Jakarta (30/7), INFID menyelanggarakan webinar dengan tema Perlindungan Hak Bagi Pekerja Perempuan dan Lingkungan yang Berkelanjutan. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi perempuan di tengah situasi perubahan iklim. Diskusi tersebut menghadirkan Mualimin Abdi (Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM), Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan), Masnuah (Ketua Puspita Bahari Demak), dan Andi Muttaqien (Deputi Direktur Advokasi Elsam) sebagai narasumber. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Listyowati (Ketua Kalyanamitra).
Dalam kesempatan tersebut Masnuah memaparkan tentang pengalamannya dan komunitas nelayan perempuan terkait diskriminasi yang dialaminya dalam kerja-kerja sektor perikanan. Menurutnya, perempuan nelayan terlibat dalam seluruh rangkaian produksi di sektor perikanan mulai dari persiapan sebelum melaut, melaut, penangkapan, penjualan, pengolahan dan lain sebagainya. Dalam kerja-kerja tersebut perempuan nelayan mengalami kerentanan, salah satu di antaranya adalah kecelakaan kerja yang mengakibatkan luka-luka dan bahkan berisiko kematian di laut. Mengingat besarnya keterlibatan perempuan dalam sektor ini menurut Masnuah penting agar kerja perempuan diakui dan dilindungi baik oleh negara dan oleh masyarakat. Salah satu bentuk pengakuan adalah dengan pemberian kartu nelayan bagi perempuan nelayan. Menurutnya, dengan adanya kartu tersebut, nelayan perempuan seperti halnya nelayan laki-laki mendapatkan jaminan dan perlindungan sosial dari negara. Masnuah memaparkan bahwa kerja perempuan nelayan hari-hari ini menjadi semakin sulit dalam kaitannya dengan perubahan iklim. Menurutnya perubahan cuaca secara ekstrem mengakibatkan ombak besar tak terprediksi sehingga berdampak langsung pada berkurangnya hasil tangkapan. Implikasinya pada perempuan adalah keluarga nelayan semakin terlilit hutang, banyak anak nelayan putus sekolah, beban perempuan semakin berlapis dan lain sebagainya. Menurut Masnuah saat ini banjir rob menjadi semakin tinggi dan bahkan ada dua desa pemukiman nelayan di Demak telah rata dengan lautan. Atnike Sigiro dalam kesempatan tersebut memaparkan sejumlah temuan dari riset-riset Jurnal Perempuan terkait dampak perubahan iklim terhadap perempuan. Atnike menyatakan bahwa bila kita membahas tentang perubahan iklim penting untuk membicarakan juga soal tanggung jawab korporasi. Atnike mengungkapkan, “Operasi besar korporasi yang melibatkan pembakaran hutan, residu pabrik, dan lainnya, menyumbang produksi karbon secara besar-besaran dan membawa dampak perubahan iklim yang lebih cepat.” Seperti yang diungkapkan Masnuah, Atnike menyatakan bahwa perubahan iklim menyebabkan berbagai bencana seperti banjir, rusaknya lahan pertanian, hilangnya keragaman hayati dan lain sebagainya. Atnike menuturkan bahwa setidaknya ada tiga dampak perubahan iklim bagi perempuan yaitu: tanggung jawab pengasuhan semakin berat sementara penghasilan keluarga semakin sulit; perempuan semakin rentan terhadap kemiskinan yang disebabkan oleh minimnya hasil produksi dan hilangnya lapangan kerja berbasis pertanian/perikanan; dan meningkatnya kerentanan peremuan terhadap kekerasan di dunia kerja. Atnike melihat bahwa isu ketidakadilan gender semakin diperparah dengan kondisi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Bisnis berbasis HAM sudah menjadi perhatian global saat ini, hal ini terbukti dari adanya berbagai konvensi internasional yang mengatur tentang bagaimana bisnis harus memerhatikan aspek HAM dan kelestarian lingkungan hidup. Guna memastikan berjalannya bisnis yang bertanggungjawab pada hak asasi manusia, pemerintah mendukung pengimplementasian UNGPs on BHR di Indonesia. Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menyatakan bahwa dalam upaya meningkatkan pemahaman bisnis dan HAM, Kemenkumham melakukan sejumlah pelatihan dan membuat modul tentang bisnis dan HAM bagi aparatur pemerintah (lintas kementerian). Tujuannya adalah agar bisnis berbasis hak asasi manusia semakin dipahami dan diimplementasikan. Lebih jauh, menurut Mualimin, Kementerian Hukum dan HAM saat ini sedang melakukan pembahasan rancangan Aksi HAM untuk RANHAM 2020-2024, yang memiliki empat kelompok sasaran, yakni perempuan, anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas. Pembahasan ini dilakukan bersama dengan berbagai kementerian/lembaga terkait dan juga Sekretariat Bersama Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Ia memaparkan bahwa Rancangan Aksi HAM akan memasukan pemberdayaan ekonomi perempuan sebagai salah satu sasaran strategisnya, yaitu meningkatnya akses perempuan dalam situasi khusus terhadap pelayanan publik dan penghidupan yang layak, seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan peluang usaha. Selain itu, saat ini juga sedang didiskusikan mengenai posibilitas bantuan keuangan mandiri bagi perempuan kepala keluarga pelaku UMKM atau mengembangkan kebijakan untuk mempromosikan dan mendorong kewirausahaan perempuan. (Abby Gina) Jakarta (30/7), Rumah Kebangsaan bekerja sama dengan Magdalene mengadakan diskusi dengan tema “Perjuangkan RUU PKS, Demi Korban!”. Diskusi yang dilakukan secara daring ini menghadirkan empat pembicara yaitu; GKR. Hemas (Kaukus Perempuan Parlemen), Lengga Pradipta (Peneliti Kependudukan LIPI), Rena Herdiyani (Wakil Ketua Bidang Keorganisasian Kalyanamitra), dan Dewi Komalasari (Koordinator Penelitian dan Pengembangan Jurnal Perempuan).
Dalam pemaparannya, GKR. Hemas menyatakan bahwa Kaukus Perempuan dalam merespons situasi terkini advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tetap memiliki komitmen tinggi untuk mendorong pembahasan RUU PKS. Ia menambahkan bahwa kasus kekerasan seksual yang kian meningkat harus menjadi dorongan untuk setiap anggota dewan, tidak hanya perempuan, untuk melakukan pembahasan RUU ini segera. Masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan agar RUU PKS menjadi perhatian banyak orang dan dapat dibahas secepat mungkin. Kaukus Perempuan juga berharap masyarakat sipil harus terus memberikan tekanan kepada pemerintah maupun DPR agar RUU yang melindungi setiap orang dari kekerasan seksual segera dibahas dan disahkan. Lengga Pradipta menjelaskan bahwa struktur peran laki-laki dan perempuan pada masa sekarang telah mengalami pergeseran ke arah yang positif. Hal ini ditunjukkan dengan perempuan yang berkiprah di ranah global atau nasional dan tidak selalu terkait urusan domestik. Dengan berbagi peran, menjadi kunci untuk mendapatkan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan terus menerus melakukan advokasi bahwa berbagi peran bukan berarti “merebut” tanggung jawab dan mengubah perspektif masyarakat bahwa berbagi peran antara laki-laki dan perempuan bukan hal yang tabu atau dilarang. Menurut Lengga, mandeknya pembahasan RUU PKS diakibatkan karena kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen yang berada dalam posisi-posisi yang strategis pengambil keputusan. “Padahal dilihat dari proporsi jumlah penduduk Indonesia hampir mecapai 270 juta, dan penduduk perempuan persentasenya adalah sekitar 49,75%, yang jumlahnya hampir sama dengan laki-laki,” jelasnya. Sehingga penting untuk mengakomodir kepentingan perempuan, khususnya terkait pemenuhan kesetaraan dan keadilan gender. Selanjutnya, Rena Herdiyani menyatakan bahwa RUU PKS harus segera disahkan, mengingat kasus kekerasan seksual semakin banyak dan beragam bentuknya. Ia menyebutkan bahwa menurut data SIMFONI pada Januari 2020 sampai 19 Juni 2020, tercatat ada 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak, baik perempuan maupun laki-laki. Kemudian, Komnas Perempuan mencatat terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019. Lebih jauh menurut Rena, masih ada kesenjangan hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual secara substansi, struktur, dan kultur. Ia berkaca pada pengaturan terkait kekerasan seksual yang tercantum dalam aturan perundang-undangan di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam tataran penanganan kasus, Rena menjelaskan bahwa sistem pembuktian masih berlum berpihak pada korban, tidak sensitif, dan tidak memperhitungkan pengalaman korban. Ditambah lagi dengan sikap aparat penegak hukum terhadap korban dipengaruhi oleh budaya patriarki, sehingga dalam berbagai kasus kekerasan seksual, korban kerap kali disalahkan kembali atau reviktimisasi. Sebagai rekomendasinya, Reni Herdiyani menyampaikan bahwa Badan Legislatif harus memastikan RUU PKS masuk program legislasi nasional 2021, memastikan prinsip dan substansi yang diusulkan oleh masyarakat sipil dapat diakomodir, dan menyosialisasikan RUU PKS yang mengedepankan kepentingan korban ke masyarakat agar bersama-sama mendukung dan mengawal pembahasan RUU tersebut. (Octania Wynn) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |