“Mungkinkah laki-laki menjadi feminis?” adalah pertanyaan yang dilontarkan Gadis Arivia untuk membuka kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan pada Kamis (27/07/17). Dalam pertemuan keempat ini, Gadis Arivia sebagai pembicara hendak merefleksikan kembali seluruh materi yang telah didapat para peserta Kaffe pada 3 pertemuan sebelumnya, mulai dari perdebatan filosofis tentang feminis laki-laki, peran laki-laki dalam menghapus kekerasan terhadap perempuan, hingga tentang kerja-kerja domestik. Gadis memulai kelas dengan pertanyaan filosofis yaitu, mungkinkah laki-laki menjadi feminis? Ia menjelaskan bahwa perdebatan tentang pertanyaan tersebut dimulai dari argumen bahwa laki-laki tidak memiliki pengalaman kebertubuhan yang sama dengan perempuan, maka bagaimana caranya laki-laki menjadi seorang feminis. Gadis menyebutkan filsuf laki-laki yang sejak ribuan tahun yang lalu telah menuliskan perempuan dalam karya-karyanya. Plato dianggap sebagai seorang feminis laki-laki pertama karena menyatakan bahwa perempuan mampu untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara dalam karyanya The Republic (360 SM). Pada buku V, Plato menyebutkan bahwa “They differ only in their comparative strength or weakness”, mereka (laki-laki danperempuan) hanya berbeda dari kekuatan dan kelemahannya. Jadi menurut Plato laki-laki dianggap memiliki kekuatan dan perempuan cenderung dianggap lemah, maka hanya itu saja perbedaanya, tapi tetap ia mengungkapkan bahwa perempuan mampu untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara. Kemudian pemikiran Plato tersebut dikritik oleh Lynda Lange karena menempatkan perempuan dalam kategori yang lemah dan laki-laki yang kuat, jadi masih ada persoalan dalam pemikiran Plato. Feminis laki-laki yang kedua adalah Práxedis Guerrero seorang pejuang revolusioner dari Meksiko melawan opresi dan diktator dan anggota dari Partido Liberal Mexicano (PLM). Dalam karya esainya “The Woman”, Práxedis Guerrero berargumen bahwa “Women cannot live as free companions of men because custom opposes it, because violation of custom brings disdain, mockery, insults and curses…Because of this, the emancipation of women encounters a hundred opponents for every man who defends it or works for it”. Menurutnya perempuan tidak bisa otonom karena tradisi yang mengekang mereka, jika perempuan menghendaki kebebasan maka ia akan dilecehkan, dihina dan diejek. Tokoh feminis laki-laki lainnya adalah John Stuart Mill, Seorang pemikir sosial dan politik dari Inggris. John Stuart Mill berkontribusi pada perkembangan intelektual feminis abad 19, ia turut memperjuangkan hak perempuan dalam politik. Dalam karyanya The Subjection of Women, Ia menyebutkan bahwa perempuan harus memiliki kebebasan, dengan kebebasan maka ia akan bermartabat sebagai manusia, maka dengan demikian perempuan harus memiliki hak dan status politik yang setara dengan laki-laki. “Women were deprived of their freedom and dignity by the state and by social custom…Women’s unequal political status could not be justified by claims about women’s so-called feminine nature because what was known about women’s ”nature” was entirely shaped by the inequalities under which they had always lived”. Bukan hanya di Barat, pemikiran tentang pentingnya pemenuhan hak-hak perempuan juga lahir di Timur. Qasim Amin seorang feminis laki-laki dari Arab, ia belajar di Cairo dan Perancis dalam bidang hukum. Qasim Amin mengeritik kolonialisme dan imperialisme Barat dengan mengedepankan hak-hak perempuan. Dalam karyanya The Liberation of Women, ia mengungkapkan bahwa masyarakat Mesir harus dibebaskan dari posisi inferior dengan terlebih dahulu membebaskan perempuan dari praktik cadar, menghapus perkawinan paksa, dan hukum perceraian yang tidak adil. Menurutnya perempuan juga harus berpendidikan agar dapat mewujudkan bangsa yang maju. Sedangkan di Indonesia yang dianggap yang pertama kali memberikan dukungan terhadap perempuan secara terang-terangan di ruang publik adalah Soekarno. Ia menulis buku yang berjudul Sarinah (1947), dalam bukunya ia menyebutkan, “Banjak orang jang tidak mengerti apa sebabnja saja anggap kursus-kursus wanita itu begitu penting. Siapa jang membatja kitab jang saja sadjikan sekarang ini,-jang isinja telah saja uraikan di dalam kursus-kursus wanita itu dalam pokok-pokoknja-akan mengerti apa sebab saja anggap soal wanita itu soal jang amat penting. Soal wanita adalah soal-masjarakat!” Gadis menuturkan bahwa feminis laki-laki telah ada sejak lama dan menurutnya laki-laki memiliki peran dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia menyebutkan dari beberapa tokoh di atas ada berbagai macam alasan mengapa laki-laki menjadi feminis, ada laki-laki yang mengagungkan perempuan karena biologis, ada laki-laki yang sadar bahwa perempuan juga memiliki hak asasi manusia, ada juga laki-laki yang memberikan dukungannya dengan cara aksi seperti yang dilakukan di New York tahu 1911 dan Queen’s Road, England tahun 1972, laki-laki turun aksi untuk mendukung pemenuhan hak-hak perempuan. Lalu yang menarik dari topik pembahasan feminis laki-laki adalah tentang term Femmeninism yang dianggap Gadis juga cukup kontroversial. Beberapa pertanyaan juga muncul untuk mengonfirmasi apakah mungkin laki-laki menjadi feminis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah, 1) Suara siapa? 2) Imajinasi siapa yang dipakai? Bagaimana laki-laki bisa merasakan pengalaman perempuan? 4) Apakah ada kesan ahistoris? 5) Apakah posisinya “in” atau “near” feminisme? 6)Membaca dalam kegelapan? 7) A double life? Pertanyaan-pertanyaan tersebut jugalah yang didiskusikan oleh peserta dalam kelas Kaffe 7 ini. Argumen-argumen yang muncul dari hasil diskusi peserta Kaffe beragam, yaitu ada pendapat bahwa laki-laki tidak bisa menjadi feminis tapi hanya dapat menjadi profeminis karena tidak memiliki pengalaman kebertubuhan perempuan, kemudian yang kedua adalah bahwa laki-laki bisa menjad feminis karena laki-laki dan perempuan hanyalah konstruksi sosial dari kepentingan kelompok-kelompok tertentu maka feminisme adalah suara tentang semua. Kedua argumen tersebut menurut Gadis memang selalu menjadi perdebatan, bahkan menurut Gadis ada argumen yang lebih maju lagi yaitu bahwa pertanyaan tentang laki-laki feminis adalah juga konstruksi karena tidak relevan jika diterapkan pada gender ketiga, maka soal biologis adalah konstruksi sosial. Maka menurut Gadis menjadi feminis tidaklah cukup karena keterpesonaan pada perempuan, apalagi hanya untuk glorifikasi. Gadis menjelaskan bahwa Luce Irigaray juga mengungkapkan bahwa menjadi seorang laki-laki feminis bukan di dalam alasan-alasan karena keterpesonaan, atau hanya untuk mengikuti trend, menurut Luce Irigaray argumentasi tersebut dianggap tidak dapat menjadikan laki-laki menjadi laki-laki feminis. Menurutnya harus ada framework, harus ada logika dan analisisnya agar bisa konsisten dan konsekuen untuk menjadi feminis laki-laki, karena menjadi femnis adalah melakukan perubahan di tingkat yang paling praktikal bukan hanya pada tataran pemikiran. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |