Kamis (18/10) bertempat di Grand Cemara Hotel, Jakarta Pusat, Kalyanamitra mengadakan acara diskusi publik “Menuju Posyandu yang Adil Gender dan Berkualitas”. Acara ini menghadirkan oleh Adriansyah (Kepala Bidang Pembangunan Bappeda DKI Jakarta), Titin Muktini (Pemda DKI Jakarta) dan Ruth Indiah Rahayu (Peneliti) sebagai pembicara. Listyowati (Ketua Kalyanamitra) dalam sambutannya menyampaikan bahwa kalyanamitra memiliki fokus untuk mendorong Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada goal 3 tentang menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia dan goal 5 tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Guna mendorong tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut, Kalyanamitra membuat program Audit Gender Partisipatif (AGP) untuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di tiga tempat yaitu Kelurahan Cipinang Besar Utara, Kelurahan Pejaringan, dan Desa Banjaraya. Pada Audit Gender Partisipatif (AGP) untuk layanan Posyandu tim Kalyanamitra menemukan sejumlah permasalahan seperti kurangnya pendidikan sensitifitas gender dan kurangnya sosialisasi kepada kader posyandu terkait pengetahuan perkembangan gizi anak dan ibu. Bagi Kalyanamitra Posyandu sebagai lembaga masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu jalan untuk mencapai tujuan goal 3 dan 5 dari SDGs. Oleh karena itu, Kalyanamitra memberikan rekomendasi bagi pemangku kebijakan yakni menjadikan posyandu sebagai bagian penting dalam proses pembangunan, mengalokasikan anggaran yang cukup untuk semua program Posyandu, memastikan adanya program pendidikan dan pelatihan kader, memberikan dana insentif untuk kader, menyelenggarakan pendidikan sensitifitas gender, dan melakukan upaya Pengarusutamaan Gender (PUG). Dalam acara tersebut Titin Muktini mengungkapkan bahwa minimnya dukungan pada Posyandu disebabkan oleh kebijakan yang tumpang tindih misalnya pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2011 dituliskan perlu adanya sosialisasi, rapat koordinasi, konsultasi, workshop, dan lomba. Sementara itu tidak tertulis jelas mengenai anggaran untuk menjalankan program tersebut. Bagi Titin, tumpang tindihnya kebijakan akan berdampak pada hilangnya rasa tanggung jawab sebuah instansi sehingga saling melempar tanggung jawab. "Tidak jarang kader posyandu kebingungan untuk mengurus kebutuhan posyandu, untuk itu perlu ada perbaikan yang signifikan pada kebijakan yang mengatur posyandu", tutur Titin. Sementara itu, Adriansyah mengungkapkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pada pasal 354 bab 14 telah mengatur tentang partisipasi masyarakat. Pada undang-undang tersebut juga diatur tentang kewenangan atributif lurah, camat, dan walikota untuk mengoordinasikan masyarakat dalam pemberdayaan. Sehingga menurut Adriansyah kader posyandu perlu jeli dalam menanyakan pendanaan dan sosialisasi, sebab menurutnya peran lurah, camat, dan walikota hanya sebatas pada urusan koordinasi. Adriansyah melanjutkan bahwa persoalan minimnya anggaran untuk posyandu masih diupayakan. "Pada tahun 2018 anggaran untuk posyandu DKI Jakarta sebesar Rp 120.000.838.298 hanya saja angka ini harus dibagi, sehingga tiap posyandu hanya mendapatkan Rp. 300.000 setiap bulannya", pungkasnya. Ruth Indiah Rahayu menyatakan bahwa dirinya melakukan penelitian pada tahun 2013 tentang Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Hasil temuannya adalah Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) memiliki 10 program yaitu (1) Penghayatan dan pengamalan Pancasila; (2) Gotong royong; (3) Pangan; (4) Sandang; (5) Perumahan dan Tata Laksana Rumah Tangga; (6) Pendidikan dan Ketrampilan; (7) Kesehatan; (8) Mengembangkan kehidupan berkoperasi; (9) Kelestarian Lingkungan Hidup; (10) Perencanaan sehat. Posyandu sebagai salah satu bagian dari PKK fokus pada program kesehatan saja. “Mengapa isu kesehatan hanya berfokus pada kesehatan anak? Padahal penting untuk mengangkat isu kesehatan ibu secara bersamaan. Selama ini kita hanya fokus bahwa PKK dibentuk dari rezim orde baru yang mendomestikasi perempuan. Padahal kita perlu mengingat bahwa yang harus dilakukan adalah merebut PKK dan mengubah prinsip dasar menjadi ramah gender agar PKK tidak dikuasai sejumlah elit” ungkap Ruth. Bagi Ruth PKK perlu direvitalisasi agar ada regenerasi. Selain itu, PKK juga perlu memberi ruang untuk pemikiran baru masuk dan mengisi prinsip PKK seperti kesehatan yang fokus pada kesehatan anak dan juga ibu agar tidak ada kesenjangan diantara keduanya. (Iqraa Runi) Selain R.A Kartini, apakah anda pernah mendengar nama R.A Sutartinah, R.A Sri Sulandari, dan Nyi Siti Sukaptinah? Mungkin nama-nama tersebut terdengar asing di telinga banyak orang, tetapi siapa yang tidak mengenal Ki Hajar Dewantara dan sekolah Taman Siswa yang didirikan olehnya? Ketiga nama perempuan yang disebut di atas merupakan tiga tokoh penting dalam sekolah Taman Siswa. R.A Sutartinah merupakan nama asli dari Nyi Hajar Dewantara, istri dari Ki Hajar Dewantara yang juga mengurus dan meneruskan perjuangan Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa. Selama ini perjuangan dari R.A Sutartinah luput dalam sejarah kebangsaan Indonesia, tidak hanya beliau, perempuan-perempuan lain selain R.A Kartini pun luput dalam narasi besar sejarah bangsa Indonesia. Diskusi mengenai sejarah perempuan dalam konteks kebangsaan menjadi topik utama dalam Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 98 Perempuan dan Kebangsaan yang berlangsung pada hari Kamis, 11 Oktober 2018 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Diskusi publik hasil kerjasama Yayasan Jurnal Perempuan dan Departemen Sejarah UGM tersebut terdiri dari dua sesi. Diskusi sesi pertama memiliki tema "Perempuan dalam Sejarah Awal Kebangsaan Indonesia" dan diskusi sesi kedua memiliki tema "Sejarah Perempuan dan Tantangan Kebangsaan Saat ini". Pada diskusi sesi kedua, Iqraa Runi (Redaksi Jurnal Perempuan), Meike Lusye Karolus (Peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM), dan Galuh Ambar Sasi (Alumnus Program Studi S2 Ilmu Sejarah FIB UGM) hadir sebagai pembicara. Acara diskusi yang berlangsung interaktif tersebut dipandu oleh Makrus Ali (Alumnus Program Studi Ilmu Sejarah FIB UGM) sebagai moderator. Pada sesi kedua ini, ketiga pembicara menyampaikan hasil penelitian mereka yang berupaya mengisi ruang kosong dalam sejarah yang selama ini melupakan narasi perempuan. Para pembicara membahas perempuan dalam konteks kebangsaan saat ini dengan perspektif dan juga topik yang berbeda satu dengan lainnya. Iqraa Runi membuka presentasinya dengan menyampaikan pertanyaan dari Virginia Woolf mengenai kebangsaan, "What does our country mean to me, an outsider? In fact, as a women, I have no country. As a women I want no country. As a women my country is the whole word.". Pernyataan dari Virginia Woolf tersebut menurut Iqraa menjadi pengingat bagi para feminis masa kini yang belum memiliki pertanyaan tentang kebangsaan. Lebih jauh Iqraa menjelaskan bahwa perempuan sesungguhnya telah mengintegrasikan diri dalam konteks kebangsaan yang dapat dibuktikan melalui jejak-jejak sejarah seperti Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1926, Kongres Sumpah Pemuda 1928, dan Kongres Perempuan 22 Desember 1928. Meski demikian, momen integrasi kepentingan politik perempuan dalam konteks kebangsaan yang ada saat ini sangat bersifat maskulin. Iqraa menjelaskan bahwa kepentingan perempuan yang dibicarakan masih dilihat dari sudut pandang maskulin dan melihat perempuan dalam posisi subordinat sehingga wacana kebangsaan belum mengutamakan kepentingan perempuan seutuhnya. Padahal bagi Iqraa, konsep kebangsaan yang dibutuhkan oleh perempuan sangatlah sederhana yakni untuk berjuang dan berkembang menjadi warga negara seutuhnya. Setelah paparan dari Iqraa, Meike Lusye Karolus, menyampaikan hasil risetnya yang merupakan hasil dari kajian budaya populer yakni analisis film yang mengkaji perempuan dalam film-film Indonesia yang bertemakan Indonesia Timur. Menurut Meike, definisi Indonesia Timur dalam film-film Indonesia masih kabur, artinya belum ada definisi yang jelas, apakah itu definisi geografis, ras atau level pembangunan. Dalam risetnya, Meike menggunakan perspektif dan teori feminis dalam mengkaji film Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara (2016) karya Herwin Novianto, Salawaku karya Pritagita Arianegara (2016), dan Marlina: Si Pembunuh dalam 4 Babakkarya Mouly Surya (2017).Meike menyampaikan analisanya terhadap film Marlina. Ia menceritakan bagaimana Marlina yang merupakan korban kekerasan seksual berusaha untuk mendapatkan keadilan. Meike menjelaskan bahwa cerita film Marlina sangat feminis, namun pembuatnya masih menggunakan bahasa patriarki yakni kekerasan. Meike melihat bahwa film-film tentang Indonesia Timur yang ada masih belum dapat merepresentasikan perempuan dan juga keseluruhan Indonesia Timur dalam kerangka yang setara dan adil. Kemudian, Galuh Ambar Sasi menyampaikan hasil penelitiannya yang melihat bagaimana para sejarawan hanya berfokus pada perempuan sebagai subjek penelitian, tanpa melihat relasi perempuan dengan kehidupan sekitarnya pada masa itu seperti konteks masa itu, ideologi yang berkembang, hingga kedudukan perempuan tersebut dalam keluarganya. Konsep keberagaman dalam kebangsaan di Indonesia dinilai Galuh sudah memudar bahkan tidak pernah terdengar lagi. "Saat ini konteks kebangsaan sangat lekat dengan agama, dalam hubungannya dengan perempuan, seringkali perempuan hanya dijadikan tempelan saja dalam dunia politik yang kerap dikaitkan dengan kebangsaan", tutur Galuh. Lebih jauh, Galuh menggarisbawahi pentingnya literasi untuk mengubah citra perempuan yang kini hanya sekadar 'tempelan' dalam kepentingan politik semata sehingga keterlibatan perempuan pada konteks perempuan tidak lagi terlupakan atau ditulis dengan konteks yang salah dalam narasi sejarah. Galuh juga mengingatkan bahwa terdapat beberapa hal penting dalam menulis sejarah perempuan yaitu sebagai upaya untuk merayakan kebhinekaan sehingga keberagaman perlu diperhatikan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah diksi ialah posisi perempuan dalam kaitannya dengan konteks masa itu dan sensitivitas sejarawan dalam melihat permasalahan perempuan. Setelah ketiga paparan dari pembicara, acara dilanjutkan dengan diskusi antara peserta dengan pembicara. Moderator memberikan ruang bagi peserta untuk memberikan komentar, masukan dan pertanyaan. Hasil paparan pembicara, riset dan diskusi pada sesi kedua ini menunjukkan bahwa perempuan dalam konteks kebangsaan masa kini masih menghadapi tantangan yang sama dalam konteks sejarah masa lalu, yaitu bagaimana perempuan dapat hadir dan dihadirkan dalam isu dan persoalan kebangsaan sehingga dapat menciptakan suatu narasi sejarah baru bangsa Indonesia yang tidak lagi melihat perempuan sebagai penghias belaka. (Bella Sandiata) Kamis (11/10) bertempat di Gedung R. M. Margono Djojohadikusumo, Universitas Gadjah Mada, Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan acara Pendidikan Publik JP 98 Perempuan dan Kebangsaan kerjasama dengan Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada. Acara yang dihadiri oleh lebih dari 80 peserta dari berbagai kalangan ini terdiri dari dua sesi diskusi. Pada sesi diskusi pertama, tema yang diangkat adalah "Perempuan dalam Sejarah Awal Kebangsaan". Diskusi sesi pertama yang dimoderatori oleh Andi Misbahul Pratiwi tersebut menghadirkan Siti Utami Dewi Ningrum (Alumnus S2 Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada), Mutiah Amini (Dosen Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada), dan Andi Achdian (Sejarawan) sebagai narasumber. Dalam acara tersebut Siti Utami Dewi Ningrum mempresentasikan hasil risetnya yang juga dimuat dalam JP 98, yang berjudul “Kebangkitan Para Ibu Bangsa Sejak Masa Pergerakan Anti Kolonial Hingga Awal Kemerdekaan Indonesia”. Dalam presentasinya Siti Utami menjelaskan bahwa pada masa pergerakan anti kolonial ada konstruksi atas peran perempuan dan laki-laki, yaitu perempuan sebagai pemangku keturunan dan laki-laki sebagai tiang keturunan. Konstruksi tersebut menurut Siti Utami memengaruhi suasana pendidikan di Taman Siswa--sebagai salah satu simbol pergerakan anti kolonialisme dan gerakan pendidikan modern pada masa itu. Lebih jauh, Siti Utami dalam presentasinya menyebutkan tiga nama perempuan priayi dalam komunitas Taman Siswa yang kemudian ia sebut sebagai "Ibu Bangsa". Ketiga perempuan tersebut ialah Sutartinah atau istri Ki Hajar Dewantara, Sri Sulandari Mangunsarkoro, dan Siti Sukaptinah. Ketiga ibu bangsa tersebut memiliki kontribusi pada Taman Siswa namun tidak banyak diketahui oleh masyarakat peran dan kontribusinya. Siti Utami menjelaskan bahwa Sutartinah mendorong hak atas pendidikan laki-laki dan perempuan yang setara, akan tetapi juga masih mengamini adanya pembagian tugas atau peran gender yaitu perempuan sebagai pemangku keturunan yang akan berkecimpung pada dunia domestik. Siti Utami menjelaskan bahwa pada saat itu Sutartinah lebih memainkan peran sebagai sumbadra atau perempuan lemah lembut. Berbeda dengan Sutartinah, Nyi Sri Sulandari Mangunsarkoro mengarahkan pendidikan perempuan dan laki-laki yang setara. Siti Utami menjelaskan bahwa, Nyi Sulandari menganggap penting bagi perempuan untuk mempelajari semua hal yang dipelajari laki-laki dan mendorong perempuan untuk terlibat dalam wacana kebangsaan baik dari keluarga maupun politik praktis. Selain isu pendidikan perempuan dan kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, isu poligami juga menjadi perhatian Nyi Sri Mangunsarkoro. Ibu bangsa selanjutnya, ialah Siti Sukaptinah yang berdasarkan hasil penelitian Siti Utami, memiliki peran dalam mendorong dan menggerakan arah perjuangan perempuan pada advokasi pemerintahan. Siti Sukaptinah yang kemudian menjadi anggota DPR RI pada tahun 1955 merupakan sosok ibu bangsa yang memperjuangkan kepentingan perempuan untuk masuk ke dalam agenda pemerintahan. Pada tahun 1930 ada perubahan sosial politik di Jawa yang memengaruhi pembagian peran gender. Menurut Siti Utami, pada era itu tak jarang para gadis didoktrin untuk menjadi ibu bagi keluarga dan masyarakat sekaligus. Masa pergerakkan nasional mengubah pemikiran para gadis untuk ikut berjuang baik untuk Indonesia maupun kepentingannya. Tetapi, pergerakkan ibu bangsa menurun pada masa orde baru, sebab pada zaman itu gerakan perempuan dibatasi melalui lembaga negara seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita. Setelah paparan dari Siti Utami, Mutiah Amini, doktoral di bidang Ilmu Sejarah UGM yang juga menulis artikel dalam JP 98 yang berjudul “Bias Gender dalam Historiografi Indonesia dan Penulisan Sejarah Perempuan” mempresentasikan hasil risetnya. Menurut Mutiah, selama ini penulisan historiografi bias dalam menuliskan sejarah perempuan. "Sejarawan Indonesia khususnya pada tahun 1990 jarang menuliskan sejarah perempuan. Tulisan tentang sejarah perempuan Indonesia justru ditulis oleh peneliti asing seperti Cora Vreede-de Stuers, Saskia Wieringa, Elsbeth Locher-Scholten, Susan Blackburn, dan Jean Gelman Taylor", jelas Dosen Departemen Sejarah UGM tersebut. Bagi Mutiah, fenomena tersebut menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar bagi sejarawan Indonesia. Lebih jauh Mutiah mengungkapkan bahwa sebetulnya kedudukan laki-laki maupun perempuan dalam sejarah adalah sama penting. Sayangnya selama ini penulisan sejarah hanya terfokus pada sejarah laki-laki sehingga ketersediaan data tentang sejarah perempuan sangat minim. Padahal menurutnya, penulisan sejarah perempuan tak berfungsi untuk melihat cerita perempuan baik kesehariannya tetapi juga kontribusinya dalam pembentukkan konsep kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan dalam konteks yang lebih luas. Mutiah menjelaskan bahwa penulisan sejarah perempuan harus dilakukan dengan kritis agar tercapainya kebaruan pada penulisan sejarah. Mutiah menegaskan bahwa terdapat dua kesulitan dalam tercapainya penulisan sejarah perempuan, yang pertama ialah kuatnya budaya patriarki di dalam kehidupan masyarakat yang belum mampu digeser oleh para perempuan aktivis, sehingga secara tidak langsung mengganggu kemapanan sejarawan dalam menuliskan sejarah perempuan dan yang kedua ialah tradisi historiografi Indonesia yang belum berani keluar dari arus utama. Mutiah Mengungkapkan bahwa kedua masalah tersebut hanya bisa diselesaikan dengan menuliskan sejarah perempuan sebanyak-banyaknya. Setelah itu, Andi Achdian dalam pemaparannya menjelaskan soal modernitas, kolonialisme dan pergerakan anti kolonial yang dilakukan perempuan. Ia menjelaskan bahwa modernitas yang terjadi pada masa kolonial tidak serta merta memberi ruang gerak pada perempuan, khususnya perempuan kulit putih. Andi Achdian menjelaskan secara khusus untuk konteks Surabaya, terbentuknya Dewan Kota Surabaya atau Gemeenteraad van Soerabaja pada 1906 juga tidak memberikan ruang bagi perempuan di posisi elit. Andi Achdian menjelaskan perempuan kulit putih tersebut berupaya untuk masuk menjadi elit Dewan Kota sebagai upaya untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mirisnya hingga akhir masa kolonialisme, tidak satupun perempuan duduk sebagai elit Dewan Kota Surabaya. Setelah menjelaskan tentang perjuangan perempuan kulit putih untuk masuk dalam Dewan Kota, Andi Achdian mengungkapkan bahwa pemikiran perempuan Indonesia terkait politik dan masyarakat telah ada dan setidaknya tercermin dalam surat-surat Kartini dan buku Sowwarsih Djojopuspito. Kartini menuliskan surat untuk Stella yang didalamnya ada keinginan untuk menjadi perempuan modern yang bekerja untuk kepentingan orang lain. Begitupun Soewarsih dalam bukunya Manusia Baru yang menuliskan pemikirannya mengenai tanah air, desa dan masyarakat. Meskipun gerakan perempuan ada di berbagai lini, namun menurut Andi Achdian Dewan Kota menjadi wahana politik yang potensial untuk menyuarakan isu-isu warga negara. "Sejarah pergerakan anti kolonial di Indonesia tidak bisa dilepaskan relasinya dengan kolonialisme sebagai keseharian dari masyarakat, salah satunya dalam Dewan Kota", tutur Andi Achdian. Lebih jauh, Andi Achdian menyebutkan beberapa kebijakan dan program Dewan Kota yang memberi ruang bagi kepentingan rakyat miskin dan perempuan. Salah satu contohnya adalah program rumah singgah untuk pekerja seks komersial. Isu lainnya yang muncul antara lain soal pemberantasan buta huruf, pendidikan, dan bantuan sosial lainnya. Adanya program tersebut merupakan buah dari pergerakan masyarakat dan seharusnya juga dapat dihadirkan dalam catatan sejarah gerakan anti kolonial yang selama ini mengesampingkan arena Dewan Kota sebagai pusat kajian sejarah. "Dewan kota sebagai arena politik kewargaan, kaum perempuan yang bisa duduk adalah kaum perempuan dari Bumiputera pada masa itu Ny. Soedirman, namun politik perempuan sebetulnya juga telah hadir di sana karena Dewan Kota adalah tempat strategis yang memiliki alokasi dana", tutur Andi Achdian. Setelah presentasi dari Andi Achdian, acara dilanjutkan dengan diskusi atau tanya jawab. Para peserta sangat antusias dalam mengutarakan komentar, masukan ataupun pertanyaan dalam sesi diskusi pertama ini. Moderator diskusi, Andi Misbahul Pratiwi, menutup diskusi dengan pernyataan bahwa luput kepentingan perempuan dalam agenda pembangunan dan diskursus kebangsaan merupakan dampak dari hilangnya perempuan dalam catatan sejarah kebangsaan Indonesia, baik di level komunitas yaitu Taman Siswa maupun politik kota di Dewan Kota. "Dengan demikian pembacaan data dan catatan sejarah secara kritis dan menempatkan perempuan sebagai subjek merupakan salah satu upaya untuk memproduksi sejarah perempuan", tutur Andi Misbahul Pratiwi. (Iqraa Runi) Kamis, 11 Oktober 2018, Yayasan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 98 Perempuan dan Kebangsaan di UGM. Acara yang dihadiri oleh lebih dari 80 peserta tersebut dibuka dengan sambutan dari Dr. Sri Margana. Ketua Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, UGM tersebut dalam sambutannya mengungkapkan bahwa Departemen Sejarah UGM sedang mengembangkan kajian sejarah dan perempuan sehingga acara yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan mendukung kerja-kerja akademik Departemen Sejarah UGM. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sambutan dari Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Dr. Atnike Nova Sigiro. Dalam sambutannya Atnike mengapresiasi Departemen Sejarah UGM yang anggota civitas akademianya telah berkontribusi dalam penerbitan JP 98 Perempuan dan Kebangsaan sebagai penulis. Namun dalam konteks yang sama, Atnike juga mengkritisi bahwa banyaknya penulis dari pulau Jawa menunjukkan masih ada kesenjangan produksi pengetahuan, khususnya dalam bidang sejarah--yang selama ini masih berpusat di Jawa dan berpusat pada laki-laki. Atnike menjelaskan bahwa tema perempuan dan kebangsaan dipilih sebagai upaya untuk memproduksi pengetahuan dan catatan sejarah yang berperspektif feminis dan beragam. Lebih jauh, Atnike menjelaskan bahwa banyak sekali tokoh perempuan yang kerap kali luput dalam catatan sejarah sehingga namanya kurang dikenal oleh masyarakat. Ia memberikan contoh, bahwa pada umumnya masyarakat mengenal Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan nasional, tokoh pergerakan Sekolah Taman Siswa dan sosok yang berjuang menolak feodalisme dan kolonialisme, namun masyarakat tidak mengenal Nyi Hajar Dewantara (istri Ki Hajar Dewantara) yang bernama asli RA. Sutartinah. Padahal Nyi Hajar Dewantara juga turut mendirikan dan memimpin Taman Siswa, khususnya setelah Ki Hajar Dewantara meninggal. Atnike mengungkapkan bahwa Nyi Hajar Dewantara tak hanya berjuang mewujudkan ide-ide nasionalisme melalui pendidikan sekolah di masa pra kemerdekaan Indonesia tetapi juga memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. "Itulah mengapa pandangan feminis kerap mengkritik sejarah sebagai his-tory, bukan her-story atau bahkan our-story", tutur Atnike. Ia menjelaskan bahwa hanya sedikit atau bahkan hampir tidak ada kehadiran perempuan dan aspirasi perempuan dalam catatan sejarah Indonesia menjadi sebuah negara-bangsa. Menurutnya, persoalan kebangsaan hari ini dapat dilihat dalam kaitannya dengan tegangan politik identitas, yang menurut Atnike dalam ketegangan tersebut, tubuh perempuan kerap menjadi arena pertarungan. Baginya, hal tersebut terjadi karena masyarakat lupa bahwa di masa lalu kaum perempuan pernah terlibat dalam upaya-upaya memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan. Dengan demikian, ia berharap terbitan JP 98 dapat menjadi media untuk memberi ruang bagi sejarah perempuan dan menjadi penghubung isu kebangsaan dengan persoalan yang hari ini dihadapi oleh bangsa Indonesia. Setelah sambutan dari Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, acara dilanjutkan dengan diskusi yang terdiri dari dua sesi. Diskusi sesi pertama yang bertema "Perempuan dalam Sejarah Awal Kebangsaan" menghadirkan Siti Utami Dewi (Alumnus S2 Ilmu Sejarah UGM), Mutiah Amini (Dosen di Departemen Sejarah UGM), Andi Achdian (Masyarakat Sejarah Indonesia) sebagai pembicara dan Andi Misbahul Pratiwi (Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Kemudian diskusi sesi kedua yang bertema "Sejarah Perempuan dan Tantangan Kebangsaan Saat Ini" menghadirkan Iqraa Runi Aprillia (Redaksi Jurnal Perempuan), Meike Lusye Karolus (Peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM), Galuh Ambar Sasi (Alumnus S2 Ilmu Sejarah UGM) sebagai pembicara dan Makrus Ali (Alumnus S2 Ilmu Sejarah UGM) sebagai moderator. Diskusi berlangsung interaktif dari pukul 9 pagi hingga 3 sore dan dihadiri oleh berbagai kalangan. (Andi Misbahul Pratiwi) Senin (8/10) bertempat di Setiabudi Atrium, Jakarta Selatan, MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan) mengadakan acara Brown Bag Lunch yang diisi diskusi tentang “Perempuan Indonesia Melawan Stunting”. Acara ini menghadirkan Dina Lumbantobing (Koordinator Pelaksana Konsorsium PERMAMPU) dan Brian Sri Prahastuti (Kantor Staf Presiden Republik Indonesia) sebagai pembicara. Berdasarkan data yang diambil dari kantor staf presiden stunting pada anak Indonesia ada pada fase darurat. Pasalnya 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting. Dalam acara tersebut, Brian Sri Prahastuti mengungkapkan bahwa 1000 hari pertama kehidupan (golden period) adalah penentu apakah seorang anak stunted atau tidak. Sebab golden period adalah fase terbentuknya 80% sel otak sedangkan setelah itu, sepanjang usia seseorang hanya menyumbangkan 20% pertumbuhan sel otak. Brian menjelaskan stunting merupakan gejala kurangnya gizi kronis yang berproses, dimulai saat anak lahir hingga usia 2 tahun. Stunting sering dianggap sebagai permasalahan masyarakat kurang mampu, padahal 29% balita yang terkena stunting berasal dari keluarga kaya. Stunting bukan hanya dialami oleh masyarakat perdesaan yang sulit mendapatkan akses kesehatan tetapi juga masyarakat perkotaan, ada 32,5% anak-anak penderita stunting berasal dari perkotaan. Brian mengungkapkan bahwa data tersebut memperlihatkan kurangnya gizi bukanlah faktor utama terjadinya stunting melainkan ada faktor lainnya seperti pola asuh dan sanitasi. Lebih jauh, Brian menjelaskan stunting bukan hanya berdampak pada gizi seorang anak melainkan berdampak pada pendidikan, penghasilan, kemiskinan, dan ekonomi jangka panjang. Untuk itu ia mendorong pemerintah agar hadir dalam menyelesaikan permasalahan stunting. Akan tetapi, ia mengakui bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Menurutnya, perlu ada kemitraan antara pemerintah, badan usaha, lembaga donor, dan lembaga filantropi dalam mengumpulkan dana. Dana yang terkumpul nantinya dialokasikan oleh fund manager kepada penerima manfaat lewat tiga aspek yaitu penyediaan sarana dan prasarana, intervensi pendidikan dan kesehatan, dan kampanye nasional. Sementara itu, Dina Lumbantobing memaparkan hasil penelitian yang berjudul “Ringkasan Laporan Penelitian Persoalan dan Pemenuhan Gizi Perempuan Muda di 8 Provinsi di Sumatera” yang ia lakukan bersama Konsorsium PERMAMPU pada tahun 2017. Survei ini diadakan di 16 kabupaten (2 kabupaten dari setiap provinsi) dengan 1800 responden yang berasal dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), dinas kesehatan dan kelompok dampingan perempuan. Dina menjelaskan bahwa gejala stunting berawal dari kurangnya gizi bayi saat di dalam kandungan. Artinya, gizi perempuanlah yang bermasalah. Dalam penelitiannya, Dina menemukan beberapa permasalahan mendasar yang menyebabkan stunting seperti kehamilan tidak diinginkan, pernikahan anak, mitos kecantikan, dan minimnya akses kesehatan. Tidak jarang pula responden menyatakan bahwa kosmetik dan pulsa adalah kebutuhan utama. Sehingga pola hidup sehat tidak dipandang sebagai hal yang penting. Dina mengungkapkan anggapan bahwa perempuan yang langsing, putih dan mungil adalah cantik membuat sebagian besar perempuan di Sumatera khususnya Sumatera Barat melakukan diet dengan pola yang tidak sehat. “alih-alih kurus dan putih, banyak perempuan justru pucat dan lemas” jelas Dina. Sementara itu, jika stunting terjadi pada laki-laki banyak orang memeranginya, sebab laki-laki dianggap harus kuat dan tinggi. Dina menekankan bahwa kita bisa melihat bias gender masih bermain pada arena penyelesaian stunting. Perempuan menjadi tempat kritik jika menghasilkan anak yang tidak sehat, tetapi juga dikontrol dengan mitos agar terlihat seperti yang masyarakat inginkan. (Iqraa Runi) Indonesia menempati urutan ke-7 sedunia dalam hal perkawinan usia anak berdasarkan data UNICEF di tahun 2016. Data BPS tahun 2017 juga menunjukkan hal serupa, sebanyak 67% wilayah di Indonesia darurat perkawinan usia anak, termasuk di antaranya DKI Jakarta. Penduduk usia anak di Indonesia mencapai 25,71% pada tahun 2017 dan 12,76% diantaranya disumbang oleh DKI Jakarta. Salah satu wilayah di DKI Jakarta yang memiliki jumlah penduduk padat ialah Kelurahan Cipinang Besar Utara (CBU), Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Pada tahun 2018, tercatat sebanyak 58.040 jiwa tinggal di wilayah kelurahan tersebut. Banyaknya praktik perkawinan anak di kelurahan tersebut membuat, Sri Sundari, S.Sos selaku lurah mengeluarkan "Surat Edaran Lurah Cipinang Besar Utara tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak". Selain itu Sri Sundari juga mengajak lembaga terkait untuk menandatangani "Surat Kesepakatan Bersama tentang Optimalisasi Peran Layanan Posyandu yang Berkelanjutan dan Responsif Gender" pada hari Senin, 8 Oktober 2018, di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Cibesut. "Perkawinan usia anak di CBU masih kerap terjadi, kadang tidak tercatat karena pernikahan dilakukan secara siri", ujar Sri Sundari. Kondisi ekonomi yang buruk hingga pergaulan yang menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan menjadi faktor dari maraknya pernikahan anak di Kelurahan CBU. Sri Sundari mengungkapkan bahwa perkawinan usia anak akan menghambat pemenuhan hak-hak anak dan menambah beban keluarga sehingga mata rantai kemiskinan pun akan sulit untuk diputus. Ia berharap dapat masyarakat dan pemerintah daerah dapat memberi perhatian, mendukung dan menyukseskan upaya pencegahan perkawinan anak yang ia inisiasi. Inisiatif Sri Sundari dalam upaya menghentikan praktik perkawinan usia anak tersebut didukung oleh Kalyanamitra yang selama ini menjadi mitra bagi Kelurahan CBU dalam menangani isu perempuan dan anak. Listyowati, Ketua Kalyanamitra, menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang berkomitmen untuk menjalankan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang memuat isu perkawinan anak sebagai salah satu indikator pada tujuan kelima. "Kalyanamitra sebagai anggota Pokja SDGs Nasional bersama Kementerian Bappenas dan sebagai anggota SDGs tingkat DKI Jakarta yang berfokus pada tujuan ketiga dan kelima memiliki tanggung jawab yang bersama untuk mewujudkan capaian SDGs", tutur Listyowati. Menurutnya, hadirnya surat edaran dari lurah Sri Sundari tentang pencegahan perkawinan usia anak tersebut merupakan satu dobrakan baru di DKI Jakarta. Upaya lain yang dilakukan guna mendukung surat edaran tersebut, lurah Cipinang Besar Utara mengajak Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Lembaga Kota Masyarakat (LMK), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan Kalyanamitra menandatangani Surat Kesepakatan Bersama tentang Optimalisasi Peran Layanan Posyandu yang Berkelanjutan dan Responsif Gender. Penandatanganan surak kesepakatan bersama tersebut dilakukan oleh masing-masing perwaklian dari lembaga yakni Lurah Sri Sundari (Kelurahan CBU), Buda Gautama (LMK), Dr. Susilo (Kepala Puskesmas Kecamatan Jatinegara), Siti Khodijah (Ketua Penggerak PKK Kelurahan CBU), dan Listyowati (Kalyanamitra). Menurut Listyowati, Posyandu adalah lembaga yang paling dekat dengan masyarakat, paling mudah dijangkau, dan paling mudah membicarakan isu kesehatan kepada masyarakat. Dengan demikian diharapkan adanya kerjasama antar lima lembaga ini untuk mengoptimalisasikan peran layanan Posyandu dan memaksimalkan upaya pencegahan perkawinan usia anak di Kelurahan CBU. Listyowati juga menyampaikan harapannya agar upaya yang telah dilakukan lurah Cipinang Besar Utara bisa dijadikan contoh bagi daerah-daerah lainnya untuk mencegah perkawinan usia anak di daerahnya masing-masing. (Bella Sandiata) Selasa (2/10) bertempat di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Cakra Wikara Indonesia (CWI) mengadakan acara diskusi dan peluncuran buku yang berjudul Menyoal Data Representasi Perempuan di Lima Ranah. Acara Tersebut dihadiri oleh Eva Kusuma Sundari (Anggota DPR RI), Hetifah Sjaifudian (Anggota DPR RI), Rahayu Saraswati (Anggota DPR RI), dan Ani Soetjipto (Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia). Anna Margret, Ketua CWI dalam sambutannya menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh CWI dilakukan guna mendokumentasikan data keterwakilan perempuan dan menunjukkan ketimpangan representasi perempuan dalam berbagai ranah yaitu ranah legislatif, Eksekutif, struktur kepengurusan partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, dan birokrasi kementerian. Riset CWI menunjukkan, pada tahun 2014 keterwakilan perempuan pada ranah legislatif hanya sebesar 17,32% dan 82,68% diisi oleh anggota legislatif laki-laki. Sedangkan, pada ranah eksekutif CWI mencatat hanya ada 1 Gubernur perempuan yang memenangkan suara pada Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2018. Sementara itu, pada ranah birokrasi kementerian di tahun 2016 terdapat 39,59% Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan dan sisanya diisi oleh PNS laki-laki. Ketimpangan seperti ini juga terjadi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan presentase keterwakilan perempuan sebesar 22,6%. Dalam acara tersebut, Eva Kusuma Sundari mengungkapkan bahwa ia menyayangkan kehadiran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) yang belum dapat memberikan kontribusi terhadap keterwakilan perempuan di parlemen. Padahal menurutnya lembaga pemerintah tersebut dapat turut aktif mendorong partisipasi perempuan dalam ranah politik. Eva juga menyatakan perlu ada perubahan sistem yang masif agar hal tersebut dapat tercapai. Sedangkan Hetifah Sjaifudian mengungkapkan bahwa hasil riset yang telah dibuat kerap kali tidak dibaca oleh para pemangku kebijakan, artinya perlu ada kolaborasi sinergis antara akademisi, gerakan perempuan dan pemangku kebijakan agar isu keterwakilan perempuan dapat menjadi isu yang diperjuangkan bersama. Selain itu, Rahayu Saraswati, yang juga hadir sebagai narasumber menyatakan bahwa keterwakilan perempuan dalam parlemen merupakan hal yang penting. Namun menurutnya, sistem politik yang ada saat ini tidak ramah perempuan. "Terlalu besarnya modal yang harus dikeluarkan untuk bisa duduk ke bangku parlemen membuat perempuan memilih untuk tidak maju sebagai kandidat", ungkapnya. Rahayu Saraswati juga memberikan masukan bahwa riset yang dilakukan oleh CWI perlu diterjemahkan ke kebijakan partai. Agar partai bisa meletakkan kandidat perempuan pada Daerah pemilihan (Dapil) yang ramah kandidat perempuan. Menurut Ani Soetjipto, memenuhi kuota 30% caleg perempuan bukanlah hal sulit bagi partai-partai besar jika kaderisasi anggota partai perempuan berjalan baik. Selain itu Ani juga menjelaskan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen tidak serta merta berarti keterwakilan kepentingan perempuan dalam kebijakan publik. Meskipun demikian, isu representasi adalah pintu masuk untuk mengakomodasi pengalaman dan kebutuhan perempuan. (Iqraa Runi) Sabtu (29/9) di kota Purwokerto, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Soedirman (BEM UNSOED) mengadakan acara seminar dengan judul “Srikandi Masa Kini”. Acara yang diselenggarakan oleh Kementerian Perempuan Badan Eksekutif Mahawasiswa Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) ini bertujuan untuk mengangkat isu keterlibatan perempuan di ruang publik, khususnya kampus. Acara ini dihadiri oleh tiga pembicara yaitu Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan), Mutiara Ika Pratiwi (Pimpinan Nasional Perempuan Mahardhika), dan Dea Safira Basori (pendiri Indonesia Feminis). Sujada Abdul Malik, Ketua BEM UNSOED menyatakan bahwa partisipasi perempuan dalam organisasi kampus sangat dibutuhkan dan saat ini muncul upaya-upaya untuk mendomestikasi perempuan. Menurutnya perempuan dalam lingkup universitas harus mengembangkan dirinya melalui organisasi kemahasiswaan. Dalam paparannya di dalam acara seminar tersebut, Atnike Nova Sigiro mengemukakan bahwa sejarah perempuan dalam sejarah kebangsaan Indonesia sering dilupakan. Ia mencontohkan bagaimana bangsa Indonesia mengetahui bahwa Ki Hajar Dewantara adalah pahlawan pendidikan sekaligus diketahui sebagai pendiri Taman Siswa, tetapi peran serta Nyi Hajar Dewantara yang bernama asli Raden Ajeng Sutartinah yang turut mendirikan dan membangun Taman Siswa luput dari ingatan sejarah bangsa Indonesia. Atnike memaparkan isi Jurnal Perempuan 98 Perempuan dan Kebangsaan yang mengungkap kisah sejarah beberapa tokoh perempuan dalam dunia pendidikan dan politik pra kemerdekaan hingga kemerdekaan Indonesia. Ketiga tokoh yang diceritakan oleh Atnike adalah Nyi Hajar Dewantara, Sri Mangunsarkoro, dan Siti Sukaptinah. Ketiga perempuan yang dipaparkan oleh Atnike dalam presentasinya merupakan tokoh penting dalam gerakan nasionalisme yang lahir dari keberadaan sekolah Taman Siswa. Sutartinah memperjuangkan pendidikan bagi perempuan karena ia memandang bahwa peran pengasuhan perempuan akan membentuk kualitas generasi berikutnya. Sementara Sri Mangunsarkoro lebih jauh lagi menyuarakan ide kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Pada zamannya Sri Mangunsarkoro telah menyuarakan antipoligami dan membentuk Partai Wanita Rakyat. Tokoh ketiga yang dipaparkan Atnike adalah Siti Sukaptinah. Sukaptinah adalah perempuan dengan strategi diplomasi yang berhasil memelihara kedekatan dengan pemerintahan Jepang maupun Belanda untuk memasukan kepentingan perempuan. Tidak heran jika pada tahun 1955 Siti Sukaptinah merupakan satu-satunya perempuan yang menjadi anggota parlemen pada saat itu. Sementara itu, Mutiara Ika Pratiwi menjelaskan mengenai partisipasi perempuan pada pergerakan buruh. Ika memaparkan penemuannya dalam penelitian mengenai perempuan pekerja garment di wilayah Cakung. Menurut Ika, meski jumlah perempuan pada industri garment lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, namun buruh perempuan kerap mengalami penindasan. Bentuk penindasan yang dialami misalnya upah yang rendah, kesehatan reproduksi yang disebabkan dengan kehamilan yang disembunyikan, dan waktu bekerja yang tidak sesuai dengan kontrak. Ika mengemukan tiga masalah yang muncul dalam peran perempuan di sektor perburuhan, yaitu: (1) beban ganda sebagai buruh dan ibu; (2) kerentanan terhadap pelecehan seksual; dan (3) Pengabaian atas hak ibu atau maternitas di ruang kerja. Dea Safira Basori, yang juga berprofesi sebagai dokter gigi menjelaskan bahwa dalam profesi dokter gigi yang banyak digeluti oleh perempuan, namun organisasi kampus di fakultas kedokteran gigi masih cenderung dipimpin oleh laki-laki. Dalam profesinya sebagai dokter gigi, Dea menemukan bahwa ibu rumah tangga sering kesulitan mencari waktu untuk memeriksakan atau melakukan perawatan gigi karena tanggungjawabnya yang padat. Peserta yang terdiri dari lebih dari 100 mahasiswa UNSOED dari berbagai fakultas ini juga mengajukan berbagai pertanyaan seputar peran perempuan di ruang publik, seperti: Apakah kuota 30 % untuk perempuan bisa dikatakan setara? Apa tanggapan pembicara mengenai upaya domestikasi perempuan? Serta bagaimana tanggapan pembicara mengenai persoalan buruh migran yang mengalami ketertindasan? Ketiga narasumber merespon pertanyaaan peserta tersebut dalam beberapa konteks partisipasi perempuan di ruang publik. Atnike menekankan pada angka 30% sebagai affirmative action untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen. Sedangkan Dea menjelaskan bahwa upaya domestikasi perempuan disebabkan maraknya konservatisme agama dan Ika menjelaskan bahwa berada di ranah publik bagi perempuan adalah perjuangan mengingat kebijakan yang ada belum bisa mengakomodir kepentingan buruh migran. (Iqraa Runi) Sejak tahun 2017 Lokataru Foundation melakukan riset tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hasil riset tersebut menemukan sejumlah persoalan pada penyelenggaraan BPJS Kesehatan, diantaranya adalah soal kepesertaan di tingkat masyarakat dan fasilitas yang masih abai terhadap kepentingan kelompok rentan. Temuan Lokataru tersebut didokumentasikan dalam laporan penelitian yang berjudul "Formulasi dan Pelaksanaan Kepeserataan BPJS Kesehatan dan Implikasinya terhadap Jaminan Kesehatan Nasional". Direktur Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro, yang juga merupakan Koordinator Riset tentang penyelenggaraan BPJS di Lokataru menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan sedang mengalami defisit anggaran saat ini. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 10, 98 Triliun. Menurut Atnike perluasan kepesertaan BPJS Kesehatan bisa menjadi solusi atas persoalan tersebut yaitu dengan cara mendorong partisipasi dari 60 juta warga yang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan. Menurutnya dengan memperluas kepesertaan BPJS Kesehatan maka dana publik pun akan meningkat. “Tantangan utama BPJS Kesehatan adalah anggaran. Saat ini sumber utama pendanaan BPJS Kesehatan adalah iuran peserta mandiri dan anggaran APBN. Solusi dari defisit anggaran selalu diarahkan pada dua hal yaitu menaikan biaya iuran BPJS dan meminta jaminan dari pemerintah, padahal pendanaan BPJS Kesehatan sebetulnya dapat ditingkatkan dengan memaksimalkan partisipasi sektor swasta, BUMN dan pemerintah daerah” tutur Atnike dalam acara peluncuran riset Lokataru Foundation tentang BPJS Kesehatan pada Kamis (27/09) di Kedai Tjikini, Jakarta. Temuan Lokataru tersebut menunjukkan bahwa persoalan pada regulasi dan pelaksanaan BPJS Kesehatan berdampak pada dua hal. Pertama, sebagian masyarakat yang belum tergabung dalam kepesertaan BPJS menjadi terhambat untuk menjadi peserta. Kedua, masyarakat yang sudah tergabung dalam kepesertaan mengalami disinsentif. Lebih jauh Atnike memberikan ilustrasi bahwa kepesertaan berbasis Kartu Keluarga (KK) menghambat akses terhadap layanan BPJS Kesehatan. Misalnya dalam kasus pemblokiran kepesertaan yang disebabkan oleh tunggakan iuran salah satu anggota keluarga. Atnike menjelaskan bahwa dalam kasus tertentu penunggakan bisa disebabkan oleh perubahan komposisi KK yang terjadi karena kelahiran, kematian dan perceraian. Menurutnya, BPJS Kesehatan seharusnya mengenali realitas di dalam masyarakat. “Kami memandang persoalan kepesertaan sebagai persoalan utama dalam upaya mencapai universalisasi kesehatan di Indonesia di tahun 2019, selama masih ada persoalan pada prosedur dan persyaratan menjadi peserta BPJS Kesehatan maka cita-cita tersebut tidak akan tercapai” tutur Atnike. Lebih jauh Atnike juga menyatakan bahwa pola kepesertaan BPJS kesehatan abai terhadap kepentingan kelompok rentan yaitu anak dalam kandungan atau bayi baru lahir, penyandang disabilitas, dan korban kekerasan. Berbeda dengan asuransi swasta, BPJS tidak mengenal premi maternity, artinya bayi yang baru dilahirkan status kepesertaannya tidak melekat bersama Ibu yang adalah peserta mandiri, maka dampaknya bayi tidak menerima insentif. Atnike menyatakan bahwa BPJS Kesehatan seharusnya memiliki perspektif gender dan sensitivitas terhadap kelompok-kelompok khusus dalam relasinya terhadap kepesertaan dan juga penyelenggaraan pelayanan. Persoalan kepesertaan dan disinsentif dalam BPJS Kesehatan menurut Atnike amat berkait dengan isu defisit anggaran BPJS Kesehatan. Artinya, untuk menggalang kepesertaan seluruh masyarakat, regulasi BPJS Kesehatan haruslah membuat masyarakat Indonesia mau dan mampu menjadi peserta BPJS Kesehatan. “Berbicara soal jaminan kesehatan artinya kita harus berbicara dalam bingkai perspektif HAM", tutur Atnike. Sehingga menurutnya untuk mencapai cita-cita keadilan sosial, layanan BPJS harus sesuai dengan kebutuhan warga negara (adaptable), kepesertaan BPJS Kesehatan harus mudah diakses dan tersedia setiap saat (accessible), layanan kesehatan harus memastikan cultural gap dan diskriminasi tidak menghambat seseorang untuk mengakses layanan kesehatan (available), dan layanan kesehatan harus menciptakan kepuasan individu (acceptable)”. Atnike menyadari betul bahwa keempat aspek di atas tidak mudah dicapai oleh BPJS Kesehatan, tetapi ia bersama Lokataru Foundation melalui riset tersebut berupaya untuk mendorong BPJS Kesehatan untuk mengartikulasikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan terus mengupayakan regulasi yang memastikan indikator 4A di atas. (Abby Gina). |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |