Lahirnya sebuah film tak sekadar sebagai perwujudan gagasan sang film maker, namun menjadi medium kontemplasi diri. Baik bagi sang sutradara itu sendiri, juga bagaimana menggugah kita, yang duduk di hadapan layar. Khususnya dengan mengangkat hal-hal sederhana yang lekat dengan keseharian kita. Salah satunya dapat langsung dirasakan ketika menonton "Kisah di Hari Minggu" (2017), sebuah film pendek garapan Adi Marsono, sutradara asal Yogyakarta. Lewat film pendek berdurasi 8 menit ini, penonton diajak berhenti dan merenung akan apa yang luput atau kadang tak kita sadari dalam kehidupan sehari-hari. Film ini sendiri berkisah tentang seorang istri sekaligus ibu dari dua orang anak yang sedang melakukan pekerjaan domestik sehari-hari sebagai seorang ibu rumah tangga. Mempersiapkan anak berangkat ke sekolah, mempersiapkan sarapan, sementara suaminya masih tidur seakan tidak peduli kesibukan istrinya. Saat istri meminta suami untuk mengantar anak ke sekolah, namun sang suami tetap melanjutkan tidurnya. Hal ini membuat istri marah, mengguyur suaminya yang masih tidur dengan air, lalu memutuskan mengantar anaknya ke sekolah sendiri. Hingga kemudian pulang, dan menyadari bahwa itu adalah hari minggu. Di satu sisi, pekerjaan yang sifatnya repetitif, termasuk urusan domestik rumah tangga tanpa disadari bisa membuat orang lupa akan waktu. Seperti apa yang tampil di film tersebut. Di sisi lain, mengingatkan kita bahwa pekerjaan, bukan hanya yang dilakukan di luar rumah dan menghasilkan uang seperti yang dominan dilakoni seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Bahwa sesungguhnya seorang ibu di rumah juga bekerja. Namun berbeda dengan bekerja pada umumnya, yang menghasilkan uang, pekerjaan domestik rumah tangga tak mengenal hari, termasuk hari Minggu yang kerap dijadikan hari rehat bagi kaum pekerja. Sebuah penutup yang sesungguhnya memiliki makna mendalam di film ini, ketika sang suami memutuskan membantu istrinya mencuci piring. Hal ini pun berangkat dari apa yang dirasakan Adi Marsono sendiri. Menurutnya seseorang dinilai bekerja jika menghasilkan uang. Sementara pekerjaan lain, khususnya urusan domestik yang dilakoni oleh para perempuan yang mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga, belum mendapatkan respect serupa. Sebuah paradigma yang lahir dan tumbuh sejak lama dalam konstruksi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. "Selama ini saya dan mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia, menganggap bahwa bekerja adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan gaji. Sebaliknya, jika tidak mendapatkan gaji itu bukan bekerja," kata Adi. Hal ini yang kemudian membentuk ketidaksetaraan rasa hormat bahkan dalam sebuah keluarga. Sebuah problematik di tataran sosial masyarakat Indonesia hingga hari ini. Yang juga tak dipungkiri dirasakan langsung oleh Adi di masa mudanya. "Dari pola pikir itu, waktu kecil, saya lebih hormat pada ayah saya. Kalau tidak hormat saya tidak dapat uang jajan, karena dia yang mencari uang. Sementara dengan Ibu saya justru lebih berani. Ini yang kemudian saya sadari hari ini, padahal banyak perempuan Indonesua mengerjakan pekerjaan domestik yang tak kalah beratnya, tapi kurang dihormati," tambahnya. Film ini sendiri tampil sederhana, se-sederhana apa yang ingin dituturkan. Tak banyak dialog yang dihadirkan. Lebih pada percakapan tubuh dalam melakoni aktivitas sehari-hari dalam sebuah rumah. Hal ini yang kemudian membuat film ini mudah diterima karena menjadi sesuatu yang tak asing bagi yang penonton. Ditonton Secara Utuh Tak hanya "Kisah di Hari Minggu", beberapa film pendek lainnya yang dikemas dalam sebuah program bertajuk "Are We There Yet?" dalam 3rd Minikino Film Week yang ditayangkan di Fame Hotel, Sunset Road, Kuta Kamis (12/10) juga menghadirkan berbagai persoalan diri yang dekat dan mungkin pernah dialami oleh penontonnya. Layover (Trevor Zhou, 2017), Unravelling The Ocean's Veil (Sob o Véu da Vida Oceânica/2017), Transit (Aline Helmcke), Doug and Walter (Aline Helmcke, 2016), Backstory (Joschka Laukeninks, 2016), Speaking of Love (Christian Heinbockel, 2017) dan ditutup oleh Kisah di Hari Minggu atau Sunday Story (Adi Marsono, 2017). Satu dengan yang lain hadir dengan kemasan gaya dan narasi yang berbeda. Ada yang hadir dengan komedi satir, romansa, kesendirian dan berbagai rasa dalam perjalanan kehidupan. Namun memiliki satu kesamaan rasa ketika menonton mereka semua (film, red.) secara utuh dalam durasi total 78 menit. Waktu yang memang tidak sebentar bahkan hampir seperti menonton satu buah film panjang atau features. Pemilihan film, menurut Fransiska Prihadi, Program Director 3rd Minikino Film Week, pun dilakukan sedemikian rupa mana yang akan ditaruh di awal sebagai pembuka, tengah hingga yang menjadi penutup dengan mempertimbangkan mood dan grafik emosi orang yang akan menonton film tersebut. (Cisilia Agustina) Jumat, 6 Oktober 2017, di pertemuan ke-4 KAFFE tentang Ekofeminisme, Rocky Gerung berbicara mengenai etika lingkungan. Ia membuka kelas dengan melemparkan sebuah pernyataan, “Etika artinya keharusan, normativitas yang basisnya adalah argumen. Sesuatu disebut mempunyai masalah etis bila ia menuntut justifikasi rasional terhadap suatu problem”. Sebuah persoalan dikatakan sebagai persoalan etis bukan karena dia berkait dengan keyakinan atau kebiasaan, tetapi karena adanya susunan pikiran untuk mengatifkan argumentasi. Etika selalu berupa konfrontasi argumen. Etika lingkungan dianggap sebagai a new kind of ethic. Etika pada awalnya berfokus hanya pada persoalan kemanusiaan, tapi seiring perkembangan etika, terjadi pergeseran perspektif. Cara pandang antroposentrisme bergerak menjadi biosentrisme dan kemudian menjadi ekosentrisme. Dulu subjek etika terbatas pada manusia, tapi sekarang kita mengenali hak hewan, hak tumbuhan, hak sungai, hak gunung dan sebagainya. Dasar etika lingkungan adalah memberikan dasar argumen mengapa hal-hal ini memiliki hak. Etika lingkungan menyediakan fondasi rasional tentang status moral suatu hal. Rocky menyatakan bahwa ekofeminisme menuntut keterlibatan yang berasal dari pengalaman atau situated knowledge. Artinya, seorang ekofeminis haruslah membangun argumen berdasarkan pengalaman yang down to earth. Menjadi seorang ekofeminis, tambah Rocky, artinya pernah memiliki pengalaman ketidakadilan (dalam kaitannya dengan alam), pengalaman tersebut membekas dan membentuk sistem pengetahuan bagi diri. Rocky mengingatkan bahwa kita harus selalu awas untuk memeriksa nilai yang terselubung di balik sebuah tindakan yang mengatasnamakan perjuangan lingkungan. Penting untuk memeriksa, apa landasan perjuangannya. Apakah karena tren? Kepentingan ekonomi atau sebuah perjuangan dalam upaya mempertahankan dan merayakan kemartabatan? Kekuatan dan konsistensi sebuah perjuangan akan bergantung pada titik pijaknya. Etika tidaklah beku, ia berevolusi. Menurut Rocky salah satu penyebab eksploitasi terhadap alam adalah aspek teologis yang menyerukan pesan tentang penguasaan atas alam demi kemakmuran manusia. Artinya secara hierarki posisi manusia berada di atas alam, bagi Rocky gagasan semacam itu saat ini tidak relevan—tidak beradab. Perubahan paradigma dari yang antroposentris ke ekologisentris memiliki dampak radikal. Ia berdampak pada subjek hukum. Terdampak dari paradigma antroposentris, subjek hukum selama ini eksklusif pada manusia, namun seiring dengan perubahan paradigma dari yang antroposentris ke ekosentris, subjek hukum pun mengalami perluasan. Dulu subjek hukum terbatas pada manusia, saat ini hukum berupaya mengakomodasi yang bukan manusia. Rocky memberikan sebuah ilustrasi bahwa pohon memiliki hak untuk membela diri, untuk mempertahankan eksistensinya melalui pengampunya (baca: masyarakat adat). Hal ini senada dengan kesejarahan perempuan dalam hukum. Dulu perempuan bukan subjek hukum karena ia tak memiliki hak bicara, namun feminisme mengubah status tersebut. Perempuan yang semula unspeakable menjadi unstoppable. Menurut Rocky tentu perubahan tersebut menghasilkan sejumlah konsekuensi dan kontroversi, namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa telah hadir new kind of ethic. Feminisme adalah penyokong bagi seluruh perjuangan kelompok marginal. Feminisme mengambil sebuah inisiatif untuk menghasilkan sebuah egalitarianisme model baru. Di dalam etika feminis yang disebut ethic of care lahir konsep baru mengenai keadilan. Dulu keadilan hanya berfokus pada ethic of rights, saat ini feminisme memperluas gagasan tersebut. Keadilan berfokus pada ethic of care, karena kita mengalami persoalan disparitas, hierarki dsb. Gagasan feminisme juga berdampak pada perubahan paradigma lingkungan. Ekofeminisme yang disponsori oleh feminisme menghasilkan gagasan mengenai hak-hak alam. Ekofeminisme menurut Rocky harus berdiri pada standpoint. Menjadi seorang ekofeminis artinya mengambil risiko untuk bertentangan dengan politik makro, untuk itu dibutuhkan konsistensi dalam perjuangan ekofeminisme. Standpoint ekofeminisme adalah situated knowledge. Bagi ekofeminisme, argumen memperjuangkan lingkungan adalah karena pengalaman penderitaan yang dihasilkan oleh ketiadaan perlindungan terhadap lingkungan. Ini artinya pengalaman hidup menghasilkan sebuah pengetahuan baru. Ada autentisitas di dalamnya. Namun demikian, ekofeminisme standpoint memiliki kelemahan secara akademis yakni ia mudah jatuh ke dalam esensialisme yang meyakini bahwa yang cocok dengan alam hanyalah perempuan, anggapan bahwa biologi perempuan memang secara kodrati telah tune in dengan alam, konsekuensinya adalah ethic of care eksklusif milik perempuan dan laki-laki tidak menjadi bagian di dalamnya. Menurut Rocky, bisa jadi kerangka pikir demikian jatuh pada kerangka patriarki. Sebuah anggapan bahwa hanya perempuan yang mampu membaca alam, hanya perempuan yang mampu memproduksi ethic of care. Jebakan ini harus dihindari agar kita tidak menjadi seorang ekofeminis yang menikmati arogansi patriarki. Menjadi ekofeminis artinya memiliki sikap etis yang basisnya adalah new kind of justice. (Abby Gina) Sabtu, 30 September 2017 berlangsung acara gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) sekaligus pisah sambut Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan yang baru, Atnike Sigiro. Acara dimulai dengan sambutan dari Livia Iskandar selaku pemilik rumah tempat berlangsungnya gathering dan pisah-sambut direktur eksekutif Jurnal Perempuan yang baru. Acara dilanjutkan dengan sambutan dari Mariana Amiruddin, perwakilan dari Dewan Redaksi Jurnal Perempuan yang menyampaikan harapannya agar Jurnal Perempuan terus maju karena eksistensi bukan hanya milik SJP, tetapi juga milik seluruh masyarakat agar Indonesia semakin maju lewat bacaan dari Jurnal Perempuan. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan singkat dari Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, Anita Dhewy mengenai hal-hal yang telah Jurnal Perempuan lakukan selama tahun 2017 ini, termasuk kegiatan KAFFE, terbitan YJP Press, dan penjelasan Sistem Open Journal System (OJS) lalu dilanjutkan dengan perkembangan jumlah SJP terkini. Acara dilanjutkan dengan mendengarkan masukan dari para SJP untuk kemajuan Jurnal Perempuan. Masukan pertama untuk Jurnal Perempuan disampaikan oleh Faiqoh (Peneliti di Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama), ia menginginkan agar Jurnal Perempuan bisa menyentuh sampai level akar rumput agar perubahan kesetaraan gender bisa terasa sampai ke kalangan yang paling bawah. Hal kedua yang menjadi harapan Faiqoh adalah agar Jurnal Perempuan bisa mengambil peran dalam pengambilan keputusan kebijakan publik untuk perempuan agar nantinya Jurnal Perempuan bisa manjadi agen perubahan untuk perempuan Indonesia. Masukan kedua disampaikan oleh Atashendartini Habsjah (Wakil Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Nasional), beliau menyampaikan masukannya kepada Jurnal Perempuan agar bisa memberikan pendidikan feminis kepada guru-guru di Indonesia karena guru adalah ujung tombak perubahan untuk generasi muda. Masukan kedua dari Atas adalah agar Jurnal Perempuan memberikan pendidikan feminis kepada anak laki-laki juga karena peran laki-laki dibutuhkan di dalam perjuangan kesetaraan gender. Masukan terakhir disampaikan oleh Sjamsiah Ahmad (Aktivis Senior Pergerakan Perempuan dan Ketua Pengurus Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik), beliau menyampaikan masukannya terkait sikap misoginis publik yang menganggap bahwa perempuan yang membaca Jurnal Perempuan adalah hal yang salah padahal, menurut beliau Jurnal perempuan mempunyai peran yang penting untuk kesetaraan gender di Indonesia. Sebagai acara puncak, Gadis Arivia memberikan refleksi kritis atas perjuangannya selama 21 tahun mendirikan Jurnal Perempuan sekaligus mengenalkan Atnike sebagai Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan yang baru. Gadis menceritakan bahwa kepergiannya bukan berarti ia berhenti menyuarakan keadilan untuk perempuan di Indonesia. Ia merasa sudah waktunya Jurnal Perempuan untuk melakukan regenerasi kepemimpinan agar semangat feminisme bisa terus berkobar pada generasi berikutnya. Atnike sebagai Direktur Eksekutif baru Jurnal Perempuan merasa terharu dan bangga bisa menjadi bagian dari keluarga Jurnal Perempuan karena selama ini biasanya ia terlibat dalam perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) namun, ia percaya dengan frasa terkenal Hillary Clinton bahwa “Women's rights are human rights” dan berkomitmen untuk terus memperjuangkan pencerahan dan kesetaraan perempuan di Indonesia. Acara malam itu ditutup dengan persembahan kenang-kenangan berupa lagu dari Abby Gina dan Gery Andri selaku perwakilan seluruh staf Jurnal Perempuan untuk Gadis yang selama ini telah merawat Jurnal Perempuan selama 21 tahun lamanya. Selamat berjumpa kembali bu Gadis, Selamat datang di keluarga Jurnal Perempuan mbak Atnike! (Naufaludin Ismail) Jumat, 29 September 2017, bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, pertemuan ketiga Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) VIII: Menyoal Ekofeminisme disambut antusias dan aktif oleh seluruh peserta kelas ini. Nur Hidayati atau yang akrab disapa Yaya, selaku Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menjadi pengampu kelas pada malam hari itu. Yaya menyampaikan presentasinya pada malam itu dengan tema Perjuangan “Lingkungan Hidup” yang Feminis. Yaya yakin bahwa perempuan dan kerusakan ekologi memiiliki hubungan yang cukup erat dikarenakan kerusakan ekologi dan lingkungan yang terjadi pada saat ini jauh lebih merugikan perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga butuh adanya perjuangan melestarikan lingkungan yang berperspektif feminis untuk kesejahteraan perempuan. Yaya membuka kelas pada malam itu dengan pemaparan data Walhi mengenai bencana ekologis (bencana ekologis adalah bencana alam yang tidak bisa dicegah seperti gunung meletus atau tsunami dan juga bencana alam yang terjadi karena campur tangan manusia karena merusak keseimbangan alam seperti banjir, longsor, dll) yang menimpa Indonesia pada tahun 2016 lalu, bahwa ternyata sudah terjadi 2.342 bencana ekologis sepanjang tahun 2016 dan menyebabkan kematian sebanyak 522 jiwa serta sekitar 3 juta jiwa harus mengungsi dan menderita akibat bencana ekologis yang terjadi. Jika merujuk pada data yang dimiliki oleh Walhi, maka akan terlihat jelas bahwa bencana ekologis yang terjadi di Indonesia selama tahun 2002-2016 terus meningkat terutama bencana alam yang dipicu oleh perilaku manusia seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung (disebabkan oleh faktor pemanasan global). Hal ini menunjukkan bahwa manusia salah dalam mengelola lingkungan dan alamnya, sehingga menyebabkan bencana ekologis. Salah satu faktor penyebab kerusakan alam dan lingkungan oleh manusia adalah karena adanya ketimpangan ekonomi-politik di seluruh dunia. Secara mudah dapat diartikan bahwa ketimpangan ekonomi-politik, ini akhirnya menyebabkan korporasi mengeksploitasi alam secara masif untuk mendapatkan profit secara besar-besaran sehingga korporasi akan melihat alam sebagai komoditas yang harus terus-menerus dieksploitasi tanpa memikirkan konservasi dan perbaikan atas kerusakan alam yang telah mereka lakukan. Ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan dan pengelolaan oleh korporasi ini akhirnya menyebabkan sumber-sumber agraria dan sumber daya alam lainnya dikuasai oleh korporasi. Hal ini bisa terus berlangsung karena kebijakan dan peraturan perundang-undangan di sektor agraria dan pengelolaan sumber daya alam berpihak pada korporasi dengan dalih pembangunan infrastruktur dan membuka lapangan baru bagi masyarakat luas. Pada akhirnya negara melalui institusi pemerintahannya, menjadi bagian dari konflik agraria dan sumber daya alam yang secara tidak langsung berkontribusi pada bencana ekologis yang terjadi saat ini. Yaya mengungkapkan hubungan antara penguasaan sumber kehidupan alam dengan manusia bisa dianalisis dengan menggunakan teori Ekologi Politik. Yaya mengutip ini dari Mia Siscawati, seorang dosen Kajian Gender Universitas Indonesia yang berkonsentrasi pada perjuangan lingkungan dan feminisme. Menurut Yaya teori Ekologi Politik sebagai pisau analisis mulai dikembangkan pasca tahun 1945 dan merupakan pertemuan antara tiga pendekatan yaitu Cultural Ecology (Anthropology & Geography), Community/Human Ecology dan Hazards/Disasters Studies. Pada awalnya, teori Ekologi Politik dikembangkan untuk menganalisis masalah akses dan kontrol sumber daya alam dan pengembangan dari pendekatan ekonomi politik. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan Ekologi Politik digunakan untuk mengkaji aspek politik, ekonomi, dan sosial yang menjadi penyebab utama degradasi lingkungan hidup dan deplesi kekayaan alam. Kajian Ekologi Politik kontemporer meletakkan komunitas tidak hanya sebagai objek dari kekuasaan, regulasi dan kepemerintahan. Komunitas tidak dilihat sebagai entitas tunggal yang homogen, tapi entitas plural yang heterogen (terbentuk akibat perbedaan kelas sosial, etnisitas, umur, jenis kelamin, status perkawinan, wilayah hidup, mempunyai kedekatan dengan pusat kekuasaan atau tidak). Teori Ekologi Politik ini secara sederhana bertujuan untuk melihat bahwa peradaban masyarakat saat ini tidak bisa dilihat secara hierarkis (anggapan bahwa masyarakat kota lebih penting dari masyarakat desa, misalnya) karena misalnya seperti hal makanan, rantai makanan masyarakat di perkotaan masih bergantung pada masyarakat desa sehingga kesejahteraan dan kelestarian ekologis harus diperhatikan untuk kebaikan bersama. Menurut Yaya, untuk meneruskan perjuangan lingkungan hidup yang feminis, teori Ekologi Politik ini bisa dijadikan pisau analisis pertama sebelum menaruh perspektif feminis di dalam kerangka berpikirnya. Teori Ekologi Politik Feminis sendiri merupakan kerangka pikir feminis yang digunakan untuk mengeksplorasi pengetahuan perempuan tentang tubuhnya, relasi tubuh perempuan dengan alam, dan pengetahuan perempuan (baik individu maupun kolektif) dalam pengurusan alam dan sumber-sumber kehidupan. Pengalaman pribadi perempuan, termasuk yang diungkapkan dalam pola komunikasi khas perempuan, termasuk pengetahuan perempuan mengenai alam yang selama ini lekat dengan diri mereka. Pada teori Ekologi Politik Feminis, perempuan tidak dianggap sebagai entitas yang homogen. Aspek kelas, etnisitas, usia, seksualitas, status perkawinan, wilayah hidup, merupakan aspek penting yang membuat setiap perempuan memiliki keragaman pengalaman, peran, fungsi, dan posisi sehingga perbaikan hidup perempuan harus menjadi fokus dalam upaya perjuangan keadilan ekologis. Perjuangan keadilan ekologis yang feminis ini masih terus dihadapkan dengan pandangan Anthroposentris, yang melihat bahwa manusia adalah pusat kehidupan sehingga alam bebas untuk dieksploitasi demi kemakmuran umat manusia. Pandangan ini harusnya diubah menjadi pandangan Ecosentris yang melihat bahwa manusia dan alam sama pentingnya karena manusia dan alam memiliki interaksi dan hubungan timbal balik yang sama-sama menguntungkan untuk keberlangsungan kehidupan manusia, terutama perempuan yang selama ini lebih dirugikan akibat kerusakan dan bencana ekologis yang terjadi. (Naufaludin Ismail) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |