Peluncuran Laporan Tahunan Komnas Perempuan: Meneguhkan Penyikapan, Mendekatkan Hak Korban25/1/2018
Pada hari Selasa, 23 Januari 2018, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Laporan Kerja Tahunan dalam Konsultasi Publik tahun 2018. Konsultasi Publik merupakan mekanisme yang dikembangkan dan dilakukan setiap tahunnya untuk menyampaikan perkembangan kerja-kerja, temuan, dan analisis Komnas perempuan terhadap situasi pemenuhan hak asasi perempuan, kemajuan, tantangan pencegahan, dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Sejumlah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dirangkum dalam kerangka tujuh isu kritis yang diperjuangkan Komnas Perempuan yakni, (1) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu, konflik, dan bencana; (2) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks perkawinan, keluarga, dan relasi personal; (3) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pemiskinan perempuan; (4) Kekerasan seksual; (5) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks diskriminasi dan politisasi identitas; (6) Gerakan sosial dan perlindungan perempuan pembela HAM; (7) Penguatan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai bagian dari Lembaga Nasional HAM. Azriana, Ketua Komnas Perempuan, memaparkan kinerja dan capaian Komnas Perempuan selama satu tahun terakhir sejak Konsultasi Publik pada bulan Februari 2017 lalu. Ia menjelaskan bahwa selama satu tahun terakhir Komnas Perempuan telah melakukan kerja-kerja terkait mandat serta telah meraih beberapa pencapaian seperti: (1) Terciptanya forum-forum strategis yang mulai menyikapi persoalan kekerasan terhadap perempuan, terlaksananya pendekatkan kepada tokoh-tokoh agama untuk mengetahui realitas permasalahan yang terjadi di masyarakat dalam hal ini adalah para perempuan rentan diskriminasi; (2) Terwujudnya dua kajian tentang kerentanan perempuan dalam lingkar terorisme dan praktik female genital mutilation atau P2GP (Praktik Pelukaan/Pemotongan Genitalia Perempuan); (3) Meluasnya lingkar kampanye anti kekerasan terhadap perempuan meluas; (4) Adanya para public figure yang berpartisipasi dalam mengampanyekan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan. Pencapaian lain terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dari hasil kerja yang dilakukan oleh Komnas Perempuan ialah terbentuknya suatu kesepakatan dengan pemerintah tentang elemen kunci yang perlu dirumuskan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, mendorong penundaan revisi UU PKDRT sampai terbentuknya sistem monitoring dan evaluasi yang komprehensif atas pelaksanaan UU PKDRT. Secara bergantian para Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan Periode 2015-2019 menyampaikan Laporan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2018 dalam bentuk presentasi yang dilanjutkan dengan tanggapan yang diberikan oleh perwakilan komunitas korban, Prahesti Pandanwangi (Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas), Diah Pitaloka (Anggota Komisi VIII DPR RI), dan Asfinawati (Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Acara dilanjutkan dengan diskusi paralel tematik terkait analisis kecenderungan atau tren isu kekerasan terhadap perempuan di tahun 2018 dalam konteks impunitas korban, politisasi identitas, dan penguatan kepemimpinan Komnas Perempuan sebagai mekanisme HAM. Diskusi paralel tematik yang dipimpin oleh para Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan dilakukan guna menampung aspirasi peserta acara, sehingga arah, strategi advokasi dan prioritas kerja Komnas Perempuan di tahun 2018 dapat diperkuat, dan juga sebagai strategi penguatan jaringan masyarakat sipil. Acara ini berlangsung di halaman kantor Komnas Perempuan dan dihadiri oleh para undangan yang merupakan mitra strategis Komnas Perempuan dari unsur pemerintah, perwakilan komunitas korban, organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, institusi agama, tokoh perempuan, lembaga nasional HAM, lembaga negara dan lembaga internasional. (Bella Sandiata) Rabu, 17 Januari 2018 pukul 12.00, bertempat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Yayasan Obor Indonesia bersama dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengadakan acara peluncuran dan bedah buku yang berjudul “Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia” dan “Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas” yang ditulis oleh Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan. Buku “Potret Muslim Progresif Indonesia” merupakan buku yang ditulis berdasarkan kegetiran penulis atas minimnya narasi pembaruan Islam. Kata progresif yang digunakan dalam judul buku tersebut menjadi kata yang mengungkap bahwa perempuan muslim banyak berkontribusi pada rancangan pembaruan ajaran Islam mengenai isu-isu besar hingga hal domestik. Sementara, buku “Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas” lebih mengarah kepada perjalanan spiritual penulis tentang status perempuan dalam Islam. Pasalnya banyak hambatan pada progresivitas perempuan muslim untuk memaknai identitas dirinya sendiri. Sehingga, melalui buku “Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas” Neng mencoba untuk kembali mendiskusikan status perempuan yang setara dengan laki-laki. Imam Nahe’i, Komisioner Komnas Perempuan, yang hadir sebagai pembicara menyatakan pemikirannya tentang ajaran Islam yang selama ini terlalu memojokkan perempuan. “Ulama zaman dahulu ada yang mengira-ngira, tidak semua pemikiran ulama berasal dari teks yang otoritatif. Hadirnya penulis perempuan bisa sedikit demi sedikit menggeser pemahaman ketidakadilan dan diperkokoh melalui tafsir kitab kuning dari akarnya,” tutur Imam. Septemmy Lakawa, Kepala Program Studi S-3 Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta yang juga hadir sebagai pembicara menyatakan bahwa patriarki bukan hanya masuk ke dalam ajaran Islam tetapi juga agama-agama lain. Itu mengapa penting bagi perempuan lintas agama untuk kembali mendiskusikan posisi dan status perempuan dalam agama. “Pada buku ini Neng memperlihatkan bahwa Islam adalah agama yang multidimensional, bukan agama yang singular. Neng juga menawarkan bahwa untuk memperoleh perubahan tidak harus menjadi antitesis dari Islam itu sendiri. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa Islam sejalan dengan ide kesetaraan juga perdamaian,” tutur Septemmy. Selama ini citra Islam memang kental dengan hal-hal yang anti terhadap kesetaraan. Beberapa ulama turut menjadi penghalang atas progresivitas perempuan muslim. Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyampaikan pemikiran terkait keberatannya atas argumen para ulama yang menolak kesetaraan dengan alasan bahwa dalam Islam perempuan sudah dimuliakan seperti yang tertera pada HR Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548 yang berbunyi :
Reportase yang Tidak Berimbang Berpotensi Sebabkan Viktimisasi terhadap Subjek Pemberitaan14/1/2018
Terorisme dan radikalisme kembali menjadi pusat perhatian setelah muncul gerakan yang disebut dengan ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria). Terjadi perdebatan yang cukup sengit dalam mendefinisikan ISIS sebagai ajaran Islam atau bukan. Tetapi, masalah ini tidak berhenti pada perdebatan definisi saja. Terorisme membawa kita pada peperangan faktual dan ideologi. Perang faktual mungkin hanya terjadi di daerah konflik, tetapi perang ideologi bisa terjadi dimana pun, bahkan di Indonesia. Perang ideologi bisa dikatakan sebagai alasan kuat dibalik banyaknya warga negara Indonesia yang secara sukarela melibatkan dirinya ke dalam perang faktual dengan tujuan yang berbeda-beda. Dengan demikian Indonesia tidak bisa melepaskan diri terhadap isu terorisme dan radikalisme yang berkaitan dengan ISIS.
Kepulangan para deportan dan returnee disambut dengan berbagai pandangan mulai dari mensyukuri hingga mengutuk kepulangan tersebut. Hal ini juga diikuti dengan banyaknya pemberitaan yang justru memperkeruh keadaan melalui promosi kebencian dan kejijikan proyektif. Stigma yang melekat pada deportan dan returnee menjadi masalah bagi mereka untuk memulai kehidupan kembali pasca kepulangannya. Deportan dan returnee sering kali merasa ditipu oleh wartawan yang tidak bertanggung jawab atas pemberitaan yang tidak utuh, tidak disamarkannya identitas dan tidak sesuai dengan konteks pembahasan sama sekali. Pemberitaan yang dilakukan oleh media terhadap isu terorisme dan radikalisme perlu menjadi perhatian serius mengingat dapat berpotensi membuat subjek pemberitaan menjadi korban (viktimisasi), hal ini juga sering terjadi pada isu pemerkosaan, pembunuhan dan masih banyak lagi. Rabu, 10 Januari 2018 pukul 14.00, bertempat di The Habibie Center, Kemang, Jakarta Selatan C-SAVE (Civil Society Against Violent Extremism) mengadakan acara berjudul “Liputan Kelompok Radikal: Reportase Berimbang?” yang membahas tentang liputan terorisme yang berujung pada viktimisasi keluarga teroris maupun pemberian label kepada deportan dan returnee. Acara ini diharapkan dapat membangun kesadaran pewarta untuk memberikan reportase berimbang dalam setiap liputan menyoal kelompok radikal, terorisme maupun isu-isu perempuan. Reportase berimbang memang sudah seharusnya dilakukan dengan memberi informasi berita yang berkeadilan dan berempati. Sehingga, pemberitaan yang muncul tidak menyumbangkan stigma baru yang mengancam identitas korban. Heru Effendy (Pakar Viktimologi dan Akademisi Universitas Indonesia) berusaha menyampaikan pendapatnya mengenai liputan kelompok radikal maupun teroris yang sering kali menyoroti keluarga pelaku, “Stigma yang tertanam pada keluarga teroris berakibat pada pengucilan di lingkungan tempat tinggal mereka”, tutur Heru. Media perlu memahami posisi keluarga teroris yang sering menjadi korban dalam reportase yang tidak berimbang. Stigma memang terkonstruksi secara sosial, namun diharapkan media tidak memperkeruh keadaan dengan informasi palsu tentang fakta yang terjadi. Mira Kusumarini (Direktur Eksekutif C-SAVE) turut menyayangkan viktimisasi pada deportan dan returnee yang bukan dijadikan pembelajaran tetapi hoax semata, “Adanya media yang tidak berpegang teguh pada kode etik membuat informasi pembelajaran menjadi kontraproduktif” tutur Mira. “Seorang wartawan memang tidak sempurna, tetapi perlu diingat bahwa dalam godaan membuat berita yang gurih, berita tersebut juga harus bergizi dan tidak mengandung racun” tutur Aristides Katoppo (Co-founder Koran Sinar Harapan dan Jurnalisme Damai) yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut. Dunia informasi memang sedang dijajah oleh perebutan kapital antara media yang satu dengan yang lainnya, penyebaran hoax pun ikut serta dalam derasnya arus informasi. Oleh karena itu, media wajib memberitakan fakta dengan tujuan memunculkan perdamaian. Reportase yang tidak berimbang hanyalah salah satu sebab dari sekian banyak hoax yang tersebar. Pasalnya audience atau netizen (Internet Citizen) ikut serta dalam menyebarkan dan memaknai ulang suatu berita. Selain itu media dianggap memiliki peran untuk terlibat dalam promosi perdamaian dan yang lebih penting adalah wartawan dan dewan pers sebaiknya bukan hanya mengerti kode etik tetapi menerapkannya pula. (Iqraa Runi) Rabu, tanggal 10 Januari 2018, bertempat di kantor Komisi Nasional Perempuan di daerah Menteng, Jakarta Selatan, Erwiana Sulistyaningsih menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada Komnas Perempuan yang menjadi pendukung setia atas kasus yang menimpanya. Buruh migran yang beberapa tahun lalu menjadi sorotan publik ini juga menyampaikan pengalaman perjuangan yang perlu dilakukan oleh buruh migran lainnya. Bagi Erwiana buruh migran harus berani berbicara dan melawan apabila terjadi ketidakadilan. Sehingga, kasus buruh migran tidak lagi dianggap sebagai kasus sepele. Kemenangan ini juga tentunya didukung oleh banyak pihak, baik dari dukungan lokal maupun internasional. Magdalena Sitorus (Komisioner Komnas Perempuan) yang hadir dalam rapat menyatakan beberapa aspirasinya untuk pemerintah agar memerhatikan perlindungan untuk buruh migran, “Pendampingan hukum di Indonesia sangatlah lemah, saya berharap kasus Erwiana menjadi kritik kepada pemerintah sekaligus menjadi inspirasi untuk yang lainnya”. Erwiana Sulistyaningsih yang ditemani sang ayah menceritakan ulang tentang pengalaman perjuangan dari tahun 2014 sampai 2017, “Tahun 2014 hak normatif saya dilanggar, seperti tidak digaji, tidak diberi makan, itulah yang membuat saya berusaha kabur. Tetapi PT mengembalikan saya kembali ke rumah majikan dengan penjagaan yang jauh lebih ketat”, tutur Erwiana. Perjuangan yang terus menerus dilakukan akhirnya membuahkan hasil, kedua majikannya dipenjara selama 6 tahun melalui putusan pengadilan yang terhitung mulai tahun 2015. Erwiana Sulistyaningsih tidak berhenti pada tuntutan pidana tetapi juga melayangkan tuntutan perdata mengingat cacat fisik yang dideritanya membutuhkan biaya. Kemudian, pada tanggal 21 Desember 2017 Erwiana memenangkan gugatan ganti rugi sebesar HKS 809.430 ($103.489). Tetapi perlu diingat bahwa kemenangan yang didapat barulah kemenangan di atas kertas, karena ada kekuasaan berlapis yang membutuhkan strategi. Dengan ini pula Erwiana Sulistyaningsih menegaskan “Kemenangan saya bukan hanya soal nominal tetapi juga untuk membangun semangat buruh migran yang Lain”, tutur Erwiana. Banyak kritik untuk UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) No. 18 Tahun 2017, terutama kritik tentang tanggungan kesehatan buruh migran yang diberikan kepada perusahaan asuransi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). BPJS tidak mampu membayar tanggungan biaya pemulihan psikis. Sehingga, kasus yang menimpa Erwiana tidak sepenuhnya diatur di dalam UU PPMI No. 18 Tahun 2017. Karsiwen, ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) turut menyampaikan beberapa aspirasi penting terkait dengan kasus Erwiana dan kekecewaannya terhadap kebijakan UU PPMI No. 18 Tahun 2017, “Tidak semua daerah menyediakan psikolog, sedangkan membayar psikolog itu tidak murah dan BPJS tidak mengcover itu”, tutur Karsiwen. Kemudian, Magdalena Sitorus kembali menjelaskan pentingnya organisasi untuk membantu buruh migran baik di dalam maupun luar negeri. Kasus Erwiana merupakan kasus pertama yang dapat dimenangkan di Hongkong. Pasalnya pengadilan Hongkong kerap kali tidak peduli dengan isu human trafficking. Kasus pemalsuan data yang dilakukan oleh PT maupun pihak terkait tidak dijadikan sebagai kejahatan, melainkan buruh migran tertuduh sebagai pelaku kejahatan. Sehingga, kasus Erwiana dapat dikatakan sebagai sebuah kemajuan atas kesadaran hak buruh migran. Komnas Perempuan ikut serta memberikan edukasi agar buruh migran dapat memberi laporan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perkembangan dan data terkini mengenai buruh migran. Oleh karena itu, keberhasilan Erwiana dalam memenangkan kasus sampai ke pengadilan merupakan awal dari banyak perjuangan buruh migran lainnya. Kemenangan ini juga membuktikan apabila sebuah kasus dikawal dengan serius, maka kita bisa memunculkan perubahan. (Iqraa Runi) Kamis, 7 Desember 2017, bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, pertemuan keempat Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) ke-9 yang mengangkat tema “Berpikir Kritis” diselenggarakan. Topik pembahasan pada pertemuan keempat iniialah “Mendeteksi Logical Fallacy”. Rocky Gerung sebagai pembicara membuka kelas dengan menyatakan bahwa dalam berargumen konsep selalu menjadi mata uang yang sah dalam bertransaksi. “Dengan adanya konsep memungkinkan kita efisien dalam berargumentasi”, tutur Rocky. Dalam kuliah ini Rocky memberikan tiga contoh proposisi untuk membantu para peserta mengenal kedudukan konsep secara lebih dalam. Proposisi yang pertama berbunyi “segitiga selalu memiliki tiga sisi”, yang kedua berbunyi “Tuhan itu ateis” dan yang ketiga berbunyi “gunung agung meletus pertama kali pada 1964 yaitu dua tahun setelah kelahiran JP”. Proposisi pertama yang berbunyi “segitiga selalu memiliki tiga sisi” merupakan konsep yang logis karena bersifat tautologis. Konsep seperti ini bisa dikatakan sebagai konsep yang bisa mengefisienkan argumen seseorang karena segitiga selalu memiliki tiga sisi, maka tidak perlu menambah penjelasan pendukung. Proposisi “segitiga selalu memiliki tiga sisi” sebagai konsep adalah logis, namun konsep tersebut dianggap selesai dalam dirinya sendiri sebagai definisi. Kemudian, proposisi kedua yang berbunyi “Tuhan itu ateis” merupakan proposisi yang terdiri dari beberapa konsep antara lain, konsep Tuhan itu sendiri apakah sebagai yang eksis maupun tidak, konsep Tuhan yang esa, dan masih banyak lagi. Rocky menjelaskan bahwa untuk menghadirkan konsep Tuhan di kepala kita, pastinya ada fantasi yang bermain. Salah satunya adalah fantasi tentang Tuhan sebagai yang mutlak. Dengan fantasi yang demikian, maka kita dapat membawa konsep tersebut tertanam dalam pikiran bahwa tuhan sebagai penyelamat atau yang lainnya. Cara menguraikan konsep seperti ini yang disebut Rocky sebagai latihan dalam berpikir. Tentunya Rocky tidak berurusan dengan kepercayaan seseorang mengenai Tuhan. Tetapi, dalam memperdebatkan proposisi “Tuhan adalah ateis” Rocky menyatakan bahwa agar konsep Tuhan sebagai yang mutlak itu logis, maka Tuhan haruslah ateis. Proposisi kedua ini dianggap sebagai konsep yang dapat diuraikan secara logis tanpa konfirmasi faktual. Proposisi terakhir yang berbunyi “gunung agung meletus pertama kali pada 1964 yaitu dua tahun setelah kelahiran JP” merupakan satu-satunya dari ketiga proposisi di atas yang membutuhkan verifikasi faktual. Oleh karena itu, dalam menjelaskan kedudukan konsep Rocky membawa ketiga proposisi berbeda untuk memperlihatkan teorema dalam menjelaskan kedudukan konsep. Dengan memahami ketiga jenis konsep yang dijelaskan pada Kaffe 9 yaitu konsep yang selesai dalam dirinya sendiri sebagai definisi, konsep yang dapat diuraikan secara logis tanpa konfirmasi faktual dan yang terakhir adalah konsep yang membutuhkan verifikasi faktual kita diharapkan dapat berargumen secara efisien, tepat guna dan terhindar dari kesalahan berpikir atau yang disebut Logical Fallacy. (Iqraa Runi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |