
Dalam kasus terpidana mati Merry Utami, Direktur pengembangan program LBH Masyarakat ini menjelaskan bahawa Merry adalah korban penipuan sindikat Narkotika. Sejak penangkapan pada 2001, Merry tidak didampingi kuasa hukum, Merry juga sudah melakukan upaya hukum, kasasi, banding terhadap kasusnya namun semua ditolak. Selama 15 tahun Merry telah menjalankan hukumannya dengan baik, Ia membuat naskah teater yang diperankan oleh penghuni Lapas. Pada 23 Juli 2016, MU dibawa oleh Kejaksaan Agung dan Jaksa Eksekutor ke Nusakambangan, tanpa ada pemberitahuan ke pihak keluarga. Kemudian pada 26 Juli 2016, MU mengajukan grasi atas hukumannya ke presiden Jokowi. Pada 26-28 Juli waktu kunjungan keluarga dan hanya keluarga inti saja yang boleh menjenguk. 14 orang terpidana mati yang direncanakan akan dieksekusi pada eksekusi mati jilid III disuruh mempersiapkan diri dengan menggunakan pakaian putih dan menulis permintaan terkahir. Pada hari eksekusi mati tersebut ternyata 4 orang yang dieksekusi dan yang lainnya termasuk Merry belum mendapat kepastian hukum. “Tidak ada kejelasan hukum bagi terpidana mati hingga kini, nyawa manusia sepertinya tidak ada ada harganya bagi negara”, ungkap Arinta yang juga kuasa hukum Merry Utami.
Arinta mengungkapkan bahwa ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan para terpidana mati saat menjelang eksekusi. Alasan yang dituturkan untuk menghukum mati seseorang yang terlibat kasus Narkotika adalah karena Narkotika membunuh banyak orang. Tapi menurut Arinta jika membunuh adalah kejahatan, apa hak negara untuk membunuh seseorang. “Siapa yang berhak untuk menentukan seseorang berhak mati atau tidak?”, tegas Arinta.
Merry Utami hingga hari ini belum mendapatkan kejelasan hukum. LBH Masyarakat sedang mengupayakan untuk mendesak Jokowi agar memberikan grasi pada Merry Utami. Arinta menjelaskan bahwa Merry Utami adalah korban penipuan, sehingga negara harus mampu melihat kasus Narkotika ini bukan hanya dari satu sudut pandang. Ia mengungkapkan bahwa meski kurir yang ditangkap tetapi peredaran Narkotika masih tetap terjadi. Sehingga menurutnya hukuman mati seperti obat penenang saja, tidak mengobati masalahnya. Hukuman mati hanya menenangkan kemarahan masyarakat tapi tidak memberikan solusi atas masalah Narkotika. (Andi Misbahul Pratiwi)