Komunitas Penulis Perempuan Indonesia (KPPI) menggelar diskusi buku puisi Pulang Melawan Lupa karya Zubaidah Djohar dengan tajuk “Perempuan, Sastra dan Perdamaian” pada Jumat 15 Agustus 2014 di Balai Budaja Jakarta bertepatan dengan peringatan penandatanganan perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia sembilan tahun silam. Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan yang menjadi salah satu pembicara membahas soal politik memori, amnesia sosial dan karya sastra sebagai pengungkap kebenaran. Ia mengatakan bahwa Politik memori perlu dibangun, karena ia berfungsi untuk merehabilitasi dan mengusahakan rekonsiliasi dalam situasi pasca konflik. Museum sebagai salah satu situs ingatan, tidak hanya mewujud dalam bentuk fisik, akan tetapi juga non fisik, seperti misalnya penulisan puisi, pembuatan film, penciptaan lukisan, dan lain-lain. Upaya penulisan sejarah lewat karya sastra ini menjadi penting. Mengapa karya sastra? Karena kesusastraan ibarat samudra yang bisa menampung semua, ada metafora, aporisma, juga hiberbola di dalamnya. Lebih lanjut Dewi mengatakan pengalaman-pengalaman perempuan yang mengalami perkosaan—seperti ditulis Zubaidah dalam puisinya Inikah Damai itu, Tuan?—tidak masuk dalam sejarah formal. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Jerman, di negara tersebut, puisi-puisi semacam ini diajarkan dan dipelajari di sekolah. Tanpa memaksakan bahwa apa yang termaktub dalam karya sastra tersebut adalah sejarah, dengan membaca, mendengarkan, bagaimana puisi tersebut dibacakan merupakan sebuah jalan membangun retorika melawan kesewenangan dan ketakadilan zaman. Dengannya, pembaca memberikan telinganya untuk melakukan re-apropriasi bentuk sejarah baru yang lebih adil. Sementara Pande K. Trimayuni dari Indonesian Womes’s Literary yang juga menjadi pembicara mengupas soal konflik, dampaknya bagi perempuan dan peran yang seharusnya diambil negara. Ia memaparkan bahwa sejak Perang Dunia II paham yang berlaku adalah realis-positivis yang memandang perang sebagai keniscayaan. Bangsa-bangsa akan berjuang untuk mendapatkan kekuasaan, sehingga perdamaian adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Namun pada tahun 1980-an muncul pemikiran yang menentang, salah satunya dari kelompok feminis. Feminis percaya bahwa ada pilihan selain konflik. Kelompok feminis juga percaya bahwa konflik terjadi karena sifat-sifat maskulin lebih dominan. Sifat maskulin ini tidak hanya dimiliki laki-laki, tetapi juga perempuan. Bagi kelompok feminis, dialog adalah cara untuk mengakhiri konflik. Nilai-nilai perdamaian seperti mengutamakan dialog, adalah nilai-nilai feminin, yang ada pada laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut Pande mengatakan dalam konteks Aceh, paham maskulin ini yang dominan. Dalam situasi konflik, perempuan rentan menjadi korban. Perkosaan menjadi isu yang sangat memprihatinkan dan dipakai sebagai teror, alat perang. Dan sayangnya sampai sekarang masih sulit membawa para pelaku ke pengadilan. Di Aceh belum pernah terdengar para pelaku disidang dan diadili. Di sisi lain, perempuan—yang banyak menjadi korban—kesulitan mengartikulasikan pengalaman kekerasan dan trauma yang dialami. Sehingga butuh upaya khusus untuk menuliskan dan butuh pendekatan personal. Di sini peran negara adalah memfasilitasi, memberi repatriasi dan pemulihan. Sehingga kejadian semacam ini dapat menjadi pembelajaran dan tidak terjadi kembali. Dalam konteks sastra menjadi tantangan tersendiri untuk mengangkat suara korban. Sementara itu Yenti Nurhidayat Ketua KPPI ketika membuka acara mengungkapkan bahwa semangat dari kegiatan ini adalah mengingat kembali semangat perdamaian dari perjanjian damai yang disepakati antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 dan sekaligus menolak lupa atas kekerasan yang dialami perempuan dan anak yang menjadi korban dalam konflik Aceh. Selain Jakarta, acara sejenis juga berlangsung serentak di dua kota, Aceh dan Canberra. Lebih lanjut Yenti mengatakan dengan semangat melawan lupa pula KPPI memilih untuk menggelar diskusi di Balai Budaja mengingat gedung itu dulu pernah menjadi pusat aktivitas budaya dari para penulis dan penyair, seperti Chairil Anwar. Acara ditutup dengan pembacaan puisi oleh sejumlah penampil seperti Milastri Muzakkar, Olin Monteiro, Gayatri Muthahari, BJD Gayatri, dan lain-lain. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |