“Kami tidak anti pembangunan, kami tidak anti semen, kami tidak anti industrialisasi, pemerintah harus berhati-hati dalam pembangunan dan memikirkan implikasinya dalam jangka panjang, kasus Kendeng adalah salah satu satu dari banyaknya kasus pembangunan yang hanya menjadikan amdal dokumen teknis saja”, tutur Suraya Afif, Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia pada Konferensi Pers Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari di Gedung Rektorat UI Salemba, Rabu (3/4/2017). Konferensi Pers ini merupakan bentuk seruan moral dari para akademisi yang mendukung gerakan petani Kendeng untuk mempertahankan tanah dan ruang hidupnya dari kerusakan ekologi akibat adanya pabrik semen. Dalam konferensi pers ini turut hadir sebagai pembicara yaitu Mia Siscawati, PhD (Universitas Indonesia), Dr. Satyawan Sunito (Institut Pertanian Bogor), Dr. Herlambang Wiratraman (Universitas Airlangga), Prof. Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia), Syukron Salam, M.H (Universitas Negeri Semarang), dan Suraya Afif, PhD (Universitas Indonesia). Para akademisi tersebut tergabung dalam Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari yang menyerukan bahwa penting untuk mengembalikan kedaulatan ruang hidup dan ekologi rakyat Kendeng Utara. Dalam rilisnya, mereka mendesak pemerintah untuk tidak mengabaikan manusia dan ruang hidupnya dalam setiap proses pembangunan. Hal ini ditegaskan kembali oleh Suraya Afif bahwa pemerintah dan ilmuwan perlu belajar dari masa lalu, seperti kasus Lapindo misalnya. Menurutnya jika pembangunan tidak berkualitas maka akan merugikan banyak pihak. Suraya mengungkapkan bahwa akademisi memiliki peran penting dalam proses pembangunan untuk itu seruan moral ini hadir sebagai kritik terhadap pembangunan pabrik semen di Rembang yang sejak awal sudah melanggar prinsip-prinsip pembangunan dan tidak memerhatikan kelangsungan hidup masyarakat dan ekologi Kendeng Utara. Tentang Pembangkangan Hukum Dr. Herlambang dalam konferensi pers ini turut mengemukakan pendapatnya tentang proses hukum yang telah ditempuh masyarakat Kendeng. Menurutnya masyarakat di wilayah Pegunungan Kendeng telah menempuh jalur hukum yang diakui secara sah oleh sistem kenegaraan Indonesia, yaitu melalui jalur peradilan. Berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No.99/PK/TUN/2016, dosen Universitas Airlangga ini mengungkapkan bahwa sudah jelas rakyat telah menang dan fakta-fakta lapangan jelas menunjukkan bahwa penambangan akan merusak ekologi Pegunungan Kendeng. Namun Herlambang menyayangkan, meskipun rakyat telah menempuh jalur peradilan hingga level Mahkamah Agung, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo tidak menghargai putusan tersebut. “Padahal dengan jelas putusan tersebut mencabut mandat bukan merevisi, tetapi malah dipelintir bahwa putusan MA tersebut adalah adendum sehingga perlu ada perbaikan dokumen amdal dan lain-lain”, ungkap Herlambang. Ia menegaskan kembali bahwa putusan MA dengan jelas membatalkan izin pabrik semen di Rembang sehingga ini harus dipahami oleh Ganjar Pronowo—yang setelah adanya putusan MA mengeluarkan izin baru terhadap pabrik semen di Rembang. Herlambang yakin bahwa masyarakat telah menggunakan cara-cara yang benar, mulai dari jalur hukum di level daerah hingga pusat, mulai dari membangun tenda di depan pabrik Semen Indonesia Rembang hingga Istana Presiden Jakarta, mulai dari dari aksi long march hingga cor kaki. Menurutnya masyarakat bukan hanya berjuang untuk diri mereka sendiri namun untuk kedaulatan pangan Indonesia dan saatnya para akademisi keluar dari tembok universitas untuk bersama-sama melihat hal ini bukan lagi pada tataran teoritis tapi praksis. “Kebijakan itu harus didasari oleh landasan hukum yang jelas, putusan MA itu jelas bahwa izin pabrik semen di Rembang dibatalkan, Ganjar harusnya memahami dan menghargai putusan tersebut”, tutur Syukron Salam menyambung apa yang dipaparkan Dr. Herlambang sebelumnya. Syukron merupakan akademisi yang selama ini terlibat langsung dalam proses advokasi untuk masyarakat Kendeng. Ia mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik, maka semestinya para pendidik dapat melihat secara jernih persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah pegunungan Kendeng. Ia menjelaskan bahwa ada 2 hal penting yang dapat dilihat secara dekat oleh para akademisi dan masyarakat umum, pertama adalah tentang pembangunan yang melibatkan sumber daya alam yang seharusnya mengindahkan sisi-sisi ekologis, kedua adalah tentang pembangkangan hukum yang dilakukan Guberbur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang menerbitkan izin baru untuk pabrik semen di Rembang pasca putusan MA. Kedua hal tersebut menurut Syukron perlu dilihat secara kritis oleh para akademisi. Kendeng Lebih dari Sebuah Gunung Berbicara Pegunungan Kendeng, berarti kita juga sedang membicarakan Pulau Jawa. Faktanya Pegunungan Kendeng merupakan bentang karst yang berfungsi sebagai penyimpanan air utama, jika terjadi kerusakan karst sukar untuk diperbarui karena karst adalah bentukan alam sejak 470 juta tahun yang lalu. Rusaknya karst berarti juga rusaknya ruang hidup dan ekologi bukan hanya di sekitar pegunungan Kendeng namun di Pulau Jawa. Berdasarkan rilis yang dikeluarkan Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari disebutkan bahwa Pulau Jawa memiliki luasan karst paling kecil di Indonesia dan kondisi hutannya kini kritis. Dengan luas hutan dan karst yang semakin mengecil membuat Pulau Jawa rentan terhadap bencana alam seperti banjir, longsor, abrasi, kekeringan, dll. Melemahnya daya dukung ekologis Pulau Jawa adalah juga karena tekanan dari maraknya pertambangan batu gamping dan bahan baku semen terhadap kawasan karst. “Sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sudah ada penelitian yang menyebutkan bahwa ekosistem Jawa sudah mengalami krisis”, jelas Dr. Satyawan Sunito. Sebagai dosen di mata kuliah ekologi sosial, Dr. Satyawan mengungkapkan bahwa pembangunan di tulang-tulang pulau Jawa seperti di pantai utara dan selatan Jawa telah menunjukkan secara jelas kepada kita bahwa dampaknya sangat luas. Kerusakan pesisir Jawa akibat kawasan industri dan pembongkaran hutan-hutan mangrove membuat perubahan sosial dan ekologi yang signifikan. Menurutnya hal ini disebabkan oleh pembangunan yang tidak terencana dan tertata dengan baik sehingga berakibat pada pemiskinan petani-petani kecil, hilangnya lahan-lahan pertanian, dan hilangnya ruang hidup masyarakat. Dr. Satyawan menyayangkan pemerintah yang hanya mempromosikan keberlanjutan pertanian dan kedaulatan pangan di saat event tentang pertanian saja. Namun di saat event pembangunan hal-hal tersebut dilupakan begitu saja. Kita tahu bahwa sebelum adanya amdal, cekungan ait tanah (CAT) Watuputih telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, hal ini dikhianati oleh para akademisi dan praktisi yang menyusun amdal pabrik semen. Pembangunan infrastruktur memang harus dilakukan, Indonesia sebenarnya ketinggalan, seharusnya pembangunan infrastruktur sudah sejak 40 tahun yang lalu. Namun industri ekstraktif harus dilakukan dengan bijaksana, tata kelola pembangunan di Jawa harus memerhatikan manusia dan lingkungan. Jika Dr. Satyawan melihat Kendeng sebagai sebuah kesatuan ekologi pulau Jawa, Prof. Sulistyowati Irianto, seorang antropolog, mengajak kita untuk melihat Kendeng bukan hanya sebagai sebuah Karst tapi sebagai manusia dan budaya. Prof. Sulis mengungapkan bahwa penting bagi para akademisi dari lintas disiplin ilmu untuk bersatu mendukung perjuangan masyarakat Kendeng dan melihat persoalan ini dengan kejujuran akademik. Menurut Sulis dari perspektif kebudayaan yang berfokus pada manusia, ada sistem pengetahuan dan sistem hukum adat dalam peristiwa penolakan pabrik semen di Pegunungan kendeng. Kedua sistem tersebut lahir dari relasi sosial dan kesejarahan masyarakat di lokasi setempat. Sulis menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sistem pengetahuan adalah adanya pengetahuan masyarakat lokal tentang relasi manusia dengan alam semesta, dengan sang khalik, dengan ibu Bumi, yang kemudian secara turun-temurun pengetahuan lokal ini diwariskan dan membuat mereka terus merawat bumi. Kedua yaitu tentang sistem hukum adat yang lahir karena kebutuhan untuk mengatur tata hubungan antar warga, hukum adat ini menurut Sulis mengatur apa yang dianggap boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga demi kelangsungan hidup bersama. Prinsip dalam hukum adat terkait sumber daya alam pada masyarakat pertanian adalah "tanah hilang, kami punah". Maka dengan adanya pabrik semen di Pegunungan Kendeng, sama artinya dengan mencerabut mereka dari ruang hidupnya, yang berarti meniadakan mereka. Dengan hadirnya pabrik semen, mereka bukan hanya kehilangan ruang hidup, tapi juga terpapar oleh partikel semen yang akan merusak tanah, sumber air, tanaman, dan kesehatan mereka. Tentang Perempuan Dalam perspektif feminis pembangunan pabrik semen tidak bisa dilihat sebagai sebuah proyek pembangunan semata, tetapi pembangunan pabrik semen adalah hasil dari paradigma pembangunan yang buta gender. Menurut Mia Siscawati proses pembangunan yang tidak menjadikan manusia dan alam sebagai subjek utamanya akan mengabaikan ruang hidup dan dampak pembangunan terhadap manusia dan ekologi. Lebih jauh, Mia menjelaskan tentang perkebunan sawit di Kalimantan Barat yang berdampak pada ekologi dan sosial budaya. Tidak hanya itu, Mia memaparkan bahwa perkebunan sawit merusak tanah dengan menggunakan pestisida dan bahan kimia, dampaknya kemiskinan terjadi dan itu berwajah perempuan. Oleh karena perampasan ruang hidup tersebut, perempuan dan anak menjadi korban perdagangan manusia, angka HIV/AIDS tinggi, terjadi krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan. Pembangunan yang tidak menjadikan manusia dan alam sebagai subjek akan mengakibatkan krisis lingkungan, krisis ekologi, krisis kemanusiaan, yang kesemuanya berwajah perempuan. Paradigma pembangunan yang tidak menjadikan manusia dan alam sebagai subjek utama menurut Mia Siscawati akan berimplikasi bukan hanya pada kerusakan alam tapi juga ketidakadilan gender. Menurutnya Indonesia harus belajar dari proyek pembangunan masa lalu—yang jelas telah memerkosa alam—dengan memberikan perhatian terhadap keberlanjutan lingkungan serta dampaknya pada perempuan dan anak. Ulasan Mia Siscawati di atas, sejalan dengan filosafi Ibu Bumi yang menjadi landasan masyarakat adat Sedulur Sikep dalam berjuang mempertahankan sumber daya alam, kedaulatan pangan dan keberlangsungan hidup manusia. Dalam perlawanan masyarakat Kendeng menolak pabrik semen bisa dilihat wajah-wajah perempuan, para ibu, para perempuan petani yang hadir untuk membela ruang hidupnya yang terancam rusak akibat hadirnya pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Kehadiran Kartini Kendeng dalam perjuangan pemertahanan ekologi bukan sesuatu yang apolitis, tentu ini merupakan bentuk gerakan perempuan yang menyadari bahwa ada kedekatan spiritual dan fungsional antara Bumi sebagai pemberi kehidupan dengan perempuan. Tanah dan air menjadi aspek penting bagi kehidupan perempuan, tanah adalah tempat dimana ia menanam makanan dan air adalah kebutuhan dalam pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD) tahun 1994 di Kairo, isu Sexual and Reproductive Health and Rights Program (SRHR)/Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dimasukkan sebagai salah satu bagian dari indikator pembangunan, sehingga sudah seharusnya Nawacita Presiden Joko Widodo tentang reforma agraria juga memasukkan dimensi gender. (Andi Misbahul Pratiwi) Catatan: Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari terbuka untuk para akademisi/peneliti yang ingin bergabung mendukung pemertahanan ekologi pegunungan Kendeng. Narahubung: Mia Siscawati (081317546550). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |