Pada Kamis (23/7) bertempat di Ruang Delegasi MPR RI, Jakarta, Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani memimpin pengucapan sumpah bagi Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) periode 2020-2024. Kegiatan dihadiri oleh Presidium KPPRI periode 2014-2019, Koordinator Maju Perempuan Indonesia dan juga Ketua Komnas Perempuan serta Presidium dan Pengurus KPPRI Periode 2020-2024. Selain disiarkan secara langsung melalui platform kanal Youtube Nusantara TV dan juga Kaukus Perempuan Parlemen. Kegiatan tersebut juga dihadiri sekitar 100 orang undangan secara daring melalui platform digital Zoom. Undangan yang hadir mewakili berbagai kalangan yakni perwakilan negara sahabat seperti Singapore dan Myanmar; Duta Besar RI di berbagai negara seperti Argentina, Polandia, Slovakia dan Italia/Siprus/Malta; perwakilan Kementerian/Lembaga, seperti KPPPA, Komnas Perempuan, KPAI; organisasi masyarakat sipil seperti KOWANI, Aisyiyah; perwakilan partai politik seperti KPPI, KPPG; dan pegiat di isu perempuan dan juga pemilu serta dari kalangan media.
Kepengurusan KPPRI dipimpin oleh Presidium yang merupakan perwakilan dari dua institusi parlemen DPR dan DPD. Presidium KPPRI Periode 2020-2024 terdiri dari Diah Pitaloka S.Sos, MSi (FPDIP), Dewi Asmara S.H, M.H (FPG), Susi Marleni Bachsin S.E, M.M (FGERINDRA), Dr. Badikenita Sitepu S.E, M.Si (DPD/Sumut) dan Prof. Dr. Sylviana Murni S.H., M.Si (DPD/DKI Jakarta). Dalam pengukuhan tersebut, berbagai pihak yang hadir secara fisik maupun yang menghadiri secara daring memberikan ucapan selamat dan juga dukungan mereka terhadap KPPRI, khususnya dalam mendorong pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), termasuk salah satunya yang disampaikan oleh GKR. Hemas, yang menyampaikan pentingnya bagi KPPRI untuk mengawal RUU PKS dan RUU Pemilu yang kembali dibahas. Dalam pidato sambutannya, Ketua Presidium KPPRI Diah Pitaloka menyampaikan bahwa sejak Kongres Perempuan I hingga saat ini perempuan Indonesia masih mengalami persoalan yang sama; tingginya angka kematian ibu, persoalan gizi, perkawinan paksa, dan kekerasan terhadap perempuan. Di bidang pendidikan, ekonomi dan keterwakilan, perempuan juga masih banyak mengalami kendala. Untuk itu, menurut Diah KPPRI perlu mendorong terjadinya sinergi dalam pembuatan kebijakan dan menyatukan semangat untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan berkeadilan. Pada akhir sambutannya, Diah juga menyerukan ajakan kepada segenap anggota KPPRI untuk berjuang mengesahkan RUU PKS. Pengukuhan KPPRI yang dilakukan bertepatan dengan Hari Anak Nasional juga menjadi pengingat untuk menunjukkan komitmen dalam melindungi anak Indonesia dari berbagai bentuk kekerasan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan bahwa KPPPA siap untuk memantau dan bersama-sama mewujudkan RUU PKS untuk melindungi perempuan dan anak Indonesia dari kekerasan. Seruan serupa juga disampaikan Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani. Ucapan selamat dan dukungan juga disampaikan oleh menteri-menteri perempuan dalam Kabinet Indonesia Maju. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam ucapan selamatnya yang disampaikan melalui rekaman video menyebutkan bahwa dalam Laporan Global Gender Gap Index 2020 yang dirilis dalam Forum Ekonomi Dunia, Indonesia menempati peringkat ke 85 dari 153 negara. “Kementerian Keuangan selama ini telah mendukung kesetaraan gender, salah satunya melalui pengarusutamaan gender dalam penganggaran negara,” ujarnya. Sri Mulyani juga menyampaikan harapannya agar pengukuhan KPPRI dapat memberi tambahan energi dan inspirasi bagi perempuan di berbagai bidang, terutama ekonomi dan politik. “Peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik dapat memperkaya dan mewarnai pembuatan kebijakan. Kaukus perempuan berperan sebagai motor penggerak di parlemen,” ujar Sri Mulyani. Harapan senada juga disampaikan Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah, yang berpesan agar KPPRI menjaga komitmen sebagai wadah PUG di parlemen. “Tiada demokrasi sejati tanpa perwakilan perempuan,” pungkasnya. KPPRI yang didirikan pada 19 Juli 2001 merupakan wadah konsolidasi lintas fraksi dan lintas komisi bagi perempuan anggota parlemen Indonesia baik yang berada di DPR RI maupun DPD RI. KPPRI memiliki visi untuk akselerasi demokrasi di Indonesia yang diimplementasikan dalam misi meningkatkan partisipasi perempuan dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik; mengupayakan agar seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan pembangunan mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan serta permasalahan perempuan dan laki-laki secara seimbang dan adil. Misi KPPRI adalah untuk meningkatkan akses dan partisipasi perempuan dalam setiap tahapan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang berwawasan gender, termasuk kebijakan anggaran yang berwawasan gender. Selain presidium, terdapat pula struktur lain seperti sekretaris jenderal dan wakil sekretaris jenderal, dewan pertimbangan, dewan pakar dan divisi-divisi yang menaungi bidang-bidang tertentu. (Dewi Komalasari). Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) lahir sebagai respons atas tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Keberadaan RUU P-KS adalah sebuah pembaruan hukum yang sangat penting sebab memiliki ketentuan yang melindungi korban. RUU ini menjadi sangat penting untuk diundangkan sebab berdasarkan fakta dan data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan terlihat bahwa dalam 12 tahun terakhir angka kasus kekerasan seksual yang terus meningkat hingga 792% atau hampir delapan kali lipat. Angka ini bahkan masih merupakan fenomena gungung es, artinya masih jauh lebih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan, salah satu alasannya adalah belum adanya payung hukum yang mengakomodasi perlindungan dan pemulihan bagi korban. RUU P-KS sendiri telah masuk prolegnas prioritas tahun 2016 namun gagal disahkan pada akhir tahun 2019 lalu. Akhir bulan Juni lalu, RUU P-KS malah dikeluarkan dari Daftar Prolegnas RUU Prioritas 2020 dengan alasan bahwa pembahasan RUU P-KS “agak sulit dibahas”. Padahal berbagai pengalaman sulitnya proses hukum bagi kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa RUU ini sangat penting untuk segera diundangkan. Sebagai respons atas dikeluarkannya RUU P-KS dari daftar prolegnas prioritas tahun 2020, Infid bersama dengan berbagai kelompok masyarakat mengajukan surat terbuka untuk presiden dan ketua DPR untuk menuntut tanggung jawab negara dalam memastikan terpenuhinya perlindungan korban dan keadilan bagi korban. Menindaklanjuti surat terbuka untuk Presiden RI dan Ketua DPR-RI, Infid menginisiasi kegiatan Orasi Terbuka Pembacaan Surat dukungan terhadap RUU P-KS. Kegiatan tersebut dimoderatori oleh Atnike Sigiro, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dan orasi disampaikan oleh perwakilan kelompok masyarakat yaitu; Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil, Perwakilan Sineas, Perwakilan Musisi, Perwakilan Komika, Perwakilan Jurnalis, Perwakilan Akademisi, Perwakilan Tokoh Agama, Perwakilan Mahasiswa Indonesia di Australia. Dalam kesempatan tersebut Alissa Wahid selaku Koordinator Jaringan Gusdurian membuka orasi dengan menarasikan beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi dan menimpa anak perempuan di Indonesia, dalam kasus tersebut para korban tidak dapat mengakses keadilan sebab tidak ada payung hukum yang mengatur pemulihan dan memberi keadilan bagi mereka. Alissa menyatakan bahwa RUU P-KS ini penting bagi kita semua khususnya bagi anak perempuan. Ati Nurbaiti, perwakilan jurnalis menyatakan bahwa untuk kepentingan masyarakat luas dan terutama jurnalis yang sering menerima kekerasan seksual saat bekerja. Ia menambahkan bahwa, AJI (Asosiasi Jurnalis Indonesia) juga mendukung percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS, sebab keberadaan RUU ini penting untuk memberi perlindungan bagi jurnalis yang rentan terhadap kekerasan seksual saat melakukan pekerjaannya. Menurut Ati, jika RUU P-KS disahkan, RUU ini dapat menjadi bentuk komitmen pemerintah untuk menghapuskan kekerasan seksual di Indonesia. Melani Subono perwakilan artis dan juga penyintas kekerasan seksual menyatakan bahwa ia berkomitmen untuk terus mendukung proses percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS ini. Bagi Melanie, ia tidak akan mendapat rasa tenang dan terlindungi jika pemerintah tidak kunjung mengesahkan regulasi yang mengatur tentang penghapusan kekerasan seksual . Anggia Erma Rini selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat NU, sebagai perwakilan tokoh agama dalam orasnya menyampaikan dukungan terhadap percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS. Anggia menyampaikan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual sangat merugikan korban, bahkan biasanya diselesaikan melalui jalan damai yang sangat tidak berkeadilan. Dalam Munas PBNU Tahun 2019 dinyatakan bahwa kekerasan seksual merupakan kegiatan yang menyalahi syariat karena didasarkan pada pemaksaan. Nur Iman Subono selaku pengajar di FISIP Universitas Indonesia dan sekaligus perwakilan dari akademisi menyampaikan kekecewaan dan kemarahannya pada pernyataan pejabat publik yang menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari prolegnas karena pembahasannya agak sulit. Menurut Boni pernyataan tersebut menandakan tidak adanya empati terhadap pengalaman korban kekersan seksual. Boni juga menyayangkan berbagai pandangan umum di masyarakat yang melihat perjuangan pengesahan RUU P-KS sebagai perjuangan untuk kepentingan perempuan semata. RUU P-KS bukan tentang pertempuran kepentingan antara laki-laki dan perempuan dan bukan pula gerakan anti laki-laki. Boni menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan saja, tetapi laki-laki juga. Oleh karena itu, pembahasan dan pengesahan RUU P-KS merupakan kepentingan bersama dan harus diperjuangkan dan dikawal bersama. Pada akhir orasinya Boni menyatakan bahwa dalam melihat keberadaan RUU ini tidak ada posisi netral, menjadi bagian dari silent majority adalah sebuah sikap pengkhianatan. Terakhir, orasi disampaikan oleh perwakilan mahasiswa Indonesia di Australia yaitu Irine H Gayatri yang sedang belajar di Monash University. Baginya pengundangan RUU PKS sangat penting untuk dilakukan sebagai wujud komitmen negara untuk menghapuskan kekerasan seksual. Acara ditutup dengan pembacaan surat terbuka lintas generasi yang diwakili oleh Siti Musdah, Mulia sebagai Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace. Selanjutnya surat terbuka dibacakan oleh Olin Monteiro selaku perwakilan Arts for Women dan Lintas Feminis Jakarta. (Abby Gina) Jubaedah merupakan acara yang diinisiasi oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai beragam isu kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat serta mendorong pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Diskusi kali ini mengangkat tema “Bagaimana Kabar RUU P-KS Kini dan Nanti?”. Diskusi ini menghadirkan dua pembicara yaitu; Neng Eem Marhamah Zulfa, S.Th.I, MM (Anggota Badan Legislatif), dan Asnifriyanti Damanik, SH. (LBH Apik). Diskusi ini dilakukan mengingat kasus kekerasan seksual makin marak terjadi, namun RUU P-KS ditarik dari Prolegnas Prioritas oleh Komisi 8 DPR RI. Dalam pemaparannya, Asnifriyanti Damanik selaku perwakilan dari LBH Apik, memaparkan bahwa RUU ini sudah melalui perjalanan yang lumayan panjang. “Proses sudah dimulai sejak tahun 2012 untuk mengumpulkan data kekerasan seksual dan kajian yang menghasilkan 15 bentuk kekerasan seksual yang baru, jauh berbeda dengan rumusan KUHP yang hanya mengenal 2 bentuk kekerasan seksual,” jelas Asnifriyanti. Namun RUU yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas pada tahun 2017 ini harus ditarik dari pembahasan Prolegnas Prioritas pada 30 Juni 2020 lalu. Lebih lanjut, Asnifriyanti Damanik menjelaskan bahwa RUU ini harus segera dibahas dan disahkan mengingat tiga urgensi yang melatarbelakanginya yakni; landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam landasan filosofis, RUU P-KS selaras dengan Pancasila di mana Negara dan Agama sejatinya memberikan pelindungan bagi orang-orang yang lemah. Ditinjau dari landasan sosiologis, kasus kekerasan seksual mucul setiap harinya dan Negara belum sepenuhnya hadir untuk melindungi. Berbeda dengan dua landasan di atas, dari sisi yuridis, belum ada satupun peraturan yang komperhensif dan berprespektif pada korban kekerasan seksual. “Setelah dikeluarkannya RUU P-KS dari Prolegnas Prioritas, Koalisi masyarakat sipil sedang menyuusn kembali Naskah Akademik dan draft RUU walaupun tidak mengubah secara keseluruhan, agar dalam proses advokasinya lebih memudahkan,” ungkap Asnifriyanti. Dalam kesimpulannya, Asnifriyanti Damanik mengatakan bahwa pengesahan RUU P-KS adalah kebutuhan yang mendesak, sebab kasus kekerasan seksual semakin banyak. Neng Eem Marhamah Zulfa dari Badan Legislatif melanjutkan bahwa dalam pembahasan RUU P-KS ada beberapa persoalan. “Secara keseluruhan DPR RI dan Baleg bukannya tidak setuju dengan substansinya, namun hal ini disebabkan oleh situasi yang terjadi sekarang, dan terbenturnya soal judul, definisi kekerasan seksual, dan aturan mengenai pemidanaan. Dengan dikeluarkannya dari Prolegnas Prioritas, koalisi masyarakat sipil yang memiliki concern harus mulai lagi berkonsolidasi dan membentuk satu pemahaman bersama dengan seluruh pihak pengambil keputusan. Tidak hanya Komisi 8, tetapi dalam cakupan yang lebih luas,” jelas Neng Eem Zulfa. Ia menjelaskan bahwa pada dasarnya RUU ini tidak hanya untuk memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual, tetapi juga untuk memberikan kesadaran hukum dan budaya bahwa kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan kemanusiaan. (Octania Wynn) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |