Rabu (19/9) bertempat di Gedung Femina, Setiabudi, Jakarta Selatan, Majalah Femina merayakan ulang tahun yang ke-46. Perayaan ini diisi dengan berbagai acara salah satunya diskusi "Bahaya Radikalisme dan Keluarga Kita" bersama Alissa Wahid, Koordinator Nasional GusDurian. Dalam presentasinya Alissa menyampaikan beberapa informasi penting terkait maraknya radikalisme agama. Menurtnya, menguatnya politik populisme di dunia mengundang munculnya paham radikal di berbagai negara termasuk Indonesia. “Kemunculan politik populisme bukan hanya menyerang satu kelompok spesifik, melainkan menyerang kelompok minoritas yang ada pada suatu tempat” tutur Alissa. Alissa menyebutkan ada empat tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia saat ini yaitu fenomena global radikalisme agama, kondisi masyarakat Indonesia yang cenderung fokus pada satu kelompok tertentu, pengaruh besar agama, dan penggunaan sentimen agama dalam politik. Menurutnya, demokrasi yang sehat sulit terwujud karena tantangan di atas menjadi lebih kompleks dengan konteks Indonesia yang memiliki keragaman suku, etnis, dan agama. Terlebih lagi saat ini banyak ditemukan sentimen agama dalam kampanye politik yang menyumbang paham anti toleransi dalam praktik demokrasi. Usai paparan dari Alissa, Hera Diani (penggagas Magdalene) mengajukan sebuah pertanyaan tentang pendidikan di sekolah yang belakangan ini justru sering mempromosikan konservatisme agama. Hera bercerita bahwa tidak jarang ditemukan pemaksaan ekspresi keberagamaan pada murid perempuan, seperti pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah. Menanggapi pertanyaan tersebut, Alissa menyampaikan tiga poin penting yang perlu dimiliki anak agar dapat bersosialisasi dan menerapkan nilai-nilai toleransi yaitu, nilai dan rasa toleransi, kecakapan hidup dan pengetahuan tentang keberagaman. Bagi Alissa, anak mungkin saja mendapatkan nilai dan pengetahuan yang berbeda dari luar lingkungan rumahnya, karena itu kemampuan kecakapan hidup atau lifeskills dibutuhkan untuk mengambil keputusan dan mempraktikan cara komunikasi yang baik. Alissa menambahkan, “Menetapkan garis batas ajaran keagamaan perlu diberikan kepada anak, agar anak memiliki pemahaman tentang aturan yang diterapkan di rumah dan di sekolah itu berbeda.” Sementara itu, Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan menambahkan bahwa JP 98 Perempuan dan Kebangsaan mendokumentasikan sejarah dan peran perempuan dalam menyusun martabat kebangsaan Indonesia melalui Kongres Perempuan Indonesia II 1928 yang seringkali dilupakan. Atnike menjelaskan bahwa di era Orde Baru peran perempuan dalam pembangunan bangsa diminimalisir, perempuan hanya dijadikan sebagai pendamping. Padahal pada era tersebut banyak terbentuknya organisasi perempuan yang bertujuan untuk pembangunan bangsa. "Beberapa tahun belakangan perempuan mengalami politisasi yang memperbesar rasa intoleransi dan menimbulkan segregasi di masyarakat dan itu adalah tantangan kita sebagai bangsa dan sebagai perempuan” tutur Atnike. Bagi Alissa perempuan di Indonesia seharusnya tidak kekurangan kisah tentang perjuangan perempuan sebab pahlawan perempuan dan para Nyai tidak hanya berdiam di dapur. Lebih jauh Alissa menjelaskan bahwa sentimen tentang pemimpin perempuan seringkali hadir untuk membuat perempuan menjadi pasif di ruang publik. Menurutnya, seharusnya pilihan yang tersedia bagi perempuan bukan hanya menjadi pasif tetapi juga aktif, termasuk aktif dalam mempromosikan keadilan dan membuat perubahan di ruang domestik dan publik. (Iqraa Runi) Sebuah workshop yang digelar oleh Equitas (International Centre for Human Rights Education) Canada, bekerjasama dengan International Centre for Ethnic Studies (ICES), Sri Lanka dan Centre for Asian Legal Studies, Faculty of Law, NUS, Singapura berjudul "Kebebasan Beragama di Asia: Memahami Hukum, Politik dan HAM" berlangsung di Aula gedung ICES, di Colombo, Sri Lanka pada tanggal 9-12 September 2018. Peserta yang hadir sekitar 80 orang dari berbagai negara di Asia, paling banyak dari Sri Lanka, Myanmar, Pakistan. Mereka terdiri dari wakil pemerintah, anggota parlemen, pimpinan organisasi masyarakat sipil, wakil organisasi perempuan, ulama dan pemimpin agama serta aktivis dan pemerhati HAM. Kebebasan beragama sebuah isu yang hangat dibicarakan di seluruh Asia, khususnya di negara-negara yang memiliki tingkat keragaman agama, suku dan kepercayaan yang tinggi, seperti Sri Lanka, Myanmar, Afghanistan dan Indonesia. Semua pembicara yang hadir menyuarakan nada yang sama terkait isu kebebasan beragama ini, yaitu adanya kecenderungan semakin terpasungnya hak kebebasan beragama, terutama bagi kelompok minoritas. Masalahnya, negara seringkali sulit untuk bersikap imparsial dan tidak memihak kelompok agama mayoritas. Akibatnya, sering muncul perlakuan diskriminatif dalam bentuk kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan terhadap kelompok agama minoritas. Sebanyak 18 pembicara diundang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam workshop dua hari penuh tersebut. Mereka mewakili berbagai agama, negara dan organisasi di Asia. Di antaranya, Mario Gomez, David McKinnon, Dian Shah, Radhika Coomaraswamy, Paikiasothy Saravanamuttu, Matthew Nelson, Omaid Sharifi dan Samson Salamat. Dengan sangat inspiratif para pembicara menjelaskan berbagai hambatan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat sipil di berbagai negara Asia, khususnya di Sri Lanka, Myanmar, Pakistan, Malaysia, Indonesia dan Afghanistan. Setidaknya ada 4 jenis hambatan yang dihadapi berbagai negara Asia, yaitu: hambatan kultural, hambatan struktural, hambatan politik dan hambatan teologis. Matthew Nelson, pembicara dari London dengan sangat bagus membandingkan isi konstitusi di berbagai negara, terutama pasal-pasal konstitusi yang menyangkut perlindungan terhadap kelompok minoritas agama. Namun, realitasnya isi konstitusi tidak diimplementasikan dengan baik manakala kepentingan politik berbicara lain. Lagi-lagi kepentingan politik mendominasi banyak kebijakan publik, bahkan sering menjadi panglima mengalahkan kandungan konstitusi. Tidak heran jika masyarakat sering menderita akibat penyelewengan konstitusi. Masyarakat menderita dan menjadi korban akibat ketidakmampuan para politisi menyuarakan aspirasi warganya dan juga karena integritas mereka yang sangat rapuh. Saya sendiri datang mewakili perempuan Muslim Indonesia dan organisasi ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace). Saya diminta berbagi pengalaman terkait upaya kelompok masyarakat sipil di Indonesia menegakkan prinsip hak kebebasan beragama dan toleransi. Saya menjelaskan berbagai alasan mengapa masyarakat Indonesia akhir-akhir ini cenderung lebih intoleran serta mengapa radikalisme dan kekerasan ekstremisme semakin menguat. Demikian pula penggunaan politik identitas atau politisasi agama. Saya juga mencoba meyakinkan bahwa Muslim Indonesia punya optimisme untuk dapat mengatasi semua hambatan penegakan toleransi dan kebebasan beragama dalam bentuk sikap dan perilaku juga kebijakan publik yang mengandung unsur diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok berbeda, khususnya kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Muslim Indonesia lebih beruntung dari muslim di bagian Asia lain karena punya Pancasila dan landasan konstitusi yang lebih progresif dan demokratis serta sangat memihak penegakan HAM, khususnya hak kebebasan beragama. Tinggal berharap agar kelompok muslim progresif lebih solid dan lebih militan berjuang untuk membangun demokrasi Indonesia. (Musdah Mulia) Rabu (12/9) bertempat di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat, Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan acara Peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan, sekaligus merayakan Ulang Tahun Yayasan Jurnal Perempuan yang ke-23. Acara ini dihadiri mengundang Dewan Pembina, Dewan Pengawas, Mitra Bestari dan Sahabat Jurnal Perempuan. Acara Peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan memiliki beberapa agenda acara seperti pembacaan puisi yang dipaparkan oleh Debra Yatim (Aktivis) dan Dewi Nova (Penulis), permainan piano oleh Asfinawati (Advokat Hak Asasi Manusia), dan orasi feminis yang disampaikan oleh Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno, yang juga merupakan salah satu pendiri Yayasan Jurnal Perempuan. Orasi feminis yang dipaparkan oleh Toeti Heraty diawali dengan penjabarannya mengenai JP 98 Perempuan dan Kebangsaan. Menurut Toeti untuk memperlihatkan relasi antara perempuan dengan kebangsaan perlu ada pembahasan mengenai empat periode besar yang pernah dan sedang terjadi di Indonesia yaitu (1) Zaman pergerakan anti-kolonial; (2) Awal kemerdekaan 1945-1966 atau orde lama; (3) Zaman orde baru; dan (4) Zaman pasca reformasi (pola ibuisme baru, ibuisme islam politik) Toeti menjelaskan bahwa pada zaman pergerakan anti-kolonial, gerakan perempuan memiliki perspektif yang kuat untuk mempromosikan pendidikan, sebab saat itu pendidikan terbatas hanya untuk kaum aristokrat dan priayi. Toeti menegaskan bahwa pada era ini cukup banyak kongres yang diadakan, salah satunya adalah Kongres Istri Indonesia III pada tahun 1938 dengan tujuan menolak poligami. “Pada era ini Istilah ibuisme dimaknai sebagai ibu bangsa, menunjang nasionalisme dan anti-kolonial. Pada era ini pula perempuan digambarkan dengan ikon sembadra (lemah lembut) dan srikandi (perjuangan)” tutur Toeti. Kemudian, Toeti menjelaskan bahwa pada periode awal kemerdekaan 1945 hingga 1966 (orde lama) tidak ada gejolak yang terlalu terlihat. Pada periode ini penolakan atas poligami menjadi problematis, sebab Soekarno sebagai seorang presiden melakukan poligami. Toeti mengakui bahwa pada periode ini perjuangan tidak banyak terjadi. Hanya saja terdapat emansipasi di bidang pendidikan yang dilakukan oleh Nyi Mangunsarkoro, Ibu Ki Hajar Dewantoro, dan Sri Siti Sukaptinah. Berbeda dengan zaman anti-kolonial dan orde lama. Menurut Toeti zaman orde baru memaknai perempuan sebagai ibu dengan fungsi domestik. Pada periode orde baru perempuan dipolitisasi dan dimobilisasi untuk pembangunan. Organisasi seperti Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dibentuk di bawah program pemerintah dengan tujuan stabilisasi negara. Toeti mengakui bahwa pada periode keempat yaitu zaman pasca reformasi dirinya cukup terkejut, sebab suara perempuan sebagai pribadi semakin terabaikan. Sementara perempuan dimobilisasi untuk kepentingan politik. Periode ini menghasilkan bentuk ibuisme baru yaitu ibuisme islam politik yang berarti perkumpulan sejumlah orang yang memiliki kepentingan dalam menggunakan simbol keislaman. Kemudian, Toeti melanjutkan dengan memaparkan tiga ukuran keberhasilan tumbuhnya islam politik yaitu (1) Simbol kemurnian agama harus diajarkan kepada perempuan; (2) Perempuan mudah dikontrol dengan muhrimnya; dan (3) Perempuan murah untuk dimobilisasi. Jurnal Perempuan 98 Perempuan dan Kebangsaan mencoba memunculkan persoalan bahwa hingga 20 tahun reformasi suara perempuan jarang masuk ke dalam narasi kebangsaan. Oleh karena itu, Toeti Heraty mencoba memunculkan narasi perempuan maupun perspektif feminis dari 100 tahun karya sastra perempuan Indonesia. Bagi Toeti perempuan Indonesia cukup banyak yang menyuarakan feminisme melalui karya sastra. Lewat pembagian tujuh periode Toeti menjabarkan dengan saksama mengenai pembagian periode sekaligus perempuan yang menarasikan feminisme lewat karya sastra, berikut 7 periode yang dipaparkan oleh Toeti: (1) Sastra Perempuan Indonesia (Masa Kolonial 1911-1942) oleh Kartini, Selasih, Suwarsih Djojopuspito, Rukijah; (2) Ibu, Istri, Ibu-isme (1960-Sekarang) oleh Ike Supomo, La Rose, Titie Said, Mira W; (3) Literatur Feminis (1960-Sekarang) oleh NH Dini, Toeti Heraty, Marianne Katoppo, Julia Suryakusuma; (4) Ekspresi subkultur minoritas dari komunitas etnis oleh Ani Sekarningsih, Oka Rusmini, Hanna Rambe, Clara Ng; (5) Marjinalisasi generasi kedua dari keturunan kiri yang ditiadakan oleh Linda Christanty, Leila S. Chudori, Tatiana Lukman; (6) Generasi Baru penulis perempuan dari pesantren oleh Oki Madasari, Abidah el Khalieqy, Erni Aladjai; dan (7) Fragrance Literature oleh Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Laksmi Pamuntjak. Pemaparan Toeti menyoal perempuan dan karya sastra merupakan bukti bahwa sastra dan perempuan terlibat dalam menarasikan sejarah perempuan pada konteks kebangsaan. “Berbicara mengenai perempuan dan kebangsaan, kita tidak bisa melepaskan isu tentang perempuan yang dieksploitasi dan dimobilisasi oleh negara. Ibu diberi status secara diam-diam, tetapi diperdayakan pula.” Tutur Toeti. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa perspektif feminisme harus terus dipromosikan melalui karya sastra maupun gerakan secara nyata dan yang terpenting para feminis untuk jeli melihat persoalan dan kejelian tersebut sebaiknya tidak membuat kita menjadi paranoid. (Iqraa Runi) Rabu, 12 September 2018, Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan acara Peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan sekaligus Perayaan Ulang Tahun ke-23 Yayasan Jurnal Perempuan. Bertempat di Cemara 6 Galeri Jakarta, acara ini dihadiri oleh Dewan Pembina, Dewan Pengawas, Dewan Redaksi, Mitra Bestari, Penulis, Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dan relasi yang telah setia mendukung aktivisme Yayasan Jurnal Perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Acara ini dibuka dengan persembahan musik dari Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Asfinawati memainkan piano membawakan lagu Melati Suci dan Ibu Pertiwi. Kemudian disusul Debra Yatim yang membacakan puisi berjudul Manifesto karya Toeti Heraty. Acara dilanjutkan dengan sambutan dari Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Dr. Atnike Nova Sigiro, yang menyampaikan rasa terima kasihnya kepada pihak-pihak yang selama ini terus mendukung dan mendampingi Yayasan Jurnal Perempuan hingga menginjak usia yang ke-23. Dalam sambutannya, Atnike mengatakan bahwa topik “Perempuan dan Kebangsaan” sangat tepat diangkat pada JP edisi ke-98 yang terbit pada bulan Agustus lalu karena bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus, 73 tahun kemerdekaan, dan #20TahunReformasi. Untuk memperingati Agustus sebagai momen penting bagi Indonesia dan juga Yayasan Jurnal Perempuan yang berulang tahun ke-23 di bulan Agustus lalu, Yayasan Jurnal Perempuan menerbitkan JP 98 Perempuan dan Kebangsaan. Lebih lanjut Atnike menjelaskan bahwa, JP 98 Perempuan dan Kebangsaan mencatat sejarah para ibu bangsa yang turut berpartisipasi pada masa pra-kemerdekaan. Namun, perjuangan para ibu bangsa tersebut sejak masa pra-kemerdekaan hingga pasca reformasi belum dapat sepenuhnya menempatkan perempuan sebagai warga dengan hak yang penuh dan setara. JP 98 Perempuan dan Kebangsaan diterbitkan untuk menjawab pertanyaan siapa dan dimanakah perempuan dalam konsepsi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Atnike menutup sambutannya dengan menyampaikan bahwa di usia Yayasan Jurnal Perempuan yang ke-23, Jurnal Perempuan masih tetap berusaha untuk terus menggali dan menyebarkan pengetahuan perempuan karena Yayasan Jurnal Perempuan meyakini bahwa perjuangan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan adalah perjuangan tanpa tanda titik. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan penyampaian orasi feminis dari Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno yang berjudul “Perempuan dan Kebangsaan”—yang merupakan refleksi pemikiran beliau mengenai isu perempuan dan kebangsaan secara khusus pasca 20 tahun reformasi. Dalam orasi feminisnya, Prof. Toeti Heraty menyampaikan bahwa perspektif feminis masih luput dalam narasi nasionalisme di Indonesia. Ia mengelaborasi hasil bacaanya terhadap JP 98 Perempuan dan Kebangsaan dengan pengetahuannya sebagai feminis dan budayawan di Indonesia. Selain itu, ia juga menjelaskan hasil penelusurannya dalam karya-karya sastra perempuan Indonesia dalam kurun waktu 100 tahun terakhir. Di tengah orasinya, Prof. Toeti turut membacakan dua puisi hasil karyanya yang berjudul, Cintaku Tiga dan Pertarungan Jenis. Selanjutnya, acara diisi oleh Dewi Nova yang menyajikan musikalisasi puisi berjudul Tutur Inong Aceh—yang juga dimuat dalam buku Kumpulan Puisi: Perempuan dan Pertarungannya terbitan YJP Press. Acara berlanjut dengan peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaandengan memberikan terbitan JP 98 secara simbolis kepada SJP dan Relasi Jurnal Perempuan. Dr. Atnike Nova Sigiro (Direktur Yayasan Jurnal Perempuan), Nur Iman Subono (Dewan Redaksi JP) dan Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi JP) memberikan JP 98 kepada Maria Farida (Mantan Hakim Konstitusi Republik Indonesia dan Sahabat Jurnal Perempuan), Indriyani (Yayasan TIFA), Yulia Pratiwi (Sahabat Jurnal Perempuan), Eko Bambang Subiantoro (Sahabat Jurnal Perempuan), dan Megawati Rusdianto (Sahabat Jurnal Perempuan). Perwakilan Yayasan TIFA turut menerima JP 98 sebagai ucapan terima kasih dan juga apresiasi Yayasan Jurnal Perempuan kepada TIFA Foundation atas dukungannya dalam proses penerbitan JP 98. Kemudian, acara dilanjutkan dengan pemberian apresiasi kepada pihak-pihak yang mendukung Yayasan Jurnal Perempuan. Apresiasi dan penghargaan diberikan kepada Bagus Takwin (Sahabat Jurnal Perempuan Kategori Terlama), Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (Sahabat Jurnal Perempuan Kategori Lembaga), Ninuk Pambudi (Sahabat Jurnal Perempuan Kategori Jurnalis), serta kepada Ford Foundation sebagai lembaga donor yang telah mendukung Yayasan Jurnal Perempuan sejak 1997. Acara peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan dan Perayaan Ulang Tahun ke-23 Yayasan Jurnal Perempuan ditutup dengan acara tiup lilin dan potong kue untuk merayakan ulang tahun ke-23 Yayasan Jurnal Perempuan. "Dua puluh tiga bukan angka yang spesial untuk dirayakan, tetapi selalu menyenangkan untuk memperingati bahwa Yayasan Jurnal Perempuan bisa bertahan dari tahun ke tahun. Doakan agar kami bisa terus menghasilkan pengetahuan perempuan untuk kesetaraan dan keadilan bagi perempuan di Indonesia." ujar Atnike saat acara tiup lilin. (Bella Sandiata) Selasa (4/9) Jurnal Perempuan bersama dengan Komnas Perempuan mengadakan acara Diskusi RUU KUHP dengan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) dan sejumlah anggota DPR RI. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini sedang dalam proses pembahasan yang nantinya akan disahkan pada rapat paripurna. Akan tetapi, ada beberapa pasal yang masih menjadi sorotan publik karena dianggap mencederai hak asasi manusia dan rentan mengriminalisasikan kelompok rentan (perempuan korban perkosaan, anak perempuan, perempuan adat, kelompok minoritas seksual) diantaranya adalah pasal 484, 488, dan 489. Jurnal Perempuan dalam penelitiannya di Jurnal Perempuan 97 Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender berupaya memperlihatkan bahwa RKUHP sebagai suatu produk hukum pidana masih menyudutkan kaum minoritas. Oleh karena itu, Jurnal Perempuan berupaya mengadvokasi sejumlah temuan yang perlu disoroti kembali oleh legislatif selaku pembuat kebijakan. Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Dewan Redaksi Jurnal Perempuan hadir sebagai pemantik diskusi dalam acara tersebut. Sulis membuka diskusi dengan menjabarkan beberapa konsep dasar prinsip hukum dan kaitannya dengan RKUHP. Menurutnya hukum harus memiliki sifat equality before the law, akan tetapi baginya equality before the law tidak dapat diaplikasikan jika masyarakat belum setara. "Jika equality before the law diaplikasikan sebelum hadirnya keseimbangan, maka konsep tersebut akan memenjarakan mereka yang miskin dalam konteks RKUHP dikhususkan menjadi perempuan", ungkap Sulis. Guru Besar Antropologi Hukum tersebut melanjutkan bahwa di dalam RKUHP terdapat pembahasan tentang the living law atau hukum yang hidup. "The living law merupakan hukum yang senyata-nyatanya hadir dalam kehidupan masyarakat, yakni hukum adat, hukum agama, hukum kebiasaan, maupun hukum negara", jelas Sulis. Lebih jauh ia menegaskan bahwa hukum negara bersifat kuat, akan tetapi tidak bisa menjangkau masyarakat adat yang tinggal di pelosok. Oleh karena itu, tidak heran jika hukum adat menjadi hukum yang diaplikasikan dalam keseharian masyarakat adat. Ia menjelaskan bahwa hukum negara akan menjadi the living law jika sudah sampai pada putusan hakim. Baginya dalam era borderless state ini, Indonesia harus memiliki hukum yang kuat yang dapat mengakomodasi pluralitas identitas, budaya dan persoalan bangsanya tanpa harus merenggut hak-hak sebagaian kelompok sebagai warga negara. Di akhir paparannya Sulis memberikan tiga poin masukkan dalam pembahasan RKUHP yakni, (1) Definisi hukum yang hidup perlu diperjelas, agar tidak digunakan untuk mempolitisasi identitas yang bermaksud misoginis; (2) Tidak memasukkan unsur moral dalam RKUHP, karena hukum dan moralitas jika disatukan akan membusukkan satu sama lain; (3) Produk hukum harus menghitung realitas dan pengalaman perempuan. Setelah itu, Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan membahas pasal yang bermasalah dalam RKUHP melalui data-data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2018. Ia menyebutkan bahwa pelaku kekerasan seksual di ranah privat/personal terbanyak adalah pacar. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa banyak terjadi pemaksaan hubungan seksual pada pasangan yang masuk dalam kategori perkosaan. Artinya bila kasus pacaran dianggap perzinaan, tidak sedikit di dalamnya terdapat perempuan korban perkosaan yang sangat mungkin terkena pasal tindak pidana zina. Korban yang seharusnya dilindungi malah berpotensi mengalami kriminalisasi. Demikian pula di ranah publik, Mariana menjelaskan kekerasan seksual menempati posisi tertinggi dengan pelaku terbanyak adalah teman. Artinya dalam wilayah publik pun orang terdekat menjadi pelaku kekerasan seksual dan sangat berpotensi dicap sebagai perilaku zina padahal salah satu pihak merupakan korban. "Data tersebut menunjukkan bahwa moralitas tidak dapat menjadi standar dalam pemidanaan. Kekerasan seharusnya menjadi perhatian utama dalam pemidanaan karena jelas merugikan korban", jelas Mariana. Kemudian Bella Sandiata, Redaksi Jurnal Perempuan juga memaparkan hasil riset mengenai penggunaan pasal 284 KUHP tentang perzinaan dan pasal 285 KUHP tentang perkosaan melalui pengalaman pendamping hukum. "Pasal 284 KUHP yang mangatur perzinaan merupakan pasal dengan delik aduan yang pembuktiannya sangat sulit untuk dilakukan", tutur Bella. Ia menjelaskan bahwa pengalaman pada narasumber yang ia wawancarai menunjukkan sulitnya penyelesaian kasus-kasus perzinaan yang ditangani karena pembuktian dari pasal 284 tidak terpenuhi. Ia menjelaskan bahwa, unsur pembuktian yang sulit dan ancaman hukuman yang hanya sembilan bulan menjadi alasan bagi perempuan korban yang pasangannya melakukan perzinaan untuk lebih memilih bercerai. Lebih lanjut Bella menuturkan bahwa kelemahan juga ditemukan dalam penerapan pasal 285 KUHP yang mengatur tindak pidana perkosaan. Hasil penelitiannya menemukan bahwa pasal tersebut belum dapat memberikan hukuman penjeraan jika dibandingkan dengan penderitaan yang dialami oleh perempuan korban. Lebih jauh lagi, pasal 285 KUHP juga tidak memberikan ruang atau bahkan menutup kemungkinan akan ancaman pidana terhadap perkosaan yang terjadi dalam perkawinan (marital rape). Kelemahan lain dari pasal ini adalah sulitnya seorang istri melaporkan suaminya jika terjadi hubungan seksual di luar keinginannya. "Kelemahan dalam penerapan pasal 285 KUHP tersebut dalam praktiknya di lapangan semakin diperkuat dengan tidak adanya perspektif serta pengetahuan gender dari aparat penegak hukum yang justru kemudian menyudutkan dan menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya", jelas Bella. Erma Suryani Ranik, Wakil Ketua Komisi III DPR RI menyatakan bahwa RKUHP tidak sepenuhnya buruk, sebab pelarangan orang untuk hidup bersama hanya bisa dilaporkan oleh orang terbatas seperti orang tua, suami/istri, dan anak. Pengaduan yang diajukan juga masih bisa dihapus jika dalam waktu satu bulan gugatan dicabut oleh pihak pelapor. Ranik mengaku bahwa dalam politik perlu ada kompromi dan untuk menengahi berbagai pilihan ekstrem, perlu adanya titik temu diantara mereka. Menyoal pasal tentang pencabulan, Ranik menjelaskan bahwa tindakan tersebut tetaplah tindakan pidana baik dilakukan oleh heteroseksual maupun homoseksual. Menurutnya upaya untuk tidak mengriminalisasikan kelompok minoritas melalui RKHUP telah dilakukan. Ia menyampaikan ucapan terima kasih atas masukan dan bantuan para aktivis dalam pembahasan RKUHP. Ranik menegaskan bahwa teman-teman aktivis perlu mengetahui kompromi di dalam dunia politik. Akan tetapi, di luar itu para aktivis juga perlu untuk terus menyuarakan persoalan RKUHP. (Iqraa Runi) Selasa, 4 September 2018 di Gedung Nusantara 1 DPR RI, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) mengadakan diskusi terbatas dengan Kaukus Perempuan Parlemen dan Komisi 3 DPR RI. Diskusi terbatas tersebut menyoroti sejumlah persoalan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini masih dalam tahap pembahasan DPR dan pemerintah. Atnike Sigiro selaku Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan membuka acara diskusi terbatas mengenai RKUHP tersebut dengan menyatakan bahwa Jurnal Perempuan edisi 97 Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender menampilkan sejumlah potret persoalan pada KUHP yang berlaku dan pada RKUHP. Bagi Atnike RKUHP perlu dicermati secara seksama dalam relasinya terhadap perempuan, anak, buruh migran, disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Menurutnya tanpa adanya sensitivitas terhadap pluralitas pengalaman, sebuah produk hukum berpotensi mendiskriminasi dan menjauhkan akses terhadap keadilan. Lebih jauh Atnike menyatakan bahwa JP 97 Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender yang merupakan seri #20TahunReformasi adalah salah satu bentuk refleksi terhadap realitas berbangsa dan bernegara pasca reformasi. Menurut Atnike tanpa semangat reformasi ide perbaikan hukum, HAM, dan keadilan gender tidaklah memiliki ruang. Atnike berharap agar diskusi yang dilakukan oleh Jurnal Perempuan, Komnas Perempuan dan Komisi 3 DPR RI dapat mendorong penyempurnaan RKUHP sehingga ada dimensi kesetaraan gender dalam RKUHP tersebut. Yunianti Chuzaifah selaku Wakil Ketua Komisioner Komnas Perempuan dalam kesempatan itu menyampaikan bahwa revisi RKUHP seharusnya lebih menjaga martabat manusia dan mendekatkan rasa kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Menurut Yunianti, hukum yang ada saat ini lebih bernuansa penghukuman alih-alih menjadi payung hukum. Hal ini dapat dilihat dari sistem penghukuman yang bersifat punitif daripada edukatif, rehabilitatif dan penjeraan. Bagi Yunianti instrumen HAM haruslah dijadikan acuan dalam pembuatan produk hukum dalam upaya menjamin hak-hak dasar manusia. Yunianti juga menyatakan bahwa terjadi kesenjangan pikir dalam hal penolakan terhadap revisi pasal perzinaan. "Ada anggapan bahwa menolak pasal perzinaan dianggap sama dengan mendukung tindak perzinaan, padahal kedua hal tersebut tidaklah sama", tutur Yuni. Penolakan terhadap RKUHP ini seharusnya dipahami sebagai sikap kehati-hatian untuk memastikan agar perempuan tidak dijadikan sebagai sasaran penghukuman. RKUHP yang ada saat ini menurut Yuni berpotensi mengriminalkan 2 juta perempuan yang tidak mencatatkan pernikahannya, termasuk di dalamnya perempuan adat, anak-anak dan perempuan korban kekerasan seksual, karena mereka disimplifikasi sebagai pelaku extra marital sex. Yuni melihat menyatakan bahwa pengalaman perempuan sangat penting untuk diakomodasi dalam perumusan produk hukum. “Reformasi hukum harus mendengar suara korban, mendengar suara perempuan. Bukan hanya demi menjamin hak konstitusional warga negara, melainkan juga demi menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menghargai hak asasi dan menganut hukum yang beradab” tutur Yuni. Dr. Hetifah Sjaifudian, Presidium KPPI RI, Wakil Ketua Komisi 10 DPR RI dan Ketua Perempuan Partai Golkar, menyatakan bahwa sepakat dengan sejumlah isu yang telah disampaikan oleh Yunianti dan Atnike dan menjadikan hal tersebut sebagai catatan penting bagi proses pembuatan RUU KUHP. Menurut Hetifah, 20 tahun pasca reformasi sejumlah regulasi hukum yang ada belum sepenuhnya ramah terhadap perempuan dan belum sungguh-sungguh mendukung keadilan gender. Menurut Hetifah penting agar perspektif gender disertakan dalam setiap regulasi dan mempertimbangkan dampak dari setiap kalimat atau klausul dalam regulasi hukum secara seksama. Menurut Hetifah mendorong agenda keadilan gender di dalam proses pembuatan regulasi legislatif memang sangat sulit mengingat sedikitnya jumlah perempuan di dalam proses tersebut. Dalam kesempatan tersebut, Hetifah juga memberikan apresiasi atas dialog-dialog yang telah dilakukan oleh para akademisi, civil society dan legislator dalam upaya menghasilkan kebijakan yang lebih baik. Diskusi terbatas oleh Jurnal Perempuan, Komnas Perempuan, Komisi 3 dan 10 DPR RI saat itu berupaya mendorong lahirnya produk hukum pidana dalam hal ini KUHP yang menghormati kemanusiaan, menjunjung kesetaraan gender, keadilan dan keadaban bangsa. (Abby Gina) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |