Kamis (11/10) bertempat di Gedung R. M. Margono Djojohadikusumo, Universitas Gadjah Mada, Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan acara Pendidikan Publik JP 98 Perempuan dan Kebangsaan kerjasama dengan Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada. Acara yang dihadiri oleh lebih dari 80 peserta dari berbagai kalangan ini terdiri dari dua sesi diskusi. Pada sesi diskusi pertama, tema yang diangkat adalah "Perempuan dalam Sejarah Awal Kebangsaan". Diskusi sesi pertama yang dimoderatori oleh Andi Misbahul Pratiwi tersebut menghadirkan Siti Utami Dewi Ningrum (Alumnus S2 Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada), Mutiah Amini (Dosen Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada), dan Andi Achdian (Sejarawan) sebagai narasumber. Dalam acara tersebut Siti Utami Dewi Ningrum mempresentasikan hasil risetnya yang juga dimuat dalam JP 98, yang berjudul “Kebangkitan Para Ibu Bangsa Sejak Masa Pergerakan Anti Kolonial Hingga Awal Kemerdekaan Indonesia”. Dalam presentasinya Siti Utami menjelaskan bahwa pada masa pergerakan anti kolonial ada konstruksi atas peran perempuan dan laki-laki, yaitu perempuan sebagai pemangku keturunan dan laki-laki sebagai tiang keturunan. Konstruksi tersebut menurut Siti Utami memengaruhi suasana pendidikan di Taman Siswa--sebagai salah satu simbol pergerakan anti kolonialisme dan gerakan pendidikan modern pada masa itu. Lebih jauh, Siti Utami dalam presentasinya menyebutkan tiga nama perempuan priayi dalam komunitas Taman Siswa yang kemudian ia sebut sebagai "Ibu Bangsa". Ketiga perempuan tersebut ialah Sutartinah atau istri Ki Hajar Dewantara, Sri Sulandari Mangunsarkoro, dan Siti Sukaptinah. Ketiga ibu bangsa tersebut memiliki kontribusi pada Taman Siswa namun tidak banyak diketahui oleh masyarakat peran dan kontribusinya. Siti Utami menjelaskan bahwa Sutartinah mendorong hak atas pendidikan laki-laki dan perempuan yang setara, akan tetapi juga masih mengamini adanya pembagian tugas atau peran gender yaitu perempuan sebagai pemangku keturunan yang akan berkecimpung pada dunia domestik. Siti Utami menjelaskan bahwa pada saat itu Sutartinah lebih memainkan peran sebagai sumbadra atau perempuan lemah lembut. Berbeda dengan Sutartinah, Nyi Sri Sulandari Mangunsarkoro mengarahkan pendidikan perempuan dan laki-laki yang setara. Siti Utami menjelaskan bahwa, Nyi Sulandari menganggap penting bagi perempuan untuk mempelajari semua hal yang dipelajari laki-laki dan mendorong perempuan untuk terlibat dalam wacana kebangsaan baik dari keluarga maupun politik praktis. Selain isu pendidikan perempuan dan kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, isu poligami juga menjadi perhatian Nyi Sri Mangunsarkoro. Ibu bangsa selanjutnya, ialah Siti Sukaptinah yang berdasarkan hasil penelitian Siti Utami, memiliki peran dalam mendorong dan menggerakan arah perjuangan perempuan pada advokasi pemerintahan. Siti Sukaptinah yang kemudian menjadi anggota DPR RI pada tahun 1955 merupakan sosok ibu bangsa yang memperjuangkan kepentingan perempuan untuk masuk ke dalam agenda pemerintahan. Pada tahun 1930 ada perubahan sosial politik di Jawa yang memengaruhi pembagian peran gender. Menurut Siti Utami, pada era itu tak jarang para gadis didoktrin untuk menjadi ibu bagi keluarga dan masyarakat sekaligus. Masa pergerakkan nasional mengubah pemikiran para gadis untuk ikut berjuang baik untuk Indonesia maupun kepentingannya. Tetapi, pergerakkan ibu bangsa menurun pada masa orde baru, sebab pada zaman itu gerakan perempuan dibatasi melalui lembaga negara seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita. Setelah paparan dari Siti Utami, Mutiah Amini, doktoral di bidang Ilmu Sejarah UGM yang juga menulis artikel dalam JP 98 yang berjudul “Bias Gender dalam Historiografi Indonesia dan Penulisan Sejarah Perempuan” mempresentasikan hasil risetnya. Menurut Mutiah, selama ini penulisan historiografi bias dalam menuliskan sejarah perempuan. "Sejarawan Indonesia khususnya pada tahun 1990 jarang menuliskan sejarah perempuan. Tulisan tentang sejarah perempuan Indonesia justru ditulis oleh peneliti asing seperti Cora Vreede-de Stuers, Saskia Wieringa, Elsbeth Locher-Scholten, Susan Blackburn, dan Jean Gelman Taylor", jelas Dosen Departemen Sejarah UGM tersebut. Bagi Mutiah, fenomena tersebut menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar bagi sejarawan Indonesia. Lebih jauh Mutiah mengungkapkan bahwa sebetulnya kedudukan laki-laki maupun perempuan dalam sejarah adalah sama penting. Sayangnya selama ini penulisan sejarah hanya terfokus pada sejarah laki-laki sehingga ketersediaan data tentang sejarah perempuan sangat minim. Padahal menurutnya, penulisan sejarah perempuan tak berfungsi untuk melihat cerita perempuan baik kesehariannya tetapi juga kontribusinya dalam pembentukkan konsep kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan dalam konteks yang lebih luas. Mutiah menjelaskan bahwa penulisan sejarah perempuan harus dilakukan dengan kritis agar tercapainya kebaruan pada penulisan sejarah. Mutiah menegaskan bahwa terdapat dua kesulitan dalam tercapainya penulisan sejarah perempuan, yang pertama ialah kuatnya budaya patriarki di dalam kehidupan masyarakat yang belum mampu digeser oleh para perempuan aktivis, sehingga secara tidak langsung mengganggu kemapanan sejarawan dalam menuliskan sejarah perempuan dan yang kedua ialah tradisi historiografi Indonesia yang belum berani keluar dari arus utama. Mutiah Mengungkapkan bahwa kedua masalah tersebut hanya bisa diselesaikan dengan menuliskan sejarah perempuan sebanyak-banyaknya. Setelah itu, Andi Achdian dalam pemaparannya menjelaskan soal modernitas, kolonialisme dan pergerakan anti kolonial yang dilakukan perempuan. Ia menjelaskan bahwa modernitas yang terjadi pada masa kolonial tidak serta merta memberi ruang gerak pada perempuan, khususnya perempuan kulit putih. Andi Achdian menjelaskan secara khusus untuk konteks Surabaya, terbentuknya Dewan Kota Surabaya atau Gemeenteraad van Soerabaja pada 1906 juga tidak memberikan ruang bagi perempuan di posisi elit. Andi Achdian menjelaskan perempuan kulit putih tersebut berupaya untuk masuk menjadi elit Dewan Kota sebagai upaya untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mirisnya hingga akhir masa kolonialisme, tidak satupun perempuan duduk sebagai elit Dewan Kota Surabaya. Setelah menjelaskan tentang perjuangan perempuan kulit putih untuk masuk dalam Dewan Kota, Andi Achdian mengungkapkan bahwa pemikiran perempuan Indonesia terkait politik dan masyarakat telah ada dan setidaknya tercermin dalam surat-surat Kartini dan buku Sowwarsih Djojopuspito. Kartini menuliskan surat untuk Stella yang didalamnya ada keinginan untuk menjadi perempuan modern yang bekerja untuk kepentingan orang lain. Begitupun Soewarsih dalam bukunya Manusia Baru yang menuliskan pemikirannya mengenai tanah air, desa dan masyarakat. Meskipun gerakan perempuan ada di berbagai lini, namun menurut Andi Achdian Dewan Kota menjadi wahana politik yang potensial untuk menyuarakan isu-isu warga negara. "Sejarah pergerakan anti kolonial di Indonesia tidak bisa dilepaskan relasinya dengan kolonialisme sebagai keseharian dari masyarakat, salah satunya dalam Dewan Kota", tutur Andi Achdian. Lebih jauh, Andi Achdian menyebutkan beberapa kebijakan dan program Dewan Kota yang memberi ruang bagi kepentingan rakyat miskin dan perempuan. Salah satu contohnya adalah program rumah singgah untuk pekerja seks komersial. Isu lainnya yang muncul antara lain soal pemberantasan buta huruf, pendidikan, dan bantuan sosial lainnya. Adanya program tersebut merupakan buah dari pergerakan masyarakat dan seharusnya juga dapat dihadirkan dalam catatan sejarah gerakan anti kolonial yang selama ini mengesampingkan arena Dewan Kota sebagai pusat kajian sejarah. "Dewan kota sebagai arena politik kewargaan, kaum perempuan yang bisa duduk adalah kaum perempuan dari Bumiputera pada masa itu Ny. Soedirman, namun politik perempuan sebetulnya juga telah hadir di sana karena Dewan Kota adalah tempat strategis yang memiliki alokasi dana", tutur Andi Achdian. Setelah presentasi dari Andi Achdian, acara dilanjutkan dengan diskusi atau tanya jawab. Para peserta sangat antusias dalam mengutarakan komentar, masukan ataupun pertanyaan dalam sesi diskusi pertama ini. Moderator diskusi, Andi Misbahul Pratiwi, menutup diskusi dengan pernyataan bahwa luput kepentingan perempuan dalam agenda pembangunan dan diskursus kebangsaan merupakan dampak dari hilangnya perempuan dalam catatan sejarah kebangsaan Indonesia, baik di level komunitas yaitu Taman Siswa maupun politik kota di Dewan Kota. "Dengan demikian pembacaan data dan catatan sejarah secara kritis dan menempatkan perempuan sebagai subjek merupakan salah satu upaya untuk memproduksi sejarah perempuan", tutur Andi Misbahul Pratiwi. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |