Jakarta (30/7), Rumah Kebangsaan bekerja sama dengan Magdalene mengadakan diskusi dengan tema “Perjuangkan RUU PKS, Demi Korban!”. Diskusi yang dilakukan secara daring ini menghadirkan empat pembicara yaitu; GKR. Hemas (Kaukus Perempuan Parlemen), Lengga Pradipta (Peneliti Kependudukan LIPI), Rena Herdiyani (Wakil Ketua Bidang Keorganisasian Kalyanamitra), dan Dewi Komalasari (Koordinator Penelitian dan Pengembangan Jurnal Perempuan).
Dalam pemaparannya, GKR. Hemas menyatakan bahwa Kaukus Perempuan dalam merespons situasi terkini advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tetap memiliki komitmen tinggi untuk mendorong pembahasan RUU PKS. Ia menambahkan bahwa kasus kekerasan seksual yang kian meningkat harus menjadi dorongan untuk setiap anggota dewan, tidak hanya perempuan, untuk melakukan pembahasan RUU ini segera. Masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan agar RUU PKS menjadi perhatian banyak orang dan dapat dibahas secepat mungkin. Kaukus Perempuan juga berharap masyarakat sipil harus terus memberikan tekanan kepada pemerintah maupun DPR agar RUU yang melindungi setiap orang dari kekerasan seksual segera dibahas dan disahkan. Lengga Pradipta menjelaskan bahwa struktur peran laki-laki dan perempuan pada masa sekarang telah mengalami pergeseran ke arah yang positif. Hal ini ditunjukkan dengan perempuan yang berkiprah di ranah global atau nasional dan tidak selalu terkait urusan domestik. Dengan berbagi peran, menjadi kunci untuk mendapatkan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan terus menerus melakukan advokasi bahwa berbagi peran bukan berarti “merebut” tanggung jawab dan mengubah perspektif masyarakat bahwa berbagi peran antara laki-laki dan perempuan bukan hal yang tabu atau dilarang. Menurut Lengga, mandeknya pembahasan RUU PKS diakibatkan karena kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen yang berada dalam posisi-posisi yang strategis pengambil keputusan. “Padahal dilihat dari proporsi jumlah penduduk Indonesia hampir mecapai 270 juta, dan penduduk perempuan persentasenya adalah sekitar 49,75%, yang jumlahnya hampir sama dengan laki-laki,” jelasnya. Sehingga penting untuk mengakomodir kepentingan perempuan, khususnya terkait pemenuhan kesetaraan dan keadilan gender. Selanjutnya, Rena Herdiyani menyatakan bahwa RUU PKS harus segera disahkan, mengingat kasus kekerasan seksual semakin banyak dan beragam bentuknya. Ia menyebutkan bahwa menurut data SIMFONI pada Januari 2020 sampai 19 Juni 2020, tercatat ada 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak, baik perempuan maupun laki-laki. Kemudian, Komnas Perempuan mencatat terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019. Lebih jauh menurut Rena, masih ada kesenjangan hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual secara substansi, struktur, dan kultur. Ia berkaca pada pengaturan terkait kekerasan seksual yang tercantum dalam aturan perundang-undangan di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam tataran penanganan kasus, Rena menjelaskan bahwa sistem pembuktian masih berlum berpihak pada korban, tidak sensitif, dan tidak memperhitungkan pengalaman korban. Ditambah lagi dengan sikap aparat penegak hukum terhadap korban dipengaruhi oleh budaya patriarki, sehingga dalam berbagai kasus kekerasan seksual, korban kerap kali disalahkan kembali atau reviktimisasi. Sebagai rekomendasinya, Reni Herdiyani menyampaikan bahwa Badan Legislatif harus memastikan RUU PKS masuk program legislasi nasional 2021, memastikan prinsip dan substansi yang diusulkan oleh masyarakat sipil dapat diakomodir, dan menyosialisasikan RUU PKS yang mengedepankan kepentingan korban ke masyarakat agar bersama-sama mendukung dan mengawal pembahasan RUU tersebut. (Octania Wynn) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |