Lena, Batik dan Galeri “Saya menyukai batik, terlebih aromanya, itu seperti candu bagi saya, baunya itu enak sekali, nggak tahu kenapa”. Kalimat ini diucapkan Lenawati Pudjoastuti ketika membagi kisah tentang bisnis batik yang digelutinya di suatu siang di penghujung 2014. Sebagai seorang pengusaha, Lena kerap harus bolak-balik Jakarta-Semarang dan beberapa kota lain untuk mengurus usahanya. Di sela-sela jadwalnya yang padat, Jurnal Perempuan menemuinya di kantor sekaligus galeri yang beralamat di Jalan Bungur No. 20, Bangka, Jakarta Selatan. Di ruangan yang didominasi warna putih dengan dinding kaca di dua sisi, Lena menyambut Jurnal Perempuan dengan senyum ramah. Ruangan kerja tersebut bersebelahan dengan galeri batik yang menyediakan batik tulis yang diproduksi secara ramah lingkungan dengan menggunakan pewarna alam oleh kelompok perempuan di Salatiga dan Sragen. Rencananya galeri batik ini akan segera dibuka dalam waktu dekat. Menurut perempuan yang lahir di Temanggung dan besar di Semarang ini dari dulu ia senang mengenakan batik, terlebih ketika hamil, karena membuat baju hamil dari kain batik sangat mudah. Perkenalannya dengan Arianti Ina Restiani Hunga, Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender Universitas Kristen Satya Wacana (PPSG-UKSW) membuka jalan bagi Lena untuk mengenal batik lebih jauh. Ina Hunga yang juga menjadi dosen Sosiologi di UKSW, memiliki kelompok dampingan, salah satunya kelompok perempuan pembatik. Perkenalan tersebut mendorong Lena untuk terjun ke lapangan, melihat dari dekat proses pembuatan batik, mengenal langsung siapa yang membatik, siapa yang menjual, dan mengetahui darimana kain juga ubo rampe lain untuk pembuatan batik diperoleh. Pengalaman ini menggerakkan Lena untuk berbuat lebih, hingga akhirnya terjalin kerjasama. Lena dan Ina sepakat untuk membuka Galeri Batik di kota Sragen guna memasarkan batik hasil kerajinan para pembatik tersebut. Lena menuturkan kebetulan Bupati Sragen memiliki rumah yang tidak terpakai dan bisa dijadikan galeri. Rumah yang tadinya digunakan sebagai klinik tersebut kemudian dirombak hingga menjadi sebuah galeri. Namun dalam perkembangannya galeri tersebut tidak terurus dengan baik sementara di sisi lain Lena pun sibuk dengan aktivitasnya yang lain sehingga akhirnya galeri tersebut ditutup. Ia menyayangkan hal tersebut, namun ia juga tidak memiliki banyak pilihan ketika itu. Akhirnya mimpi untuk membuka galeri ini perlahan terwujud seiring dengan pengembangan bisnisnya di Jakarta. Sebuah galeri kini telah berdiri dan siap dibuka di atas lahan yang luas dan teduh dalam sebuah bangunan yang menyatu dengan garden bistro. Kecintaan pada batik pulalah yang menggerakkan Lena untuk mendokumentasikan jejak perkembangan batik. Dengan bantuan seorang wartawan, ia mendukung penulisan buku tentang sejarah batik. Rencananya buku ini akan diluncurkan bersamaan dengan pembukaan Galeri Batiknya. Secara garis besar buku ini antara lain menjelaskan mengapa batik menjadi sesuatu yang istimewa. Lena bercerita bahwa motif, warna dan ornamen yang menghiasi kain batik memiliki makna tertentu. Bahkan dahulu motif batik terkait erat dengan pemakaiannya, dimana motif tertentu hanya dapat digunakan dalam acara tertentu pula, semisal pada saat pernikahan, upacara midodareni, sungkeman, dlsb. Begitu juga dengan pemakainya, dimana jenis batik tertentu hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu, seperti keluarga raja. Lebih lanjut Lena menuturkan saat ini batik mengalami perkembangan yang sangat dinamis, dengan modifikasi yang beragam yang disebut sebagai batik kontemporer. Ia mengapresiasi perkembangan tersebut, namun menurut ibu dari enam orang anak ini, perkembangan tersebut hendaknya tidak melupakan motif-motif lama. Lena menambahkan adanya pengakuan dari UNESCO bahwa batik merupakan warisan budaya dari Indonesia semestinya mendorong kita semua untuk serius merawat dan menjaga kelestarian batik. Hal ini juga yang mendorongnya untuk berupaya membuat buku tentang sejarah batik, meskipun ia tidak turun langsung. Bisnis dan Aktivitas Sosial Sebelum membuka Galeri Batik, Lena dikenal sebagai seorang pengusaha kecap. Sukasari adalah merek kecap bikinannya. Usaha ini berawal dari industri rumahan yang dirintis oleh ayah mertuanya Hoo Hian Loang dengan memproduksi kecap manis di rumahnya di Semarang, Jawa Tengah pada 1930. Bersama suaminya, Hadisiswanto, ia meneruskan dan mengembangkan usaha keluarga tersebut, dari yang awalnya industri rumahan hingga kemudian menjadi industri pabrikan. Semula kecap yang diproduksi menggunakan merek Piring Lombok. Merek ini menguasai pasar Semarang. Bahkan Piring Lombok disebut sebagai salah satu merek lokal yang mampu bersaing dengan merek nasional di pasar setempat. Pada tahun 1990, Lena dan keluarga bekerja sama dengan Salim Group, perusahaan milik Liem Sioe Liong dengan niatan untuk ekspansi usaha. Namun ternyata dalam perjalanannya langkah kerjasama dengan konglomerat tersebut tidaklah mudah. Lena mengatakan cara berpikir antara usaha tradisional dengan usaha modern berbeda, sehingga pihaknya memutuskan “bercerai” dengan Salim Group pada 1991. Kecap Piring Lombok menjadi milik Indofood. Lena dan keluarga tetap melanjutkan usaha, dengan bendera PT Sukasari Mitra Mandiri memproduksi kecap dengan merek Sukasari. Dengan merek baru ini, perusahaan Lena tidak hanya memproduksi kecap saja, namun juga sirup, saos dan cuka. Kini perusahaan kecapnya sudah berjalan sekitar 13 tahun, sudah runway, demikian Lena menyebut. Semua ini dilalui dengan naik turun dan babak belur, namun dari proses tersebut Lena mengaku memperoleh pengalaman hidup yang berharga karenanya ia merasa sangat bersyukur. Dalam menjalankan bisnisnya Lena melibatkan anak-anaknya. “Kalau dari keluarga keturunan Chinese biasanya begitu,” jelas Lena. Jadi bagaimana caranya supaya bisa bekerja sama di dalam lingkungan keluarga, supaya keluarga mempunyai bisnis yang sama, walaupun nanti berdiri sendiri-sendiri, supaya tidak kehilangan persaudaraannya, demikian urainya. Di satu sisi bisnis keluarga dapat menyatukan, meskipun di sisi lain kadang bisnis keluarga juga bisa membuat pecah. Karena itu Lena mengaku sangat berhati-hati, sehingga untuk pengelolaan usaha diserahkan pada anak-anak yang memang bisa mengelola, sedang yang tidak bisa, menyetorkan modal. Jadi, masing-masing mempunyai bagian sendiri-sendiri. Lena mengungkapkan bisnisnya merambah pelan-pelan. Di Jakarta ia mengembangkan bisnis furnitur. Untuk keperluan display produk dan pemasaran, ia membutuhkan galeri sehingga para calon pembeli tidak perlu datang ke Semarang ke tempat workshop untuk melihat mebel-mebel produksinya. Galeri furniturnya ada di jalan Wijaya 1 dan di daerah Kemang. Dari yang awalnya menyewa tempat untuk membuka galeri, mendorong Lena untuk terjun ke bisnis properti mengingat harga sewa tempat untuk galeri dan biaya operasional lebih mahal dibandingkan jika dirinya membeli tanah dan membangun sendiri galerinya. Dari situ usaha propertinya berkembang, ia pun mulai membangun town house. Tanah dan bangunan dimana Galeri Batik saat ini berdiri awalnya dibeli untuk dikembangkan menjadi townhouse. Namun setelah melalui sejumlah pertimbangan rencana awal tersebut dibatalkan hingga akhirnya berdirilah Galeri Batik yang diikuti dengan restoran/garden bistro dan homestay. Setelah bisnisnya berjalan, Lena mengaku ia sempat berpikir bahwa dirinya bisa menjadi seperti sekarang ini karena pertolongan masyarakat atau orang kebanyakan yakni kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah karena mereka adalah pengguna kecap, sirup dan sambel terbesar. Hingga akhirnya Lena berpikir untuk terjun ke bidang sosial. “Jadi apa yang saya dapat dari masyarakat, saya ingin mengembalikannya”. Lena pun tercatat mendirikan LSM KPPS (Kelompok Pengusaha Peduli Sosial) yang kegiatannya menolong sesama secara spontan dan tidak formal. Ia juga sempat duduk sebagai Dewan Pendidikan Kota Semarang (DPKS), Sekretaris Persatuan Organisasi Tionghoa Semarang (Porinti), Sekretaris Perkumpulan Etnis Fu Qing Semarang, anggota Dewan Pengawas Yayasan Sekolah Nusaputera Semarang. Ia juga tercatat menjadi anggota LSM IFC Semarang, Interfaith Semarang, dan Bendahara Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat Beragama (Forkhagama). Lena juga menjadi pengurus di Yayasan Parahita yang menaungi kelompok dampingan perempuan pembatik. Ia juga tidak keberatan meeting room di kantornya digunakan untuk kegiatan LSM. Lena menuturkan bahwa yang penting rasa sosial untuk mengembalikan sesuatu kepada orang lain terutama untuk perempuan itu terlaksana. Karena baginya hal ini seperti nazar, bahwa ia harus mengembalikan itu pada masyarakat, dengan ikhlas dan tanpa pamrih. ”Itu membuat hati rasanya plong,” ucap Lena. Kesuksesan di Mata Lena Lantas bagaimana Lena menghadapi kendala dalam menjalankan bisnisnya? Ia mengaku baginya kendala itu ada, tetapi tidak dipikirnya sebagai sebuah kendala. Sebaliknya, ia menganggapnya sebagai sesuatu yang harus dipelajari dan dikalahkan untuk bisa menang. Menurutnya hal itu adalah patokan yang selalu ia pegang. Lebih jauh Lena menambahkan bahwa kuncinya adalah tidak usah melihat kanan kiri. Boleh saja mendengar omongan atau nasihat dari orang lain, namun sebaiknya ditimbang baik-baik karena kita yang menjalani sehingga kita yang lebih tahu. Lalu bagaimana pendapatnya terhadap para perempuan yang berminat terjun ke dunia bisnis? Lena melihat selama ini banyak perempuan yang masih terjajah, baik terjajah oleh pikiran maupun perasaannya sendiri karena merasa sungkan, entah sungkan kepada suami atau sungkan kepada mertua. Hal ini menurutnya perlu dipahami dan dipelajari sehingga budaya semacam ini tidak terus-menerus dipegang, agar pada akhirnya perempuan dapat berkembang. Ia menambahkan bahwa memang dibutuhkan pengorbanan untuk mencapai suatu hal, dan pengorbanan setiap orang tidaklah sama. Ketika ditanya bagaimana relasinya dengan keluarga, dengan anak-anak, Lena menjelaskan bahwa yang namanya masalah tetap ada, karena semua orang mempunyai masalah. Namun poinnya adalah bagaimana menanggapi masalah tersebut. Jika bisa diperbaiki, maka sebaiknya diperbaiki, namun jika tidak bisa, maka diperlukan sikap tegas. Karena menurutnya kita tidak selalu harus menggunakan perasaan kita untuk menyiksa diri sendiri. Sementara dengan anak-anak karena selisih usianya tidak jauh—dengan anak pertama hanya berselisih 20 tahun—maka relasinya menjadi seperti layaknya teman. Bagaimana Lena memandang kesuksesan? Menurut perempuan yang memiliki sejumlah cucu ini apa yang dijalaninya bukanlah sebuah kesuksesan karena hidup seharusnya seperti itu. Baginya kesuksesan tidak dapat dihitung dengan uang, dengan harta yang ia punya. Tidak dapat dilihat dari bangunan yang ia miliki, karena bangunan itu baginya adalah pinjaman yang diberikan Tuhan. Kesuksesan menurut Lena adalah keseluruhan pribadi, bahwa dirinya sehat, menikmati hidup, menjalaninya dengan mengalir karena baginya sukses itu dari Tuhan, bukan dari manusia. Yang penting menurutnya setiap pagi kita berdoa, setiap melangkah keluar bismillah, supaya apa yang kita lakukan berkenan. Jika berkenan pada Tuhan, maka apa yang ada di dalam hati, di lidah dan di pikiran akan menjadi enak. Ia menambahkan kalau kita keluar sudah merasa dengki dengan orang, sudah jengkel dengan orang, maka hari yang kita jalani akan menjadi kusut, melakukan apapun jadi nggak benar. Karena itu Lena mengaku dirinya selalu menjaga supaya bagaimana ia tetap berbahagia dengan diri sendiri, mencintai diri sendiri. Karena menurutnya jika kita tidak bisa mencintai diri sendiri, maka bagaimana kita hendak mencintai orang lain. (Anita Dhewy) Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch sekaligus Sahabat Jurnal Perempuan memberikan masukan dalam Stakeholder Meeting yang dihelat Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) pada Kamis (22/1) terkait aspek keredaksian dan manajemen YJP. Ia menawarkan sejumlah isu yang bisa diangkat redaksi Jurnal Perempuan, seperti isu tes keperawanan, sunat perempuan, pelurusan rambut bagi polisi perempuan di Papua, juga isu pekerja rumah tangga dan buruh perempuan. Menurutnya isu-isu tersebut masih tetap urgen untuk diangkat ke depan. Selain itu menurut Andreas JP perlu melakukan digitalisasi konten, misalnya berupa video-video pendek dan e-book sehingga JP lebih menjangkau banyak kalangan. Menurutnya dengan bertambahnya jumlah pembaca JP, tentu mereka menginginkan kemudahan dalam mengakses dimana saja dan kapan saja dengan konten yang menarik dan tidak monoton. Sementara terkait website, Andreas menyarankan agar tampilan website JP lebih reader friendly. Lebih lanjut Andreas mengatakan Jurnal Perempuan perlu memanfaatkan sistem bulk order dan bekerja sama dengan kalangan industri untuk mendukung. Pembelian lewat bulk order ini dapat diperuntukkan bagi para pengambil kebijakan seperti misalnya anggota legislatif. Dengan cara ini isu-isu yang diangkat Jurnal Perempuan dapat lebih dikenal publik dan di sisi lain dapat meningkatkan pemasukan JP. Andreas mengungkapkan cara seperti ini pernah dipraktikkan majalah Pantau yang pernah dipimpinnya. (Johanna Poerba dan Andi Misbahul Pratiwi) “Jurnal Perempuan adalah ‘dunia sunyi’ namun berisi hal-hal bermanfaat,” ungkap Nina Armando, dosen Departemen Komunikasi FISIP UI sekaligus Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dalam Stakeholders Meeting yang digelar Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) pada Kamis, 22 Januari 2015 di kantor YJP. Acara yang dapat disebut sebagai ajang “konsultasi publik” ini dimaksudkan untuk menerima masukan dan perbaikan terkait kinerja Jurnal Perempuan untuk pencapaian yang lebih baik ke depan. Nina mengatakan dengan posisi Jurnal Perempuan tersebut, maka gagasan-gagasan yang disuarakan Jurnal Perempuan penting untuk diketahui para pengambil kebijakan. Sayangnya, menurut Nina, para decision maker ini banyak yang kurang suka membaca. Lalu bagaimana menyiasatinya? Nina berpendapat bahwa Jurnal Perempuan dapat menggunakan metode yang lebih modern untuk menyampaikan isu-isu yang diangkat seperti dengan merilis fact sheet yaitu lembaran yang berisikan data-data penting. Selain itu dapat pula disebarkan melalui media mainstream, seperti televisi dan berbagai media social. Karena itu menjadi penting bagi Jurnal Perempuan untuk mengenal karakter industri media. Selanjutnya Nina berharap Jurnal Perempuan dapat masuk dan menggeser tayangan televisi yang masih banyak mengeksploitasi tubuh perempuan. Untuk itu Nina menyarankan agar Jurnal Perempuan menjadi lebih high profile dan melakukan pendekatan serta menjalin relasi dengan para pengambil kebijakan di industri media agar isu-isu yang diangkat JP dapat masuk. Ia juga mengungkapkan bahwa ada stasiun televisi yang memiliki program dengan perspektif perempuan dan didukung oleh perusahaan tertentu, menurutnya ini bisa dilakukan juga oleh JP. Sebagai tambahan, Nina juga berharap isu-isu yang digulirkan Jurnal Perempuan dapat tersebar di berbagai media lain. Untuk itu selain mengangkat isu-isu yang menarik, menurut Nina ada baiknya muatan Jurnal Perempuan dapat dicetak dalam bentuk yang lebih mudah dicerna bagi mereka yang sulit membaca. (Johanna Poerba) Dalam Stakeholders Meeting yang digelar Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) pada Kamis (22/1), Psikolog Organisasi Wien Damona memberikan applause atas statistik keberhasilan Jurnal Perempuan yang menurutnya telah prima selama tahun 2014. Dalam kesempatan ini Damona yang juga menjadi dosen di Fakultas Psikologi UI memberikan sejumlah masukan. Setelah 18 tahun berdiri, Jurnal Perempuan dapat diibaratkan seperti gadis yang memasuki masa awal kedewasaan, maka pertanyaan yang timbul adalah sudah seperti apa identitas diri Jurnal Perempuan? Damona menyampaikan bahwa dari laporan tahun 2014 ini ia tertarik pada laporan kegiatan Pendidikan Publik. Menurutnya perlu ada perbandingan laporan dari tahun ke tahun terkait dampak keberadaan Jurnal Perempuan bagi masyarakat. Ini dapat diketahui lewat riset dan penting dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang identitas Jurnal Perempuan di mata masyarakat. Lebih lanjut Damona membahas tentang isu-isu yang diangkat Jurnal Perempuan. Menurutnya penentuan isu Jurnal Perempuan terlihat sangat bersifat present condition yang sebenarnya sudah baik. Namun akan lebih baik lagi jika topik-topik tertentu dapat dibahas secara kontinu dalam edisi-edisi mendatang. Ia mencontohkan, pada November lalu Jurnal Perempuan menerbitkan edisi 83 tentang “Perempuan Dalam Kabinet” yang merupakan dokumentasi atas pelantikan pejabat kementerian era Jokowi-Kalla 2014-2019, harapannya pembahasan mengenai kinerja perempuan dalam kabinet ini dapat dilanjutkan dalam satu edisi ke depan untuk menunjukkan perkembangan kinerja para perempuan menteri. Damona juga menyampaikan pesan dan harapan bagi Jurnal Perempuan untuk perjalanannya ke depan. “Kita tentunya berharap public policy berpihak pada kita. Kalau kebijakan belum berpihak, kita harus terus berupaya”, tuturnya. Ia juga berpesan bahwa Jurnal Perempuan harus menjadi magnet agar semakin banyak orang di berbagai lembaga tertarik membaca dan mendukung Jurnal Perempuan. Selain itu, Jurnal Perempuan harus terus me-redefine jati dirinya agar dapat menarik minat donatur. Dua hal lain yang tak kalah penting menurut Damona adalah kaderisasi feminis dan penulis muda serta pengemasan jurnal yang sekiranya dapat lebih akrab dengan masyarakat umum. (Johanna Poerba) “Jurnal Perempuan sudah baik dan semakin baik”, tutur Saparinah Sadli, feminis terkemuka di Indonesia kala menghadiri Stakeholders Meeting Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) pada Kamis, 22 Januari 2015. Selanjutnya Saparinah yang akrab disapa Bu Sap memberikan saran terkait program Beasiswa Jurnal Perempuan (BJP). Untuk beasiswa, menurutnya, harus dipikirkan penggalangan dananya agar nominal yang diberikan bisa ditambah dan penerima beasiswa diperbanyak karena kenyataannya banyak anak-anak perempuan yang membutuhkan beasiswa tersebut. Selain itu, beasiswa juga merupakan cara untuk menyampaikan kepada masyarakat nilai-nilai yang diperjuangkan oleh lembaga pemberi beasiswa tersebut. Pada tahun 2014 YJP merealisasikan Program BJP guna menstimulus anak perempuan untuk melanjutkan pendidikannya. Penerima beasiswa YJP tahun 2014 adalah Indriyani Sugiharto, mahasiswi Fakultas Filsafat UGM angkatan 2010. Seleksi dilakukan melalui tulisan selain prestasi dan aktivisme akademik. Beasiswa Jurnal Perempuan ini menurut Bu Sap sangat penting untuk didukung karena banyak anak perempuan membutuhkan dana untuk bersekolah dan memberikan beasiswa kepada mahasiswa S1 merupakan keputusan yang baik. Lebih lanjut Bu Sap menyampaikan bahwa evaluasi sangat penting bagi sebuah organisasi karena berbagai hal dapat dibahas. Menurut beliau, penting untuk selalu mengaitkan aktivitas Jurnal Perempuan dengan visi misinya, termasuk dalam proses penerbitan Jurnal Perempuan, hendaknya harus selalu berawal dari kerangka visi misi Jurnal Perempuan. Selain itu penting juga untuk mengukur pencapaian visi Jurnal Perempuan dalam masyarakat. Rencananya pada 2015 ini YJP akan menggandeng BL.com, untuk menggelar kegiatan Yoga dan Meditasi guna menggalang dana untuk program BJP. Bening Lara, praktisi Yoga dan Meditasi dari BL.com mengatakan kegiatan Yoga ini menargetkan 2.000 peserta dan menggunakan sistem penjualan tiket yang nanti hasil penjualannya akan digunakan untuk Beasiswa Jurnal Perempuan. Hal yang sama diungkapkan Livia Iskandar, Pendiri Yayasan Pulih, yang berharap kegiatan Yoga untuk beasiswa ini dapat terus berlangsung. (Johanna Poerba dan Nadya Karima Melati) Sebagai bagian dari upaya membangun transparansi publik dan bentuk akuntabilitas organisasi, hari ini, Kamis (22/1), Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menggelar Stakeholders Meeting di kantor YJP di kawasan Jakarta Selatan. Acara yang bertujuan untuk mengomunikasikan kerja dan capaian yang telah dilakukan YJP sepanjang tahun 2014 dan sekaligus untuk mendapatkan masukan dari mitra-mitra strategis untuk kerja-kerja YJP ke depan ini dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari funding, SJP, Dewan Pengawas, akademisi, NGO, dan kalangan profesional. Pendiri dan PJS Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Gadis Arivia mengatakan bahwa tahun 2014 merupakan tahun yang penuh gairah bagi YJP mengingat sejumlah kreativitas yang dilakukan pada tahun ini. Dihadapan para stakeholders, Gadis Arivia membuka presentasinya dengan mendeskripsikan keberhasilan YJP di tahun 2014 dalam menyuarakan isu-isu gender. Pada tahun 2014 YJP telah menerbitkan Jurnal Perempuan sebanyak 4 edisi, Indonesian Feminist Journal sebanyak 1 edisi, dan 3 buah buku. Penerbitan Indonesian Feminist Journal adalah upaya YJP untuk merawat dan mengenalkan tulisan mengenai isu gender di Indonesia kepada dunia internasional. Selain produk dokumentasi pengetahuan, YJP juga melakukan diseminasi pengetahuan kepada publik dengan menyelenggarakan Pendidikan Publik yang pada tahun 2014 berlangsung dua kali. YJP juga membuka kelas training sebanyak 2 kali dan melakukan advokasi atas kasus trafficking terduga Raja Solo dan penolakan rencana kebijakan pengurangan jam kerja perempuan. Gadis juga memaparkan bahwa kini YJP sudah lebih mandiri, karena sebanyak 25% dari pemasukannya berasal dari dana swadaya. Target YJP pada tahun 2015 dalam hal kemandirian adalah berusaha untuk menambahkan Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) hingga 1000 orang dengan demikian YJP bisa mandiri dengan dana swadaya 50%. Lebih jauh Gadis memaparkan penerbitan Jurnal Perempuan sebagai kegiatan inti YJP pada 2014 telah memasuki usia 18 tahun dan menjadi satu-satunya jurnal ilmiah yang mengangkat isu gender di Indonesia dan sedang dalam proses akreditasi. Kampanye media sosial yang dilakukan YJP sepanjang 2014 juga menunjukkan keberhasilan dengan penambahan followers lebih dari 2.000 sehingga jumlah followers JP menembus 14.000 followers. Dengan semua capaian YJP, pada 2014 YJP memberikan beasiswa bagi pendidikan anak perempuan Indonesia. Beasiswa Jurnal Perempuan diberikan kepada Indriyani Sugiharto (mahasiswi Fakultas Filsafat UGM) pada Agustus 2014. Guna menggalang dana beasiswa untuk tahun 2015, YJP menyelenggarakan kegiatan Yoga. Gadis menambahkan YJP menyadari bahwa pembaca JP berasal dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat yang berbeda-beda, untuk itu JP mengembangkan websitenya dengan menambahkan halaman blog dan halaman blog feminis muda. Pengembangan website ini menambah jumlah pembaca, meningkatkan penulis muda dan memperluas penyebaran pengetahuan tentang isu gender di masyarakat. Hal ini terlihat dari meningkatnya traffic kunjungan website dari 300/bulan menjadi 3000-60.000/bulan. (Andi Misbahul Pratiwi) Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 2014 yang digelar oleh komunitas Jejer Wadon dan beberapa komunitas di Solo diwarnai dengan acara refleksi gerakan perempuan dalam organisasi. Pada refleksi internal yang dihelat pada tanggal 21 November 2014 dan bertempat di LPH-YAPHI, Vera Kartika Giantari sebagai fasilitator berbicara soal gerakan/kegiatan yang dilakukan oleh Jejer Wadon selama ini yang lebih banyak dilakukan oleh pegiat/aktivis yang bekerja di LSM sehingga warna yang diberikan tidak jauh berbeda dengan gerakan/kegiatan LSM. Padahal Jejer Wadon adalah komunitas cair yang terdiri dari bermacam-macam perempuan dari berbagai latar belakang yang berbeda. Untuk itu Jejer Wadon akan mendorong anggotanya yang bukan dari pegiat/aktivis untuk menggerakkan Jejer Wadon. Sementara pada acara kedua, Jejer Wadon bekerja sama dengan Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (JPPAS), YAPHI, ATMA, YKPS, TALITA KUM, SPEK-HAM, PPSG-UKSW menggelar Bedah Kasus Perdagangan Anak bertempat di Yayasan Krida Paramita Solo, Selasa (25/11/2014). Acara ini menghadirkan narasumber dari Kepolisian Sukoharjo dan Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) terkait dengan kasus perdagangan anak yang terjadi di Sukoharjo yang diduga melibatkan Hangabehi Raja Solo. “Agar pelaku kekerasan seksual terkena aspek hukum karena ini kejahatan kemanusiaan dan bukan yang lain. PR bagi kita adalah agar bayi yang dikandungnya mendapat perlindungan. Bagaimana akses kepada korban? Supaya kita tahu apa saja kebutuhan korban. Langkah lain yang dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan kritis kepada korban dan keluarga korban ,” tutur Ina Hunga dari PPSG-UKSW. Pada aksi longmarch, Jejer Wadon dan Wanita Katolik Surakarta berjalan dari Plasa Sriwedari menuju Patung Slamet Riyadi Gladak disertai dengan orasi. Dengan membawa alat kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, para peserta longmarch kemudian duduk melingkar dan masing-masing membacakan puisi dengan tema perempuan. Pembacaan puisi dipimpin oleh Fanny Chotimah disaksikan oleh puluhan pasang mata pengunjung Solo Car Free Day yang digelar pada Minggu pagi, (14/12/2014). Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ditutup dengan refleksi gerakan perempuan bersama beberapa komunitas dan mahasiswa di Bentara Budaya Balai Soedjatmoko Surakarta, Sabtu (20/12/2014). Acara diwarnai dengan pembacaan puisi oleh aktivis perempuan seperti Fanny Chotimah, Vera Kartika Giantari dan Yuliana Paramayana. Dalam refleksi ditegaskan bahwa Jejer Wadon adalah milik semua. Beberapa pendapat diutarakan salah satunya dari Maria Martha Sucia bahwa beraktivitas di Jejer Wadon sangat nyaman karena tidak dituntut dan dikejar-kejar oleh laporan dan target. Sementara seorang mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Surakarta berujar, “Sebagai seorang perempuan posisi kita harus berani menyampaikan dan mengakui bahwa kita feminis. Hal itu penting agar kita punya pijakan dalam memandang dan melakukan tindakan dalam setiap hal.” Dengan keanggotaan yang berasal dari LSM, seniman, sastrawan, akademisi dan jurnalis, pengalaman-pengalaman mereka bisa dituangkan dalam tulisan. “Karena harta berharga untuk anak cucu kita hanya itu yaitu melalui tulisan berarti kita sudah merawat pengetahuan,” tutur narasumber sekaligus pendiri dan ketua Jejer Wadon, Dewi Candraningrum. Tak hanya itu, dirinya juga mengemukakan bahwa membumikan gerakan perempuan hendaknya dengan bahasa sesuai kearifan lokal sehingga publik menerima. “Karena pada dasarnya masyarakat Indonesia ini sangat inklusif,”pungkas Dewi Candraningrum. (Astuti Parengkuh) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |