Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) bersama Asian-Pacific Resource and Research Centre for Women (ARROW) dan organisasi-organisasi mitranya mengutuk hukuman tahanan enam bulan kepada seorang anak perempuan berusia 15 tahun di Indonesia yang melakukan aborsi, atas kehamilan akibat diperkosa berkali-kali oleh kakak laki-lakinya[1]. Pembatasan aborsi dalam hukum di Indonesia hanya memperbolehkan tindakan aborasi untuk menyelamatkan hidup sang ibu atau jika kehamilan terjadi akibat perkosaan atau inses, namun hanya sebelum usia enam minggu kehamilan[2]. Anak perempuan berusia 15 tahun tersebut tidak hanya mengalami trauma atas kekerasan seksual yang diakibatkan oleh anggota keluarganya, tetapi juga harus menghadapi sakit akibat tindakan aborsi ilegal dan tidak aman atas kehamilannya, karena tindakan aborsi tersebut dilakukan lewat dari batas usia kandungan enam minggu, sebagai batas waktu tindakan aborsi yang legal akibat perkosaan atau inses menurut hukum Indonesia. Perhitungan enam minggu masa kehamilan dihitung mulai dari masa periode haid terakhir atau last menstrual period (LMP), hanya melewati satu periode haid – yang pada bagi sebagian besar perempuan dan anak perempuan adalah periode waktu yang terlalu singkat untuk mendeteksi kehamilan.
Anak perempuan tersebut bukanlah pelaku kejahatan. Namun, ia adalah salah satu dari banyak perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia yang harus menghadapi hukuman penjara karena mengakses hak reproduksi mereka. Penelitian secara konsisten memperlihatkan bahwa pelarangan atau pembatasan aborsi tidak mengurangi praktik aborsi. Justru, hal tersebut berdampak pada prosedur keamanan aborsi [3], yang mengakibatkan tingginya angka mortalitas dan morbiditas. Menurut Kementerian Kesehatan Indonesia, aborsi menyumbang 30% hingga 50% dari total angka kematian ibu [4]. Terbatasnya kerangka hukum yang didasari oleh argumen moral dan agama [5] juga meresap ke dalam kondisi mental masyarakat yang memperbesar jarring-jaring stigma terhadap tindakan aborsi, yang mengakibatkan kesulitan bagi perempuan dan khususnya anak perempuan untuk mengakses informasi dan layanan aborsi, bahkan ketika aborsi itu secara hukum diperbolehkan [6]. Remaja perempuan lebih rentan mengalami pelecehan seksual, kehamilan tak diinginkan, infeksi menular seksual hingga HIV yang disebabkan oleh kekerasan seksual, akibat tidak tersedianya pendidikan seksualitas yang komprehensif. Remaja perempuan sering kali tidak menyadari hak-hak mereka dan tidak mampu bernegosiasi dalam keluarga dan komunitas mereka, serta sulit untuk mendapat pengakuan dari atas kekerasan yang dialaminya. Dalam situasi khusus yang dihadapi oleh sang remaja perempuan ini, ia harus menanggung beban sebagai sebagai penyintas perkosaan, dan penyintas kasus inses. Kehamilan sebagai akibat dari perkosaan terhadap dirinya memperparah kerentan dirinya. Dalam situasi ini, layanan aborsi harus dilihat sebagai terapi atas situasi anak perempuan tersebut. Anak-anak membutuhkan perlindungan, bukan pemenjaraan. #SafeAbortionNOW #LindungiAborsiSekarang Didukung oleh:
Catatan Akhir: [1]https://www.news.com.au/world/asia/indonesian-teenager-raped-by-her-brother-jailed-for-abortion/news-story/79b303a9281c72459aaed36a7e6d6e16 [2] Fanny Tanuwijaya, Abortion on Law and Moral Perspectives in Indonesia, Journal of Law, Policy and Globalization, (2014), Vol. 28, ISSN 2224-3259 [3] Camila Gianella-Malca and Liv Tonnessen, Health effects of criminalisation of abortion, Conference Paper, GLOBVAC Conference 2015 [4] http://asap-asia.org/pdf/Indonesia_Abortion_Booklet_Update.pdf [5] Ibid. [6] Cockrill K, Herold S, Blanchard K, Grossman D, Upadyay U, Baum S. Addressing abortion stigma through service delivery: A white paper, 2015, Ibis Reproductive Health Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |