“Dalam analisis wacana kritis, kita harus menyadari bahwa ada problem bahasa, mengutip dari Mikhail Bakhtin bahwa ada probelm heteroglossia, multilanguagedness, seringkali kita menganggap dalam berbahasa hanya menggunakan satu bahasa, padahal sebenarnya tidak”, ungkap Ikhaputri Widiantini dalam kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan pada Jumat (21/04/2017) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Ikhaputri menjadi salah satu pembicara dalam Kaffe seri Analisis Wacana Kritis yang telah memasuki pertemuan keempat—yang merupakan pertemuan akhir kuliah Kaffe seri ini. Dalam pertemuan keempat ini, topik yang dibahas adalah Analisis Wacana Kritis dan Feminisme. Ikhaputri yang merupakan dosen Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya menjelaskan bahwa dalam mempelajari analisis wacana kritis penting untuk tahu bahwa ada persoalan yang mendasar yaitu pada bahasa, maka pada kuliah Kaffe ini Ikhaputri mendekati persoalan bahasa dalam analisis wacana kritis dengan pemikiran Julia kristeva tentang semiotika. Ikhaputri menjelaskan bahwa tidak semua problem gender itu berbicara khusus tentang problem feminisme, sebaliknya ketika berbicara problem feminisme memang akan ada isu gendernya tapi bisa jadi kita tidak melulu membahas isu gender tersebut, bisa saja isu gender tersebut dijadikan sebuah diskursus, sebuah teori besar. Maka pada proses itu kerap kali ada kebingungan untuk mempraktikan teori besar atau menurunkannya pada tataran praktis yaitu bahasa. Menurut Ikhaputri analisis wacana kritis ini dapat digunakan untuk memindahkan apa yang ada dalam teori ke wilayah praktis—yang bukan hanya pengalaman tapi juga pemahaman. “Dalam analisis wacana kritis pengalaman tidak cukup kuat untuk dijadikan alat analisis, melainkan harus adanya pemahaman juga. Misalnya pengalaman kekerasan seksual harus bisa dijadikan practice untuk memahami kekerasan seksual itu sendiri, ini poin penting penggunaan bahasa dalam analisis wacana kritis”, tutur Ikhaputri. Lebih jauh dosen Filsafat UI sekaligus pendiri Komunitas Ungu ini menjelaskan bahwa analisis wacana kritis feminisme digunakan untuk membongkar logika yang salah dalam masyarakat—logika patriarkal, yang kemudian melanggengkan mitos dan stereotipe gender melalui bahasa. Ikhaputri melanjutkan bahwa analisis wacana kritis feminisme berfokus pada transformasi sosial dan keadilan gender dengan membongkar problem gender dalam bahasa. “Berangkat dari analisa Mikhail Bakhtin, ternyata kita mempunyai multi makna dalam pembahasaan, sementara di wilayah bahasa yang patriarkal ada kecenderungan untuk menghilangkan multi makna tersebut”, tutur Ikhaputri. Ashley Graham seorang model yang biasanya dijuluki big size model/plus size model, yang kemudian menolak julukan tersebut dan mengungkapkan bahwa ingin disebut my size model, merupakan contoh yang diberikan Ikhaputri tentang bagaimana bahasa digunakan atau dimainkan dalam tataran praktis. Ikhaputri menjelaskan bahwa bahasa kerap kali dianggap hal kecil namun bisa jadi secara tidak sadar kita menggunakan bahasa yang diskriminatif dan tidak memberdayakan dalam kehidupan sehari-hari. Ikhaputri menjelaskan bahwa pada mulanya bahasa sebagai alat tidaklah bergender, namun ketika bahasa itu masuk dalam dunia maskulin dan misoginis, pada akhirnya bahasa berjenis kelamin. Pada beberapa bahasa kita dapat menemukan klasifikasi gender, misalnya bahasa Perancis, Spanyol, Rusia, Jerman. Mengutip Luce Irigaray, Ikhaputri menuturkan bahwa bahasa yang netral gender adalah bahasa yang paling berbahaya karena diam-diam menyimpan bias gender, contohnya adalah bahasa Indonesia. Misalnya banyak ungkapan yang bias seperti “wah dapet cewek baru, mau test drive dulu ya”, padahal menurut Ikhaputri konsep ‘test drive’ atau ‘mobil’ itu sendiri tidak ada jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan, namun karena bahasa tersebut netral gender, maka kerap kali bahasa lebih bias. Ikhaputri menjelaskan bahwa menurut Julia Kristeva perempuan sulit masuk dalam ruang publik karena ada problem bahasa. Perbedaan pengalaman antara perempuan dan laki-laki membuat perempuan tidak memiliki jembatan antara bahasanya, perempuan kerap kali tidak bisa menurunkan pengalamannya ke dalam wilayah practice/wilayah bahasa. Dalam bahasa semiotik karena tidak ada tanda per tanda maka tidak ada pembakuan, hal ini sejalan dengan apa yang disebut Bakhtin multilanguagedness, metafora setiap teks pasti memiliki multi makna. Bahasa dalam tataran simbolik memberikan makna singular sehingga menutup kemungkinan bagi perempuan untuk masuk dengan pemaknaan berbeda dalam proses pemaknaan masyarakat (publik). Norma, bahasa, pengetahuan masyarakat yang berada di ruang publik, membuat identitas perempuan tidak stabil dan terasing dari dirinya sendiri, ini yang disebut Kristeva sebagai chora—jarak sebelum masuk ke ruang publik. “Begitu banyak bahasa dan tanda yang ingin disampaikan oleh perempuan, tetapi tidak mungkin disampaikan karena norma simbolik belum membuat persetujuan dalam ruang publik”, tutur Ikhaputri. Lebih jauh Ikhaputri menjelaskan tentang semiotik chora dan penandaanya yaitu bahwa chora feminin perlu memberikan tanda, meninggalkan jejak sehingga bahasa yang beredar dalam ruang simbolik tahu dan memiliki referensinya. Bahasa simbolik adalah bahasa yang referensial sehingga chora feminin perlu meninggalkan jejak agar dapat ditarik sebagai penandaan dalam ruang simbolik. Contohnya adalah ketika perempuan marah kemudian dikaitkan dengan menstruasi, padahal tidak ada kaitannya kemarahan dengan siklus menstruasi perempuan, karena sesungguhnya pengalaman menstruasi tiap perempuan berbeda-beda dan hal ini gagal dipahami dalam ruang simbolik. Hal lainnya adalah ketika perempuan menstruasi, ia kerap kali menggunakan kata ‘dapet’ atau ‘M’, perempuan enggan menggunakan kata ‘menstruasi’ untuk merepresentasikan apa yang terjadi terhadapnya. Hal-hal seperti itu yang menurut Ikhaputri gagal dipahami dalam ruang simbolik. Keterputusan ruang semiotika dan publik pada akhirnya bukan hanya menjadi persoalan perempuan, karena sesungguhnya laki-laki juga kehilangan penandaannya demi diterima di ruang simbolik. Mantra menjadi salah satu contoh bahasa simbolik yang bekerja dalam ruang publik. Ikhaputri menuturkan bahwa dalam mantra subjek terlibat dalam bahasa dan hal ini bisa membuat hubungan yang erat antara bahasa dengan subjeknya sehingga terhindar dari keterasingan identitas simbolik. Hal ini tidak terjadi pada teks Undang-Undang atau kebijakan publik, yang sesungguhnya tidak melibatkan subjek di dalamnya—khususnya perempuan. Begitu juga pada interpretasi teks kitab suci yang kerap kali bias gender, menurut Ikhaputri penandaan dalam setiap ayat di kitab suci terletak pada kesejarahaanya, sehingga penting melihat asal usul turunnya ayat tersebut agar dapat menghadirkan keadilan gender. “Semiotika bisa menjadi salah satu pisau analisis wacana kritis feminisme”, ungkapnya. (Andi Misbahul Pratiwi) Studi wacana kritis (critical discourse studies/CDS) merupakan suatu perspektif, suatu pengambilan posisi atau sikap di dalam disiplin studi wacana yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti analisis wacana, psikologi, sejarah, ilmu-ilmu sosial atau linguistik. Dengan pendekatan multidisiplin, maka studi wacana kritis berambisi mendemistifikasi ideologi dan kepentingan yang sudah dibekukan di dalam bahasa atau wacana. Pernyataan ini dipaparkan Haryatmoko saat menjelaskan gagasan Teun van Dijk tentang studi wacana kritis di kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) yang diselenggarakan Jurnal Perempuan, Kamis (20/4) di kantor Jurnal Perempuan. Haryatmoko menjelaskan van Dijk tidak menggunakan istilah analisis wacana kritis melainkan studi wacana kritis dengan penekanan pada pendekatan sosio-kognitif. Mirip dengan analisis wacana kritis dari pemikir lain, pada studi wacana kritis juga terdapat hubungan antara yang linguistik dengan yang makro, antara bahasa dengan ilmu-ilmu sosial yang lain. Teun van Dijk memilih istilah studi wacana kritis karena studi ini tidak hanya melibatkan analisis kritis, tetapi juga teori kritis dan penerapan-penerapannya yang kritis. Studi wacana kritis berupaya untuk mempelajari bagaimana wacana mereproduksi dominasi sosial, yaitu penyalahgunaan kekuasaan oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain, juga bagaimana kelompok yang didominasi melakukan perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan itu melalui wacana juga. Jadi studi wacana kritis berangkat dari premis bahwa bahasa bisa menghasilkan dominasi dan ketidakadilan untuk itu studi wacana kritis berupaya membongkar ketidakadilan tersebut. Dengan demikian, studi wacana kritis memihak pada korban. Lebih lanjut Haryatmoko memaparkan prinsip-prinsip dasar dalam melakukan analisis wacana dari van Dijk serta langkah-langkah untuk melakukan penelitian studi wacana kritis. Selain menjelaskan tentang studi wacana kritis dari van Dijk, kuliah malam itu juga diisi dengan pembahasan penerapan analisis wacana kritis pada film dengan mengupas film Lost in Translation. Peserta yang terdiri dari berbagai latar belakang seperti mahasiswa, dosen dan praktisi media dipandu melakukan analisis wacana dengan mengikuti langkah-langkah yang ada. (Anita Dhewy) Senin, 17 April 2017, Perempuan Indonesia Anti Kekerasan melaporkan akun facebook DA ke Polda Metrojaya atas unggahan status DA pada tanggal 12 Maret 2017 yang menyuarakan seruan kebencian berupa pembenaran atas pembunuhan dan pemerkosaan apabila mendukung salah satu pasangan calon gubernur DKI Jakarta. Mereka beralasan status DA dianggap telah merendahkan martabat perempuan sebagai ciptaan Tuhan, bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, serta dapat berdampak pada pelabelan, stigma, diskriminasi, kekerasan dan kebencian terhadap perempuan. Perempuan Indonesia Anti Kekerasan berpandangan bahwa kasus ini adalah kasus sentimen politik terhadap salah satu calon pasangan gubernur DKI Jakarta. Mereka melaporkan kasus ini murni karena persoalan seruan pemerkosaan di muka umum yang dianggap telah melanggar hak asasi perempuan. Ada 29 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 173 individu dari berbagai latar belakang mendukung aksi pelaporan ini. LBH APIK dan LBH Jakarta berperan sebagai kuasa hukum untuk pelaporan kasus ini. Perempuan Indonesia Anti Kekerasan yang kemarin bertolak ke Polda Metrojaya, melaporkan DA dengan pasal 156 KUHP tentang ujaran kebencian di muka umum. Mereka sempat berdebat dengan aparat polisi terkait pasal tuduhan yang akan dipergunakan untuk menjerat DA. Kepolisian menganjurkan untuk menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjerat DA dalam kasus ini. Tetapi, Perempuan Indonesia Anti Kekerasan menolak menggunakan pasal dalam UU ITE karena dianggap pasal karet yang sering kali disalahgunakan. Helga Worotitjan, salah satu perwakilan Perempuan Indonesia Anti Kekerasan mengatakan bahwa pasal 156 KUHP lebih tepat digunakan untuk menjerat pelaku dalam kasus ini dibandingkan UU ITE yang kerap kali diselewengkan. “Kami bersikukuh untuk melaporkan DA dengan tuduhan pasal 156 KUHP karena UU ITE adalah pasal karet yang sering kali salah sasaran, bahkan banyak para kawan kami sesama aktivis sering kali dijerat dengan UU ITE ketika mereka menyatakan pendapatnya tentang ketidakadilan. Maka dari itu, kami akan tetap melaporkan kasus ini dengan tuduhan pasal 156 KUHP.” Perempuan Indonesia Anti Kekerasan telah menyelesaikan proses BAP (Berita Acara Pemeriksaan) di Polda Metrojaya kemarin dan mengajak semua lapisan masyarakat untuk tetap mengawal kasus ini agar pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. (Naufaludin Ismail) Jumat, 7 April 2017, kuliah Kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) V Jurnal Perempuan membincang mengenai “Analisis Wacana Kritis Dalam Politik”. Rocky Gerung mengampu kelas pada malam itu. Rocky membuka kelas dengan menjabarkan sedikit sejarah dan perbedaan mendasar mengenai Diskursus/Discourse dan Analisis Wacana Kritis (AWK)/Critical Discourse Analysis (CDA). Menurutnya diskursus tidak pernah netral, selalu ada kepentingan di baliknya, hal inilah yang dijadikan alasan para analis wacana kritis untuk mengajukan kecurigaan pada diskursus yang selama ini telah terjadi. Rocky menerangkan bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara Diskursus dengan AWK, yakni tentang pemaknaan bahasa dalam kehidupan. “Diskursus” sepakat dengan ahli linguistik yang menganggap bahwa bahasa adalah hal yang mengatur segala bentuk kegiatan manusia, sehingga bahasa adalah hal paling utama yang mendeterminasi kehidupan kita. Dalam diskursus, bahasa dianggap mendahului manusia dan karenanya kita terikat secara struktur dengan bahasa. Rocky memberikan analogi teka-teki silang (TTS) untuk menggambarkan bagaimana diskursus bekerja. Apabila ada sebuah TTS dengan petunjuk: Jurnal feminis terbaik di Asia Tenggara misalnya, dengan huruf akhir “N”, maka sudah pasti jawabannya adalah “Jurnal Perempuan”, tidak mungkin diisi dengan jawaban lain semisal “Zakir Naik” karena strukturnya memang sudah demikian, Zakir Naik berakhiran huruf “K” bukan huruf “N”. Hal ini sebenarnya menggambarkan bagaimana bahasa secara struktur dan grammar sangat membatasi ide-ide pembaruan yang mungkin ada namun tidak terlihat. Di sisi lain, AWK berusaha membongkar itu semua. Apabila mengaitkan kembali dengan analogi TTS di atas, maka cara kerja AWK adalah dengan mempertanyakan siapa yang membuat TTS tersebut dan apa tujuannya sehingga saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut? AWK bertujuan untuk mengungkap power atau kekuasaan yang ada di balik diskursus selama ini. AWK juga berfungsi sebagai alat untuk membongkar relasi kuasa yang mendukung sebuah diskursus sehingga tercipta sebuah ketidakadilan. Cara kerja AWK, apabila disederhanakan adalah dengan selalu mencurigai sistem bahasa dan skeptis terhadapnya. Sehingga, Rocky menyimpulkan setidaknya ada dua hal mengapa diskursus dapat menciptakan ketidakadilan apabila kita tidak menggunakan AWK sebagai pisau analisisnya. Pertama, diskursus selalu bergantung pada struktur bahasa dan grammar yang mengikat. Kedua, karena bahasa adalah sesuatu yang mengikat dan membatasi, maka membuat proses peradaban menjadi tidak adil dan inhuman. Diskursus sejatinya harus memasukkan autentisitas dari sebuah keadaaan, namun karena bahasa yang begitu mengikat, maka yang terjadi adalah sebuah ketidakadilan. Rocky berpendapat bahwa Ketidakadilan ini paling terasa dialami oleh perempuan. Feminisme adalah pisau analisis yang paling tajam untuk menganalisis ketidakadilan yang terjadi pada perempuan dari aspek manapun, entah politik, ekonomi, pendidikan, sistem kelas, dan lain sebagainya. Titik tolak keberatan feminisme terhadap diskursus menurut Rocky adalah dikarenakan beban kultur yang sudah terlanjur patriarkis sehingga menyebabkan perempuan mengalami standar ganda dalam kehidupan. Titik tolak kritik selanjutnya dari feminisme terhadap diskursus adalah mengenai struktur bahasa yang sangat maskulin sehingga selalu menguntungkan laki-laki. Oleh karena itu tidak heran bila ada upaya akademis dari para pemikir feminis untuk mengubah sistem bahasa yang patriarkis, seperti yang dilakukan Helene Cixous, Julia Kristeva dan Luce Irigaray, atau pemberontakan seperti yang dilakukan bell hooks yang menolak untuk menuliskan namanya dengan huruf kapital karena ia anggap bahwa huruf kapital adalah simbol superioritas maskulin dan patriarki. Rocky mencontohkan diskursus yang mendiskriminasi perempuan pada aspek kehidupan dunia kejiwaan. Seorang perempuan yang gagap, cemas dan bingung di ruang publik, akan dianggap mengalami penyakit kejiwaan delirium oleh masyarakat. Sebetulnya, bisa jadi perempuan ini selama hidupnya terjebak dalam diskursus yang menwajibkan ia menjadi seorang yang pasif di ruang publik. Dengan demikian, AWK dalam kacamata feminis adalah sebuah upaya untuk mencapai emansipasi dan reegalitarisasi. Lebih lanjut Rocky menjelaskan bahwa diskursus sifatnya selalu melanggengkan kekuasaan, ada sistem hierarki, dan menjadikan bahasa sebagai institusi yang secara ketat membatasi ide-ide baru. Diskursus selalu kaku dan baku sehingga tidak memberikan ruang untuk analisis lain pada suatu ide. Ia mencontohkan diskursus tentang ginjal di dunia kedokteran yang didefinisikan sebagai organ tubuh semata yang berfungsi untuk mengatur salah satu sistem ekskresi manusia. Dunia kedokteran tidak akan melihat ginjal sebagai sesuatu yang menunjukkan sisi manusiawi seorang manusia seperti apakah ginjal tersebut milik seorang laki-laki atau perempuan dengan keadaan tertentu. Rocky juga mencontohkan diskursus politik yang dibuat oleh pemerintah suatu negara dalam mengampanyekan suatu program, seperti program ajakan pemerintah Singapura kepada warga negaranya untuk mempunyai anak, dengan sebuah infografis yang menunjukkan berbagai keuntungan yang akan didapatkan oleh warga negara Singapura apabila memiliki anak (lihat di sini). Dari infografis tersebut dapat terlihat animasi seorang ayah yang menggendong bayinya, hal ini mungkin untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa masalah maternitas adalah persoalan laki-laki juga sehingga ada peran fatherhood di situ, ia sekaligus ingin mengatakan bahwa kesetaraan gender sudah tercipta dalam masyarakat Singapura. Rocky memberikan analisisnya terhadap kampanye pemerintah Singapura ini. Menurutnya, dengan AWK kita bisa melihat sisi lain yang diinginkan pemerintah Singapura dari program ini. Pertama, Rocky berpendapat bahwa negara sebetulnya takut untuk memberikan asuransi kepada kelompok lansia karena dianggap tidak produktif, sehingga memilih untuk menyubsidi anak yang baru lahir agar bisa produktif nantinya dan menghasilkan pajak bagi negara. Kedua, sebetulnya program ajakan untuk memiliki anak dari pemerintah Singapura ini ada nuansa rasisme di dalamnya. Secara logis, apabila ingin menambah penduduk dari suatu negara, cara yang paling efektif adalah dengan mendatangkan imigran ke negara tersebut, tetapi pemerintah Singapura memilih untuk mengampanyekan untuk tidak takut memiliki anak di Singapura. Analisis yang ketiga dari Rocky adalah mengenai permasalahan kelas. Menurut Rocky, program pemerintah Singapura ini sejujurnya ditujukan kepada kaum kelas menengah ke atas dikarenakan kaum kelas bawah akan sulit mendapatkan akses kesehatan yang layak dan terjangkau di Singapura. Analisis terakhir yang dikemukakan Rocky terhadap kampanye ini adalah betapa sebenarnya diskursus mengenai ajakan memiliki anak dari pemerintah Singapura ini diskriminatif terhadap kelompok LGBT, karena pemerintah Singapura tidak memberikan akses kepada kelompok LGBT untuk mempunyai anak dalam kampanyenya (Heteronormatif). Rocky mengatakan bahwa AWK dapat digunakan sebagai pisau analisis diskursus apapun termasuk sastra ataupun mitos yang memberikan ketidakadilan pada struktur peradaban kita. Ia kembali mencontohkan bahwa selama ini kita terkurung dalam pemahaman bahwa dalam kasus Pandawa vs Kurawa, kita akan selalu menganggap bahwa Pandawa adalah pihak yang baik dan suci tanpa kita pernah menganalisisnya lebih jauh terhadap cerita tersebut. Contoh lain adalah mengenai mitos Medusa yang dianggap sebagai perempuan yang dikutuk dan dianggap monster oleh masyarakat Athena pada waktu itu karena bercinta dengan Poseidon sang dewa lautan. Analisisnya kemudian menunjukkan bahwa sebenarnya Medusa diperkosa oleh Poseidon, lalu dijatuhi hukuman dengan dikutuk karena sistem masyarakat yang patriarkis dan selalu menyalahkan perempuan. Tetapi, dari kisah Medusa pula kita bisa mengambil kesimpulan bahwa harapan akan selalu ada ketika sebuah kepedihan melanda. Hal ini terlihat dari mitos Medusa yang menceritakan bahwa setelah Medusa mati dan kepalanya dipenggal oleh Perseus, dari tetesan darahnya muncul makhluk mitologi lain bernama Pegasus. Dari berbagai contoh analisis di atas dengan menggunakan AWK terhadap berbagai jenis diskursus, sesungguhnya tujuan utama AWK adalah untuk membongkar rezim politik yang selalu diuntungkan oleh diskursus karena didukung sistem bahasa yang kaku sekaligus patriarkis. AWK adalah sebuah pisau analisis yang sangat dekat dengan penelitinya karena ia terlibat langsung dengan output yang dihasilkan dari kritiknya sekaligus melibatkan subjek peneliti untuk menyuarakan Audacity of Hopes. AWK juga membatasi subjek peneliti untuk tidak jatuh sebagai seorang fatalis ataupun nihilis, serta AWK berfungsi untuk membatasi bahasa agar tidak menjadi institusi tunggal yang menjadikan sistem peradaban menjadi kaku dan terbatas pada ide-ide baru sekaligus menciptakan hierarki. AWK dan feminisme selalu tune in untuk membahas ketidakadilan dan menyuarakan emansipasi. AWK dalam perspektif feminis digunakan untuk membongkar dan menghancurkan sistem bahasa yang maskulin dan patriarkis—atau sering disebut sebagai Phallogosentrisme atau Logos Spermatikos—sehingga menimbulkan banyak ketidakadilan terhadap perempuan seperti membanalkan dan membenarkan pemerkosaan terhadap perempuan. Rocky menutup kelas malam itu dengan sebuah kesimpulan bahwa AWK/CDA adalah wake up call untuk melihat permasalahan ketidakadilan, meningkatkan kewaspadaan kita pada potensi krisis dan pembalikan keadaan politik yang mungkin terjadi, sekaligus menimbulkan reaksi positif akan adanya Politics of Hope. (Naufaludin Ismail) Kamis, 6 April 2017, kuliah pertama KAFFE (Kajian Filsafat dan Feminisme) 5 berlangsung di kantor Yayasan Jurnal Perempuan. KAFFE 5 membahas mengenai Analisis Wacana Kritis (AWK). Kuliah ini diikuti oleh 30 peserta dengan latar belakang yang beragam, seperti mahasiswa, dosen, pekerja sosial, konsultan, penulis, dll. Pertemuan pertama KAFFE 5 diampu oleh Dr. Haryatmoko, pengajar di Universitas Sanata Dharma, Departemen Filsafat (FIB UI), Pascasarjana Komunikasi (FISIP UI), UGM, UNAIR,UNIBRAW, dan PTIK. Ia telah menghasilkan berbagai buah pikiran yang tertuang dalam buku dan yang baru diterbitkan berjudul Critical Discourse Analysis. Pembahasan AWK dalam buku Critical Discourse Analysis inilah yang menjadi dasar perkuliahan pertama KAFFE 5. Haryamoko membuka kuliah KAFFE dengan memaparkan sejarah singkat AWK. Menurutnya, metode Analisis Wacana Kritis merupakan metode baru dalam penelitian ilmu sosial budaya. Pada tahun 1991 beberapa tokoh seperti Van Dijk, Fairclough, G. Kress, Van Leeuwen dan Wodak mengadakan pertemuan, dan momen tersebut dianggap sebagai peresmian metode AWK sebagai metode penelitian dalam ilmu sosial dan budaya. Para pionir AWK ini merumuskan tiga postulat. Pertama, semua pendekatan harus berorientasi pada masalah sosial dengan pendekatan lintas ilmu, setidaknya dibutuhkan pemahaman mengenai teori linguistik dan teori sosial untuk menggunakan metode AWK, kedua, tujuan utama dari AWK adalah demistifikasi ideologi dan ketiga, reflektif dalam penelitian. Lebih lanjut Haryatmoko menjelaskan bahwa ada empat langkah metode AWK Fairclough. Pertama, fokus pada ketidakberesan sosial dalam aspek semiotiknya. Ketidakberesan sosial bisa berupa kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, prasangka negatif, dan kurangnya kebebasan. Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk menangani ketidakberesan sosial itu. Ketiga, mempertimbangkan apakah tatanan sosial itu membutuhkan ketidakberesan sosial tersebut. Keempat, mengidentifikasi cara-cara yang mungkin untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Ada perbedaan mendasar antara AWK dengan Analisis Wacana, ungkap Haryatmoko. Dalam analisis wacana (objektif), peneliti harus mengambil jarak, hubungan dengan teks bersifat objektif, dan peneliti tidak melibatkan diri. Sedangkan dalam AWK, peneliti telah menentukan posisi, berpihak dan membongkar ketidakberesan sosial. Karakteristik AWK ini mendapat pengaruh dari Pemikiran Kritis (Mazhab Frankfurt). Tokoh-tokoh Pemikirian Kritis seperti Gramsci, Althusser, Bakhtin, Foucault dan Bourdieu memberikan banyak sumbangan penting terhadap metode AWK. Gramsci, menyumbangkan gagasan penting mengenai hegemoni dalam AWK. Hegemoni Gramsci menunjukkan bahwa kekerasan tidak terjadi secara koersi melainkan melalui budaya, dalam hal ini adalah bahasa. Althusser, dalam pengembangan AWK menunjukkan bahwa ideologi bukanlah sesuatu yang abstrak melainkan bagian dari kegiatan konkret atau praksis sosial. Bakhtin, menyumbangkan gagasan bahwa tanda-tanda linguistik merupakan materi ideologi. Foucault, melihat bahwa wacana bukan sekadar kata, tapi praksis sosial. Bourdieu, menjelaskan bahwa bahasa adalah instrumen kekuasaan atau yang disebut sebagai doxa. Doxa adalah kebenaran partikular yang diberlakukan sebagai kebenaran universal. Hal ini menjadi pintu masuk kekerasan simbolik. Haryatmoko menyatakan bahwa kekerasan simbolis adalah kekerasan yang korbannya menyetujui menjadi korban. Kekerasan simbolis menjadi pintu masuk kekerasan psikis dan fisik. Haryatmoko menjelaskan bahwa kekerasan simbolis ini menjadi penting untuk dikenali agar kita dapat mencegah dan memutus mata rantai kekerasan. Ia mencontohkan tentang kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga. Menurut Haryatmoko, kekerasan fisik di dalam rumah tangga bermula dari penerimaan terhadap kekerasan simbolik lewat bahasa, simbol dan representasi. Karena itu upaya melawan kekerasan harus dilakukan sejak di tataran simbolik dengan membongkar wacana, simbol dan representasinya. Dari perspektif AWK, bahasa sudah mengandung ideologi, membawa kepentingan dan merupakan instrumen kekuasaan. Bahasa tidaklah netral, untuk itu perlu dilakukan demistifikasi ideologi dan kekuasaan, ungkap Harytmoko. AWK menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi melainkan bagian dari strategi kekuasaan. Oleh karena itu, dibutuhkanlah pembongkaran hubungan antara bahasa dan ideologi dengan cara menunjukkan pemaknaan bahasa di dalam hubungan kekuasaan dan hubungan sosial. Dimensi moral dan politik pada metode AWK menghasilkan cita-cita akan perubahan sosial dan politik. Yang menarik dari AWK adalah metode ini telah menunjukkan posisinya yang berpihak pada korban dan mereka yang membutuhkan perubahan sosial. (Abby Gina) “Kami tidak anti pembangunan, kami tidak anti semen, kami tidak anti industrialisasi, pemerintah harus berhati-hati dalam pembangunan dan memikirkan implikasinya dalam jangka panjang, kasus Kendeng adalah salah satu satu dari banyaknya kasus pembangunan yang hanya menjadikan amdal dokumen teknis saja”, tutur Suraya Afif, Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia pada Konferensi Pers Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari di Gedung Rektorat UI Salemba, Rabu (3/4/2017). Konferensi Pers ini merupakan bentuk seruan moral dari para akademisi yang mendukung gerakan petani Kendeng untuk mempertahankan tanah dan ruang hidupnya dari kerusakan ekologi akibat adanya pabrik semen. Dalam konferensi pers ini turut hadir sebagai pembicara yaitu Mia Siscawati, PhD (Universitas Indonesia), Dr. Satyawan Sunito (Institut Pertanian Bogor), Dr. Herlambang Wiratraman (Universitas Airlangga), Prof. Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia), Syukron Salam, M.H (Universitas Negeri Semarang), dan Suraya Afif, PhD (Universitas Indonesia). Para akademisi tersebut tergabung dalam Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari yang menyerukan bahwa penting untuk mengembalikan kedaulatan ruang hidup dan ekologi rakyat Kendeng Utara. Dalam rilisnya, mereka mendesak pemerintah untuk tidak mengabaikan manusia dan ruang hidupnya dalam setiap proses pembangunan. Hal ini ditegaskan kembali oleh Suraya Afif bahwa pemerintah dan ilmuwan perlu belajar dari masa lalu, seperti kasus Lapindo misalnya. Menurutnya jika pembangunan tidak berkualitas maka akan merugikan banyak pihak. Suraya mengungkapkan bahwa akademisi memiliki peran penting dalam proses pembangunan untuk itu seruan moral ini hadir sebagai kritik terhadap pembangunan pabrik semen di Rembang yang sejak awal sudah melanggar prinsip-prinsip pembangunan dan tidak memerhatikan kelangsungan hidup masyarakat dan ekologi Kendeng Utara. Tentang Pembangkangan Hukum Dr. Herlambang dalam konferensi pers ini turut mengemukakan pendapatnya tentang proses hukum yang telah ditempuh masyarakat Kendeng. Menurutnya masyarakat di wilayah Pegunungan Kendeng telah menempuh jalur hukum yang diakui secara sah oleh sistem kenegaraan Indonesia, yaitu melalui jalur peradilan. Berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No.99/PK/TUN/2016, dosen Universitas Airlangga ini mengungkapkan bahwa sudah jelas rakyat telah menang dan fakta-fakta lapangan jelas menunjukkan bahwa penambangan akan merusak ekologi Pegunungan Kendeng. Namun Herlambang menyayangkan, meskipun rakyat telah menempuh jalur peradilan hingga level Mahkamah Agung, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo tidak menghargai putusan tersebut. “Padahal dengan jelas putusan tersebut mencabut mandat bukan merevisi, tetapi malah dipelintir bahwa putusan MA tersebut adalah adendum sehingga perlu ada perbaikan dokumen amdal dan lain-lain”, ungkap Herlambang. Ia menegaskan kembali bahwa putusan MA dengan jelas membatalkan izin pabrik semen di Rembang sehingga ini harus dipahami oleh Ganjar Pronowo—yang setelah adanya putusan MA mengeluarkan izin baru terhadap pabrik semen di Rembang. Herlambang yakin bahwa masyarakat telah menggunakan cara-cara yang benar, mulai dari jalur hukum di level daerah hingga pusat, mulai dari membangun tenda di depan pabrik Semen Indonesia Rembang hingga Istana Presiden Jakarta, mulai dari dari aksi long march hingga cor kaki. Menurutnya masyarakat bukan hanya berjuang untuk diri mereka sendiri namun untuk kedaulatan pangan Indonesia dan saatnya para akademisi keluar dari tembok universitas untuk bersama-sama melihat hal ini bukan lagi pada tataran teoritis tapi praksis. “Kebijakan itu harus didasari oleh landasan hukum yang jelas, putusan MA itu jelas bahwa izin pabrik semen di Rembang dibatalkan, Ganjar harusnya memahami dan menghargai putusan tersebut”, tutur Syukron Salam menyambung apa yang dipaparkan Dr. Herlambang sebelumnya. Syukron merupakan akademisi yang selama ini terlibat langsung dalam proses advokasi untuk masyarakat Kendeng. Ia mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik, maka semestinya para pendidik dapat melihat secara jernih persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah pegunungan Kendeng. Ia menjelaskan bahwa ada 2 hal penting yang dapat dilihat secara dekat oleh para akademisi dan masyarakat umum, pertama adalah tentang pembangunan yang melibatkan sumber daya alam yang seharusnya mengindahkan sisi-sisi ekologis, kedua adalah tentang pembangkangan hukum yang dilakukan Guberbur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang menerbitkan izin baru untuk pabrik semen di Rembang pasca putusan MA. Kedua hal tersebut menurut Syukron perlu dilihat secara kritis oleh para akademisi. Kendeng Lebih dari Sebuah Gunung Berbicara Pegunungan Kendeng, berarti kita juga sedang membicarakan Pulau Jawa. Faktanya Pegunungan Kendeng merupakan bentang karst yang berfungsi sebagai penyimpanan air utama, jika terjadi kerusakan karst sukar untuk diperbarui karena karst adalah bentukan alam sejak 470 juta tahun yang lalu. Rusaknya karst berarti juga rusaknya ruang hidup dan ekologi bukan hanya di sekitar pegunungan Kendeng namun di Pulau Jawa. Berdasarkan rilis yang dikeluarkan Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari disebutkan bahwa Pulau Jawa memiliki luasan karst paling kecil di Indonesia dan kondisi hutannya kini kritis. Dengan luas hutan dan karst yang semakin mengecil membuat Pulau Jawa rentan terhadap bencana alam seperti banjir, longsor, abrasi, kekeringan, dll. Melemahnya daya dukung ekologis Pulau Jawa adalah juga karena tekanan dari maraknya pertambangan batu gamping dan bahan baku semen terhadap kawasan karst. “Sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sudah ada penelitian yang menyebutkan bahwa ekosistem Jawa sudah mengalami krisis”, jelas Dr. Satyawan Sunito. Sebagai dosen di mata kuliah ekologi sosial, Dr. Satyawan mengungkapkan bahwa pembangunan di tulang-tulang pulau Jawa seperti di pantai utara dan selatan Jawa telah menunjukkan secara jelas kepada kita bahwa dampaknya sangat luas. Kerusakan pesisir Jawa akibat kawasan industri dan pembongkaran hutan-hutan mangrove membuat perubahan sosial dan ekologi yang signifikan. Menurutnya hal ini disebabkan oleh pembangunan yang tidak terencana dan tertata dengan baik sehingga berakibat pada pemiskinan petani-petani kecil, hilangnya lahan-lahan pertanian, dan hilangnya ruang hidup masyarakat. Dr. Satyawan menyayangkan pemerintah yang hanya mempromosikan keberlanjutan pertanian dan kedaulatan pangan di saat event tentang pertanian saja. Namun di saat event pembangunan hal-hal tersebut dilupakan begitu saja. Kita tahu bahwa sebelum adanya amdal, cekungan ait tanah (CAT) Watuputih telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, hal ini dikhianati oleh para akademisi dan praktisi yang menyusun amdal pabrik semen. Pembangunan infrastruktur memang harus dilakukan, Indonesia sebenarnya ketinggalan, seharusnya pembangunan infrastruktur sudah sejak 40 tahun yang lalu. Namun industri ekstraktif harus dilakukan dengan bijaksana, tata kelola pembangunan di Jawa harus memerhatikan manusia dan lingkungan. Jika Dr. Satyawan melihat Kendeng sebagai sebuah kesatuan ekologi pulau Jawa, Prof. Sulistyowati Irianto, seorang antropolog, mengajak kita untuk melihat Kendeng bukan hanya sebagai sebuah Karst tapi sebagai manusia dan budaya. Prof. Sulis mengungapkan bahwa penting bagi para akademisi dari lintas disiplin ilmu untuk bersatu mendukung perjuangan masyarakat Kendeng dan melihat persoalan ini dengan kejujuran akademik. Menurut Sulis dari perspektif kebudayaan yang berfokus pada manusia, ada sistem pengetahuan dan sistem hukum adat dalam peristiwa penolakan pabrik semen di Pegunungan kendeng. Kedua sistem tersebut lahir dari relasi sosial dan kesejarahan masyarakat di lokasi setempat. Sulis menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sistem pengetahuan adalah adanya pengetahuan masyarakat lokal tentang relasi manusia dengan alam semesta, dengan sang khalik, dengan ibu Bumi, yang kemudian secara turun-temurun pengetahuan lokal ini diwariskan dan membuat mereka terus merawat bumi. Kedua yaitu tentang sistem hukum adat yang lahir karena kebutuhan untuk mengatur tata hubungan antar warga, hukum adat ini menurut Sulis mengatur apa yang dianggap boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga demi kelangsungan hidup bersama. Prinsip dalam hukum adat terkait sumber daya alam pada masyarakat pertanian adalah "tanah hilang, kami punah". Maka dengan adanya pabrik semen di Pegunungan Kendeng, sama artinya dengan mencerabut mereka dari ruang hidupnya, yang berarti meniadakan mereka. Dengan hadirnya pabrik semen, mereka bukan hanya kehilangan ruang hidup, tapi juga terpapar oleh partikel semen yang akan merusak tanah, sumber air, tanaman, dan kesehatan mereka. Tentang Perempuan Dalam perspektif feminis pembangunan pabrik semen tidak bisa dilihat sebagai sebuah proyek pembangunan semata, tetapi pembangunan pabrik semen adalah hasil dari paradigma pembangunan yang buta gender. Menurut Mia Siscawati proses pembangunan yang tidak menjadikan manusia dan alam sebagai subjek utamanya akan mengabaikan ruang hidup dan dampak pembangunan terhadap manusia dan ekologi. Lebih jauh, Mia menjelaskan tentang perkebunan sawit di Kalimantan Barat yang berdampak pada ekologi dan sosial budaya. Tidak hanya itu, Mia memaparkan bahwa perkebunan sawit merusak tanah dengan menggunakan pestisida dan bahan kimia, dampaknya kemiskinan terjadi dan itu berwajah perempuan. Oleh karena perampasan ruang hidup tersebut, perempuan dan anak menjadi korban perdagangan manusia, angka HIV/AIDS tinggi, terjadi krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan. Pembangunan yang tidak menjadikan manusia dan alam sebagai subjek akan mengakibatkan krisis lingkungan, krisis ekologi, krisis kemanusiaan, yang kesemuanya berwajah perempuan. Paradigma pembangunan yang tidak menjadikan manusia dan alam sebagai subjek utama menurut Mia Siscawati akan berimplikasi bukan hanya pada kerusakan alam tapi juga ketidakadilan gender. Menurutnya Indonesia harus belajar dari proyek pembangunan masa lalu—yang jelas telah memerkosa alam—dengan memberikan perhatian terhadap keberlanjutan lingkungan serta dampaknya pada perempuan dan anak. Ulasan Mia Siscawati di atas, sejalan dengan filosafi Ibu Bumi yang menjadi landasan masyarakat adat Sedulur Sikep dalam berjuang mempertahankan sumber daya alam, kedaulatan pangan dan keberlangsungan hidup manusia. Dalam perlawanan masyarakat Kendeng menolak pabrik semen bisa dilihat wajah-wajah perempuan, para ibu, para perempuan petani yang hadir untuk membela ruang hidupnya yang terancam rusak akibat hadirnya pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Kehadiran Kartini Kendeng dalam perjuangan pemertahanan ekologi bukan sesuatu yang apolitis, tentu ini merupakan bentuk gerakan perempuan yang menyadari bahwa ada kedekatan spiritual dan fungsional antara Bumi sebagai pemberi kehidupan dengan perempuan. Tanah dan air menjadi aspek penting bagi kehidupan perempuan, tanah adalah tempat dimana ia menanam makanan dan air adalah kebutuhan dalam pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD) tahun 1994 di Kairo, isu Sexual and Reproductive Health and Rights Program (SRHR)/Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dimasukkan sebagai salah satu bagian dari indikator pembangunan, sehingga sudah seharusnya Nawacita Presiden Joko Widodo tentang reforma agraria juga memasukkan dimensi gender. (Andi Misbahul Pratiwi) Catatan: Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari terbuka untuk para akademisi/peneliti yang ingin bergabung mendukung pemertahanan ekologi pegunungan Kendeng. Narahubung: Mia Siscawati (081317546550). Bertempat di kantor Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK) Pontianak, Jurnal Perempuan (JP) menyelenggarakan SJP Gathering, pertemuan para Sahabat Jurnal Perempuan pada Kamis (30/3). Acara yang bertujuan sebagai ajang bertukar pengalaman dan pengetahuan diantara Sahabat Jurnal Perempuan serta menggali masukan dari SJP ini dibuka oleh Direktur YKSPK Ansila Twiseda Mecer selaku puan rumah. Gadis Arivia, Direktur Yayasan Jurnal Perempuan mengungkapkan setiap kali Jurnal Perempuan menyelenggarakan kegiatan pendidikan publik di daerah, maka diupayakan untuk menemui para Sahabat Jurnal Perempuan dan mendengarkan masukan terkait hal-hal yang perlu dilakukan JP untuk membantu permasalahan perempuan yang ada di daerah. Rosita Nengsih dari LKBH Peka Pontianak membagi pengalamannya menangani dan mendampingi kasus pengantin pesanan yang melibatkan perempuan Amoy dari daerah Singkawang. Ia menuturkan praktik pengantin pesanan biasanya terjadi setelah perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Rosita juga banyak menangani kasus trafficking. Selain pendampingan hukum, ia juga menyediakan shelter bagi para korban dan beberapa dari korban datang dalam kondisi hamil. Para korban trafficking dari Malaysia banyak yang mengalami stres dan depresi. Rosita menjalin kerja sama dengan klinik dan rumah sakit untuk menangani korban yang membutuhkan perawatan medis atau melahirkan. Ia berharap persoalan pengantin pesanan dapat dibahas Jurnal Perempuan karena isu tersebut belum pernah diangkat. Sementara Mira Wahyuningtias dan Andreas Fredi dari Link-AR Borneo menceritakan kondisi petani dan buruh petani sawit termasuk perempuan yang berada dalam situasi kerja yang buruk. Mira menuturkan lembaganya mengadakan kegiatan untuk buruh perempuan, namun yang datang hanya sedikit. Setelah ditelusuri ternyata mereka merasa ketakutan, karena jika aktivitas mereka diketahui oleh mandor, mereka bisa dipecat. Di sisi lain sistem plasma-inti yang diberlakukan antara perusahaan dengan petani tidak berjalan. Ganti rugi tanah yang diserahkan ke perusahaan harganya tidak pantas. Alat keselamatan kerja bagi buruh perempuan juga tidak layak sehingga ada diantara mereka yang mengalami gangguan kesehatan. Untuk itu Mira mengungkapkan lembaganya melakukan pendekatan pada masyarakat dan mendorong serta menumbuhkan kepercayaan diri mereka juga membuka pemahaman mereka tentang hak-hak tenaga kerja juga hak perempuan. Hadir juga dalam pertemuan tersebut anggota DPRD Kabupaten Sambas Uray Farida yang menceritakan pengalamannya hingga terpilih menjadi anggota DPRD. Farida awalnya seorang ibu rumah tangga dengan dua anak yang kemudian melanjutkan kuliah. Ia kemudian aktif berorganisasi dengan bergabung di Kosgoro berkat ibu Rosita. Farida juga aktif di PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarkat) yang membuatnya dikenal masyarakat. Ketika mencalonkan diri Farida mengaku tidak memiliki uang karena itu ketika berkampanye ia tidak pernah menjanjikan apapun. Menurutnya perempuan sulit masuk di lembaga legislatif karena perempuan tidak percaya pada perempuan yang lain. Sementara itu, Wakil Bupati Sambas Hairiah yang juga merupakan Sahabat Jurnal Perempuan mengungkapkan pengalamannya sebagai aktivis perempuan menjadi bagian yang tak terpisahkan ketika menjabat sebagai eksekutif. Pengalaman tersebut sangat membantu dirinya dalam menangani persoalan perempuan dan anak. Hairiah mengutarakan pembagian posisi dan peran antara bupati dan wakil bupati yang belum diatur secara jelas membuat peran wakil bupati menjadi kurang optimal karena kewenangannya sangat terbatas. Karena itu Hairiah berharap JP dapat mengangkat masalah pelimpahan wewenang antara bupati dan wakil dalam undang-undang, karena persoalan ini bisa menimbulkan gap jika pembagian peran diantara keduanya tidak jelas. Sehingga pemerintahan yang berkeadilan, menjunjung kesetaraan dan proporsional dapat berjalan. Ia juga mengutarakan perlunya melihat posisi perempuan dalam pemerintahan setelah terpilih, terkait komitmen dan keberpihakannya pada perempuan. Direktur YKSPK Ansila mengaku mulai membaca JP sejak tahun 2005 dan JP ikut membentuk perspektifnya. Ia menuturkan sejak 1,5 tahun terakhir lembaganya fokus melakukan pendampingan di Sanggau. Banyak permasalahan yang dihadapi perempuan di Sanggau yang merupakan masyarakat Dayak Iban dan Dayak Banuaka. Mereka menjadi buruh perkebunan sawit, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan mengalami kondisi paling berat karena selain menjadi buruh di perkebunan sawit, mereka juga berladang dan mengurusi pekerjaan rumah. Kondisi air terbatas dan fasilitas mandi cuci kakus (MCK) belum ada. Selain hak kelola tanah yang menjadi persoalan, masalah pernikahan anak juga tinggi. Faktor ekonomi ikut memengaruhi pendidikan mengingat fasilitas sekolah yang tersedia di sana hanya sampai sekolah dasar. Untuk melanjutkan ke SMP harus keluar daerah. Ansila mengungkapkan persoalan tanah belum pernah dibahas JP untuk itu ia berharap ke depan isu tersebut dapat diangkat. Dari proses pendampingan yang dilakukannya selama satu tahun, ia merasa perlu membuat kurikulum yang lebih terstruktur agar akses perempuan pada pengambilan keputusan dan keterlibatan dalam musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) dapat meningkat. Ia juga berencana menerjemahkan JP ke dalam format yang lebih sederhana dalam bentuk modul. Paparan Ansila menutup acara dan kegiatan pada sore hari itu diakhiri dengan makan malam bersama. (Anita Dhewy) Kamis, 30 Maret 2017 Jurnal Perempuan mengadakan Pendidikan Publik di Kota Pontianak. Salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut adalah Hairiah Wakil Bupati Kabupaten Sambas. Hairiah berbicara mengenai kebijakan publik khususnya yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan di kabupaten Sambas. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah salah satu indikator penting, jika IPM suatu daerah rendah ini artinya pemerintah harus bekerja lebih keras, ungkap Hairiah. Kabupaten Sambas berada di peringkat 6 dari 14 Kabupaten kota. Fakta tersebut menjadi landasan bagi Pemkab Sambas untuk meningkatkan IPM. Upaya peningkatan IPM di Kabupaten Sambas masuk di dalam rencana pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang. Hairiah menyatakan bahwa jika kita membahas tentang peningkatan IPM di Kabupaten Sambas, ini artinya kita tidak hanya bicara soal laki-laki atau perempuan saja, tetapi lebih jauh kita harus memikirkan bagaimana menghadirkan kebijakan publik yang dapat diakses oleh laki-laki dan perempuan. Salah satu target Bupati dan Wakil Bupati Sambas adalah meningkatkan indeks pembangunan manusia. Pemkab Sambas telah memilah prioritas dalam merancang dan menjalankan program pembangunan, pertama adalah ketersediaan infrastruktur, ini menjadi penting karena memberi dampak pada perekonomian rakyat. Menurut Hairiah, infrastruktur yang buruk berdampak pada rendahnya mutu kesehatan perempuan, contohnya seorang perempuan yang hendak bersalin namun berada di daerah yang jauh dari puskesmas, ia harus melewati jalan-jalan yang rusak dan membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk mengakses fasilitas kesehatan. Kondisi demikian sangat membahayakan keselamatan perempuan. Penting bagi Pemkab Sambas membangun insfrastruktur yang proporsional. Pembangunan Infrastruktur juga harus diimbangi dengan pembangunan-pembangunan di bidang lainnya seperti kesehatan, pendidikan, budaya, sosial dan lainnya. Menurut Hairiah, Sambas sebagai salah satu daerah perbatasan mengalami sejumlah persoalan, salah satunya adalah penyelundupan narkoba. Pemkab Sambas membuat pemetaan mengenai persoalan tersebut dan mendorong perempuan untuk berperan di dalam masyarakat. Pemetaan tersebut mengelompokkan masyarakat dalam empat kelompok yaitu,kelompok perbatasan, kelompok pedesaan, kelompok pesisir, kelompok perkotaan. Pemkab Sambas mendorong program empat perempuan tangguh. Program pertama adalah perempuan tangguh di perbatasan. Hairiah menyatakan bahwa menjaga wilayah perbatasan adalah tugas TNI, namun demikian perempuan bisa berperan di dalamnya, asalkan mereka dilibatkan, sehingga penting untuk mengadakan kegiatan-kegiatan cinta negara bagi perempuan di perbatasan. Ini adalah program penguatan bagi perempuan di daerah perbatasan. Program kedua adalah perempuan tangguh di pedesaan. Persentase pertanian di Kabupaten Sambas cukup tinggi, cukup banyak perempuan yang berprofesi sebagai petani, sehingga penting diadakan program-program untuk memberdayakan perempuan petani. Program ketiga adalah perempuan tangguh di pesisir. Pemerintah Kabupaten Sambas melihat potensi pada perempuan pesisir. Banyak perempuan yang berjibaku di laut, menjadi nelayan ikan dan buruh penangkap ubur-ubur, ini adalah fenomena di kabupaten Sambas, sangat jarang ditemukan perempuan buruh penangkap ubur-ubur, namun ternyata pekerjaan tersebut mampu memberdayakan perempuan karena menguatkan ekonomi mereka. Program terakhir adalah perempuan tangguh di daerah perkotaan. Kabupaten Sambas seluruhnya adalah desa, namun banyak perempuan yang memilih bekerja di perkotaan. Mereka adalah perempuan pengusaha, perempuan yang berada di eksekutif, dan legislatif. Penting untuk mengomunikasikan dan mendorong kebijakan yang lahir dari kebutuhan masyarakat. Saat ini Pemkab Sambas sudah memiliki Perda (Peraturan Daerah) Kabupaten Sambas No.3 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Perempuan dan Anak. Kasus perdagangan perempuan tertinggi berada di Kabupaten Sambas. Ini adalah tugas bagi Pemkab untuk menghadirkan kebijakan-kebijakan yang mampu mencegah terjadinya persoalan tersebut. Keberadaan perda ini adalah contoh perda yang pro terhadap perempuan. Hairiah menambahkan bahwa selain perdagangan manusia, persoalan kekerasan terhadap perempuan dan perceraian menjadi perhatian Pemkab Sambas. Dalam rangka meminimalisir kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak di Kabupaten Sambas telah dibentuk suatu wadah pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak pada tingkat kecamatan dan desa. Di tahun 2016 Kabupaten Sambas telah mencanangkan pembentukan P2TP2A pada setiap Kecamatan dan Satgas Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak pada setiap desa dimana Kabupaten Sambas telah membentuk 2 kecamatan yang dijadikan proyek percontohan yaitu Kecamatan Pemangkat dan Kecamatan Teluk Keramat. Sambas adalah satu-satunya kabupaten yang memiliki tiga P2TP2A di Kalimantan Barat. Selain itu, Pemkab Sambas juga bersinergi dengan aparat Kepolisian dalam menyukseskan program CANTIK (Cegah Anak dari Kekerasan Seksual). Pemkab Sambas juga terus bersinergi dengan para Kepala Desa agar mereka membuat peraturan untuk penanganan kekerasan seksual berbasis desa. Anggaran keuangan Kabupaten Sambas juga dialokasikan untuk pemberdayaan perempuan. Upaya lain untuk memberdayaan perempuan adalah dengan menjalankan pengarusutamaan gender. Keterwakilan perempuan di level desa harus ada. Perempuan di pedesaan harus didukung agar mereka dapat menyuarakan kebutuhan mereka pada Musrenbang ungkap Hairiah. (Abby Gina) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |