Seksual, Kesehatan, Keberagaman dan Representasi”. Peluncuran dan Diskusi buku tersebut menghadirkan Saras Dewi (Dosen Departemen Ilmu Filsafat, FIB UI) dan Syafiq Hasyim (International Center for Islam & Pluralism) sebagai pembahas dan Nur Iman Subono (Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI) sebagai moderator.Acara ini dibuka oleh Mia Siscawati selaku perwakilan dari tuan rumah Program Studi Kajian Gender, lalu dilanjutkan dengan sambutan oleh Linda Banett (Melbourne University) dan Irwan M. Hidayana (Pusat Studi Kajian Gender dan Seksualitas UI) selaku editor buku. Nina Nurmila (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan), salah satu kontributor buku melanjutkan acara dengan menyampaikan ikhtisar buku dan membagikan pengalamannya selama terlibat dalam proses pembuatan buku tersebut. Usai seremonial pembukaan, acara dilanjutkan dengan diskusi oleh pembahas pertama, yaitu Saras Dewi atau yang akrab disapa Yayas, dosen dari Departemen Filsafat FIB UI, yang membuka iklim diskusi dengan menyampaikan pemikirannya tentang ketubuhan. Ia menyatakan “Betapa tubuh di Indonesia terkepung, tersandera, tubuh yang hidup diatur, dan terkungkung dalam mengartikulasikan tentang seksualitas”. Pandangan tersebut tidak terlepas dari konservatisme yang semakin mendominasi baik dalam pengetahuan masyarakat atau aturan masyarakat, memengaruhi keputusan politis. Lebih lanjut Yayas menyampaikan pandangannya mengenai buku yang ditulis oleh 20 kontributor (dari berbagai dunia, termasuk Indonesia) yang terdiri dari empat topik pembahasan utama. Bagian pertama yaitu politik seksual yang berisi tentang kompleksitas pengawasan dan pengaturan tentang tubuh, bagian kedua membahas kesehatan seksual reproduksi, ketiga membahas keragaman seksualitas di Indonesia seperti realitas sosial tentang interseksual dan LGBT, serta pembahasan yang terakhir mengenai representasi seksual. Selain menjelaskan tentang topik-topik utama, Yayas juga memberikan pandangannya tentang pendekatan yang digunakan oleh para penulis yaitu Antropologi Feminis. "Tulisan ini sangat jernih dalam memperlihatkan situasi sosial terkait seksualitas, dengan kata lain para penulis engagingdengan para subjek penelitian", tutur Yayas. Di sela pembahasannya, Yayas juga menunjukkan bahwa ruang kebebasan saat ini cukup terbuka, salah satu indikatornya yaitu fenomena sosial seperti Women March Indonesia dan Me Too Movementyang dipelopori bukan hanya oleh generasi Millenial melainkan oleh Generasi Z. Buku ini hadir di tengah kegelapan seperti mercusuar untuk terus melakukan advokasi dan penelitian. Selain mengkritisi tentang isu tubuh, ia juga menjelaskan adanya agen-agen baru yang bergerak dalam mendisiplinkan tubuh di masa sekarang. Ia membandingkan apabila dulu agen yang bekerja seperti FPI, sekarang preferensi masyarakat perkotaan seperti RT justru yang melakukan penggerebekan. Ironisnya, dalam pendisiplinan tubuh terdapat strategi kuasa yang diambil dan bersumber dari agama dengan cara mempermalukan. Pada akhir pembahasannya, Yayas menutup dengan menggambarkan secara jelas dan berani bahwa masyarakat kita masih bersikap munafik, karena seringkali menggunakan kekerasan namun menutupi diri dengan kesalehan. Pembahas kedua, Syafiq Hasyim dari International Center for Islam & Pluralism, melihat konteks seksualitas dengan menggunakan perspektif agama. Pada pembukaannya, Syafiq menyatakan bahwa terkadang agama menjadi sesuatu yang membingungkan dan menjengkelkan. Syafiq juga mengajukan berbagai pertanyaan kritis seperti adanya fenomena baru seperti masyarakat yang berasal dari kelompok yang berpendidikan tinggidan memiliki tingkat ekonomi yang baik, namun memilih untuk membuat kelompok-kelompok baru. Kelompok demikian terlihat dengan munculnya pengajian yang diasuh oleh Khalid Basalamah di kawasan Blok M. Ada sosok yang telah menjadi influencerkepada generasi millennial, maupun masyarakat dengan kategori dari kalangan kelas menengah. Uniknya, Syafiq menambahkan tentang pembahasan yang irasional dalam setiap kajian tersebut, misalnya saja hukum Islam tentang perempuan yang menutup mata saat melakukan hubungan intim. Pertanyan kritis lain yang diajukan oleh Syafiq berkaitan dengan what’s the next after? Ia mengingatkan bahwa masing-masing peserta acara ini memiliki tanggung jawab di luar sana. Tanggung jawab semakin terasa berat karena masyarakat kita tidak terlalu senang menerima tafsiran akademik yang logis dan berbasis data. Masyarakat lebih senang menerima tafsiran dari kelompok “sumbu pendek” atau “bumi datar”. Fakta sosial lainnya juga terlihat dari masyarakat yang tidak mau membaca buku, mereka lebih memilih untuk mendengarkan satu menit vlog dari Hanan Attaki atau Felix Siauw. Ironisnya, vlog berdurasi singkat tersebut dianggap sebagai referensi yang cukup mumpuni bagi generasi masa kini. Berdasarkan kondisi tersebut, Syafiq menyimpulkan bahwa kondisi masyarakat yang mengalami dekadensi. Hal yang patut menjadi perhatian adalah dampaknya yang tidak hanya ke masyarakat muslim, tapi juga memberikan dampak ke kelompok minoritas. Selain mendengarkan pemikiran para pembahas, acara tersebut juga memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir untuk turut memberikan perspektif dan pendapat terkait perkembangan isu seksualitas di Indonesia. Salah satunya yaitu pandangan dari Julia Suryakusuma yang memberikan sorotan tentang isu seksualitas seperti kebijakan keluarga berencana (family planning). Ia berusa mengkritisi kebijakan tersebut dengan kondisi di zaman orde baru, yang menurutnya tubuh perempuan menjadi media yang dipaksa untuk mengikuti aturan tersebut. Ia mengungkapkan bahwa para perempuan dimobilisasi oleh para pemimpin lokal, dipasangi alat kontrasepsi seperti IUD. "Berdarah darah tidak apa-apa, semua itu kembali pada konstruksi sosial dan konstruksi agama", tutur Julia. Acara bedah buku ini ditutup dengan memberikan pekerjaan rumah bagi seluruh peserta, untuk membuat wacana tandingan dalam menyebarluaskan kebenaran terkait isu seksualitas, serta mengisi kekosongan-kekosongan media sosial yang telah dikuasai oleh kelompok konservatif. (Fitria Sari & Bella Sandiata) World Wide Web Foundation dan Goethe-Institut menyelenggarakan lokakarya literasi digital untuk perempuan muda pada tanggal 10-12 Juli 2018 di Hotel Morrissey Jakarta. Sebagai tahap pertama proyek tersebut, World Wide Web Foundation, Open Data Labs Jakarta dan Goethe-Institut Indonesien bekerja sama menyelenggarakan lokakarya berjudul "Starting Them Young: Advancing Data Literacy for Girls in Indonesia", yang berfokus pada pengembangan kapasitas literasi digital anak perempuan. Lokakarya tersebut dihadiri oleh 22 siswi kelas 10 dan 11 yang telah diseleksi dari berbagai sekolah di Jakarta, BSD dan Bogor. Selama pelatihan, para peserta memilih satu proyek data terbuka dan mendapat bimbingan dari mentor-mentor yang ahli. Mereka bekerja sama untuk menghasilkan visualisasi, narasi data ataupun produk digital lainnya yang positif. Hasil akhir proyek mereka akan dinilai oleh para juri dan dipilih sebagai pemenang. Program tersebut dilatar belakangi oleh besarnya kesenjangan gender di bidang digital. Berdasarkan laporan utama World Wide Web Foundation yang berjudul "Women's Rights Online", kesenjangan gender di bidang digital cukup signifikan di Indonesia, rata-rata hanya 20% perempuan Indonesia memiliki akses internet, di antara mereka hanya 26% yang mengutarakan pendapat secara daring dan hanya 5% yang mendapatkan informasi di website mengenai hak-hak mereka. Sehingga acara lokakarya tersebut diharapkan dapat memperkuat kapasitas literasi digital perempuan muda dalam melawan kekerasan berbasis gender di duani maya dan melawan konten hoax. Dalam kajian feminis sains dan teknologi, persoalan minimnya representasi perempuan di bidang sains dan teknologi menjadi hal yang digugat. Salah satu argumen Sue V. Rosser misalnya ialah soal pedagogi dan akses terhadap literasi digital yang netral gender. Hari-hari ini teknologi digital telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, mulai dari proses belajar dan mengajar di sekolah hingga hiburan seperti sosial media. Informasi yang dikonsumsi sehari-hari sayangnya masih dibanjiri oleh konten digital yang hoax, bias gender dan memuat kekerasan berbasis gender. Lebih jauh jika meminjam tawaran dari Rosser, justru yang dibutuhkan ialah transformasi pengajaran dan kurikulum yang memiliki perspektif dan keberpihakan. Acara lokakarya yang diinisiasi oleh World Wide Web Foundation, Goethe-Institut Indonesien, dan Open Data Labs Jakarta berusaha mengisi kekosongan ruang dan konten digital dengan memberikan pengajaran dan akses pertama-tama pada anak perempuan. Anak perempuan bukan hanya objek tapi juga subjek digital. Menariknya, tidak berhenti pada soal representasi dan pedagogi, para feminis sains dan teknologi juga mendorong lahirnya sains dan teknologi yang feminis, artinya dengan masuknya para perempuan pada ruang-ruang sains dan teknologi perlu ada perubahan atas citra teknologi yang maskulin dan atau merusak. Perempuan perlu memahami hal-hal yang dibutuhkan untuk juga mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di ruang digital. Hal ini hanya memungkinkan jika perempuan dan anak perempuan memiliki kesadaran akan nilai-nilai keadilan gender itu sendiri. Sehingga keterbukaan informasi, keterbukaan data, dan era revolusi industri 4.0 dapat memberikan harapan baru bagi keadilan digital yang lebih inklusif. (Andi Misbahul Pratiwi) Kamis (28/6) bertempat di Hotel Sari Pacific Jakarta , Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengadakan acara diskusi yang berjudul “Merajut Masa Depan Pangan Laut Indonesia”. Acara ini memuat banyak agenda dalam dunia perikanan dan kelautan salah satunya adalah kesejahteraan pekerja perikanan. Susan Herawati, Sekertaris Jenderal Kiara membuka acara dengan memaparkan berbagai masalah yang terjadi pada sektor perikanan. Masalah yang dipaparkan bukan hanya tentang stok ikan yang tersedia di laut, tetapi juga soal buruh perikanan yang tidak mendapatkan kesejahteraan. Susan menyatakan bahwa dunia perikanan menyimpan pelanggaran hak buruh dan diskriminasi gender. Penelitian yang dilakukan oleh Kiara pada sektor perikanan khususnya buruh pengelola udang menunjukan bahwa masih banyak buruh dalam sektor perikanan yang tidak dibayar sesuai Upah Minimum Regional (UMR). Terlebih lagi kebijakan yang diimplementasikan tidak mendorong hak pekerja sesuai dengan kebijakan manusiawi. “Seolah kita tidak sadar bahwa di meja makan harus ada makanan bukan politik. Bahwa kita hidup dengan makan bukan dengan politik. Bahwa kita berkumpul untuk makan bukan karena kekosongan pangan. Mari kita jujur bahwa pangan adalah hal penting”, tegas Susan Herawati.Baginya isu pangan adalah isu yang penting untuk dibicarakan. Pada acara tersebut terdapat pemutaran film yang berjudul Memanusiakan Manusia. Film tersebut memaparkan berbagai informasi tentang kehidupan pekerja di sektor pengelolaan udang yang sering tidak diperlakukan layaknya seorang pekerja profesional. Dalam proses seleksi sebagai buruh pabrik pengelolaan udang, calon buruh melewati ujian atau tes masuk sesuai dengan prosedur sebagaimana mestinya. Tetapi ada peraturan yang sejatinya tidak progender seperti tes kehamilan untuk memastikan bahwa calon pekerja sedang tidak dalam keadaan hamil. Hal ini diberlakukan bukan karena ada kepentingan yang etis, tetapi hal ini diberlakukan dengan alasan tidak adanya dispensasi maupun cuti hamil untuk buruh di pabrik pengelolaan udang. Tidak lengkapnya fasilitas seperti sedikitnya jumlah toilet, tidak adanya baju penghangat untuk pengelola udang beku, serta tidak disediakannya waktu yang cukup untuk pergi ke toilet membuat para buruh pengelola udang mengalami berbagai penyakit seperti keram tangan karena kedinginan dan infeksi saluran kencing karena menahannya terlalu lama. Dr. Mas Achmad Santosa S.H, LL.M., Koordinator Staff Khusus Satgas 115, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa saat ini pemerintah berupaya untuk membuat kebijakan yang berlandaskan hak asasi manusia yang tentu di dalamnya harus berisi tentang upah yang sesuai UMR, lingkungan kerja yang nyaman, jam kerja yang sesuai kontrak dan menghapuskan perbudakan modern dan perbudakan anak.Menurutnya hal ini tidak mudah, sebab kementerian tidak bisa bekerja sendiri. Oleh karena itu, kementerian akan sangat terbuka dengan berbagai informasi yang diberikan oleh NGO seperti yang Kiara lakukan. Sementara itu, Irjen. Pol. Sugeng Priyanto, Direktur Jenderal Pengawasan Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan bahwa dalam pengawasan tenaga kerja terjadi begitu banyak hambatan, salah satunya adalah kurangnya jumlah pengawas yang tersedia. Sehingga, implementasi kebijakan yang berlandaskan hak asasi manusia tidak dapat dirasakan oleh banyak buruh karena banyaknya oknum nakal. Acara “Merajut Masa Depan Pangan Laut Indonesia” diadakan sekaligus untuk meluncurkan “Kampanye Di Balik Barcode”. Kampanye ini diluncurkan bersama hasil riset yang dilakukan oleh Kiara yang menunjukkan bahwa sektor perikanan khususnya pengelolaan udang merupakan sektor yang sangat mendukung perekonomian Indonesia, karena Indonesia merupakan eksportir udang terbesar keempat di dunia setelah India, Thailand, dan Vietnam. Akan tetapi, sektor ini pula yang terang-terangan menyalahi aturan ketenagakerjaan. Dari hasil penelitian yang dipaparkan terdapat informasi bahwa sebuah swalayan di Belanda yaitu supermarket Albert Heijn yang dimiliki oleh Ahold Delhaize memasarkan udang yang diimpor dari Indonesia dengan harga €5 setiap 225g dan buruh yang bekerja pada pabrik pengelolaan udang dibayar €0.02 Euro setiap mengupas 225g udang. Hasil penelitian Kiara menemukan bahwa swalayan bisa berkontribusi pada kesejahteraan buruh pengelolaan udang sebab sering ditemukan terjadi pemasaran langsung kepada beberapa swalayan di Eropa, Amerika, dan Jepang. Oleh karena itu, kampanye “Di Balik Barcode” sangat bisa menjadi acuan apabila kita hendak membantu kesejahteraan para buruh pengelola udang dan buruh sektor perikanan lainnya. Kita dapat membantu kiara untuk mengangkat isu kesejahteraan buruh perikanan pada tahap yang lebih tinggi lagi dengan mengisi petisi pada “dibalikbarcode.org”. (Iqraa Runi) Selasa, 26 Juni 2018 bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono, Kampus FISIP Universitas Indonesia Depok, Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan) telah dikukuhkan menjadi Doktor dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial. Ketua sidang promosi doktoral, Prof. Dr. Isbandi Rukminto Adi, M.Kes. menyatakan bahwa Atnike lulus dengan yudisium sangat memuaskan. Yudisium tersebut disematkan bukan tanpa alasan, karena dalam promosi doktoral tersebut Atnike telah berhasil memaparkan dan mempertahankan Disertasinya yang berjudul “Pendekatan Advokasi dalam Mendorong Agenda Keadilan Transisi melalui Kebijakan Bantuan Medis dan Psikososial bagi Korban Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) Masa Lalu di Indonesia” secara kritis dan radikal. Pada kesempatan itu Atnike membuka pidato promosi doktoral dengan menyatakan keprihatinannya akan situasi Indonesia saat ini. Usia reformasi telah mencapai 20 tahun, namun sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi pada rezim orde baru belum tereselesaikan. Secara singkat Atnike memaparkan sejumlah kegagalan mekanisme keadilan dalam merespons kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Indonesia menghadapi situasi impunitas. Kegagalan demi kegagalan dalam mekanisme keadilan transisi telah menjauhkan akses korban terhadap keadilan, kebenaran dan juga pemulihan”, ungkap Atnike. Lebih jauh, Atnike menuturkan bahwa di tengah situasi yang serba pesimistis, sejak tahun 2010, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) menyelenggarakan kebijakan BMP (Bantuan Medis dan Psikososial) yaitu sebuah kebijakan pemulihan berupa bantuan pelayanan medis dan psikososial bagi korban pelanggaran HAM berat – termasuk korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban ternyata memberikan ruang pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Pasal tersebut menegaskan bahwa korban pelanggaran HAM berat, juga berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Menurut Atnike keberadaan pasal tersebut dan program BMP menjadi penting karena keduanya telah memberikan legitimasi kepada korban bahwa “benar mereka adalah korban”. Atnike dalam pidatonya menggarisbawahi bahwa upaya reparasi bagi korban harus beriringan dengan pemulihan simbolik berupa pengakuan negara dan masyarakat terhadap keberadaan korban. Disertasi Atnike menemukan sejumlah kelemahan pada model BMP, salah satunya ialah ketidakmampuan program ini untuk memahami dan mengenali korban sebagai entitas dengan posisi sosial beragam. Menurut Atnike, aspek gender, usia, kondisi medis-psikis yang dihadapi, dan kekhasan individual harus dikenali karena hal tersebut berimplikasi pada kebutuhan layanan yang berbeda dari setiap korban. Meskipun BMP masih memiliki sejumlah kekurangan, Atnike tetap mengapresiasi capaian program ini. Bedasarkan proses dokumentasi yang ia lakukan, Atnike menyatakan bahwa korban sempat merasa telah memperoleh layanan yang baik dari BMP melalui layanan yang telah mereka terima, khususnya ketika layanan BMP masih berupa layanan medis langsung yang dibiayai oleh LPSK, namun sayangnya setelah itu kualitas layanannya menurun karena ada perubahan bentuk menjadi layanan BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) dan berkurangnya prioritas bagi keluarga korban. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari program BMP yang ada saat ini, Atnike melihat keberadaan BMP telah melanjutkan agenda keadilan transisi. Dalam upaya memberi keadilan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu, Atnike memberi apresiasi pada Komnas HAM dan LSM yang telah mendorong perbaikan dari layanan BMP sebagaimana konsep pendekatan advokasi (advocacy approach) dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial. Dalam konteks ini, LSM dan Komnas HAM telah bertindak merepresentasikan kepentingan korban pelanggaran berat HAM masa lalu. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh individu maupun institusi seperti organisasi korban, LSM, Komnas HAM, dan juga LPSK dan pelaksanaan kebijakan BMP adalah bukti bahwa sejumlah pendekatan advokasi terhadap kebijakan sosial yang terkait dengan hak-hak korban secara konsisten terus berjalan. Berdasarkan hasil kajian Atnike, para aktor di atas menyadari bahwa kebijakan BMP bukanlah sebuah model kebijakan reparasi maupun model keadilan transisi yang memadai bagi korban pelanggaran berat HAM masa lalu. Melalui Disertasi tersebut, Atnike hendak mengajak bangsa Indonesia, khususnya dalam bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial dan studi keadilan transisi, untuk menyumbangkan pengalaman keadilan transisi di Indonesia dalam menghadapi tertundanya keadilan dan upaya-upaya mengatasinya. “Karena keadilan tak bisa ditunda, justice delayed is justice denied”, tegas Atnike. Dalam pidato pengukuhan Dr. Atnike Nove Sigiro, M.Sc, Prof. Dr. Sulistiyowati Irianto selaku promotor memberikan apresiasi pada Atnike. Prof. Sulis menyadari bahwa ada dilema dalam diri Atnike saat proses penulisan Disertasi. Penulisan Disertasi ini menjadi tidak mudah mengingat posisi penulis sebagai seorang peneliti haruslah objektif dan bebas nilai, padahal di sisi lain Atnike sendiri adalah seorang aktivis HAM yang terlibat langsung dengan para korban HAM masa lalu. Prof. Sulis memberikan apresiasi setinggi-tingginya, karena dalam sidang promosi tersebut Atnike telah berhasil memposisikan diri sebagai peneliti dan juga sebagai pejuang HAM secara proporsional. (Abby Gina) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |