Sabtu, 26 Agustus 2017 bertempat di SMA 1 PSKD, Jakarta Pusat, Feminist Fest diselenggarakan dengan meriah. Salah satu rangkaian acara dari Feminist Festival ini adalah seri panel diskusi dengan berbagai tema yang berkaitan dengan isu-isu feminisme terkini. Salah satu diskusi yang diadakan pada hari itu membahas mengenai Perempuan dalam Politik. Narasumber diskusi panel ini adalah Nihayatul Wafiroh, Nita Wakan, Sahat Farida, dan Nursyahbani Katjasungkana. Diskusi dimulai dengan pertanyaan mendasar seperti mengapa perempuan harus masuk ke dalam dunia politik, apa hal yang melatarbelakangi mereka untuk berkecimpung di dunia politik, dan apa sebenarnya hambatan yang harus dihadapi perempuan ketika ingin bergelut dalam dunia politik di Indonesia? Persoalan klasik seperti kuantitas vs kualitas dalam mendorong perempuan agar bisa berkecimpung di dunia politik dibahas dalam diskusi panel ini. Satu sisi kita melihat bahwa kebijakan kuota 30% jumlah perempuan di DPR sebetulnya secara garis besar dapat dilihat sebagai upaya penyetaraan perempuan di dunia politik, namun di sisi lain seperti yang didiskusikan di dalam panel ini, kita sepakat bahwa hanya segelintir perempuan yang benar-benar mempunyai perspektif feminisme dan ingin menyuarakan hak-hak perempuan ketika sudah berada di lembaga legislatif. Kebanyakan dari perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR mempunyai hubungan dengan keluarga mereka (suami atau ayahnya) yang telah lebih dahulu menjadi tokoh politik berpengaruh di daerah mereka masing-masing, sehingga kemudian banyak perempuan yang mendompleng nama suami atau ayahnya untuk bisa bertarung di dunia politik. Oleh karena itu, isu kuantitas vs kualitas ini akan menjadi perdebatan yang akan selalu hadir dalam setiap diskursus perwujudan keadilan untuk perempuan di dalam politik. Kehadiran perempuan di dunia politik selalu menjadi perdebatan ketika ia hanya maju karena mengekor kesuksesan keluarga atau suaminya, bukan karena keinginan pribadinya. Salah satu pengalaman menarik yang diceritakan oleh Nursyahbani Katjasungkana ketika ia menjabat sebagai anggota DPR RI tahun 2004-2009 dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari Provinsi Jawa Timur, adalah berhasil disahkannya 15 UU dengan perspektif gender. Baginya, ketika perempuan sudah berhasil memasuki dunia politik, maka tugas ia selanjutnya adalah menyambung suara hati perempuan Indonesia lainnya yang sering kali dijerat dengan kebijakan yang salah sasaran dan lebih cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Ia menyesalkan terjadinya kemunduran pada pemerintahan saat ini terkait pengesahan UU yang berperspektif gender. Meskipun sudah 13 tahun RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) bergulir, namun belum juga disahkan. Padahal kita semua tahu mayoritas PRT adalah perempuan dan dengan tidak kunjung disahkannya RUU ini menunjukkan perjuangan perempuan dan kelas di Indonesia masih membutuhkan perhatian khusus. Perjuangan perempuan di dunia politik harus terus berjalan agar kebijakan yang berperspektif feminis bisa diwujudkan. Lalu bagaimana dengan tantangan yang harus dihadapi perempuan ketika ingin memasuki dunia politik yang dianggap kejam dan sangat maskulin? Nursyahbani mengatakan bahwa pintu pertama yang harus dilewati perempuan ketika ingin berkiprah di dunia politik adalah dengan mengetahui 40 hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Perempuan mungkin secara perangkat hukum tidak dilarang untuk berkecimpung di dunia politik, namun secara kultural hambatan itu akan selalu ada. Perempuan sering kali mendapat beban ganda ketika ingin menggeluti karier di dunia politik seperti tetap harus menjadi istri yang baik di rumah, harus selalu berpikir rasional bukan emosional, dan lain-lain. Hal ini akan terus ada selama budaya patriarki selalu menghantui setiap langkah perempuan ketika mereka ingin mengambil keputusan atas pilihan hidupnya. Perempuan adalah individu otonom yang setara dengan laki-laki dalam hal apapun termasuk di dalam dunia politik. Perempuan sering kali diragukan dapat membuat kebijakan yang rasional karena di dalam kesehariannya perempuan hanya terbiasa dengan hal-hal domestik. Padahal, slogan The personal is political adalah core value dalam membuat kebijakan yang berpihak pada perempuan. Semua hal menjadi urusan politik ketika kita membicarakan keadilan dan kesetaraan untuk perempuan. Bermula dari urusan-urusan personal dan privat seperti domestikasi perempuan, kita bisa membuka kunci ketidakadilan yang selama ini menimpa perempuan lalu kita bisa membuat kebijakan untuk menghilangkan ketidakadilan tersebut. Keempat narasumber sepakat bahwa perjuangan perempuan di dalam politik tidak melulu harus ikut ke partai politik tertentu lalu masuk ke dalam lembaga pemerintahan, perempuan bisa memulai dari bergabung dengan organisasi atau komunitas yang berkaitan dengan isu perempuan apapun apabila ingin berkecimpung di dunia politik, karena narasi besar perjuangannya adalah sama yaitu memperjuangkan hak perempuan agar bisa mendapatkan keadilan dan kesetaraan di negara ini. Keberadaan perempuan di dalam dunia politik bukanlah ancaman bagi laki-laki, perempuan yang berkiprah dan terlibat dalam dunia politik tidak lain adalah sebuah usaha untuk membuat kebijakan yang adil setara untuk semua pihak, terutama perempuan. (Naufaludin Ismail) Minggu, 27 Agustus 2017, Feminist Festival 2017 yang diselenggarakan di SMA 1 PSKD Jakarta memasuki hari kedua. Acara yang mengangkat tema “Masa Depan Itu Feminis” telah diselenggarakan sejak sabtu 26 Agustus lalu. Pada hari kedua ini salah satu tema diskusi yang diangkat adalah “Relevansi Feminisme”, dengan menghadirkan Henny Supolo, Nurlan Silitonga dan Hannah Al-Rasyid sebagai pembicara. Relevansi feminisme dalam pendidikan, kesehatan dan pembangunan berkelanjutan menjadi tiga poin utama yang dibahas dalam diskusi ini. “Kebihnekaan dan Kemanusiaan adalah semangat feminisme”, ungkap Henny Supolo dalam awal pembicaraanya. Henny Supolo merupakan pendiri Yayasan Cahaya Guru, ia aktif menyelenggarakan pelatihan kebhinekaan bagi guru-guru di seluruh Indonesia. Dalam paparannya Henny Supolo menjelaskan bahwa intoleransi justru hadir di dalam sekolah, padahal menurutnya sekolah seharusnya menjadi lokasi penyemaian nilai-nilai kebhinekaan, kebangsaan dan kemanusian yang paling pertama. “Nilai dan semangat feminisme ada dalam nilai-nilai tentang kemanusian dan kebhinekaan dan sekolah seharusnya menghadirkan semangat itu di dalam ruang-ruang kelasnya”, tutur Henny. Lebih jauh Henny menjelaskan bahwa meskipun ia tidak secara eksplisit menggunakan terminologi feminisme dalam gerakannya, namun nilai-nilai feminisme juga turut dijelaskan dalam materi-materi yang diajarkannya, baginya hal pemilihan kata adalah sebuah strategi dan politik bahasa, karena sesungguhnya terminologi kebhinekaan dan kemanusian lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Lebih jauh Henny menjelaskan bahwa dalam dunia pendidikan bias dan ketidakadilan gender masih mengakar, misalnya masih banyak orang tua yang memilih untuk menikahkan anak perempuan mereka dibanding menyekolahnya dengan asumsi beban keluarga akan berkurang. Ia berharap Sekolah Guru Kebhinekaan yang dirintis dapat menumbuhkan kesadaran, mengubah kondisi, dan memengaruhi kebijakan yang ada. “Di sekolah ini, kami mengajarkan tentang nilai-nilai kemanusian dan kebhinekan yang didalamnya juga ada nilai-nilai feminisme, kemudian kami mengajak guru-guru untuk merefleksikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-sehari, dalam pengalaman-pengalaman yang mereka alami”, tutur Henny. Pembicara kedua ialah Nurlan Silitonga, pendiri lembaga Angsamerah. Nurlan menjelaskan bahwa rasa bahagia adalah hal terpenting bagi diri manusia. Dengan merasa bahagia manusia akan berpikir secara sehat dan memiliki semangat yang positif untuk membuat keputusan apapun di dalam hidupnya. Ia menceritakan bahwa ayah dan ibunya adalah seorang feminis karena mendorong dirinya untuk terus sekolah dan harus sama berprestasinya dengan laki-laki. “Ayah saya mengajarkan saya menjadi feminis, kita perlu mengajak lebih banyak laki-laki untuk menjadifeminis”, ungkap Nurlan. Baginya kesehatan akan bisa dicapai dengan kecintaan terhadap diri terlebih dahulu, setelah itu maka cara berpikir sehat (healthy mind) akan dimiliki oleh perempuan. Ia menjelaskan bahwa jika perempuan bahagia maka ia tentu mencintai dirinya, tubuhnya, kesehatan reproduksinya, melakukan Pap Smear, tes VCT dll. Demikian juga untuk membuat keputusan untuk melakukan hubungan seksual atau tidak, ia akan menentukan dengan bebas, tanpa paksaan dan tahu apa konsekuensinya. Kesadaran yang demikian menurut Nurlan akan dimiliki oleh perempuan jika ia bahagia, maka kesehatan akan berjalan disampingnya. Paparan selanjutnya ialah dari Hannah Al-Rasyid, aktris yang aktif menyuarakan isu-isu feminisme, Hannah juga menjadi SDG Mover untuk kesetaraan gender di United Nations Indonesia. Pada awal pembicaraanya Hannah menceritakan bahwa kesadaran akan stuasi yang tidak setara, diskriminasi dan kekerasan ia alami saat ia pindah ke Jakarta. Beberapa hal yang ia alami membuat ia sadar bahwa sebagai perempuan, ia mengalami diskriminasi hampir di semua aspek. Ia menceritakan bahwa ia pernah mengalami cat call sedangkan teman laki-lakinya tidak, kemudian ia juga dianggap sebagai aktris yang tidak bisa diajak kerjasama jika ia memprotes atau mengkritisi sesuatu hal dalam proses pembuatan film sedangkan jika teman laki-lakinya melakukan hal yang sama, mereka malah didengarkan dan masukannya diberikan perhatian penuh. Pertanyaan seperti: “Kenapa potong rambut pendek?”, “Kapan menikah?”, sering ia dapatkan, baginya hal tersebut adalah tanda bahwa masih banyak masyarakat belum memiliki kesadaran dan pengetahuan feminisme. Sebagai seorang public figure ia sadar bahwa ia memiliki cukup pengaruh bagi masyarakat di sekelilingnya, sehingga ia memanfaatkan hal tersebut untuk mengampanyekan tentang kesetaraan gender melalui media sosial—meskipun ia kerap menuai kritik dari beberapa orang yang menganggap bahwa pernyataannya terlalu politis. “Bagi gue prestasi perempuan bukan diukur dari ia menikah atau tidak, aktris perempuan juga tidak didefinisikan dari ia menjadi duta produk kecantikan atau tidak, ya gue tahu itu pilihan perempuan, tapi please jangan mendikte apa yang harus dilakukan perempuan dan mendiskriminasikan perempuan yang lain”, ungkap Hannah. Aktivisme sebagai duta SDG untuk kesetaraan gender, membuat Hannah belajar banyak tentang isu-isu feminisme—meskipun ia akui bahwa keluarganya sangatlah feminis, bahkan ia sebagai anak perempuan didorong untuk menempuh pendidikan yang berkualitas bagus. Sama halnya dengan Henny Supolo yang menggunakan strategi bahasa dalam gerakannya, Hannah juga mengakui bahwa beberapa program UN di Indonesia juga menggunakan strategi yang sama, misalnya mengampanyekan kesetaraan gender dengan program #He4She atau pengahpusan kekerasan terhadap perempuan, jadi menurut Hannah tidak menggunakan kata feminisme atau kesetaraan gender itu sendiri. Hal tersebut merupakan upaya untuk menyederhanakan konsep feminisme, membawanya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat, dengan demikian dukungan akan semakin banyak. “Kesetaraan gender merupakan isu yang besar sekali, ada soal kekerasan, ada tentang sanitasi, air bersih, lingkungan, kesehatan, jadi kita harus berupaya membuatnya dalam konsep yang kecil dulu, yang mudah dipahami masyarat, berdasarkan pengalaman mereka, saya rasa situasi akan lebih baik karena di ruangan ini semua mendukung kesetaraan gender”, ungkap Hannah. (Andi Misbahul Pratiwi) Asean Literary Festival 2017 menghadirkan Karlina Supeli dalam program "Ruang Tengah", sebuah sesi khusus yang menyajikan diskusi dengan para tokoh intelektual dan sastrawan yang berpengaruh. Pada hari sebelumnya program "Ruang Tengah" telah menghadirkan Martin Aleida, Arswendo Atmowiloto, Goenawan Mohamad, dan pada 6 Agustus 2017 giliran Karlina Supeli, ia adalah perempuan satu-satunya yang dihadirkan dalam program "Ruang Tengah" Asean Literary Festival 2017. Dalam diskusi “Ruang Tengah”, Karlina Supeli menceritakan beberapa bagian hidupnya, seperti saat ia dan kawan-kawan aktivis perempuan berjuang untuk menurunkan rezim Soeharto melalui gerakan Suara Ibu Peduli. Selain itu ia juga menjelaskan bagaimana pandangannya terhadap ujaran kebencian di media sosial sebai sebuah fenomena sosial. Baginya banyaknya ujaran kebencian dan hoax di media sosial adalah dampak dari kedangkalan berpikir masyarakat Indonesia, ia juga menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Baginya keberadaan media sosial menjadi tantangan, bisa menjadi alat untuk memajukan diri tapi di satu sisi bisa menjadi boomerang. Hal yang ia jelaskan lainnya adalah tentang maskulinitas ilmu pengetahuan, pada pembahasan ini ia banyak merujuk pada pengalaman pribadinya sebagai seorang astronom, filsuf dan seorang feminis—meskipun ia lebih senang menyebut dirinya sebagai seoarang pengajar filsafat dibandingkan seorang filsuf. Karlina Supeli mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan, sains, teknologi masih maskulin. Dalam banyak bidang keilmuan seperti sains, matematika dan teknologi kerap kali perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. “Marie Curie yang telah memenangkan Nobel dua kali saja tidak bisa masuk Akademi Sains Paris karena dia perempuan”, tutur Karlina Supeli. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa dalam bidang filsafat juga masih maskulin, pasalnnya ia adalah satu-satunya dosen tetap di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Merujuk pada pengalamannya, Karlina menceritakan bahwa ketika masa orientasi Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung, pertanyaan pertama yang ia dapatkan dari seorang senior adalah: “Kenapa kamu masuk jurusan laki-laki”. Ketika ia menempuh studi di Inggris hal serupa juga ia alami. Karlina menceritakan bahwa ketika ia berusaha menyelesaikan soal matematika selama 3 hari, kemudian mempresentasikannya, dan ternyata ia berhasil, komentar dari dosennya adalah: “Otak kamu adalah otak laki-laki”. Karlina mengakui bahwa ia tidak mengalami diskriminasi secara struktural namun menurutnya pelabelan tersebut berpengaruh terhadap kecenderungan pelajar perempuan memilih jurusan. Selain itu, faktor dorongan orang tua juga berpengaruh besar terhadap pilihan-pilihan anak. Dalam bidang filsafat, pandangan terhadap ketidakmampuan perempuan untuk berpikir juga telah ada sejak lama. “Aristoteles menggolongkan perempuan, budak, dan anak-anak dalam kategori setengah manusia, sehingga tidak memiliki hak politik, kemudian pemikiran Jonh Stuart Mill sangat berpengaruh, ia mengungkapkan bahwa perempuan memiliki kemampuan berpikir yang sama dengan laki-laki sehingga perempuan harus diberikan hak politik”, tutur Karlina. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa ada ketidakadilan yang terjadi, meskipun sifatnya tidak institusional, namun pengalaman-pengalaman ketidakadilan itu pasti dihadapi perempuan. Sehingga baginya hal ini juga merupakan sebuah perjuangan, pertama adalah memperjuangkan proses pendidikan yang sejak awal mengajarkan kesetaran bagi anak-anak dan generasi muda, kemudian yang kedua adalah mengakui bahwa kapasitas nalar dan akal budi laki-laki dan perempuan sama. “Umat manusia akan kehilangan kontribusi yang sangat besar, kalau perempuan dianggap aneh atau tidak boleh menekuini atau memilih bidang keilmuan tertentu”, tegas Karlina. (Andi Misbahul Pratiwi) Minggu, 6 Agustus 2017 bertempat di Gedung Tjipta Niaga, Kawasan Kota Tua Jakarta, diskusi The Future is Feminist yang merupakan salah satu rangkaian acara dari The 4th Asean Literary Festival menghadirkan Clara Chow dari Singapura, Tra Nguyen dari Vietnam, dan Alanda Kariza dari Indonesia sebagai narasumber. Ketiganya adalah para penulis perempuan yang menyuarakan feminisme melalui tulisan-tulisannya. Mereka bertiga dianggap sebagai penulis perempuan yang hebat karena bisa menginspirasi perempuan-perempuan di negaranya untuk menyadarkan akan pentingnya keadilan dan kesetaraan perempuan melalui buku dan tulisan-tulisan mereka. Dipandu oleh Kate Walton sebagai moderator, acara diskusi ini sungguh menarik untuk diikuti karena melihat feminisme sebagai sebuah keniscayaan keadaan di masa depan dari perspektif penulis perempuan dari berbagai negara. Diskusi dimulai dengan pemaparan ketiga narasumber tentang persoalan dan keadaan perempuan di negara mereka masing-masing. Clara memaparkan bahwa di Singapura perempuan sudah mulai menguasai posisi-posisi strategis di dunia politik maupun ekonomi. Hal ini terbukti dengan majunya seorang perempuan keturunan Malaysia sebagai salah satu kandidat terkuat untuk pemilihan Presiden Singapura pada bulan September mendatang. Clara merasa sangat optimis bahwa Singapura bisa mengejar ketertinggalan kesetaraan gender yang selama ini terjadi di sana. Tidak begitu jauh berbeda, Tra menjelaskan bahwa ia cukup optimis dengan perjuangan kesetaraan perempuan di negaranya. Bagi Tra, para perempuan di sana berjuang sangat keras untuk mendapatkan hak-haknya. Tra melihat bahwa kesetaraan untuk perempuan di Vietnam masih akan bernuansakan ideologi sosialisme, namun bagi Tra hal ini bukanlah masalah karena ia optimis negaranya akan membawa kesetaraan untuk perempuan. Alanda kemudian membagi pendapatnya tentang masa depan feminisme di Indonesia yang menurutnya masih banyak dilema di dalamnya, terutama dilema yang menimpa perempuan itu sendiri. Bagi Alanda perempuan Indonesia sering kali ragu atas keputusan-keputusan yang akan mereka ambil menyangkut masa depan mereka. Hal ini menurut Alanda dikarenakan Indonesia kekurangan tokoh panutan (role model) perempuan hebat yang bisa dijadikan contoh untuk kesuksesan mereka. Alanda menyebut baru beberapa tahun belakangan ini saja kita punya sosok menteri perempuan yang begitu hebat dalam kepemimpinannya seperti Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti. Jika ketiga narasumber sepakat bahwa feminisme adalah sebuah keniscayaan di masa depan maka pertanyaan intinya adalah bagaimana menerapkan nilai-nilai dan semangat feminisme di dalam kehidupan mulai dari sekarang? Alanda berpendapat bahwa semangat feminisme bisa dimulai dari diri kita sendiri. Setiap orang harus percaya bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara pada hakikatnya. Yang harus dilakukan kemudian adalah dengan menumbuhkan kepercayaan bahwa perempuan mempunyai kemampuan dan aksesibilitas untuk melakukan apapun yang mereka inginkan selama pilihan tersebut dilakukan secara sadar. Clara kemudian menambahkan bahwa salah satu tantangan masyarakat saat ini untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan untuk perempuan adalah persoalan internalized sexism yang sering kali tidak disadari oleh orang-orang atau bahkan dari kalangan feminis sendiri, seperti terbiasa mengasosiasikan warna atau mainan tertentu kepada anak-anak. Clara percaya mengajarkan feminisme sedari dini kepada anak-anak adalah cara paling mujarab untuk mencapai keadilan dan kesetaraan untuk perempuan di masa depan. Tentu hal yang dilakukan harus dimulai dengan hal-hal yang halus, seperti mulai mengajarkan anak-anak untuk bebas memilih mainan, warna dan teman tanpa ada batasan apapun, karena dari sinilah akar-akar seksisme bisa dicabut. Clara kemudian membayangkan feminisme di masa depan adalah feminisme yang sangat genderless dalam pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan bahkan, ia membayangkan mungkin di masa depan laki-laki bisa mengandung dan melahirkan dengan kecanggihan teknologi yang ada. Tra kemudian menyampaikan perspektifnya tentang bagaimana cara paling efektif untuk menumbuhkan semangat feminisme di masyarakat. Baginya, suara dan pendapat seseorang harus dihargai terlepas dari siapapun yang menyampaikan karena baginya, feminisme di masa depan tidak akan berjalan tanpa adanya rasa percaya dan sikap saling menghargai di antara masyarakatnya. Persoalan yang disampaikan Tra sangat masuk akal karena perempuan sering kali dilihat sebagai individu liyan yang terpisah dari masyarakat secara general. Perempuan harus terus diperbolehkan untuk menyuarakan pendapat dan suaranya agar feminisme di masa depan dapat benar-benar terwujud. Oleh karena itu, seberat apapun perjuangan yang harus dilakukan untuk menuju masyarakat feminis merupakan tanggung jawab kita semua tanpa terkecuali agar benar-benar bisa mewujudkan kesetaraan dan keadilan untuk perempuan di seluruh dunia tanpa terkecuali dan masa depan adalah feminis bukanlah harapan utopis belaka. (Naufaludin Ismail) “Mungkinkah laki-laki menjadi feminis?” adalah pertanyaan yang dilontarkan Gadis Arivia untuk membuka kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan pada Kamis (27/07/17). Dalam pertemuan keempat ini, Gadis Arivia sebagai pembicara hendak merefleksikan kembali seluruh materi yang telah didapat para peserta Kaffe pada 3 pertemuan sebelumnya, mulai dari perdebatan filosofis tentang feminis laki-laki, peran laki-laki dalam menghapus kekerasan terhadap perempuan, hingga tentang kerja-kerja domestik. Gadis memulai kelas dengan pertanyaan filosofis yaitu, mungkinkah laki-laki menjadi feminis? Ia menjelaskan bahwa perdebatan tentang pertanyaan tersebut dimulai dari argumen bahwa laki-laki tidak memiliki pengalaman kebertubuhan yang sama dengan perempuan, maka bagaimana caranya laki-laki menjadi seorang feminis. Gadis menyebutkan filsuf laki-laki yang sejak ribuan tahun yang lalu telah menuliskan perempuan dalam karya-karyanya. Plato dianggap sebagai seorang feminis laki-laki pertama karena menyatakan bahwa perempuan mampu untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara dalam karyanya The Republic (360 SM). Pada buku V, Plato menyebutkan bahwa “They differ only in their comparative strength or weakness”, mereka (laki-laki danperempuan) hanya berbeda dari kekuatan dan kelemahannya. Jadi menurut Plato laki-laki dianggap memiliki kekuatan dan perempuan cenderung dianggap lemah, maka hanya itu saja perbedaanya, tapi tetap ia mengungkapkan bahwa perempuan mampu untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara. Kemudian pemikiran Plato tersebut dikritik oleh Lynda Lange karena menempatkan perempuan dalam kategori yang lemah dan laki-laki yang kuat, jadi masih ada persoalan dalam pemikiran Plato. Feminis laki-laki yang kedua adalah Práxedis Guerrero seorang pejuang revolusioner dari Meksiko melawan opresi dan diktator dan anggota dari Partido Liberal Mexicano (PLM). Dalam karya esainya “The Woman”, Práxedis Guerrero berargumen bahwa “Women cannot live as free companions of men because custom opposes it, because violation of custom brings disdain, mockery, insults and curses…Because of this, the emancipation of women encounters a hundred opponents for every man who defends it or works for it”. Menurutnya perempuan tidak bisa otonom karena tradisi yang mengekang mereka, jika perempuan menghendaki kebebasan maka ia akan dilecehkan, dihina dan diejek. Tokoh feminis laki-laki lainnya adalah John Stuart Mill, Seorang pemikir sosial dan politik dari Inggris. John Stuart Mill berkontribusi pada perkembangan intelektual feminis abad 19, ia turut memperjuangkan hak perempuan dalam politik. Dalam karyanya The Subjection of Women, Ia menyebutkan bahwa perempuan harus memiliki kebebasan, dengan kebebasan maka ia akan bermartabat sebagai manusia, maka dengan demikian perempuan harus memiliki hak dan status politik yang setara dengan laki-laki. “Women were deprived of their freedom and dignity by the state and by social custom…Women’s unequal political status could not be justified by claims about women’s so-called feminine nature because what was known about women’s ”nature” was entirely shaped by the inequalities under which they had always lived”. Bukan hanya di Barat, pemikiran tentang pentingnya pemenuhan hak-hak perempuan juga lahir di Timur. Qasim Amin seorang feminis laki-laki dari Arab, ia belajar di Cairo dan Perancis dalam bidang hukum. Qasim Amin mengeritik kolonialisme dan imperialisme Barat dengan mengedepankan hak-hak perempuan. Dalam karyanya The Liberation of Women, ia mengungkapkan bahwa masyarakat Mesir harus dibebaskan dari posisi inferior dengan terlebih dahulu membebaskan perempuan dari praktik cadar, menghapus perkawinan paksa, dan hukum perceraian yang tidak adil. Menurutnya perempuan juga harus berpendidikan agar dapat mewujudkan bangsa yang maju. Sedangkan di Indonesia yang dianggap yang pertama kali memberikan dukungan terhadap perempuan secara terang-terangan di ruang publik adalah Soekarno. Ia menulis buku yang berjudul Sarinah (1947), dalam bukunya ia menyebutkan, “Banjak orang jang tidak mengerti apa sebabnja saja anggap kursus-kursus wanita itu begitu penting. Siapa jang membatja kitab jang saja sadjikan sekarang ini,-jang isinja telah saja uraikan di dalam kursus-kursus wanita itu dalam pokok-pokoknja-akan mengerti apa sebab saja anggap soal wanita itu soal jang amat penting. Soal wanita adalah soal-masjarakat!” Gadis menuturkan bahwa feminis laki-laki telah ada sejak lama dan menurutnya laki-laki memiliki peran dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia menyebutkan dari beberapa tokoh di atas ada berbagai macam alasan mengapa laki-laki menjadi feminis, ada laki-laki yang mengagungkan perempuan karena biologis, ada laki-laki yang sadar bahwa perempuan juga memiliki hak asasi manusia, ada juga laki-laki yang memberikan dukungannya dengan cara aksi seperti yang dilakukan di New York tahu 1911 dan Queen’s Road, England tahun 1972, laki-laki turun aksi untuk mendukung pemenuhan hak-hak perempuan. Lalu yang menarik dari topik pembahasan feminis laki-laki adalah tentang term Femmeninism yang dianggap Gadis juga cukup kontroversial. Beberapa pertanyaan juga muncul untuk mengonfirmasi apakah mungkin laki-laki menjadi feminis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah, 1) Suara siapa? 2) Imajinasi siapa yang dipakai? Bagaimana laki-laki bisa merasakan pengalaman perempuan? 4) Apakah ada kesan ahistoris? 5) Apakah posisinya “in” atau “near” feminisme? 6)Membaca dalam kegelapan? 7) A double life? Pertanyaan-pertanyaan tersebut jugalah yang didiskusikan oleh peserta dalam kelas Kaffe 7 ini. Argumen-argumen yang muncul dari hasil diskusi peserta Kaffe beragam, yaitu ada pendapat bahwa laki-laki tidak bisa menjadi feminis tapi hanya dapat menjadi profeminis karena tidak memiliki pengalaman kebertubuhan perempuan, kemudian yang kedua adalah bahwa laki-laki bisa menjad feminis karena laki-laki dan perempuan hanyalah konstruksi sosial dari kepentingan kelompok-kelompok tertentu maka feminisme adalah suara tentang semua. Kedua argumen tersebut menurut Gadis memang selalu menjadi perdebatan, bahkan menurut Gadis ada argumen yang lebih maju lagi yaitu bahwa pertanyaan tentang laki-laki feminis adalah juga konstruksi karena tidak relevan jika diterapkan pada gender ketiga, maka soal biologis adalah konstruksi sosial. Maka menurut Gadis menjadi feminis tidaklah cukup karena keterpesonaan pada perempuan, apalagi hanya untuk glorifikasi. Gadis menjelaskan bahwa Luce Irigaray juga mengungkapkan bahwa menjadi seorang laki-laki feminis bukan di dalam alasan-alasan karena keterpesonaan, atau hanya untuk mengikuti trend, menurut Luce Irigaray argumentasi tersebut dianggap tidak dapat menjadikan laki-laki menjadi laki-laki feminis. Menurutnya harus ada framework, harus ada logika dan analisisnya agar bisa konsisten dan konsekuen untuk menjadi feminis laki-laki, karena menjadi femnis adalah melakukan perubahan di tingkat yang paling praktikal bukan hanya pada tataran pemikiran. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |