Dalam rangka peringatan 69 tahun kemerdekaan RI, Megawati Institute menggelar acara bertajuk “Masa Depan Keberagaman dan Kebangsaan Kita” yang diisi dengan pidato kebudayaan oleh tokoh muda Indonesia Dewi Candraningrum yang juga PemredJurnal Perempuan dan peluncuran buku yang merupakan proyek Megawati Institute dalam menyuarakan ide-ide strategis untuk bangsa pada Sabtu (23/8) di Gedung Djoeng, Menteng, Jakarta. Dalam sambutannya, Direktur Megawati Institute, Musdah Mulia mengatakan buku Memoria Indonesia Bergerak merupakan kumpulan tulisan dari alumni sekolah pemikiran pendiri bangsa yang melakukan tinjauan terhadap pemikiran para founding father/mother. Hampir sama dengan Memoria Indonesia Bergerak, bukuUdah Kenal dengan Pendiri Indonesia? juga mengangkat gagasan para pendiri bangsa namun ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna oleh anak muda. Lebih lanjut Musdah menjelaskan selain persoalan kebangsaan, persoalan perempuan juga menjadi topik yang diangkat. Buku Selamatkan Ibu Selamatkan Bangsa adalah kumpulan tulisan dari para pemenang lomba dalam rangka hari Ibu yang diadakan Megawati Institute dengan mengangkat isu soal Angka Kematian Ibu (AKI) yang masih tinggi. Sementara buku Kemuliaan Perempuan dalam Islam mengangkat isu tentang Islam sebagai agama yang ramah terhadap perempuan. Buku ini merupakan pedoman sehingga orang islam tidak akan lagi berpikir bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin atau menjadi makhluk nomor dua. Terakhir, buku Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender mengupas kesetaraan dan keadilan gender dalam perspektif Islam. Megawati Institute berharap dengan diseminasi buku-buku ini maka akselerasi atas gagasan kebangsaan dan keberagaman semakin meningkat. Sementara itu dalam pidato kebudayaan yang berjudul ”Negara, Politik dan Hasrat Manusia”, Dewi Candraningrum membedah ide Habermas tentang ruang publik dalam Strukturwandel der Öffentlichkeit yang berbicara tentang kelahiran arena publik sebagai arena intelektual yang diciptakan oleh publik yang membaca, publik yang berdebat, dengan konteks masyarakat Eropa awal abad ke-18. Strukturwandel melakukan rekonstruksi atas versi ideal dari ruang publik yang berfungsi sebagai dasar penilaian atas kesehatan masyarakat demokratis. Dewi kemudian mengritisi gagasan Habermas dari perspektif postmodern-feminisme terkait dengan menguatnya pasar, munculnya world wide web dan diraihnya hak-hak politik modern bagi gender ketiga. Dalam pidatonya Dewi juga mempersoalkan kebutaan-kebutaan Habermas dalam membaca gender yang cukup sistematis. Ia kemudian menutup pidatonya dengan mengupas pertanyaan tentang bagaimana cara merayakan kegembiraan-kegembiraan politik. (Anita Dhewy) Jurnal Perempuan lahir dari gagasan para pendiri yang melihat bahwa ide feminisme belum mendapat tempat di Indonesia pada saat itu. Inisiasi secara spontan pun berlangsung, yaitu dengan mengumpulkan dana awal untuk membiayai penerbitan sebuah jurnal. Tanpa terasa, tahun ini usia Jurnal Perempuan mencapai angka 18. Usia yang mencerminkan proses perjuangan panjang dan pencapaian penting dalam menyebarkan ide feminisme bagi masyarakat luas. Hal itu dituturkan oleh Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi Roosseno sewaktu memberikan sambutan saat membuka acara Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-8 di Galeri Cemara, Minggu (24/8). Dalam kegiatan tersebut berlangsung perayaan hari jadi JP ke-18 sekaligus diskusi dengan tema "Politik dan Status Perempuan sebagai Liyan". Di mata Toeti, sesuatu yang mendasari feminisme adalah gugatan rasa keadilan. "Namun siapa yang menjamin hidup ini adil? Kita harus mendudukkan keadilan dalam konteks yang luas. Hidup belum tentu adil, tapi kita harus perjuangkan keadilan itu," ujarnya. Gugatan itu bahkan sudah berlangsung sejak berabad-abad lampau meskipun tidak diberi label feminisme, namun secara esensi sama, yaitu memprotes ketidakadilan. Contoh yang disebutkan adalah gugatan seorang perempuan bernama Floria yang dianggap sebagai penggoda Santo Agustinus, padahal Floria dan anaknyalah yang ditelantarkan. Suara perempuan seperti Floria tidak boleh dibungkam meskipun harus berhadapan dengan otoritas yang dianggap suci sekalipun. Di masa sekarang, bandul feminisme sudah sedemikian rupa berayun mengikuti perubahan yang terus terjadi. Dalam konteks sosial-politik Indonesia, Guru Besar Filsafat FIB UI ini mencermati adanya kontradiksi perjuangan perempuan dengan maraknya perda-perda diskriminatif perempuan di berbagai daerah. Di sisi lain, dalam dunia sastra telah tumbuh gebrakan para penulis perempuan kontemporer yang menghadirkan tema berani mengenai tubuh dan eksistensinya sebagai perempuan. Termasuk di dalamnya pilihan akan orientasi seksual yang selama ini dianggap tabu. Jurnal Perempuan sendiri telah hadir merekam berbagai peristiwa tersebut dengan pendalaman perspektif feminisme, sebuah pendekatan yang menjadi ciri khas JP. Di akhir sambutan, Prof. Toeti mengucapkan: "Usia 18 tahun sudah cukup panjang. Selamat ulang tahun untuk kita semua, semakin berkembang semakin mendekati sasaran dan tujuan JP". (Nataresmi) Indriyani Sugiharto, peraih beasiswa Jurnal Perempuan tahun 2014 menceritakan bagaimana ia harus menghadapi persoalan berlapis ketika ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di hadapan para undangan yang menghadiri kegiatan Gathering Sahabat Jurnal Perempuan, bertempat di Galeri Cemara, Minggu (24/8). Indriyani berasal dari desa Sumpiuh, Banyumas, tidak mudah baginya untuk bisa bersekolah tinggi. Pertama, kondisi ekonomi keluarga (ayahnya seorang tukang servis radio sedangkan ibunya pekerja rumah tangga) dan kedua, statusnya sebagai perempuan. Di daerahnya, hanya anak-anak yang berasal dari keluarga PNS atau golongan berada yang dianggap bisa kuliah. Di dalam keluarganya sendiri, Indriyani menghadapi perlakuan berbeda. Saudara laki-lakinya diberi kesempatan untuk bersekolah tinggi, sedangkan ia sebagai anak perempuan dianggap tidak layak melanjutkan kuliah. Berkat kegigihannya, kini Indriyani menempuh pendidikan di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada. Sewaktu mendaftarkan diri sebagai calon penerima beasiswa, Indriyani diminta membuat karya tulis bertema perempuan. Seleksi tulisan merupakan salah satu kriteria penilaian. Dan ketika menjadi salah satu kandidat penerima beasiswa, Indri mendapat kesempatan untuk menuangkan tulisannya di blog Jurnal Perempuan. Salah satu tulisannya mengangkat pengalamannya ketika magang di organisasi pekerja rumah tangga perempuan yang ada di Yogyakarta, yang dapat dibaca di https://www.jurnalperempuan.org/blog/kesehatan-perempuan-pekerja-rumah-tangga-siapa-yang-harus-peduli. Selanjutnya, Indriyani aktif menulis di website Jurnal Perempuan. Ternyata, ada respons diluar dugaan Indri atas tulisan-tulisannya. Seorang teman laki-lakinya di kampus memberikan komentar, apakah ia sudah menjadi seorang feminis? Stereotyping terhadap feminis masih melekat dalam benak banyak orang, di antaranya berambut pendek, tidak mau menikah dan memusuhi laki-laki. Oleh karena itu, Indriyani disarankan agar jangan menjadi feminis. Menyadari prasangka seperti itu, Indriyani merasa menulis merupakan langkah awal untuk memberikan pencerahan bagi cita-cita kesetaraan. (Nataresmi) Dalam diskusi bertema "Politik dan Status Perempuan sebagai Liyan", di Galeri Cemara, Minggu (24/8), peneliti CSIS Philips J. Vermonte memaparkan data terkait representasi perempuan dalam dunia politik. Dari hasil telaahnya, ia membuat kesimpulan bahwa penambahan jumlah politisi perempuan meningkatkan keaktifan orang dalam berpolitik. Data di sejumlah negara Eropa menujukkan korelasi kenaikan jumlah perempuan di parlemen dengan tingkat keterlibatan perempuan lain dalam politik. Misalnya menambah diskusi politik antara perempuan, menyurati anggota parlemen, berpartisipasi dalam aksi demo, serta mendorong pengesahan kebijakan publik. Peningkatan keterlibatan perempuan juga ternyata memancing makin tingginya keterlibatan laki-laki. Fenomena yang sama tidak terjadi jika jumlah politisi laki-laki meningkat. Bagaimana representasi perempuan dalam politik di Indonesia? Demokrasi di negara kita ternyata masih menghadapi problem representasi yang cukup serius di mata Philips. Ada tiga persoalan representasi: pertama, hubungan perempuan dan partai sendiri timpang sehingga demokrasi berlangsung tidak sehat. Kedua, kualitas internal partai berpengaruh terhadap kondisi persoalan rekrutmen, seleksi dan regenerasi politisi. Ketiga, kualitas individu politisi masih rendah. Dari proses pemilu legislatif 2014, dihasilkan anggota parlemen perempuan periode mendatang sebanyak 18,2%. Kualitas politisi perempuan sendiri belum teruji, apalagi jika menakar latar belakang sebagian politisi yang berasal dari dinasti politik daerah. Menyikapi rendahnya representasi politisi perempuan di DPR sekarang, Philips menyarankan 3 agenda ke depan, yaitu: agenda riset, mempertimbangan ulang sistem pemilu, serta mengadvokasi partai politik diantaranya penguatan sistem rekrutmen dan kaderisasi. (Nataresmi) Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menyelenggarakan training bagi Duta Sahabat Jurnal Perempuan-Kampus yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai universitas di kantor YJP, Jumat 22 Agustus 2014. Pelatihan yang diikuti 21 peserta hasil seleksi terhadap puluhan mahasiswa yang memasukkan aplikasi ke YJP ini bertujuan untuk mengasah sensitivitas gender dan pengetahuan tentang feminisme, mengajak peserta memahami permasalahan perempuan dan mengenalkan Jurnal Perempuansebagai produk pengetahuan. Dalam sambutannya, Deedee Achriani selaku penggagas Duta SJP-Kampus sekaligus Direktur Pengembangan JP menegaskan kembali mengenai kelahiran Jurnal Perempuan yang berangkat dari ide pencerahan dan kesetaraan melalui paradigma feminisme. Mahasiswa dibidik sebagai penyemai ide tersebut mengingat pengembangan ilmu pengetahuan diperoleh di masa kuliah. Selain itu, mahasiswalah yang akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di masa depan. Bagi JP, peran strategis ini menjadikan mahasiswa sebagai agen penting dalam penyebaran ide feminisme dan kesetaraan. Diharapkan setelah melewati pelatihan tersebut, para duta kampus ini dapat mengemban cita-cita kesetaraan dalam lingkup lebih luas. (Nataresmi) Dalam "Training Gender dan Feminisme untuk Duta SJP-Kampus” yang diselenggarakan YJP pada hari Jumat, 22 Agustus 2014, Direktur Eksekutif YJP Nazmiyah Sayuti menceritakan sejarah awal kelahiran Jurnal Perempuan di kampus Universitas Indonesia di hadapan 21 mahasiswa peserta pelatihan. Pelatihan bertujuan menambah ruang partisipasi mahasiswa dalam penyebaran ide kesetaraan dan feminisme. Para mahasiswa ini akan berperan sebagai duta kampus sekaligus sahabat JP dalam mengusung cita-cita bersama. Untuk mewujudkan harapan tersebut, interaksi antara JP, duta kampus JP serta masyarakat kampus harus terjalin dalam sinergi dengan dampak terukur. Duta SJP-Kampus adalah program yang digagas YJP dengan mengajak mahasiswa untuk menjadi duta dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender. Mereka diharapkan aktif menyosialisasikan pengetahuan JP melalui outreach produk-produk bacaan sebagai realisasi dari penyebaran pengetahuan, sensitivitas dan aktivisme feminisme. (Nataresmi) Bertempat di Bentara Budaya Balai Soedjatmoko Surakarta, Rabu (20/8/2014) komunitas Jejer Wadon yang dihadiri oleh 30 orang menggelar acara rutin bulanan dengan tema Pemutaran dan Diskusi Film Pencari Keadilan. Film yang diproduksi oleh Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab) bekerja sama dengan Etnoreflika dan didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) diambil dari kisah nyata seorang perempuan difabel mental intelektual dan rungu wicara yang menjadi korban perkosaan dan pencabulan. Film yang juga bercerita tentang advokasi kasus tersebut menggambarkan mekanisme peradilan di Indonesia. Fanny Chotimah, feminis dan filmmaker yang mengupas film Pencari Keadilan mengatakan bahwa film ini efektif untuk mengampanyekan isu kekerasan yang dialami oleh perempuan. Purwanti, pembicara dari Sigab menyatakan bahwa setiap perempuan korban kekerasan selalu mengalami trauma berkepanjangan. Banyak kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan difabel yang tidak masuk dalam ranah peradilan di Indonesia karena kebijakan dan sistem yang tidak berpihak kepada difabel. “Dengan adanya film ini maka diharapkan ada gerakan masif yang berdampak secara sistemik yang mengubah paradigma,”tutur Purwanti. Dilihat dari sisi pembuatan film itu sendiri, Purwanti melihat adanya kemanfaatan yang besar dengan hilangnya ego sektoral di kalangan difabel. “Film ini juga salah satu hasil refleksi sehingga bermacam-macam jenis difabel turut berpartisipasi dalam pembuatan yakni difabel daksa, netra, rungu wicara dan cerebral palsy. Kami bekerja sama dengan nondifabel dan terjadi proses peleburan lalu berpikir bagaimana film ini dibuat mudah diakses bagi semua,”tambah Purwanti, pemeran film dan pelaku advokasi untuk korban. Pada sesi diskusi, Elizabeth Yulianti Rahardjo, pegiat Jejer Wadon dari LPH-YAPHI menanyakan tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pendamping perempuan difabel yang berhadapan dengan hukum. Purwanti menjelaskan bahwa saat ini belum ada Standard Operating Procedure (SOP) yang menjadi pijakan bagi pendamping perempuan difabel yang berhadapan dengan hukum. Purwanti juga mengemukakan bagaimana saat ini sistem peradilan di Indonesia dalam menangani korban kekerasan masih mengacu kepada umur berdasarkan kalender, bukan usia mental. “Melihat sebuah karya dari unsur intrinsik dan ekstrinsik, film Pencari Keadilan bisa dikatakan berhasil menyampaikan pesan tentang advokasi perempuan korban kekerasan seksual ,”pungkas Fanny Chotimah pada diskusi yang dimoderatori oleh Astuti Parengkuh. (Astuti Parengkuh) Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) yang menjadi mitra Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammernarbeit (GIZ) Indonesia, Timor Leste dan Asean masuk dalam spotlight Gender Week GIZ 2014. Gender Week adalah even tahunan yang didesain untuk mengangkat komitmen, kekayaan pengalaman dan keahlian GIZ dalam bidang gender. Sebuah upaya untuk menemukan dan menyebarluaskan praktik-praktik terbaik yang bertujuan untuk mengembangkan inovasi dan menyebarkan gagasan-gagasan baru dan meningkatkan kompetensi gender secara terus-menerus. Tahun ini 27 negara ambil bagian secara aktif dalam Gender Week yang digelar di Eschborn, Bonn dan Berlin, dan di negara-negara mitra. GIZ Gender Working Group Indonesia, Timor Leste dan Asean menggelar Gender Week di Indonesia pada Maret silam dengan mengangkat tema “Meningkatkan Hak-Hak Perempuan”. Pada even ini diluncurkan booklet—yang merupakan hasil kolaborasi antara GIZ Indonesia, Timor Leste dan Asean dengan Jurnal Perempuan—berjudul “Memahami Gender” yang diterbitkan dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. (Anita Dhewy) Komunitas Penulis Perempuan Indonesia (KPPI) menggelar diskusi buku puisi Pulang Melawan Lupa karya Zubaidah Djohar dengan tajuk “Perempuan, Sastra dan Perdamaian” pada Jumat 15 Agustus 2014 di Balai Budaja Jakarta bertepatan dengan peringatan penandatanganan perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia sembilan tahun silam. Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan yang menjadi salah satu pembicara membahas soal politik memori, amnesia sosial dan karya sastra sebagai pengungkap kebenaran. Ia mengatakan bahwa Politik memori perlu dibangun, karena ia berfungsi untuk merehabilitasi dan mengusahakan rekonsiliasi dalam situasi pasca konflik. Museum sebagai salah satu situs ingatan, tidak hanya mewujud dalam bentuk fisik, akan tetapi juga non fisik, seperti misalnya penulisan puisi, pembuatan film, penciptaan lukisan, dan lain-lain. Upaya penulisan sejarah lewat karya sastra ini menjadi penting. Mengapa karya sastra? Karena kesusastraan ibarat samudra yang bisa menampung semua, ada metafora, aporisma, juga hiberbola di dalamnya. Lebih lanjut Dewi mengatakan pengalaman-pengalaman perempuan yang mengalami perkosaan—seperti ditulis Zubaidah dalam puisinya Inikah Damai itu, Tuan?—tidak masuk dalam sejarah formal. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Jerman, di negara tersebut, puisi-puisi semacam ini diajarkan dan dipelajari di sekolah. Tanpa memaksakan bahwa apa yang termaktub dalam karya sastra tersebut adalah sejarah, dengan membaca, mendengarkan, bagaimana puisi tersebut dibacakan merupakan sebuah jalan membangun retorika melawan kesewenangan dan ketakadilan zaman. Dengannya, pembaca memberikan telinganya untuk melakukan re-apropriasi bentuk sejarah baru yang lebih adil. Sementara Pande K. Trimayuni dari Indonesian Womes’s Literary yang juga menjadi pembicara mengupas soal konflik, dampaknya bagi perempuan dan peran yang seharusnya diambil negara. Ia memaparkan bahwa sejak Perang Dunia II paham yang berlaku adalah realis-positivis yang memandang perang sebagai keniscayaan. Bangsa-bangsa akan berjuang untuk mendapatkan kekuasaan, sehingga perdamaian adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Namun pada tahun 1980-an muncul pemikiran yang menentang, salah satunya dari kelompok feminis. Feminis percaya bahwa ada pilihan selain konflik. Kelompok feminis juga percaya bahwa konflik terjadi karena sifat-sifat maskulin lebih dominan. Sifat maskulin ini tidak hanya dimiliki laki-laki, tetapi juga perempuan. Bagi kelompok feminis, dialog adalah cara untuk mengakhiri konflik. Nilai-nilai perdamaian seperti mengutamakan dialog, adalah nilai-nilai feminin, yang ada pada laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut Pande mengatakan dalam konteks Aceh, paham maskulin ini yang dominan. Dalam situasi konflik, perempuan rentan menjadi korban. Perkosaan menjadi isu yang sangat memprihatinkan dan dipakai sebagai teror, alat perang. Dan sayangnya sampai sekarang masih sulit membawa para pelaku ke pengadilan. Di Aceh belum pernah terdengar para pelaku disidang dan diadili. Di sisi lain, perempuan—yang banyak menjadi korban—kesulitan mengartikulasikan pengalaman kekerasan dan trauma yang dialami. Sehingga butuh upaya khusus untuk menuliskan dan butuh pendekatan personal. Di sini peran negara adalah memfasilitasi, memberi repatriasi dan pemulihan. Sehingga kejadian semacam ini dapat menjadi pembelajaran dan tidak terjadi kembali. Dalam konteks sastra menjadi tantangan tersendiri untuk mengangkat suara korban. Sementara itu Yenti Nurhidayat Ketua KPPI ketika membuka acara mengungkapkan bahwa semangat dari kegiatan ini adalah mengingat kembali semangat perdamaian dari perjanjian damai yang disepakati antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 dan sekaligus menolak lupa atas kekerasan yang dialami perempuan dan anak yang menjadi korban dalam konflik Aceh. Selain Jakarta, acara sejenis juga berlangsung serentak di dua kota, Aceh dan Canberra. Lebih lanjut Yenti mengatakan dengan semangat melawan lupa pula KPPI memilih untuk menggelar diskusi di Balai Budaja mengingat gedung itu dulu pernah menjadi pusat aktivitas budaya dari para penulis dan penyair, seperti Chairil Anwar. Acara ditutup dengan pembacaan puisi oleh sejumlah penampil seperti Milastri Muzakkar, Olin Monteiro, Gayatri Muthahari, BJD Gayatri, dan lain-lain. (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |