Jumat, 6 Oktober 2017, di pertemuan ke-4 KAFFE tentang Ekofeminisme, Rocky Gerung berbicara mengenai etika lingkungan. Ia membuka kelas dengan melemparkan sebuah pernyataan, “Etika artinya keharusan, normativitas yang basisnya adalah argumen. Sesuatu disebut mempunyai masalah etis bila ia menuntut justifikasi rasional terhadap suatu problem”. Sebuah persoalan dikatakan sebagai persoalan etis bukan karena dia berkait dengan keyakinan atau kebiasaan, tetapi karena adanya susunan pikiran untuk mengatifkan argumentasi. Etika selalu berupa konfrontasi argumen. Etika lingkungan dianggap sebagai a new kind of ethic. Etika pada awalnya berfokus hanya pada persoalan kemanusiaan, tapi seiring perkembangan etika, terjadi pergeseran perspektif. Cara pandang antroposentrisme bergerak menjadi biosentrisme dan kemudian menjadi ekosentrisme. Dulu subjek etika terbatas pada manusia, tapi sekarang kita mengenali hak hewan, hak tumbuhan, hak sungai, hak gunung dan sebagainya. Dasar etika lingkungan adalah memberikan dasar argumen mengapa hal-hal ini memiliki hak. Etika lingkungan menyediakan fondasi rasional tentang status moral suatu hal. Rocky menyatakan bahwa ekofeminisme menuntut keterlibatan yang berasal dari pengalaman atau situated knowledge. Artinya, seorang ekofeminis haruslah membangun argumen berdasarkan pengalaman yang down to earth. Menjadi seorang ekofeminis, tambah Rocky, artinya pernah memiliki pengalaman ketidakadilan (dalam kaitannya dengan alam), pengalaman tersebut membekas dan membentuk sistem pengetahuan bagi diri. Rocky mengingatkan bahwa kita harus selalu awas untuk memeriksa nilai yang terselubung di balik sebuah tindakan yang mengatasnamakan perjuangan lingkungan. Penting untuk memeriksa, apa landasan perjuangannya. Apakah karena tren? Kepentingan ekonomi atau sebuah perjuangan dalam upaya mempertahankan dan merayakan kemartabatan? Kekuatan dan konsistensi sebuah perjuangan akan bergantung pada titik pijaknya. Etika tidaklah beku, ia berevolusi. Menurut Rocky salah satu penyebab eksploitasi terhadap alam adalah aspek teologis yang menyerukan pesan tentang penguasaan atas alam demi kemakmuran manusia. Artinya secara hierarki posisi manusia berada di atas alam, bagi Rocky gagasan semacam itu saat ini tidak relevan—tidak beradab. Perubahan paradigma dari yang antroposentris ke ekologisentris memiliki dampak radikal. Ia berdampak pada subjek hukum. Terdampak dari paradigma antroposentris, subjek hukum selama ini eksklusif pada manusia, namun seiring dengan perubahan paradigma dari yang antroposentris ke ekosentris, subjek hukum pun mengalami perluasan. Dulu subjek hukum terbatas pada manusia, saat ini hukum berupaya mengakomodasi yang bukan manusia. Rocky memberikan sebuah ilustrasi bahwa pohon memiliki hak untuk membela diri, untuk mempertahankan eksistensinya melalui pengampunya (baca: masyarakat adat). Hal ini senada dengan kesejarahan perempuan dalam hukum. Dulu perempuan bukan subjek hukum karena ia tak memiliki hak bicara, namun feminisme mengubah status tersebut. Perempuan yang semula unspeakable menjadi unstoppable. Menurut Rocky tentu perubahan tersebut menghasilkan sejumlah konsekuensi dan kontroversi, namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa telah hadir new kind of ethic. Feminisme adalah penyokong bagi seluruh perjuangan kelompok marginal. Feminisme mengambil sebuah inisiatif untuk menghasilkan sebuah egalitarianisme model baru. Di dalam etika feminis yang disebut ethic of care lahir konsep baru mengenai keadilan. Dulu keadilan hanya berfokus pada ethic of rights, saat ini feminisme memperluas gagasan tersebut. Keadilan berfokus pada ethic of care, karena kita mengalami persoalan disparitas, hierarki dsb. Gagasan feminisme juga berdampak pada perubahan paradigma lingkungan. Ekofeminisme yang disponsori oleh feminisme menghasilkan gagasan mengenai hak-hak alam. Ekofeminisme menurut Rocky harus berdiri pada standpoint. Menjadi seorang ekofeminis artinya mengambil risiko untuk bertentangan dengan politik makro, untuk itu dibutuhkan konsistensi dalam perjuangan ekofeminisme. Standpoint ekofeminisme adalah situated knowledge. Bagi ekofeminisme, argumen memperjuangkan lingkungan adalah karena pengalaman penderitaan yang dihasilkan oleh ketiadaan perlindungan terhadap lingkungan. Ini artinya pengalaman hidup menghasilkan sebuah pengetahuan baru. Ada autentisitas di dalamnya. Namun demikian, ekofeminisme standpoint memiliki kelemahan secara akademis yakni ia mudah jatuh ke dalam esensialisme yang meyakini bahwa yang cocok dengan alam hanyalah perempuan, anggapan bahwa biologi perempuan memang secara kodrati telah tune in dengan alam, konsekuensinya adalah ethic of care eksklusif milik perempuan dan laki-laki tidak menjadi bagian di dalamnya. Menurut Rocky, bisa jadi kerangka pikir demikian jatuh pada kerangka patriarki. Sebuah anggapan bahwa hanya perempuan yang mampu membaca alam, hanya perempuan yang mampu memproduksi ethic of care. Jebakan ini harus dihindari agar kita tidak menjadi seorang ekofeminis yang menikmati arogansi patriarki. Menjadi ekofeminis artinya memiliki sikap etis yang basisnya adalah new kind of justice. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |